Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Pasangan Muda Di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, karena ini perbincangan yang kedua, mungkin Pak Paul bisa menguraikan secara singkat apa yang kita perbincangkan pada bagian yang pertama tentang "Pasangan Muda Di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan".
PG : Pada dasarnya kita mengakui tuntutan pada pasangan muda itu sangat besar. Tuntutan waktu, dari pekerjaan dituntut sekali, dari pelayanan juga dituntut dan dari keluarga juga dituntut, jadi pasangan muda harus bijak dalam mengatur waktu. Namun pembahasan yang lalu kita menyimpulkan bahwa pada saat anak-anak masih kecil fokus utama mereka seharusnya adalah keluarga. Jadi meskipun ada resiko gara-gara mereka mau memberi perhatian yang lebih banyak kepada keluarga mereka tidak bisa naik tingkat jenjang karier, tetap saya sarankan tidak apa-apa, terima saja dan beranilah untuk menolak pelayanan sebab tidak berarti itu salah. Pelayanan itu bukanlah Tuhan tapi aktifitas untuk melayani Tuhan. Kalau memang kita tahu kita tidak seharusnya pergi-pergi terlalu sering keluar rumah, anak-anak ditinggal, lebih baik kita tolak. Meskipun orang akan berkata mengapa kamu tidak mau pelayanan dan sebagainya, karena ada hal yang lebih penting.
GS : Jadi ketiga hal itu baik pekerjaan, pelayanan maupun keluarga bagi kehidupan seseorang menjadi suatu tantangan sekaligus tekanan bagaimana ia dapat mengatasi masalah ini dengan baik. Pada bagian yang kedua ini apa yang Pak Paul ingin sampaikan?
PG : Kita akan melihat dengan lebih seksama alasan dibalik mengapa selayaknyalah kita mengutamakan keluarga di atas pekerjaan dan pelayanan. Kita pun akan membahas secara lebih konkret bagaimana menerapkannya. Ada 4 masukan yang ingin saya bagikan:
Pertama, jangan merasa bersalah sewaktu kita tidak menempatkan pelayanan di atas pekerjaan dan keluarga. Ingatlah walaupun pelayanan adalah untuk Tuhan, pelayanan bukanlah Tuhan. Pada dasarnya pelayanan adalah aktifitas yang kita lakukan untuk Tuhan. Jika kita setuju dengan pengertian ini, maka kita dapat mengatakan bahwa sama seperti pelayanan, pekerjaan dan keluarga juga dapat untuk Tuhan. Kolose 3:23 menegaskan, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia". Dari ayat ini dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya apapun, pekerjaan, pelayanan atau keluarga bisa menjadi persembahan kita kepada Tuhan. Menurut saya inilah paradigma atau cara pandang yang tepat yaitu melihat apa pun yang kita lakukan sebagai persembahan untuk Tuhan. Cara pandang yang menyamakan pelayanan dengan Tuhan sendiri atau satu-satunya wujud persembahan untuk Tuhan tidaklah tepat. Cara pandang yang tidak tepat inilah yang dengan mudah dapat membuat kita merasa bersalah bila kita tidak mengutamakan pelayanan di atas segalanya.
GS : Tapi ayat ini seringkali digunakan untuk menghindari panggilan pelayanan, saya tetap melakukan pekerjaan saya di kantor atau di tempat kerja seperti untuk melayani Tuhan. Ini saya sudah melayani Tuhan padahal sebenarnya ia bekerja juga asal-asalan, akhirnya untuk berdalih saja menghindari diri dari tuntutan pelayanan yang sebenarnya, ini bagaimana ?
PG : Akhirnya terpulang pada diri sendiri, Pak Gunawan. Kita yang masih menyadari motif kita waktu menolak pelayanan, sebab ada orang yang memang menolak pelayanan karena malas, karena tidak mau memberikan waktu tambahan dan karena hanya memikirkan diri sendiri, ada. Terus kemudian memakai ayat firman Tuhan untuk membenarkan sikapnya itu. Kita mesti mengenal diri kita dengan baik. Saya berharap kita bisa mengerti apa motif kita. Kalau memang motif kita jelas bukan menolak, bukan tidak mau melayani Tuhan tapi benar-benar tidak sanggup tuntutan kita terlalu berat. Kita harus berikan waktu untuk keluarga kita, saya kira tidak apa-apa. Tuhan juga akan mengerti, Tuhan tidak akan marah karena kita menolak untuk terlibat dalam gereja.
GS : Seperti itu tadi di keluarga, Pak Paul, waktu anak-anak masih kecil kita ditawari pelayanan, kita seringkali berkata, "Itu anak-anakku masih kecil, mereka membutuhkan aku". Nanti ketika anak-anak mulai agak besar, tetap alasan ini yang digunakan, bahkan sampai selesai kuliah pun kita tetap mengatakan, "Anak-anak masih membutuhkan biaya dan saya masih harus bekerja untuk itu" sehingga saya tidak bisa pelayanan. Hal ini yang seringkali gereja itu memberikan tekanan yang kuat supaya jemaat mau melayani, karena kapan pun dia selalu punya alasan untuk tidak melayani.
PG : Betul, jadi perlu keseimbangan tapi sekali lagi terpulang pada diri sendiri. Kita mesti mengetahui apa motif yang tersembunyi. Apabila motif kita kurang baik sudah Tuhan tahu, kita akan bisa menolak. Apa yang orang minta kita melakukan ini dan itu, kita selalu ada saja dalih untuk berkata "Tidak bisa". Kita memang harus menguji motif kita, jangan sampai akhirnya motif karena ingin egois tidak mau susah, tidak mau repot itu yang menjadi pendorong mengapa kita menolak pelayanan.
GS : Pelayanan itu sebenarnya suatu ucapan syukur dari kita, jadi kalau memang seseorang tidak merasakan sesuatu yang mendasar untuk dia bersyukur, memang sulit untuk terlibat dalam pelayanan. Alasannya pasti ada saja.
PG : Kita juga mesti menyadari bahwa pelayanan mengharuskan kita untuk berkorban sedikit banyak kita mesti berkorban. Tidak ada yang sama sekali tidak berkorban. Nilai dari pelayanan itu bergantung sekali pada berapa besarnya kita berkorban, namun kita juga harus menjaga, memagari keluarga kita jangan sampai yang menjadi korban adalah anak-anak kita.
GS : Yang kedua apa, Pak Paul ?
PG : Masukan saya yang kedua yang ingin saya bagikan adalah, kita mesti siap membayar harga tatkala menetapkan keluarga di atas pekerjaan. Sebagaimana telah dibahas untuk dapat naik tangga karier kita mesti bersedia menyediakan lebih banyak waktu, kita akan harus lebih pulang lebih malam dan tidak jarang malah tidak pulang karena harus travel keluar kota. Bila kita tidak bersedia melakukannya maka kita harus siap menanggung resiko yaitu karier kita akan mandeg. Jika kita setuju pada masa anak kecil kita harus mengutamakan keluarga di atas pekerjaan dan pelayanan, maka selayaknyalah kita bersedia untuk melepaskan kesempatan naik tangga karier pula. Singkat kata, selama kebutuhan keluarga terpenuhi kita rela untuk tidak naik pangkat sampai nanti waktunya lebih mengijinkan. Sudah tentu memang pilihan ini mengharuskan kita, suami dan istri, sehati sepikir dan ini tidak mudah. Kerapkali ini menjadi sumber pertikaian. Mungkin kita bersedia melepaskan kesempatan naik tangga karier tapi pasangan tidak bersedia, atau sebaliknya kita tidak bersedia melepaskan kesempatan naik tangga karier sedangkan pasangan bersedia dan terus mendesak kita untuk melakukannya. Langkah pertama kita mesti sepakat terlebih dahulu, suami istri. Bila kita tidak sampai pada kesepakatan ada baiknya kita mencari pertolongan dari seorang hamba Tuhan atau seorang konselor. Kalau kita bertanya, apa penyebabnya sulit untuk menyelaraskan pendapat. Adalah karena seringkali kita berbeda pandang akan apa yang menjadi kebutuhan. Mungkin untuk kita yang bersedia melepaskan kesempatan naik tangga karier, menyekolahkan anak di sekolah biasa yang tidak ternama tidak apa-apa, namun bagi pasangan itu adalah suatu kesalahan. Mungkin baginya kewajiban orangtua adalah memberikan yang terbaik kepada anak dan menyekolahkan anak di sekolah yang ternama yang biasanya bermutu baik adalah bagian dari memberi yang terbaik kepada anak. Atau bagi pasangan tidak apa kita tinggal di rumah yang kecil dan hidup irit asal masih berkecukupan sedangkan bagi kita tidak ada salahnya beli rumah yang lebih besar supaya kita lebih dapat menikmati hidup. Jadi kita bisa lihat disini, Pak Gunawan, tidak mudah menyatukan pandangan. Apa yang harus kita perbuat bila kita tidak berhasil mencapai kesepakatan. Saya sarankan pada akhirnya salah satu pihak mesti mengalah namun secara berkala masalah ini mesti diangkat kembali. Dengan perkataan lain, kita setuju untuk mengikuti kehendak pasangan dengan catatan masalah ini dikaji ulang, misalkan dalam waktu setahun sepanjang waktu itu dengan hati terbuka kita terus berdoa meminta pimpinan Roh Kudus.
GS : Saya rasa hal-hal seperti ini sebenarnya harus dibicarakan sebelum mereka terikat dalam pernikahan, kemungkinan-kemungkinan itu kita sudah tahu ada, sebenarnya diungkapkan saja sebelum pernikahan. Disitu sudah tidak sepakat rasanya agak sulit, kalau sudah menikah sampai mencapai kesepakatan, karena masing-masing sudah terikat.
PG : Memang sebaiknya ini dibicarakan sebelum menikah sehingga kalau kita tahu kita begitu berbeda, ya jangan diteruskan daripada diteruskan akhirnya terus-menerus tidak sepakat akhirnya konflik, muncullah ketidakpuasan. Jadi betul sekali, tapi kita bisa memaklumi seringkali orang pada masa berpacaran berpikir secara praktis dan gampang.
GS : Nanti bisa diselesaikan setelah mereka menikah, padahal setelah menikah masalahnya bertambah besar.
PG : Betul, akhirnya tidak sampai pada kesepakatan. Memang tidak gampang, Pak Gunawan, sebab sekali lagi seringkali apa definisi kita tentang kebutuhan. Untuk pasangan ini kebutuhan untuk kita tidak, sebaliknya juga sama. Akhirnya yang satu rela tidak apa-apa tidak naik tangga karier, yang satu tidak terima. Belum lagi bila yang satu nanti berkata, "Kamu malas, kamu tidak ada sama sekali ambisi untuk meningkatkan taraf kehidupan", persoalan tambah rumit lagi. Padahal yang tidak mau naik tangga karier mau memilih keluarga di atas kariernya dulu. Tidak mudah kalau tidak ada kesepakatan disini.
GS : Terutama dengan teman-temannya, dia melihat suami dari temannya kariernya bisa meningkat cepat, lha ini suaminya pasif sekali dengan dalih mau memerhatikan keluarga padahal istri menuntut suami berkarier dengan lebih sungguh-sungguh lagi.
PG : Betul, betul, tidak mudah memang untuk bisa sehati sepikir menekankan keluarga di atas pekerjaan, sebab kita sadar cukup banyak orang yang akan memilih pekerjaan di atas keluarga. Satu hal lagi yang bisa saya tambahkan tentang pekerjaan ini adalah bila pada akhirnya kita sehati sepikir untuk rela kehilangan kesempatan naik tangga karier, kita mesti mengambil keputusan ini atas dasar iman, bahwa Tuhan akan tetap memelihara hidup kita dan bahwa Dia akan dapat menggantikan kehilangan itu. Pada waktunya Tuhan sanggup membuka pintu kesempatan dan memberikan kepada kita jauh melampaui harapan. Kita tahu bahwa keputusan ini benar dan bijak, bila kita memaksakan kehendak kalaupun kita terus naik tangga karier, keputusan ini akan merugikan bahkan mungkin menimbulkan bencana yang besar untuk keluarga di kemudian hari. Kadang kita berjumpa dengan orang yang menyesali keputusannya itu, Pak Gunawan. Mengapa dulu saya tidak menahan diri, mengapa saya terus saja menerima tantangan-tantangan di pekerjaan akhirnya saya melalaikan keluarga saya.
GS : Dan itu dampaknya luas sekali, Pak Paul. Bisa menghancurkan keluarga dan dia tidak bisa memerbaiki keputusan keliru yang pernah dia ambil di masa lalu itu, dia hanya bisa menyesalinya saja.
PG : Betul, betul, jadi memang tidak mudah. Tapi kalau akhirnya sepakat ya sudah kita terima, kita tidak bisa naik tangga karier, sementara ini hidup kita lebih pas pasan, tapi kita percayakan hidup kita pada Tuhan. Kita percaya Tuhan akan dapat memelihara kita meskipun kita hidup pas-pasan.
GS : Bukan hanya dibutuhkan kesehatian tetapi imannya harus sama dalam hal ini, mereka seiman, betul-betul berserah pada Tuhan dalam kehidupannya. Hal yang ketiga yang ingin Pak Paul sampaikan, apa Pak Paul ?
PG : Walau kita tidak dapat secara aktif terlibat dalam pelayanan gerejawi, kita tetap dapat terlibat dalam pelayanan di luar gereja yakni melayani sesama kita manusia misalnya kita dapat berkawan dengan rekan sepekerjaan dan lewat pertemanan ini Tuhan memakai kita untuk menjadi duta-Nya kepada mereka atau mungkin kita bisa menolong sanak saudara atau kerabat yang sedang mengalami masalah. Nah sebagaimana dapat kita lihat ada begitu banyak hal yang dapat kita lakukan di luar gereja untuk menjadi saluran berkat dan kasih karunia Yesus Tuhan kita. Pada saatnya bila anak-anak sudah lebih besar barulah kita mulai melibatkan diri dalam pelayanan gerejawi.
GS : Memang pelayanan yang bisa dilakukan pada saat-saat seperti itu adalah dukungan doa, dukungan dana tetapi untuk daya, untuk tenaga mungkin belum bisa kita lakukan secara maksimal. Bentuk pengorbanan itu harus nyata.
PG : Kita bukannya egois, sama sekali tidak mau berkorban, tapi kita memang mau menyeimbangkan dan membagi waktu dengan bijaksana. Itu sebab meskipun kita tidak bisa terlibat dalam pelayanan gerejawi, kita tetap terlibat dalam pelayanan di luar gereja dengan cara-cara yang tadi sudah saya singgung, berteman dengan rekan-rekan di tempat pekerjaan, berbincang dengan mereka siapa tahu Tuhan bukakan pintu mengenalkan mereka dengan kasih karunia Tuhan kita Yesus. Jadi lewat semua itu kita tetap sebetulnya melayani Tuhan.
GS : Ini Pak Paul, kita perlu terus-menerus memotivasi diri kita sendiri minta pelayanan yang Tuhan berikan. Kalau kita minta Tuhan bukakan pintu untuk saya bisa melayani, pasti Tuhan akan membukakan jalan, memberikan jalan kepada kita untuk pelayanan itu.
PG : Misalkan yang sederhana tapi juga sangat penting adalah mengantar jemput orang, ada orang tua yang tidak bisa lagi jalan sendiri, pergi sendiri. Kebetulan rumah kita tidak terlalu jauh, kita tawarkan kita jemput, kita antar pulang. Itu bentuk pelayanan kita juga, meskipun tidak terlalu banyak yang kita kerjakan tapi tetap itu hal yang penting dan baik.
GS : Jadi pengertian tentang pelayanan itu perlu kita sadari apa pelayanan itu. Apakah masih ada lagi yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Yang keempat dan terakhir sebagai pasangan muda kita perlu memupuk relasi pernikahan dan harus giat menghilangkan "hama" yang merusak relasi dan itu hanya dimungkinkan bila kita memberi waktu untuk keluarga. Relasi atau tepatnya keharmonisan menuntut waktu yang tidak sedikit. Kita tidak dapat membangun keharmonisan apalagi keintiman dalam waktu sekejap. Itu sebabnya kita harus menyediakan waktu yang cukup. Bila kita terlalu sibuk dalam pekerjaan dan pelayanan kita tidak akan dapat membangun relasi yang kokoh. Kita tidak boleh lupakan, Pak Gunawan, bahwa untuk bisa membangun keharmonisan dan keintiman sungguh-sungguh diperlukan waktu. Kalau kita harus memberikan waktu untuk hal-hal yang lain di luar, tidak bisa tidak kita tidak cukup waktu untuk membangun keharmonisan dan keintiman. Nantinya seringkali masalah muncul di kemudian hari karena kita tidak sempat membangun keharmonisan dan keintiman di awal-awal pernikahan kita. Waktu nanti muncul biasanya masalah sudah lebih berat. Selain itu ada satu hal lagi yang saya mau angkat yaitu pelayanan atau lebih tepatnya posisi dalam pelayanan akan menyulitkan kita menghadapi dan menyelesaikan masalah karena kita telanjur sudah dikenal sebagai pemimpin dalam pelayanan. Posisi sebagai pemimpin rohani dan dikenal sebagai orang yang rohani akan mengikat dan mengurangi kebebasan kita menjadi diri apa adanya. Dalam hal ini sebagai pasangan yang tidak sempurna, sebaliknya kita akan merasakan tuntutan untuk menjadi pasangan yang sempurna sebab kita tidak sempurna dan sebagai pasangan muda kita justru memunyai banyak pekerjaan rumah tapi karena sudah telanjur dikenal sebagai pimpinan, sebagai kepala ini kepala ini, jabatan-jabatan dalam pelayanan akhirnya kita tidak berani untuk terus terang, untuk berkata bahwa saya sebetulnya punya banyak tantangan dalam keluarga saya. Jadi kadang-kadang justru karena kita terlibat dan memunyai posisi dalam pelayanan justru menyulitkan kita untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Kita mau mencari hamba Tuhan untuk menceritakan masalah kita, kita malu karena kita merasa dia sudah percaya pada kita, dia sudah menyerahkan pelayanan pada kita karena dia menilai kita baik, walaupun kita tahu kita perlu bantuannya kita sedang ada masalah yang besar tapi karena sudah telanjur dianggap seperti itu, sebaik itu, akhirnya kita tidak berani bicara, Pak Gunawan, kita menyimpannya saja. Saya mau angkat hal ini untuk mengingatkan bahwa kalau kita belum siap dan kita terjun dalam pelayanan dan menempati posisi tertentu justru menambah sulitnya kita menyelesaikan masalah kita dalam rumah tangga.
GS : Seperti kita membangun jerat untuk kehancuran keluarga kita sendiri atau kadang-kadang ini dipakai oleh iblis untuk menghancurkan rumah tangga kita baik dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan. Kita diberi kesempatan maju terus, maju terus tapi kita lupa/lalai memerhatikan rumah tangga kita.
PG : Kita bisa mengerti betapa sulitnya bagi hamba Tuhan untuk mencari pertolongan kalau mereka memunyai masalah dalam rumah tangga. Sebetulnya mereka adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap masalah yang kita bahas ini, Pak Gunawan. Sebab memang kebanyakan mereka repot, waktu akhirnya tidak ada waktu untuk membangun keharmonisan dan keintiman akhirnya relasi mereka retak, mau mencari pertolongan pun sudah susah karena mereka sudah telanjur dikenal sebagai hamba Tuhan di gereja, sebagai Gembala Sidang atau apa.
GS : Hidup di dalam kondisi yang tidak riil, hanya demi nama baiknya atau demi posisinya lalu ia mengorbankan keluarganya.
PG : Memang tidak mudah, saya ulang dan ulang lagi, kalau memang kita tidak siap sebetulnya jangan dulu terlibat dalam pelayanan apalagi mengemban jabatan-jabatan dalam pelayanan itu. Kalau kita belum siap lebih baik jangan, supaya kita juga bisa lebih apa adanya. Kalau kita tidak punya jabatan-jabatan dalam pelayanan, kita misalnya belum siap, keluarga kita berada dalam masalah, kita dengan hati lapang berani minta pertolongan, mengaku bahwa kita memunyai masalah dan kita justru mendapatkan pertolongan yang kita butuhkan itu.
GS : Jabatan itu sendiri baik dalam pekerjaan atau dalam pelayanan itu sendiri telah menjadi beban bagi kita, tidak semua orang bisa tahan menyandang predikat seperti itu.
PG : Perlu bijaksana menilai kondisi kita, jujur dengan keadaan kita dan kemampuan kita meskipun tetap kita mesti berani berkorban untuk melayani Tuhan dan mesti jeli kondisi kita.
GS : Memang ini tantangan yang luar biasa terhadap pasangan-pasangan muda, Pak Paul, dimana idealisme mereka sangat tinggi, baik dalam bidang pekerjaan, pelayanan maupun keluarga, tapi kemampuan tidak semua orang mampu mencapai itu.
PG : Betul, betul. Ya jadi memang saya mau tekankan ada waktunya untuk segala sesuatu, Pak Gunawan.
GS : Apakah ada firman Tuhan yang Pak Paul mau sampaikan ?
PG : Sebagai orang muda kita terbiasa hidup di bawah dan dikejar target dan sebagai anak Tuhan kita juga tidak ingin hidup kita sia-sia. Itu sebab kita memutuskan untuk melakukan sebanyak-banyaknya. Pengkhotbah 3:1 mengingatkan, "Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya". Prioritas kita sebagai pasangan muda adalah memupuk yang di dalam, inilah masanya. Akan tiba waktunya untuk kita memupuk yang diluar, pekerjaan dan pelayanan kita. Kita mesti bersabar dan tidak boleh memaksakan diri, jangan sampai pekerjaan dan pelayanan terbangun tetapi keluarga terpuruk.
GS : Atau sebaliknya bisa juga terjadi, keluarga kita mungkin aman-aman saja, tapi pekerjaan dan pelayanan kita terbengkalai.
PG : Bisa, betul, ya kita memang harus bijaksana membagi waktu ini.
GS : Untuk mengetahui kapan masanya, perlu hikmat Tuhan. Karena tidak dengan sendirinya hal itu cocok. Kita merasa ini cocok, tapi belum tentu untuk Tuhan ini masa yang tepat. Ada kecenderungan untuk terburu-buru, terburu-buru untuk melakukan sesuatu, baik pelayanan, pekerjaan maupun dalam kehidupan berkeluarga.
PG : Kita harus menyadari kita tidak bisa melakukan semuanya dengan sama baik, tidak mungkin. Tidak mungkin kita melakukan pekerjaan kita, pelayanan kita dan keluarga kita sama baiknya, tidak mungkin. Kita mesti prioritaskan satu di atas yang lainnya, pada fase-fase tertentu dalam hidup kita.
GS : Terima kasih sekali, Pak Paul, untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan Muda di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.