Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pasangan Muda Di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan" Tema ini akan dibahas dalam dua bagian, kita akan mulai dengan bagian yang pertama saat ini. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang ada banyak masalah yang dihadapi oleh pasangan muda, pasangan yang baru menikah mungkin anaknya masih kecil, terutama membagi waktu, menghadapi pekerjaan dan pelayanan yang mungkin sebelum menikah mereka sudah terlibat dalam pelayanan. Ini bagaimana, Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Kebanyakan pasangan muda apalagi yang terlibat dalam kegiatan pelayanan akan menghadapi tekanan karena tidak bisa tidak, baik itu pelayanan, pekerjaan dan keluarga semuanya menuntut waktu. Saya bisa katakan bahwa tantangan terbesar jaman ini adalah waktu. Waktu ini menjadi sangat sangat berharga karena rasanya tidak cukup, itu sebabnya penting kita mengangkat topik ini supaya para pasangan muda mudah-mudahan dapat menimba manfaat dari diskusi kita.
GS : Padahal waktu yang diberikan Tuhan kepada semua orang termasuk kita ‘kan sama, Pak Paul, 24 jam sehari, tetapi ada orang yang bisa mengelola waktunya dengan baik, tapi ada banyak orang justru yang bermasalah dengan waktunya ini. Seolah-olah waktunya kurang kalau 24 jam, tapi kalau pun ditambah lebih dari 24 jam belum tentu kuat orang ini.
PG : Betul, betul, memang kita hidup di jaman yang berbeda dari dulu, kita perlu membahas mengapa begitu berbeda, mengapa sekarang pekerjaan dan pelayanan bisa menuntut waktu yang begitu banyak.
GS : Ya jadi pada bagian yang pertama fokus kita kemana, Pak Paul ?
PG : Kita mau melihat apa yang unik tentang pelayanan dan pekerjaan yang sekarang ini begitu banyak waktu yang dibutuhkan untuk pelayanan maupun untuk pekerjaan. Apakah di masa lampau tidak seperti itu? Saya akan coba jelaskan memang tidak seperti itu di masa lampau. Sekarang tuntutan waktu untuk bekerja dan untuk melayani biasanya lebih tinggi daripada dulu. Yang pertama, kita akan soroti tentang pekerjaan. Sampai jenjang karier tertentu, pekerjaan hanya menuntut waktu yang relatif sama misalkan sekitar 8 jam per hari. Dan lokasi bekerja juga sama, kita pergi ke kantor, kantor yang sama selama bertahun-tahun, melewati jenjang tertentu pada umumnya pekerjaan mengharuskan kita untuk memberi waktu lebih daripada 8 jam per hari dan menuntut kesediaan kita bekerja di pelbagai lokasi. Orang yang pangkatnya makin tinggi, biasanya bukan saja jam kerjanya bertambah tapi lokasi kerja juga biasanya berpindah-pindah. Saya mengenal misalnya orang yang berada di rumah hanya seminggu dalam sebulan karena harus travel ke pelbagai lokasi kerja. Dewasa ini dunia kerja telah berubah drastik, bukan saja dari lokal menjadi regional malah sudah menjadi internasional. Keterkaitan dan jaringan kerja berkembang sedemikian rupa sehingga batas wilayah hampir lenyap. Alhasil walau banyak hal dapat dilakukan secara online namun tetap ada banyak hal yang harus dikerjakan secara langsung terutama hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan. Itu sebab makin tinggi jenjang karier dan makin besar wewenang, hak dan kewajiban, makin sering kita harus pergi keluar untuk bertemu dengan orang lain yang memunyai posisi yang setara. Nah, mungkin kita berkata, ya jika kita tidak bersedia pergi ya sudah, kita tolak saja tugas itu, habis perkara. Masalahnya adalah tidak sesederhana itu, Pak Gunawan, sebab begitu kita menolaknya, kita pun kehilangan kesempatan untuk naik tangga karier. Dengan perkataan lain, bila kita memilih untuk diam di tempat dan bekerja dengan jam kerja yang standard maka karier kita pun cenderung stagnan, tidak naik. Jika performa kerja kita baik besar kemungkinan kita tidak diberhentikan tapi hampir bisa dipastikan, promosi akan dia lewatkan.
GS : Ya memang ini suatu pilihan yang harus ditentukan oleh pasangan muda, bahkan sebelum menikah mereka harus menyadarinya dengan jelas apa resikonya bila nanti mereka menikah. Ada banyak juga mereka yang mengambil keputusan untuk tidak menikah karena mengetahui bahwa konsekwensi logisnya bila mereka menikah, kariernya akan terhambat seperti itu atau kalau mereka tetap mau meningkatkan kariernya, keluarganya bisa kacau balau. Itu sudah dipertimbangkan sejak sebelum menikah, tapi kalau memang sudah menikah lalu terjebak dalam kondisi seperti ini, jalan keluarnya seperti apa, Pak Paul?
PG : Memang sangat sangat tidak mudah, Pak Gunawan, jadi kita nanti akan membicarakan apa yang mesti kita lakukan. Tadi Pak Gunawan sudah singgung pada akhirnya kita harus memilih. Saya mengertilah betapa sulitnya kita yang masih muda menentukan pilihan ini, bukan saja karena kita ingin dapat mengaktualisasikan potensi diri kadang kita pun ingin menikmati kehidupan yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan keluarga yang lebih besar. Pada akhirnya kebanyakan kita yang masih muda memilih untuk memenuhi tuntutan kerja demi masa depan karier dan terpaksa mengurangi waktu dengan keluarga meski hati nurani merasa bersalah dan tersiksa, kita terus melakukannya oleh karena lapangan kerja bagi wanita sudah terbuka lebar, tidak jarang istri pun harus memenuhi tuntutan dan persyaratan kerja yang sama yang dihadapi oleh suami. Nah, jadi nanti saya akan singgung bahwa pada akhirnya kita harus memilih dan menurut saya, kita harus mengutamakan keluarga kita.
GS : Disini peran orangtua sebenarnya besar sekali, kalau memang si pemuda atau si pemudi ini sudah memutuskan untuk tidak menikah dan akan menekuni kariernya, kita tidak bisa terus-menerus mendorong dia atau memaksa-maksa dia untuk menikah. Memang ada konsekwensi bukan hanya kepada yang bersangkutan tapi juga kepada keluarganya, Pak Paul.
PG : Memang pilihan itu menuntut pengorbanan ya, tidak bisa tidak. Saya bisa mengerti kalau ada orang yang memilih memang untuk tidak menikah. Inilah kenyataan di lapangan, saya tahu ada seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan yang memang berhubungan dengan banyak lokasi di luar negeri. Jadi dia bekerja, pulang kerja pagi, Pak Gunawan. Dia tidur bangun pagi lagi, pergi kerja lagi dan setiap hari, lima hari seminggu, kadang-kadang Sabtu juga kerja, Minggu juga kerja. Kebanyakan dia pergi sampai besok pagi lagi, seperti begitu.
GS : Sayangnya ada banyak orang yang mengatakan bahwa orang ini kecanduan kerja padahal sebenarnya bukan, tuntutan pekerjaannya memang seperti itu.
PG : Kalau ia tidak bersedia mengerjakan itu, keluar saja. Betul, sebab akan ada orang lain yang sudah menunggu untuk bisa masuk.
GS : Dan lebih banyak calonnya. Dan ini mengenai aktualisasi diri mungkin dia mendapatkan tempat aktualisasi dirinya di pekerjaan, bukan dalam kehidupan rumah tangga atau dalam pelayanan.
PG : Betul, betul jadi kadang-kadang dia memilih untuk tetap saja bekerja meskipun ia harus mengorbankan yang lain-lainnya. Ada yang tidak menikah karena memang ia mengetahui bahwa ini bisa benar-benar merugikan keluarganya.
GS : Tapi kalaupun sekarang orang itu menikah dan sudah terjebak pada pekerjaan yang seperti ini, lalu apa yang harus dilakukan ?
PG : Memang pada akhirnya kita harus memilih apakah ini yang utama bagi kita, kalau kita berkata tidak dan bagi saya yang utama adalah keluarga saya, dia harus memang menolak. Artinya apa? Dia akan kehilangan kesempatan untuk naik pangkat. Saya percaya ada waktu Tuhan untuk segalanya, Pak Gunawan. Meskipun ia tidak naik pangkat, tapi untuk saya tidak apa-apa. Harus ada hal-hal yang kita korbankan demi dalam hal ini menurut saya, keluarga kita ini.
GS : Belum tentu hanya tidak naik pangkat, kemungkinan dia bisa kehilangan pekerjaannya.
PG : Nah, kalau mungkin kita sampai ke titik itu, untuk sementara ya sebisanya kita pertahankan pekerjaan kita sambil kita mencari pekerjaan yang lain, dimana kita tidak diharuskan untuk bekerja sampai seperti itu.
GS : Dan itu bukan sesuatu yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan lain. Apalagi kalau istrinya sekarang menuntut supaya tetap penghasilan yang diperoleh sama dengan ketika mereka mulai menikah, sulit Pak Paul. Pindah pekerjaan biasanya turun penghasilannya.
PG : Betul, betul. Misalnya di pekerjaan yang baru ia mengalami hal yang sama mungkin harus berhenti lagi, kerja lagi di tempat yang lain. Memang pada akhirnya kita harus bayar harga, kemungkinan karier kita tidak naik, sampai kapan ya ? Mungkin sampai anak-anak mulai besar baru kita bisa pergi, itulah saatnya kita menikmati karier yang lebih baik.
GS : Kalau kita kerja sendiri mungkin hal itu lebih fleksibel, kita bisa mengatur ritme kerja kita, tapi kalau kita bekerja dengan orang lain, saya rasa agak sulit itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali seperti misalnya anak saya yang satu ini bekerja di bidang IT, bukan saja ia kadang-kadang diutus untuk bekerja ke luar kota, tapi dia juga diwajibkan untuk mengikuti training, karena bidang-bidang seperti dia sangat sekali diperlukan training terus-menerus. Dia sering diutus pergi untuk training, dan masalahnya training itu bukannya di kota yang sama, seringkali di kota yang berbeda dan kalau training bukan hanya semalam, bisa 3 sampai 4 malam. Jadi itu bagian dari pekerjaan dia, kalau dia misalnya berkata, "Tidak mau", nah training ini diharuskan karena nanti diperlukan untuk dia mengerjakan tugasnya. Betul Pak Gunawan, kalau dia tidak mau, maka dia akan diberhentikan.
GS : Tetap disana dibutuhkan bagaimana ia memilih prioritasnya, menetapkan prioritasnya, begitu Pak Paul.
PG : Tapi ya kita mau mengatakan semua ini dengan pengertian memang sangat sulit. Kita mengerti dunia sudah tidak sama. Dulu orangtua kita pagi kerja pulang sore, rata-rata begitu. Papa saya seorang pengacara, pagi pergi pulang sore. Tapi sekarang keponakan saya seorang pengacara, pagi pergi pulang pagi.
GS : Selain itu, apa Pak Paul ?
PG : Selain dari pekerjaan, pelayanan juga menuntut waktu yang lumayan besar. Mungkin kita bertanya mengapa pelayanan menuntut waktu yang begitu banyak? Sekali lagi dunia telah berubah, kebutuhan bukan saja berubah tapi juga bertambah banyak. Sebagai contoh, di masa lampau, pada umumnya gereja bersifat lokal tapi sekarang gereja bersifat regional karena ada cabang-cabangnya di kota-kota yang lain, bahkan tidak jarang internasional. Ada yang merintis cabangnya di negara lain. Di masa lalu, kebanyakan gereja tidak berjumlah besar tapi sekarang atas anugerah Tuhan cukup banyak gereja yang beranggotakan di atas 1000 jemaat. Itu bukan sedikit, tapi cukup banyak. Perkembangan gereja dari lokal menjadi regional bahkan internasional sudah tentu menuntut lebih banyak perhatian dan kebutuhan jemaat yang berjumlah besar bukan saja berlipat ganda tapi juga beragam, jadi kebutuhannya bukan hanya bertambah tapi juga beragam. Misalnya berpuluhan tahun yang lalu kita tidak mengenal pelayanan kepada pecandu narkoba tapi sekarang ada, singkat kata perkembangan gereja dan menjamurnya volume serta ragam kebutuhan menuntut lebih banyak pelayan untuk memenuhi kebutuhan itu. Sebagai orang percaya kita terpanggil untuk melayani dan akan berusaha memenuhi panggilan itu. Mungkin kita akan berkata silakan tolak saja bila kita tidak sanggup lagi. Masalahnya adalah tidak sesederhana itu. Sudah tentu kendalanya disini bukanlah promosi karier, ini pelayanan, seringkali yang membuat kita menerima panggilan pelayanan adalah karena kita merasa bersalah bila tidak menjawab "ya", kita merasa bersalah karena menolak panggilan Tuhan dan kita merasa bersalah karena seakan-akan kita menomorduakan Tuhan. Apalagi jika kita merasa telah diberkati Tuhan, perasaan bersalah itu niscaya bertambah besar. Pada akhirnya kita menerima panggilan pelayanan meski kita dirundung rasa bersalah karena sering harus meninggalkan rumah, jadi dilema juga akhirnya. Apalagi kalau misalnya hamba Tuhan berkata kepada kita, kepada para pengerja awam, kita harus melayani dan itu berarti harus berani berkorban. Ini untuk kepentingan Tuhan jadi akhirnya kita harus menerima kita harus melayani Tuhan, sudahlah kita kerjakan, kita sering pergi, kita sering memenuhi kebutuhan di sana di sini, dan keluarga kita, kita tinggalkan.
GS : Kadang-kadang konsep atau pengertian tentang pelayanan itu sendiri yang harus dimengerti dengan benar, Pak Paul, karena seringkali yang dilayani bukan Tuhan tapi pekerjaan Tuhan.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan.
GS : Jadi akhirnya terlibat dengan kegiatan-kegiatan gerejawi yang sebenarnya tidak terlalu penting juga untuk kita harus kerjakan itu.
PG : Betul, betul sekali. Jadi kita harus bedakan ini aktifitas untuk melayani Tuhan dan Tuhan sendiri, itu tidak sama. Pelayanan sebenarnya adalah aktifitas, bukannya Tuhan itu sendiri. Jangan sampai kita keliru melihatnya dan merasa bersalah secara tidak perlu.
GS : Kadang-kadang menimbulkan rasa bersalah ini peran dari hamba Tuhannya atau dari siapa pun orang yang ada di gereja itu, besar sekali karena seperti dikatakan agak menakut-nakuti atau memberikan pengertian yang keliru tentang pelayanan itu hanya supaya dia terbantu padahal sebenarnya jaman sekarang ini gereja itu bisa saja mengambil orang-orang yang professional, tentu saja harus ada biaya yang dikeluarkan untuk itu, tapi tidak membuat orang yang sudah mengalami masalah ini bertambah masalahnya dengan panggilan pelayanan istilahnya.
PG : Saya tahu memang ada hamba Tuhan yang waktu memilih pengerja atau majelis akan bertanya, apakah engkau bersedia memberikan sejumlah waktu itu dalam seminggu. Waktu saya diberitahukan, bukan 1 jam 2 jam, bukan. Cukup banyak, sampai kaget sekali. Memang dia berkata, saya mensyaratkan ini kalau kamu tidak bersedia, kamu tidak sanggup, jangan terima. Saya bisa bayangkan ya betapa memang menyitanya waktu kalau ia terlibat dalam pelayanan.
GS : Di tengah-tengah ia harus melakukan pekerjaannya tiap hari, juga membagi waktunya untuk keluarga, masih diberi beban pelayanan yang seperti ini yang sebenarnya bukan pelayanan yang betul, Pak Paul.
PG : Seringnya orang yang bertanggungjawab, makin diserahi tanggungjawab, makin sering dimintai tolong untuk menjadi ini dan itu.
GS : Karena katanya sudah terbukti bahwa ia orang yang bertanggungjawab, orang yang rajin, bisa dimintai soal keuangan dan sebagainya sehingga terus-menerus ditambahi terus sementara yang satu tidak berani menolak, jadi memang dalam pekerjaan maupun dalam pelayanan berani menolak harus bisa.
PG : Kita tidak boleh iya saja, tapi kita harus memikirkan harga yang harus dibayar apakah memang patut. Apalagi kalau yang harus membayar keluarga kita sendiri.
GS : Katakan itu suatu persembahan dari kita untuk Tuhan, ‘kan Tuhan meminta kita memberikan persembahan dari apa yang ada pada kita, bukan yang memaksakan begini. Memberikan persembahan sampai utang. Lalu bagaimana kaitannya dengan keluarga, Pak Paul?
PG : Jadi kita mesti menyadari bahwa pada masa ini keluarga memang menuntut banyak karena tadi kita membicarakan tentang pasangan muda, berarti anak-anaknya masih kecil. Pada saat anak-anak masih kecil kebanyakan tuntutan dan kebutuhan berbentuk jasmaniah, kita mesti ajak mereka pergi, kita mesti bermain dengan dia, kita mesti mengawasi dia, sedangkan pada waktu anak remaja dan akil balig, tuntutan dan kebutuhan anak lebih berupa arahan dan dukungan mental serta emosional. Jadi tidak bisa tidak ketika anak masih belia, kita mesti secara fisik hadir dalam kehidupan mereka, merawat mereka mengharuskan kita hadir, bermain dengan mereka mewajibkan kita hadir, mendisiplin mereka mensyaratkan kita hadir dan mengasihi mereka menuntut kita hadir. Jadi anak-anak perlu kehadiran kita, selain anak sudah tentu pasangan juga menuntut kehadiran kita. Kalaupun tidak menuntut secara langsung, kehadiran kita diperlukan guna membangun relasi yang masih muda ini. Banyak penyesuaian mesti dilakukan dan banyak konflik yang mesti diselesaikan. Banyak pengharapan yang butuh dikomunikasikan dan banyak kebutuhan yang perlu diungkapkan. Sekali lagi semua ini tidak bisa dilakukan dari jarak jauh atau lewat telepon, kita mesti hadir. Di masa dimana tuntutan kerja dan pelayanan berada di titik teratas, di saat itu pula tuntutan keluarga berada di titik yang paling intens buat pasangan muda ini. Dapat dibayangkan betapa tidak mudahnya menyediakan waktu buat semua kebutuhan dan tuntutan ini. Tidak heran pada masa ini tingkat stres tinggi dan emosi menjadi sulit terkendali jika masalah tidak diselesaikan dan kebutuhan tidak dipenuhi. Semua ini akan menyisakan persoalan yang akan terus menggelantungi kehidupan kita sampai di hari tua.
GS : Ini memang suatu hal yang perlu disadari bahwa keluarga ini sangat membutuhkan perhatian dan kehadiran kita, kadang-kadang ada pasangan muda yang sebelum menikah bertekad nanti kalau kita sudah menikah, pelayanan ini kita tingkatkan lagi. Pekerjaan kita ini kita kerjakan dengan lebih sungguh-sungguh lagi supaya ada penghasilan yang bertambah. Tapi konsekwensinya berat, Pak Paul. Konsekwensinya berat dari segi waktu dan dari segi tenaga, karena disamping membagi waktu untuk pekerjaan, untuk pelayanan dan untuk keluarga, tiap orang membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Misalnya untuk beristirahat atau menyalurkan hobinya. Itu semua membutuhkan biaya, tenaga dan waktu dari kedua belah pihak, baik yang pria maupun yang wanita.
PG : Kenapa kita tidak begitu menyadari dampaknya yang negatif, karena anak-anak itu belum bisa bersuara. Jadi akhirnya kita tidak mendengar keluhan mereka secara langsung. Tapi itu tidak berarti perbuatan kita atau pilihan kita yang harus sibuk di luar itu tidak berdampak bagi pertumbuhan mereka. Berdampak! Dalam pelayanan konseling saya, saya bertemu cukup banyak dengan orang-orang yang sudah cukup dewasa mengalami masalah-masalah dengan relasinya, kepercayaan dirinya, kebutuhannya akan pengakuan, akan kasih sayang yang begitu besar. Mengapa? Karena akhirnya diketemukan bahwa pada masa dia kecil, hampir tidak ada waktu bersama dengan orangtuanya karena kedua orangtuanya sibuk bekerja. Jadi dampak itu akhirnya dipetik oleh anak-anak ini yang bertumbuh dalam keluarga yang seperti ini dan nanti baru membuahkan masalah di kemudian hari. Kita mesti menyadari bahwa apa yang kita lakukan sekarang, waktu kita terlalu sibuk di luar pasti berdampak pada pertumbuhan anak. Pasti itu, mungkin kita tidak melihatnya sekarang tapi nanti akan membuahkan masalah dalam kehidupan mereka kelak.
GS : Ada pasangan yang menyadari hal itu lalu memutuskan untuk menunda untuk memiliki anak, ini bagaimana dampaknya?
PG : Saya kira kalau misalkan itu lebih baik, silakan Pak Gunawan, daripada cepat-cepat punya anak padahal ia akan sering sekali pergi, itu akan tidak sehat untuk anak. Kalau dia pikir saya tunggu saja sampai saya tahu saya bisa memberikan waktu yang lebih banyak, baru saya memunyai anak. Saya pikir itu lebih baik.
GS : Kembali lagi tekanan keluarga juga kuat sekali, kamu sudah sekian tahun menikah tidak memunyai anak, kami orangtua ingin momong cucu padahal pergumulan mereka berat sekali.
PG : Memang tekanan sangat berat sekali yang dialami oleh pasangan muda dewasa ini. Betul sekali.
GS : Sehubungan dengan hal ini, apa yang Firman Tuhan mau sampaikan bagi kita?
PG : Amsal 27:18-19 berkata, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya, ..... Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu". Pada akhirnya kita harus menentukan pilihan, dari ketiganya, pekerjaan, pelayanan dan keluarga, manakah yang akan kita jadikan "pohon ara". Kita hanya bisa memilih dan memelihara satu, tidak bisa ketiganya. Kalau kita memilih "pohon ara" kita adalah keluarga, berarti kita akan pelihara keluarga kita dan pada suatu hari kita akan memakan buahnya. Tapi kalau kita memang memilih pekerjaan atau pelayanan kita sebagai "pohon ara" kita, kita tidak akan bisa memakan buah keluarga kita. Kedua, pilihan kita mencerminkan nilai yang kita anut alias siapakah diri kita sesungguhnya. Meski pelayanan adalah untuk Tuhan tapi pelayanan bukanlah Tuhan. Menurut saya pada masa anak-anak kecil kita mesti memilih keluarga, walaupun untuk itu kita mesti mengorbankan pekerjaan dan pelayanan kita.
GS : Banyak orang yang punya cita-cita atau mengharapkan ketiganya bisa berjalan berdampingan dan bisa diseimbangkan. Mencoba untuk bermain keseimbangan disitu supaya ketiga-tiganya tetap bisa bertumbuh dan bisa dinikmati. Itu mustahil atau bagaimana?
PG : Mustahil. Tidak bisa ya. Memang kita tidak berkata pilihan ini berlaku seumur hidup, tadi kita bicarakan pasangan muda, sebab pada masa inilah diperlukan sekali kehadiran orangtua dalam pertumbuhan anaknya. Saran saya, pada masa ini kita utamakan keluarga, nanti akan ada masanya kita bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk pekerjaan kita atau pelayanan kita.
GS : Memang idealnya pada awalnya kita lebih mementingkan keluarga karena pekerjaan juga masih belum meminta waktu terlalu banyak bagi kita tapi dengan bertambahnya usia pernikahan kita, biasanya pekerjaan juga meningkatkan karier kita di tempat pekerjaan itu. Nanti bila sudah pensiun, sudah tidak bekerja lagi terlibat dalam pelayanan tapi masalahnya pada saat pensiun, badannya sudah tidak kuat untuk melakukan itu semua. Ini jadi dilematis, karena itu inginnya ketiganya berjalan semua dengan seimbang. Tadi Pak Paul mengatakan ini sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan.
PG : Di Alkitab sedikit banyak kita melihat ada pola yang Tuhan sudah ajarkan, kita tahu Yohanes Markus sewaktu ikut penginjilan ia masih muda, ia bisa pergi-pergi. Kalau kita perhatikan para tua-tua di gereja yang melayani, dipanggilnya tua-tua sebab mungkin usianya sudah tua. Jadi memang lebih ideal kalau sudah tua melayani di gereja.
GS : Kondisi badannya sudah tidak memungkinkan lagi. Ada yang mengatakan masa kita memberikan kepada Tuhan pada waktu bunga sudah layu, kenapa tidak pada waktu masih segar? Pada waktu masih segar, keluarga menuntut kita nanti sedang berkembang, pekerjaan menuntut kita. Memang dilematis dan sungguh kita membutuhkan hikmat dari Tuhan, mana yang harus kita kerjakan dan mana yang harus berani kita tanggalkan.
PG : Ya, betul.
GS : Terima kasih, Pak Paul, uintuk perbincangan ini dan kita akan melanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pasangan Muda di Tengah Himpitan Pekerjaan dan Pelayanan" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.