Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan lanjutan dari rangkaian pembicaraan kami terdahulu dengan suatu tema besar yaitu Berawal dari Satu. Kali ini kami akan membicarakan tentang "Pasangan yang Menyiksa". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita sudah membahas setidaknya 4 topik tentang "Berawal dari Satu", jadi ada pasangan-pasangan yang punya emosi tinggi dan ini menjadi masalah, kemudian ada yang tidak berfungsi dengan efektif, ada juga yang jauh secara emosional dan yang terakhir yang sudah pernah kita bahas adalah pasangan yang tuntutannya terhadap uang dan waktu begitu tingginya dan ini sangat mengganggu hubungan pernikahan. Sekarang pada kesempatan ini kita akan bicara tentang pasangan yang menyiksa, namun sebelum kita lebih jauh bicara tentang pasangan yang menyiksa mungkin Pak Paul bisa menguraikan sedikit apa yang kita bicarakan.
PG : Biasanya kita beranggapan bila ada masalah rumah tangga, pastilah keduanya punya salah tapi pada kenyataannya seringkali masalah rumah tangga itu berawal dari satu orang atau dari satu pihak. Jadi selama ini kita telah membahas apa yang biasanya menjadi masalah yang ditimbulkan oleh satu pihak sehingga akhirnya memengaruhi relasi pernikahan itu. Pada saat ini kita akan membahas bagian yang kelima yaitu pasangan yang menyiksa. Pointnya adalah kalau ada satu orang dalam pernikahan memunyai kesenangan untuk menyiksa orang, tidak bisa tidak masalah dalam rumah tangga ini akan berkembang dengan serius.
GS : Mungkin orangnya tidak senang untuk menyiksa tapi menjadi suatu kebiasaan bahkan mungkin suatu kebutuhan ya, Pak Paul, dia perlu menyiksa orang lain.
PG : Saya pertama-tama mau menjelaskan bahwa sebagai manusia berdosa dalam kemarahan kita sanggup melakukan hal-hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya seperti memukul atau melukai orang. Namun pada dasarnya kita bukanlah orang yang seperti itu, kita tidak mau dan tidak suka melukai orang, sebaliknya kita justru ingin menyenangkan hati orang. Kita tidak membicarakan orang yang karena emosi, karena apa akhirnya marah, memukul atau apa, kita tidak membicarakan orang yang seperti itu. Yang kita bicarakan adalah orang yang senang menyiksa terutama orang yang dekat dengannya. Orang ini mendapatkan kepuasan bila ia membuat orang sakit, singkat kata ia menyiksa karena ia menikmatinya. Memang tidak banyak orang seperti ini tetapi ada. Bila kita menikah dengannya kita pasti menderita di tangannya, Pak Gunawan.
GS : Orang yang punya kesukaan seperti yang Pak Paul katakan, menyiksa orang lain merupakan orang yang berpenyakit kejiwaan, apa ini, Pak Paul?
PG : Memang kita bisa berkata orang ini sakit, sebab perilaku ini bukan perilaku yang wajar sebetulnya tadi saya sudah singgung kita tidak suka menyakiti orang apalagi menyiksa orang. Tapi orang ini bisa menikmati menyiksa orang, mungkin kita bertanya apakah penyebabnya sehingga ia senang menyakiti orang. Hampir dapat dipastikan orang yang senang menyiksa sesamanya adalah orang yang sebenarnya tersiksa, Pak Gunawan. Sewaktu kecil ia kerap mendengar dan menyaksikan teriakan sakit akibat perbuatan ayah atau ibunya terhadap satu sama lain, akhirnya pertumbuhan jiwanya terganggu sebagai dampak dari kekerasan yang terjadi di keluarganya. Berawal dari ketakutan yang amat sangat karena waktu orang tuanya berkelahi misalnya ayahnya memukuli si ibu, si ibu berteriak-teriak kesakitan, dia pasti ketakutan. Berawal dari ketakutan akhirnya ia mengembangkan reaksi kompensasi untuk mengatasi rasa takutnya, artinya ia harus melindungi diri supaya dia jiwanya tidak terlalu tergoncang. Yang sering terjadi adalah ia bertumbuh menjadi sama seperti orangtua yang berperan sebagai pelaku kekerasan dalam hidupnya. Mungkin orangtuanya bukan tipe penyiksa, mungkin. Sebenarnya orangtuanya menggunakan kekerasan sebagai pertahanan akhir, bukan pertahanan awal untuk menyelesaikan konflik. Namun karena kekerasan terlalu sering terjadi akhirnya si anak mengembangkan perisai untuk melindungi dirinya dari kekerasan yang disaksikannya. Perisai itu adalah ketumpulan nurani dan perasaan, jadi begitu tumpulnya sampai-sampai ia sulit merasakan apa pun. Ibarat telinga yang tuli untuk mendengar ia harus meningkatkan volume sekeras mungkin. Untuk merasakan sesuatu ia pun harus membuat orang mengeluarkan reaksi sekeras mungkin seperti kesakitan dan ketakutan lewat penyiksaan. Perisainya seolah-olah ia menumpulkan atau mematikan perasaannya, sehingga ia tidak bisa lagi merasakan tapi manusia butuh merasakan. Untuk dia bisa merasakan dia harus melakukan sesuatu supaya orang berteriak atau apa, sehingga ia merasakan sesuatu. Yang dia pelajari dari rumah waktu dia masih tinggal di rumah, orangtuanya berkelahi, satu berteriak, satu memukul. Jadi yang dia pelajari dari rumah adalah teriakan kesakitan, maka pada waktu ia dewasa untuk dia bisa merasakan sesuatu dia harus menyiksa orang sehingga orang berteriak kesakitan sehingga ia bisa tiba-tiba bisa merasakan lagi.
GS : Apakah itu yang disebut sadis, Pak Paul?
PG : Betul, memang orang seperti ini sadis, Pak Gunawan, karena bukan saja perasaannya tidak berfungsi tapi juga hati nuraninya. Harusnya kita merasa kasihan melihat orang disakiti, tapi dia tidak memunyai hati nurani tersebut. Kenapa? Nah tadi yang telah kita bahas, dia harus mengembangkan perisai didalam ketegangan yang dialaminya di rumahnya dulu, sebab kalau dia membiarkan perasaannya apa adanya, mendengarkan ibunya berteriak-teriak kesakitan dipukuli oleh ayahnya, wah dia bisa hancur. Jadi dia harus tumpulkan nuraninya, dia tidak bisa memberikan ijin kepada dirinya untuk berbelas kasihan. Ibunya sedang disiksa oleh ayahnya, nurani yang ditumpulkan supaya tidak merasa kasihan lama-lama benar-benar mati.
GS : Obyeknya biasanya sesuatu yang hidup, Pak Paul. Ada orang yang saya tahu terhadap binatang, jadi dia melihat binatang apa pun tidak dibunuh tapi disiksa sampai binatang itu teriak-teriak seperti itu.
PG : Sebab dengan dia menyaksikan, melihat reaksi baik itu hewan maupun orang yang kesakitan sepertinya ia digugah perasaannya jadi hidup lagi. Itu yang membuat dia merasa senang atau puas.
GS : Tapi pasangannya walaupun bukan menjadi korban langsung, itu juga menjadi korban karena pasangannya tidak tahan melihat pasangan yang satu ini melakukan penyiksaan terhadap hewan atau bahkan terhadap anaknya. Bisa ya terhadap anak dan sebagainya?
PG : Bisa, bisa. Biasanya kalau dia sudah melakukannya misalkan kepada istrinya, tinggal tunggu waktu ia akan berbuat itu kepada anak-anaknya.
GS : Tapi ada juga yang pertamanya justru kepada anak. Jadi anaknya yang jadi korbannya, atau ia agak merasa enggan terhadap istrinya saya tidak tahu.
PG : Bisa jadi, kalau dia memang merasa tidak bisa menguasai si istri, yang bisa dikuasainya anak, ya anak yang menjadi korbannya.
GS : Dan yang jadi pembela tentu saja istrinya. Jadi apa yang harus kita perbuat, Pak Paul?
PG : Kita harus mengerti bahwa orang ini, Pak Gunawan, menyimpan banyak kemarahan terhadap kekerasan yang dialaminya pada masa kecil sehingga penyiksaan merupakan ungkapan kemarahan yang seharusnya ditujukan kepada orang tua yang menyiksa itu, tapi oleh karena dia tidak pernah membereskannya maka kemarahan itu terus bersarang di hatinya dan setiap kali dia marah apalagi bila persoalannya memiliki kesamaan dengan masalah orang tuanya dulu, kemarahan akan keluar sebagai ledakan yang disusul dengan penyiksaan. Tidak bisa tidak, Pak Gunawan, kalau kita hidup serumah dengannya, kekerasan akan mewarnai hidup kita pula. Posisi kita serba sulit, jika kita melawan kita akan menjadi korban yang lebih parah sebaliknya bila kita membiarkan dia akan terus merajalela dan anak-anak pun seringkali harus menjadi korban dan tidak jarang akhirnya menjadi penerus siklus penyiksaan itu. Anak kita sudah dewasa, menikah, dia melanjutkan apa yang dilakukan oleh ayahnya.
GS : Tapi orang seperti ini 'kan sulit kalau diberitahu atau dilarang malah menjadi-jadi, Pak Paul. Jadi apa yang dapat kita lakukan?
PG : Pada hakikinya respons kita bergantung pada pasangan yang menyiksa itu, jika ia menyesali perbuatannya dan menunjukkan pertobatannya dengan cara berusaha sekeras mungkin untuk tidak mengulangi perbuatannya, ada pengharapan bagi rumah tangga kita. Sebaliknya jika ia tidak menyesali perbuatannya tapi malah terus menyalahkan kita sebagai penyebab mengapa ia marah dan menggunakan kekerasan maka tidak ada pengharapan bagi rumah tangga kita. Langkah terbaik dan terbijak adalah berpisah dengannya. Jadi ada orang-orang yang memang bukannya sadar, bukannya mengaku saya punya masalah, menyalahkan, kamu yang membuat saya marah. Kalau kamu tidak membuat saya marah, saya tidak akan marah dan kalau saya tidak marah maka saya tidak akan menyiksa kamu seperti itu. Nah, kalau orang memang bersikap seperti itu berarti ini tidak ada lagi harapan, dia tidak ada pertobatan, tidak ada penyesalan, dia akan lakukan ini terus. Jadi kita sebaiknya, menurut saya, sudah tinggalkan. Kita berpisah bukan saja untuk melindungi diri sendiri tapi juga anak-anak. Bukan saja untuk melindungi anak-anak dari kekerasan orangtuanya tapi juga untuk melindungi anak-anak dari kemungkinan mereka menjadi seperti orangtuanya atau dalam hal ini ayahnya. Kita mau mengambil langkah yang tidak mudah, tapi tujuannya karena kita tidak mau anak-anak kita menjadi korban dan kita tidak mau anak-anak kita menjadi penerus perilaku yang buruk ini. Kalau dia melihat orangtuanya begitu kemungkinan besar ia akan teruskan. Tapi saya mau berkata, berpisah bukan keputusan yang mudah, ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan masak-masak. Saya juga mau mengingatkan perpisahan menyelesaikan satu masalah tapi juga menciptakan masalah lain, jadi sekali lagi kita harus memerhatikan segala resiko yang mesti ditanggung, kita harus siap. Tapi kalau tidak ada jalan lain, pasangan kita tidak menyesali perbuatan, tidak mau bertobat, langkah paling baik adalah memang memisahkan diri agar kita bisa melindungi diri dan anak-anak kita.
GS : Atau sekarang bisa dilaporkan kepada yang berwajib, Pak Paul. Karena ada perlindungan terhadap orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
PG : Betul, kalau dia bisa laporkan ya laporkan sebab kalau dia laporkan ini memberikan efek jera, tapi juga saya tahu ada yang memang tidak jera malah dia bisa lebih mengamuk, dia bisa terus memukul, mengancam, membunuh dan sebagainya. Ada yang memang seperti itu. Kita mesti tahu juga seperti apa pasangan kita, tapi tentu baik kita melaporkan kepada pihak berwajib dan mudah-mudahan dia takut dan tidak mengulanginya lagi.
GS : Katakan dia dipenjara, itu 'kan otomatis kita terpisah untuk beberapa saat dan disana dia mungkin mendapat perawatan atau rehabilitasi atau bagaimana, Pak Paul?
PG : Mudah-mudahan saja waktu dipenjara ia sadar, tapi kalau dia tidak sadar memang kalau dia berbahaya sekali, dia keluar dari penjara, ia bisa membahayakan jiwa kita. Kita tahu juga akhirnya ada korban berjatuhan di tangan orang-orang seperti ini. Orang-orang seperti ini hati nuraninya sudah tumpul, perasaannya sudah tumpul sanggup berbuat segala hal yang kejam.
GS : Bagaimana kalau pasangan itu suatu saat menyesal dan bertobat ingin berubah? Lalu kita bagaimana, Pak Paul?
PG : Kalau dia memang menyesal dan ingin berubah, kita harus tinggal dan tidak berpisah dengannya. Nah, yang perlu kita sadari adalah mulai dari titik penyesalan sampai ke titik perubahan biasanya diperlukan waktu yang tidak singkat, proses ini pun tidak mulus dan kadang ditandai oleh penyiksaan. Meskipun ia sudah berjanji tidak, tapi waktu dia coba coba coba, bisa jadi dia gagal, dia jatuh lagi, dia pukul kita lagi. Nah ini bagian yang harus kita sadari, dari titik penyesalan sampai titik pertobatan atau perubahan diperlukan waktu yang panjang dan kita juga kadang harus menanggung kemungkinan kita jadi korban dia lagi.
GS : Selama proses itu berlangsung apa sebenarnya yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
PG : Ada beberapa, yang pertama sudah tentu kita mesti mengintrospeksi diri bila ada perbuatan atau perkataan kita yang menyakiti hatinya. Jika ada minta maaf kepadanya, dengan meminta maaf kita pun memerlihatkan kepadanya sebuah gaya kehidupan yang baik dan berkenan kepada Tuhan. Salah ya minta maaf, mudah-mudahan ia mencontoh teladan yang kita berikan. Saya tidak menyalahkan orang yang menjadi korban, orang mungkin berpikir, aduh sudah jadi korban kok saya yang harus introspeksi, tapi inilah prinsip rohani yang Tuhan berikan kepada kita. Nomor satu yang mesti kira soroti diri sendiri dulu. Lihat dulu, apakah ada bagian kita, andil kita, kesalahan kita, perkataan kita mungkin yang kurang tepat. Kalau ada, sekecil apa pun akui dan minta maaf. Ini yang Tuhan minta dari kita.
GS : Ya memang kalau kita mau merubah seseorang, kita sendiri dulu yang harus terlebih dahulu berubah, begitu Pak Paul ya.
PG : Betul, betul.
GS : Orang-orang seperti itu sulit sekali untuk mengintrospeksi dirinya.
PG : Betul, dengan kita mengintrospeksi, meminta maaf, kita sebetulnya sedang mencontohkan sebuah gaya kehidupan yang baik, yang berkenan kepada Tuhan. Mudah-mudahan ia melihat dan akhirnya tergerak untuk mengikuti kehidupan yang seperti ini.
GS : Contoh yang konkret seperti itu mungkin lebih mudah dibaca ketimbang kita memarahi dia atau menasehati dia atau memanggil orang lain untuk menasehati dia, rasanya lebih efektif kalau kita berubah di depan matanya sendiri.
PG : Betul, betul.
GS : Selain itu apa, Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah mintalah ia untuk mendaftarkan situasi atau perbuatan dan perkataan kita yang dapat memicu reaksi kekerasannya.
Daftar ini dapat menolong kita mengenali pemicu dan menghindar dari reaksi tak terkendalinya. Waktu dia beritahukan kita, "Ya waktu kamu begini, waktu kamu begitu, saya biasanya kalap, tidak bisa lagi kendalikan diri". Nah, kita catat, kita minta dia catat hal-hal apa saja. Dengan ada daftar itu kita jadi mengetahui yang mana yang jangan kita katakan atau kita lakukan. Itu menolong kita menghindar dari pemukulan atau penyiksaannya. Namun yang lain yang juga baik, dengan meminta dia mendaftarkannya, kita mulai memberikan kepadanya tanggungjawab terhadap perilakunya. Kalau sebelumnya mungkin dia menyalahkan kita tapi sekarang dengan dia mendaftarkan perilaku-perilaku apa yang memang memicu, berarti kalau sampai lain kali dia marah dan memukul kita atas dasar yang tidak dia tulis, berarti yang salah dia. Kita memang mulai melimpahkan tanggungjawab itu kepadanya sebab dialah yang harus bertanggungjawab atas perbuatannya itu. Nah dengan kita meminta dia mendaftarkan itu, dia seolah-olah yang bertanggungjawab kalau sampai ada apa-apa lagi, salah saya, saya yang tidak menuliskan apa yang kamu perbuat yang bisa membuat saya marah.
GS : Tapi biasanya tidak mau, orang-orang seperti ini disuruh membuat daftar seperti itu tidak mau, dia bilang, "Kamu 'kan tahu apa yang menyebabkan saya marah. Kamu 'kan serumah dengan saya".
PG : Nah, kalau dia mengatakan seperti itu, ok kita kerjasama kita tulis sama-sama. Kalau dia tidak mau, dia bilang "Ya terserah kamu". Dia bisa simpulkan dia memang tidak siap bertobat, dia belum siap bertobat berarti lain kali dia akan mengulangnya lagi. Kita putuskan kita mau menanggung resiko itu atau tidak, kalau kita tidak mau menanggung resiko itu menurut saya lebih baik kita tinggalkan.
GS : Dan itu bisa menimbulkan kemarahan lagi kalau kita katakan akan ditinggalkan, dia akan marah luar biasa itu, Pak Paul.
PG : Ini point yang bagus, Pak Gunawan, jadi kalau kita tahu dia akan marah dan bisa melukai kita, nah sudah tentu kita tidak bisa tinggalkan begitu saja di depan mata dia, dia mungkin bisa kalap. Kita harus atur dimana kita bisa pergi walaupun ia ada disana tapi kita aman karena ada orang-orang yang bisa melindungi kita atau kita pergi sewaktu dia tidak ada di rumah.
GS : Ditinggalkan diam-diam, begitu ya. Masih ada yang lain, Pak Paul yang bisa kita kerjakan?
PG : Ajaklah pasangan untuk bekerjasama yaitu manakala dorongan untuk menyiksa timbul, mohon beritahukan kita supaya kita dapat menghindar darinya. Jika ia masih sanggup menguasai dirinya, mintalah agar dia berupaya untuk mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang lain misalkan dengan membicarakannya. Kita beritahu dia tolong waktu kamu tiba-tiba marah dan ingin menyiksa saya atau apa, beritahukan supaya saya bisa menghindar. Atau kalau kamu masih bisa bicara dengan saya, coba beritahu saya apa yang membuat kamu marah sehingga kamu belajar mengutarakan kemarahan kamu dengan cara yang lain, bukan dengan cara pemukulan atau penyiksaan.
GS : Tapi untuk melampiaskan kemarahan dia perlu obyek dan obyeknya kita biasanya, pasangannya, Pak Paul. Kalau pasangannya mau menghindar, tentu dia akan menghalang-halangi. Dia 'kan kehilangan obyek.
PG : Betul, memang ini harus dia lawan, dorongan untuk melampiaskan kuat sekali tapi karena dia sudah berkata dia mau berubah, dia tidak mau lagi menyiksa kita berarti dia harus melawannya, dia tidak bisa begitu saja menyerah. Dengan kita juga menyuruhnya untuk memberitahu kita waktu dia marah dan sebagainya, memberitahukan kita apa yang membuatnya marah jadi mengungkapkan secara perkataan bukan dengan kekerasan sebetulnya sekali lagi kita sedang melimpahkan tanggungjawab itu kepadanya. Karena orang-orang ini biasanya tetap menyalahkan kita sebagai penyebab kenapa dia memukuli kita, menyiksa kita. Dengan kita meminta dia mulai mengkomunikasikan, dia belajar bertanggungjawab atas perbuatannya, reaksinya dan dia juga belajar menguasai dirinya. Jadi pada waktu kita minta dia beritahu kita kapan dia mau marah, dia belajar menguasai, kalau tidak dia tidak pernah belajar mengendalikan dirinya.
GS : Selama ini nafsu itu yang lebih menguasai dia daripada dia yang menguasai nafsunya atau keinginan marahnya itu, Pak Paul.
PG : Betul, jadi waktu kita minta dia berkomunikasi dengan kita sewaktu dia marah, dia belajar mengendalikan dirinya.
GS : Yang lain apa, Pak Paul?
PG : Buatlah sebuah mekanisme penyelamatan untuk diterapkan sewaktu ia lepas kendali. Misalkan dengan berteriak memanggil nama Yesus, kita tahu bahwa ada kuasa didalam nama Yesus, jadi berteriaklah memanggil nama Yesus untuk menyadarkannya. Kita mesti siap dengan kemungkinan suatu hari dia lepas kendali, tidak lagi bisa menguasai dirinya. Di titik itu kita lakukan, jadi kita bicara dengan dia baik-baik. Kita berkata bagaimana pada waktu itu terjadi saya berteriak sekeras mungkin memanggil nama Yesus dan meminta Yesus yang menguasai dirimu. Kalau dia bilang Oke kita lakukan itu. Waktu dia marah, tidak terkendali lagi, kita langsung berteriak panggil nama Yesus supaya Yesus yang nanti menghentikannya.
GS : Yang berteriak itu yang marah, Pak Paul?
PG : Tidak, bukan, kita yang mengingatkan. Karena dia sedang marah, mata gelap, dia tidak bisa ingat untuk memanggil nama Yesus. Jadi kitalah yang memanggil nama Yesus sebab kita percaya ada kuasa dalam nama Yesus.
GS : Dan begitu dia mendengar nama itu, mungkin agak reda.
PG : Ya, ya.
GS : Itu yang kita harapkan dengan menyebut nama Tuhan Yesus tadi.
PG : Betul, betul.
GS : Itu mengalihkan atau bagaimana, Pak Paul?
PG : Itu mengalihkan sekaligus juga mendorong dia untuk memanggil nama Yesus lain kali. Waktu dia dikuasai oleh kemarahan yang begitu besar kita mulai mengarahkannya untuk menengadah ke atas memanggil nama Tuhan untuk menolongnya.
GS : Jadi dia juga diajari untuk melakukan hal yang sama, begitu Pak Paul. Begitu dia merasa tensinya naik, dia harus kesana.
PG : Betul, betul.
GS : Masih ada lagi, Pak Paul?
PG : Yang terakhir adalah kita harus berdoa bersamanya di pagi hari dan di malam hari. Baca Firman Tuhan bersamanya dan hafalkan ayat yang dapat menjadi pemandu hidupnya untuk hari itu, jadi di pagi hari kita ajak dia berdoa, kita baca firman Tuhan, minta hafalkan satu ayat itu. Terus dia renungkan ayat itu sehingga seharian ayat itu menjadi ayat yang mengenai pikirannya sehingga kalau dia sampai marah atau apa mungkin saja dia teringat akan firman Tuhan itu.
GS : Apakah ayat-ayat itu perlu kita siapkan lebih dahulu atau dipilih-pilih atau memang rutin saja?
PG : Ya, baca rutin saja, biasa saja.
GS : Saling mengingatkan, begitu Pak Paul. Itu dilakukan kalau memang dia sedang tidak marah.
PG : Karena itu pagi hari, dia bangun tidur kita berdoa sama-sama kemudian membaca firman Tuhan.
GS : Jadi harus diluangkan waktu untuk itu, membaca bersama berdoa bersama.
PG : Betul, kita harus datang kepada Tuhan memohon kekuatan-Nya.
GS : Seberapa pun beratnya pasangan kita, dia yang suka menyiksa sebenarnya masih ada harapan untuk dia bertobat dan diperbarui di dalam Tuhan Yesus. Apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Mazmur 112:4 berkata, "Didalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang adil". Tuhan tidak meminta banyak Ia hanya meminta kita untuk mau menjadi orang benar dan orang benar adalah orang yang adil. Untuk dapat keluar dari cengkeraman kekerasan bagi si pelaku kekerasan, ingat, bersikaplah adil. Adil artinya kalau orang tidak layak menerimanya, jangan kita lakukan. Kalau kita tidak mau menerimanya juga, jangan lakukan kepada orang lain. Bersikaplah adil, orang yang mulai bersikap adil maka akan melihat terang terbit dari kegelapan hatinya.
GS : Jadi dari dua belah pihak ini, baik yang suka menyiksa maupun yang tersiksa sebenarnya harus bersikap adil karena biasanya korban ini agak melebih-lebihkan akibat dari penyiksaan pasangannya.
Terima kasih, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan yang Menyiksa". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.