Pasangan yang Mudah Stres

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T524B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Bila kita menikah dengan pasangan yang mudah stres kita pun akan terpengaruh dan lama kelamaan merasa letih. Kita harus membimbingnya langkah demi langkah agar ia tahu bagaimana caranya menghadapi masalah dari beberapa sudut agar ia pun dapat mencarikan solusinya dari pelbagai sudut. Ingatkan bahwa masih ada Tuhan dalam hidup ini dan Ia berkuasa. Bimbinglah dia untuk berserah dan memercayakan hidup ini kepada Tuhan
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Keenam adalah pasangan yang mudah stres. Acapkali masalah dalam pernikahan berawal dari pasangan yang mudah stres. Sesungguhnya ia sendiri tidak ingin menjadi pribadi yang mudah stres, tetapi apa daya, ia tidak dapat menguasai dirinya. Setiap kali masalah muncul, ia tertekan dan memperlihatkan reaksi yang sarat kecemasan dan kekacauan. Bila kita menikah dengan pasangan yang mudah stres, tidak bisa tidak, kita pun akan terpengaruh. Setiap kali ia stres, kita turut stres—bukan oleh karena masalah itu sendiri melainkan oleh karena reaksi pasangan yang stres. Mungkin awalnya kita ikut tegang, tetapi akhirnya kita marah. Mungkin kita bertanya, apakah yang membuat orang mudah stres. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, ia adalah seorang yang sensitif alias memiliki perasaan yang sangat peka. Begitu pekanya sehingga apa pun yang dirasakannya, akan dirasakannya dengan kepekaan berlipat ganda. Jadi, rasa terluka yang hanya membuat kita nyeri, akan membuatnya tersungkur selama berhari-hari. Singkat kata, oleh karena perasaannya begitu peka, maka ia pun terpaksa merasakan segalanya secara lebih kuat, termasuk stres.

Kedua, ia adalah pribadi yang lemah. Ia tidak memiliki kekuatan menahan tekanan hidup. Itu sebab begitu masalah datang, ia stres—pertanda benteng pertahanannya runtuh. Ia panik dan kacau sehingga tidak sanggup menyiasati masalah yang datang. Untuk keluar dari kemelut, biasanya ia mengharapkan kita menyelesaikan masalahnya, setidaknya memberikan ketenangan kepadanya.

Seyogianya kita mengembangkan perisai atau benteng mental untuk menahan sekaligus melindungi diri dari gempuran stres. Namun, adakalanya benteng itu tidak pernah terbangun. Ada yang tidak memiliki benteng pertahanan karena terlalu terlindungi. Semua dikerjakan oleh orangtua dan semua masalah dibereskan orang lain. Alhasil kita bertumbuh bukan sebagai pribadi yang kuat melainkan lemah; benteng mental kita rapuh.

Sebaliknya, ada yang tidak pernah berkesempatan membangun benteng mental akibat serbuan yang terus menerus. Singkat kata, hidupnya penuh ketegangan dan ketidakamanan; konflik antara orangtua dan perlakuan yang buruk mewarnai masa pertumbuhannya. Alhasil, belum lama dan cukup waktu untuk kita pulih dan membangun diri yang kuat, ia harus terjerembab lagi. Akhirnya walau dari luar ia tampak kuat, sesungguhnya di dalam ia lemah. Begitu masalah datang, ia kacau dan panik. Benteng pun runtuh dan ia jatuh lumpuh.

Kadang, bukan saja ia panik dan kacau, serta mengharapkan bantuan kita, ia pun menyalahkan kita, seakan-akan kita bertanggung jawab penuh atas masalah yang menimpanya. Sudah tentu mungkin saja kita pernah terlibat dan berandil di dalam masalah yang dihadapinya, tetapi seyogianya ia pun memikul tanggung jawab itu. Nah, pribadi yang rentan terhadap stres, sulit memikul tanggung jawab. Sebaliknya, ia cepat menyalahkan kita dan ini akan memicu konflik.

Sebenarnya upaya atau kebiasaannya mempersalahkan kita merupakan pertanda bahwa ia mengharapkan kita untuk menyelesaikan masalahnya. Karena panik dan kacau, ia tidak dapat menyelesaikan masalahnya; itu sebab ia mengharapkan bantuan kita. Problemnya adalah, ia tidak baik-baik meminta bantuan kita; sebaliknya, ia malah menuntut kita bertanggung jawab, dan dengan cara itu, mengambil alih bagiannya untuk menyelesaikan masalah.

Jika kita menikah dengan pasangan yang mudah stres, akhirnya kita letih. Kita tidak lagi mempunyai energi dan semangat untuk menolong pasangan karena kita terus yang harus bertanggung jawab "menyelamatkannya" dari permasalahannya. Sebaliknya, kita justru tidak suka mengulurkan tangan membantunya karena pola ini sudah berlangsung lama.

Tetapi, jika kita berkeras hati tidak mau lagi mengulurkan tangan, maka pada akhirnya ia bisa bertambah berantakan. Itu sebab terpaksa kita terus menolongnya dan itu membuat kita marah. Selain marah, kita pun sukar untuk respek kepadanya karena tidak mudah bagi kita untuk respek kepada orang yang seperti itu. Pertanyaannya, apakah yang mesti kita perbuat?

Sebelum kita membahas apa yang mesti kita perbuat, terlebih dahulu marilah kita melihat apakah yang semestinya TIDAK kita perbuat yakni memaksanya untuk menghadapi masalah sendirian. Memang, logikanya adalah kita membiasakannya menghadapi masalah sendirian agar ia tidak bergantung. Namun, biasanya tindakan ini malah memperparah masalah; ia malah bertambah kacau dan merasa ditinggalkan, dan ini akan menambah kepanikannya.

Yang harus kita perbuat adalah membimbingnya langkah demi langkah agar ia tahu bagaimana caranya menghadapi masalah. Pertama, bimbinglah ia untuk MENGENALI masalah sebelum masalah datang. Makin cepat dan tepat kita melihat masalah, makin memadai waktu dan persiapan untuk menghadapinya. Buat orang yang mudah stres, pelajaran ini penting sebab pada umumnya ia selalu mengeluh ia tidak siap menghadapi masalah.

Kedua, bimbinglah dia untuk memahami masalah dari BEBERAPA SUDUT agar ia pun dapat mencarikan solusinya dari pelbagai sudut. Kebanyakan orang yang mudah stres memahami masalah dari satu sudut sehingga melihat solusinya dari satu jalan pula. Sewaktu jalan itu buntu, maka paniklah ia. Itu sebab penting baginya memahami masalah dari pelbagai sudut. Ketiga, bimbinglah dia untuk berpegang pada prinsip bahwa tugasnya hanyalah melakukan BAGIANNYA. Walaupun ia ingin, tidak selalu ia dapat mengerjakan bagian orang lain atau bagian yang berada di luar jangkauannya. Jadi, bimbinglah dia untuk melihat porsi yang mesti dikerjakannya dan doronglah dia untuk melakukan bagiannya sebaik mungkin. Ingatkan bahwa masih ada Tuhan di dalam hidup ini dan bahwa Ia berkuasa. Jadi, bimbinglah dia untuk berserah dan mempercayakan hidup ini kepada Tuhan. Bawalah dia ke Amsal 3:5, "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri."