Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pasangan yang Sakit". Dan tema ini merupakan bagian dari tema besar yaitu "Berawal dari Satu". Kita sudah membahas 10 topik dan kini memasuki topik yang ke-11 tentang "Pasangan yang Sakit". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang semua orang pasti pernah sakit. Tapi ada sakit itu khususnya pada pasangan suami istri yang bisa menimbulkan masalah, Pak Paul. Nah ini kaitannya dengan "Berawal dari Satu", hal ini bagaimana Pak Paul?
PG : Ini begini, Pak Gunawan. Kalau seseorang sakit, tidak bisa tidak itu akan memberikan dampak kepada pasangannya dan juga nanti anak-anaknya. Jadi kenapa kita masukan ini ke dalam topik besar kita "Berawal dari Satu", sebab pada akhirnya penyesuaian harus terjadi namun kadang tidak mulus maka konflik mudah sekali terjadi. Nah, itu sebabnya kita mau soroti masalah pasangan yang sakit supaya kita tahu bagaimana menghadapinya jika itu harus menjadi bagian hidup kita.
GS : Memang sakit ini yang bukan sekadar flu atau apa begitu, tapi memang yang berkepanjangan dan membutuhkan biaya banyak. Nah, bagaimana hubungannya dengan pasangan kita yang mendampingi?
PG : Begini, Pak Gunawan. Pertama-tama kita mau menyadari bahwa penyakit dapat datang kapan saja, di usia muda maupun di usia tua, siap atau tidak siap kita mesti menghadapinya. Saya mau mengatakan ini sebab memang ada penyakit yang memang kita cari-cari. Kita kurang bertanggung jawab, kita hidup kurang begitu berdisiplin, tapi ada banyak penyakit yang bisa datang kapan saja tanpa kita mengundangnya, tanpa kita sebetulnya berbagian di dalamnya. Jadi kalau sampai pasangan kita sakit jangan tergesa-gesa marah dan menyalahkan dia. Ada penyakit yang dapat sembuh dengan cepat dan ada yang perlu waktu lama untuk sembuh, tapi kenyataannya juga ada yang tidak dapat sembuh. Penyakit yang memerlukan waktu lama untuk sembuh dan penyakit yang tidak dapat sembuh pada umumnya menyebabkan penderita ini terganggu. Baik secara fisik maupun mental, jadi berkurangnya fungsi tubuh, memberi tekanan mental pada penderitanya dan tidak bisa tidak memberi beban tambahan bagi kita yang harus merawatnya. Tidak jarang relasi nikah terganggu. Dan ini yang juga penting, perkembangan anak pun terpengaruh, karena letih, kita menjadi kurang sabar dan karena sakit pasangan pun berubah menjadi pemarah, anak-anak tidak lagi bisa bermain sebebas dulu karena ayah atau ibunya sakit dan kadang anak-anak marah dan menyalahkan yang sakit sebab hidup mereka terganggu, hidup mereka tidak lagi bebas. Jadi begitu banyak hal yang biasanya terjadi sewaktu salah seorang di antara kita atau pasangan kita itu sakit.
GS : Memang kalau kita tahu sebelum menikah itu bisa dihindari, Pak Paul. Tetapi biasanya penyakit ini datang justru setelah kita menikah, begitu Pak Paul. Tetapi ada beberapa pasangan yang saya tahu walaupun pasangannya sudah didiagnosis sakit tetapi mereka tetap menikah, itu alasannya apa, Pak Paul?
PG : Mungkin mereka sudah saling mencintai, jadi mereka memikirkan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa pasangannya sehingga mereka bertekad untuk menghadapi apapun yang mereka harus hadapi. Jadi ada yang seperti itu, Pak Gunawan dan kebetulan di gereja yang pernah saya layani dulu ada yang seperti itu juga. Mereka menikah dan tidak sampai setahun pasangannya meninggal dunia. Dan itu sudah diketahui karena pasangannya menderita tumor ganas di otak dan memang dokter sudah mengatakan, "Ini tidak bisa berumur panjang", tapi mereka memutuskan mereka tetap mau menikah. Pernikahannya itu menjadi pernikahan yang mengharukan sekaligus juga memuliakan Tuhan. Tapi setelah itu si suami meninggal dunia. Nah, bertahun-tahun si istri itu hidup sebagai wanita lajang tidak ada suami dan Tuhan membawa seorang anak Tuhan yang lain yang mencintai dia. Sekarang mereka sudah menikah dan memunyai anak. Ya, jadi kita bisa lihat disini bahwa Tuhan itu belum selesai dengan hidup kita walaupun kadang-kadang kita berpikir, "Ya sudah selesai, suami saya meninggal" atau apa, ternyata tidak.
GS : Tetapi ada juga orang yang berprasangka buruk Pak Paul, dengan menganggap kalau ada orang yang mau menikahi orang sakit ini yang dikejar adalah warisannya. Jadi itu bisa memang terjadi prasangka buruk seperti itu.
PG : Mungkin saja ada seperti itu. Kita tidak bisa memastikan isi hati orang. Dan kisah yang saya tadi sebutkan memang ini adalah orang yang saya kenal dan dua-duanya dari keluarga yang memang berada. Jadi saya tahu memang tidak adanya niatan seperti itu sama sekali. Tapi itu sudah tentu sebuah keputusan yang harus diambil dengan pertimbangan yang masak, Pak Gunawan. Karena kita kehilangan pacar dengan kehilangan suami itu tidak sama. Waktu dia harus kehilangan suami itu pukulan yang berat sekali meskipun dia sudah tahu, tetap berat.
GS : Pak Paul, kalau begitu jika pasangan kita tiba-tiba sakit dan sakitnya itu cukup parah. Sebagai pasangan, apa yang harus kita lakukan?
PG : Pertama, kita mesti menyadari dan menerima kenyataan bahwa sekarang kondisi sudah berubah. Saya mau menggarisbawahi ini, Pak Gunawan, sebab baik yang sakit maupun yang merawat kadang-kadang tidak bisa menerima kenyataan itu, bahwa sekarang kondisi sudah berubah. Jadi yang menderita sakit harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa dia tidak sebebas dulu dan harus bergantung pada orang untuk melakukan aktivitas rutinnya. Yang merawat harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa dia pun tidak sebebas dulu dan harus mengurangi aktivitas rutinnya guna menolong pasangannya yang sakit. Nah, ini tidak mudah Pak Gunawan, sebab perubahan ini menuntut penyesuaian dan penyesuaian bukan saja bersifat fisik tapi juga mental. Meminta bantuan menuntut kerendahan hati dan keterbatasan fungsi tubuh menuntut kesabaran. Bila kita tidak bersedia merendahkan diri dan tidak sabar kita pasti marah dan biasanya obyek kemarahan ialah orang yang terdekat dengan kita. Ini saya dengar dari orang yang merawat orang yang sakit, bahwa sejak sakit pasangannya menjadi pemarah. Meminta sesuatu kalau tidak cepat diberikan katanya mungkin kita sibuk atau apa, marah. Atau misalnya ada urusan kita harus pergi, dia ditinggal, marah. Merasa tidak lagi dianggap. Anak bicara sedikit saja agak beda nadanya agak tinggi, marah, "Kamu sekarang mengapa tidak hormat dengan saya". Maka tadi saya katakan dituntut adanya kerendahan hati tidak bisa tidak, dan karena sekarang fungsi tubuh juga terbatas kita juga mesti sabar. Tapi saya juga berkata bahwa memberi bantuan menuntut kesabaran dan kasih, sebab jika tidak maka bantuan atau perawatan yang diberikan akan penuh dengan ketidakrelaan dan kekasaran, kita bantu membawakan makanan tapi kasar. Karena kita memang tidak suka dan kita sudah lelah, jadi akhirnya yang keluar dari tindakan kita adalah hal-hal yang kasar seperti itu. Kalau itu terjadi tidak bisa tidak konflik akan harus menjadi bagian hidup kita.
GS : Pak Paul, kalau yang sakit suka marah-marah dan sebagainya, itu terbawa karena memang karakternya seperti itu atau karena ada hubungannya dengan penyakitnya, Pak Paul?
PG : Jadi, Pak Gunawan kalau memang bawaannya pemarah, sewaktu sakit itu akan berlipat kali ganda lebih sering marah. Orang yang tidak pemarah pun sewaktu menderita sakit yang menahun seperti ini, kecenderungannya memang juga marah. Namun kalau bawaannya dia tidak pemarah, marahnya itu hanya untuk sementara karena itu bagian dari penyesuaiannya. Seharusnyalah semua orang rendah hati dan sebagainya, tapi tidak semua dari kita rendah hati. Jadi ada kalanya untuk kita meminta sesuatu dari anak kita, dari pasangan kita, kita bawaannya mau marah saja sebab kita berpikir, "Kamu seharusnya tahu. Kamu seharusnya memberikan itu kepada saya. Kamu seharusnya membawakan itu kepada saya, supaya saya tidak minta", itu biasanya kita pikirkan. Jadi waktu kita harus minta, wah waktu kita keluarkan kata-kata "meminta" sudah keluarnya itu dengan nada marah. Tapi biasanya kalau bawaannya kita bukan pemarah ini berlangsung hanya sementara.
GS : Nah, biasanya orang yang sakit ini, memang sulit untuk diatur. Kalau diberi tahu dia cepat tersinggung atau tidak mau melakukan apa yang diperintahkan padahal itu saran dokter seperti itu, Pak Paul. Nah yang merawat ini menjadi kesulitan kadang-kadang sudah sulit diatur, marah-marah lagi.
PG : Nah, susahnya ini bukan anak kecil ya, Pak Gunawan. Ini tidak bisa kita paksakan. Ya akhirnya kita hanya bisa memberikan saran, memberitahukan ini lah yang harus dilakukan, kalau dia tidak mau kita tidak bisa apa-apa. Misalnya kalau pasangan kita menderita stroke, kelumpuhan kemudian datanglah fisioterapis memberikan pelatihan dan dipesankan, "Setiap hari engkau harus menggerakkan kakimu, menahan beban" dan sebagainya, tapi dia tidak mau dia diam-diam saja. Nah, kita beritahu dia marah sama kita. Ya sudah kita harus diam karena memang kita tidak bisa paksakan. Jadi daripada akhirnya ribut terus ya sudah lebih baik kita diam saja. Meskipun kita juga terus terang melihat dia begitu, kesal. Karena kita tahu penyakitnya akan bertambah parah dan waktu bertambah parah yang menderita dia dan yang bertambah repot kita juga.
GS : Ya, memang kalau dia jadi marah-marah begitu malah penyakitnya itu bertambah, Pak Paul. Entah tiba-tiba dia sesak, atau tiba-tiba dia sukar bernafas, Pak Paul. Atau hal lain yang kejang-kejang dan sebagainya itu, Pak Paul.
PG : Ya misalnya orang yang terkena pneumonia dan dia punya penyakit yang lain. Nah fungsi paru-paru itu harus dikembalikan, latihannya meniup, tiup terus seperti balon. Ya memang tidak menyenangkan tiup balon dan harus keras tiupnya. Karena itu untuk melatih fungsi paru-paru. Ada orang yang tidak mau, diam-diam saja. Ada yang kita ingatkan tapi dia tidak suka, dia marah, dia tersinggung. Tapi kita tahu dia tidak tiup tinggal tunggu waktu paru-parunya itu tidak berfungsi dia masuk Rumah Sakit lagi, dan lebih parah lagi harus diberikan alat bantu, ventilator. Nah, nantikan yang susah dia dan kita juga tidak tega. Jadi memang tidak gampang, Pak Gunawan. Belum lagi kita pikirkan soal uangnya. Bukankah kalau masuk Rumah Sakit berarti uang lagi. Jadi makanya kita harus bahas karena seringkali gara-gara satu sakit, rumah tangga kita harus menuai badai.
GS : Ya, hal yang kedua apa Pak Paul yang bisa kita perbuat?
PG : Sedapatnya kita memertahankan aktifitas rutin anak. Belum tentu kita mesti menyadarkan anak, bahwa oleh karena ayah atau ibunya sakit kita tidak lagi dapat memberikannya perhatian seperti sediakala. Namun sebisanya kita akan mengusahakan atau harus mengusahakan agar dia tetap dapat beraktifitas seperti semula. Hal ini penting bagi anak yang masih dalam tahap pertumbuhan. Dengan dia keluar rumah dan beraktifitas maka pertumbuhannya secara sosial maupun emosional dapat berjalan seperti biasa. Begitu. Nah, tidak bisa tidak bila kita mau mengutamakan kepentingan anak maka kita harus merelakan kehilangan dukungan atau bantuan. Kita tidak lagi bisa bergantung kepada anak sebab kita mendorong dia untuk tetap ikut misalnya latihan basket, untuk ikut club belajar atau apa karena kita mau memertahankan aktifitas rutinnya. Nah, berarti kita lebih banyak sendirian di rumah. Kita tidak bisa meminta bantuan anak, jadi kita akan kehilangan dukungan atau bantuan. Dan pasti ini akan menambah kerepotan karena kita memerlukan bantuan itu agar dapat menjaga keseimbangan antara memenuhi tuntutan rumah tangga dan merawat pasangan yang sakit. Namun jika memungkinkan ya kita tidak menuntut anak terlalu banyak untuk membantu kita, supaya dia tetap dapat beraktifitas secara rutin.
GS : Ya, ini anak pada masa pertumbuhan ini biasanya agak sulit kita ini menjelaskan bahwa ayahnya ini tidak sama dengan ayahnya teman-temannya yang lain, misalnya yang lain itu diantar ke sekolah oleh ayahnya, ini ‘kan tidak mungkin karena ayahnya sakit atau ibunya sakit. Ini bagaimana Pak Paul menjelaskan kepada anak?
PG : Memang kita harus mengerti bahwa anak kecil belum memunyai ketangguhan dan kebisaan untuk menghadapi peristiwa yang seberat ini ya. Saya masih ingat ada seorang yang saya kenal, dimana dia itu harus lumpuh. Jadi dia tinggal di Amerika Serikat dimana dia itu dirampok dan ditembak sehingga akhirnya lumpuh. Nah, anaknya itu untuk satu waktu yang lama tidak ingin ketemu-ketemu dia. Sebab dia tidak bisa lagi dirawat di rumah dari leher ke bawah sehingga harus dirawat di rumah jompo, meskipun usianya belum sama sekali jompo. Nah waktu saya berbicara dengan dia, dia mengerti bahwa anaknya merasa malu. Maka meskipun dia sebetulnya bisa bergabung dengan anak istrinya, ke persekutuan atau kebaktian di gereja karena disana itu ada wadahnya bisa dijemput dan sebagainya, tapi dia tidak mau. Karena besar kemungkinan anak istrinya akan malu. Nah jadi anaknya datang menjumpai dia hanya sekali dua kali setahun, sampai anaknya sudah lulus akhirnya kuliah juga jarang sekali datang. Jadi si ayah yang baik ini mengerti bahwa anaknya mungkin sekali malu. Dan tiap kali bertemu mungkin dia harus memikirkan ayahnya, pikirannya jadi berbeban. Jadi si ayah sudah tahu diri, seringnya berbicara lewat telepon saja.
GS : Disitu peranan istri itu bagaimana, pak Paul?
PG : Ya seharusnya istri membicarakan hal ini kepada anak. Pertama memang saya kira istri atau ibu harus memberikan pengertian bahwa inilah kondisi yang harus kita terima meskipun kita tidak menyukainya kita mungkin merasa malu tapi dia tetap adalah ayah kita. Namun sebagai ibu yang mungkin dia juga bisa berkata kepada anaknya bahwa "Mama mengerti bahwa kamu tidak mudah dilihat bersama ayahmu, karena mungkin kamu merasa malu. Jadi kalau kamu memang belum siap, mama tidak akan paksakan dan papa pun juga mengerti, papa juga tidak akan paksakan". Jadi biasanya langkah yang kita ambil kita tidak memaksakan karena kita mengerti. Memang kita mungkin bisa sedih "Mengapa anak kita sendiri tidak mau atau malu". Ya tapi kita mengerti bahwa dia memang belum siap.
GS : Hal ketiga yang bisa kita lakukan apa, Pak Paul?
PG : Jika memungkinkan kita menggunakan bantuan luar seperti perawat untuk melayani pasangan yang sakit setidaknya beberapa jam sehari. Bantuan ini penting bukan saja untuk menolong kita merawat pasangan yang sakit tapi juga untuk memberi kita waktu untuk beristirahat dan beraktifitas. Walau hidup kita tidak lagi sama, namun sedapatnya kita memertahankan beberapa aktifitas yang baik buat kesehatan fisik dan mental kita. Nah, saya mau berpesan jangan merasa bersalah meninggalkan pasangan yang sakit selama beberapa jam karena kita juga memerlukan penyegaran agar dapat terus merawatnya. Jadi kalau kita di pihak yang sakit, kita perlu memahami hal ini. Mengapa saya sebutkan karena ada kecenderungan kita merasa bersalah, Pak Gunawan. Kita takut dituduh tidak bertanggung jawab, kurang mengasihi pasangan. Pada kenyataannya kita ‘kan manusia terbatas. Energi dan semangat tidak selalu terkumpul dan tersedia, itu sebabnya kita perlu beristirahat juga dan beraktifitas agar dapat tetap menjalankan hidup dan kewajiban kita. Jadi sekali lagi saya ingin berpesan jangan biarkan rasa bersalah menguasai kita. Meninggalkannya selama beberapa jam adalah baik buat kita berdua.
GS : Tapi seringkali pasangan itu terutama istri ya, Pak Paul, ketika dia harus pergi meninggalkan rumah dimana suaminya sakit, walaupun ada perawat atau pembantu rumah tangga yang mendampinginya. Bukan rasa bersalah, Pak Paul, tapi rasa khawatir, "Jangan-jangan apa! Jangan-jangan ada apa!" jadi dia cepat-cepat keluar lalu kembali lagi ke rumah.
PG : Jadi memang ada rasa tanggung jawab yang besar ya. Takut kalau-kalau waktu dia keluar ada apa-apa. Jadi ‘kan dia harus bertanggung jawab disalahkan atau apa. Sekali lagi kita mau ingatkan pada para pendengar kita bahwa kalau Saudara yang merawat pasangan Saudara, Saudara perlu untuk beraktifitas atau beristirahat di luar selama beberapa jam per hari supaya Saudara bisa disegarkan dan akhirnya bisa tetap merawat dan melayani pasangan Saudara yang sakit.
GS : Jadi dia mengambil waktu itu ketika ada perawat yang datang itu, dia hanya beristirahat tapi di dalam rumah. Tapi untuk meninggalkan rumah dia rasanya tidak tega, Pak Paul. Jadi itu pun sudah menolong saya rasa ya, Pak Paul?
PG : Meskipun ya hanya istirahat di kamar itu sudah cukup.
GS : Seperti mendengarkan musik, atau hal lain. Hal lain yang bisa dilakukan apa, Pak Paul?
PG : Keempat, salah satu beban terberat di masa sakit adalah beban finansial. Tidak jarang pengobatan menguras habis tabungan, Pak Gunawan. Itu sebabnya penting bagi kita untuk merundingkan dan memutuskan rencana perawatan secara terbuka dan realistik. Bagi kita yang berkecukupan, alternatif pengobatan tersedia seakan tanpa batas. Sedangkan bagi kita yang terbatas, pilihan yang tersedia tidak banyak. Kadang karena mementingkan kesembuhan, menempuh jalan yang akhirnya membuat kita berhutang besar. Bila memang itu menjanjikan kesembuhan, ya tidak apa. Jika tidak itu akan menambah beban yang mesti kita pikul selama bertahun-tahun. Jadi pada masa sakit ya, kita tetap harus tunduk pada hukum hikmat dan menghindar dari bahaya, besar pasak daripada tiang. Kita yang menderita sakit harus berani mengambil keputusan yang realistis supaya kita tidak meninggalkan beban yang sukar ditanggung keluarga kita kelak. Sekilas para pendengar kita berpikir "Pertimbangan ini terdengar kejam dan tidak manusiawi". Tapi pada akhirnya kita harus hidup di dalam bukan di luar keterbatasan kita. Kita butuh pengobatan tapi keluarga pun butuh hidup. Nah, kedua hal itu harus terus menjadi pertimbangan kita bersama.
GS : Iya, karena kita tahu bahwa sakit seperti ini merupakan beban finansial. Saya rasa baik itu kalau dibicarakan ketika mereka itu masih sehat, artinya sebelum musibah ini terjadi. Dalam kondisi yang tenang, itu bisa dibicarakan kalau salah satu dari kita itu sakit atau apa, langkah apa yang mau kita ambil. Jadi ini semacam persiapan, Pak Paul.
PG : Betul. Kalau bisa kita melakukan itu baik sekali. Apalagi kalau kita bisa beli asuransi itu baik sekali. Mungkin kita pernah mendengar hal ini, di Amerika Serikat salah satu penyebab mengapa orang itu bangkrut yang akhirnya harus tidak punya rumah, kehilangan rumah, ya karena biaya pengobatan, Pak Gunawan. Di hari tua mereka itu ditanggung oleh negara dengan program namanya Medicare, nah itu hanya mencakup 80%, Pak Gunawan. Jadi yang 20% harus ditanggung si penderita sakit. Nah 20% itu luar biasa juga besarnya, Pak Gunawan. Biaya rumah sakit itu bisa berjumlah jutaan dollar, Pak Gunawan, jadi 20% dari jutaan dollar bisa satu jutaan dollar dan sebagainya. Makanya salah satu penyebab orang kehilangan rumah atau bangkrut adalah karena biaya pengobatan yang besar itu.
GS : Iya tentu sudah tidak mengharapkan hal itu terjadi. Tapi apakah masih ada langkah yang lain?
PG : Terakhir yang kelima adalah kita harus terus mengutamakan Tuhan di dalam masa yang susah ini. Bersama dengan pasangan yang sakit kita datang kepada Tuhan memohon pertolongan-Nya. Kita pun mesti terbuka dan jujur dengan pergumulan rohani. Ada kalanya penderita sakitlah yang bergumul dengan pertanyaan, "Mengapa Tuhan membiarkan ini semua terjadi?". Namun kadang kitalah yang merawat pasangan kita yang sakit yang bergumul dengan ketidakmengertian rohani itu. Nah, jadi itu, dalam masa yang sulit, biarlah kita saling menguatkan dan mengingatkan supaya kita tidak melihat Tuhan hanya dari lensa penderitaan. Bukankah selama ini Ia pun telah memberkati dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita. Jadi ya kita ingat peringatan yang dilontarkan oleh Yeremia 31:3 "Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal. Sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu". Saya suka ayat ini karena kadang kita merasa ketika kita jatuh sakit kasih Tuhan itu berhenti, tidak ya. Tuhan berkata, "Sebab itu aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu", akan Tuhan lanjutkan.
GS : Iya, Pak Paul. Dalam kondisi seperti ini peran dari saudara-saudara seiman ini besar sekali, Pak Paul. Kadang berkunjung, mendoakan dan memberikan dukungan moral itu sangat penting sekali jadi kita perlu terbuka untuk kehadiran mereka dan tidak segan-segan meminta bantuan doa mereka. Tapi yang paling penting seperti Yeremia katakan ini adalah Firman Tuhan sendiri bahwa Tuhan itu mengasihi kita dengan kasih yang kekal.
Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan Yang Sakit". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.