Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan melanjutkan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu tentang "Model-model Pernikahan," dan kami juga akan membicarakan tentang "Faktor-faktor Penentu Keberhasilan di dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita membicarakan tentang model-model pernikahan dan baru dua model waktu itu sempat kita perbincangkan, dan kita akan melanjutkan perbincangan itu pada kesempatan ini. Nah, supaya para pendengar bisa mengikuti seluruh pembicaraan ini bagaimana kalau Pak Paul bisa ulangi sejenak secara cepat yang pernah kita bicarakan beberapa waktu yang lalu.
PG : Bahan diskusi sebenarnya diambil dari sebuah buku yang berjudul "Why Marriages Succeed or Failed", mengapa pernikahan itu sukses atau gagal. Penulisnya adalah Dr. John Gartmand, nah dalm buku tersebut beliau memang memaparkan hasil temuannya berdasarkan riset yang telah beliau lakukan.
Ternyata bahwa suatu pernikahan itu tidak harus mengambil bentuk-bentuk yang spesifik untuk sukses, pernikahan itu bisa sukses meskipun mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda. Jadi dengan kata lain dia menemukan bahwa kepribadian orang itu tidak sama, cara hidupnya tidak sama. Nah, akhirnya ketidaksamaan itu membentuk suatu keunikan dalam pernikahan dan masing-masing keunikan tersebut bisa menjadi suatu relasi nikah yang kuat, meskipun masing-masing juga punya kelemahannya. Nah beliau memberikan sekurang-kurangnya 3 model pernikahan yang memang ditemukan cukup sukses untuk bisa terus dibawa. Yang pertama adalah model yang dia sebut model "validating". Model "validating" adalah model yang saling mengukuhkan. Jadi bagaimana pasangan ini kalau sedang berkonflik mencoba dengan kepala dingin duduk bersama, saling mendiskusikan problem, mendengarkan apa yang menjadi unek-unek pasangannya dan pada akhirnya bersama bernegosiasi, berkompromi untuk menemukan jalan tengah. Kelemahan dari model ini adalah model ini cenderung terlalu menekankan kebersamaan, jadi kalau si suami mulai mengembangkan kehidupan pribadinya, sedikit di luar si istri, si istri merasa terancam. Atau kebalikannya kalau si istri mulai sering pergi dengan teman-teman wanitanya, si suami merasa tidak aman karena berkata kita harus bersama-sama. Jadi yang penting adalah bagaimana bisa memberikan ruangan kepada pasangan untuk juga mengembangkan kehidupan pribadi. Model yang kedua adalah yang disebut "volatile" adalah model yang sebetulnya berarti tidak stabil, mudah naik turun. Pasangan ini kalau marah, marah, tapi kalau mesra luar biasa mesranya. Nah dalam menghadapi konflik mereka biasanya tidak saling mendengarkan, sebab masing-masing sibuk untuk membenarkan diri dan biasanya disertai dengan kemarahan. Namun pada akhirnya mereka berhasil membereskan konflik, ya memang saling marah, saling menuduh dan saling membenarkan, tapi akhirnya satu sama lain bisa mengerti apa yang diminta dan dituntut oleh pasangannya dan mencoba untuk melakukannya. Nah ini model yang kedua model yang memang bisa bertahan lama tapi juga mempunyai kelemahan. Kelemahannya ialah kalau mereka marah dan kelewatan batas akan menghancurkan pasangannya karena mereka akan menjatuhkan pasangannya, nah itu model yang sudah kita bahas Pak Gunawan.
GS : Dan kalau dari kedua model itu saling bertolak belakang Pak Paul, tapi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya maka kali ini kita akan membahas model yang ketiga, apakah itu Pak Paul?
PG : Model ini disebut "avoidant", jadi model pasangan nikah ini cenderung menghindarkan diri dari pertengkaran itu kira-kira intinya. Nah model ini mempunyai ciri-ciri yang pertama adalah mdel ini menekankan falsafah setuju untuk tidak setuju.
Artinya mereka akan tidak setuju, mereka akan mengatakan saya tidak bisa menerima usulanmu atau apa tapi masing-masing akan berkata ya silakan engkau lakukan tidak apa-apa. Jadi daripada bertengkar mereka cenderung atau menyetujui meskipun mereka mengungkapkan baha mereka tidak setuju. Mereka juga cenderung mengecilkan keseriusan konflik dan menghindarkan pembicaraan yang akan berakhir dengan buntu. Artinya kalau mereka tahu bahwa yang akan mereka percakapkan ini berpotensi atau berkembang menjadi suatu pertengkaran mereka cenderung menghindarkannya, daripada bertengkar lebih baik tidak usah dibicarakan. Atau kalaupun dibicarakan mereka cenderung mengecilkan keseriusannya atau tuntutan mereka dan akan berkata misalnya kalau engkau tidak mau ya tidak apa-apa, saya tidak akan memaksa engkau. Atau saya tidak setuju tapi ya terserah engkau lakukan itu atau tidak. Jadi mereka cenderung tidak mau mengatakan apa yang sebetulnya mengganggu mereka dan apa yang sungguh-sungguh mereka inginkan dari pasangannya. Jadi mereka akhirnya cenderung menitikberatkan pada persamaan, kalau ditanya mereka akan berkata ya kami bertengkar tapi tidak terlalu berat, ya kami mengakui kami tidak sama, kami ini berbeda tapi kami mempunyai banyak kesamaan yang lain, kami masih bisalah menoleransi satu sama lain jadi tidak apa-apa, pernikahan ini bisa terus bisa langgeng.
GS : Rupa-rupanya itu mengambil jalan tengah dari kedua model yang ekstrim tadi Pak Paul. Nah tetapi bukankah pertengkaran itu tak terhindarkan, saya rasa suatu saat walaupun memakai model ini pasti mereka akan mengalami konflik, Pak Paul. Nah kalau sampai itu terjadi apa yang mereka lakukan?
PG : Biasanya mereka akan memberikan kesempatan pada pasangannya untuk mengeluarkan unek-unek, mereka akan mencoba mendengarkan pula tapi bedanya dengan pasangan yang pertama yang kita sebut"validating", pasangan yang "avoidant" ini saling menghindarkan diri, tidak membiarkan diri mereka untuk terlibat secara emosional.
Jadi benar-benar jarak itu dijaga dan pembicaraan itu sangat bersifat rasional, tidak melibatkan perasaan. Kedua, mereka juga akan berupaya mengakui perbedaan, tapi tidak berupaya meyakinkan pasangan akan kebenaran pendapatnya. Jadi mereka akan berkata saya tidak sama dengan kamu, saya tidak melihatnya seperti itu, namun mereka akan berkata ya terserah engkau tidak mau setuju dengan saya ya terserah engkau, akupun tidak harus setuju dengan engkau. Jadi masing-masing tidak berupaya meyakinkan pasangan atau membujuk pasangan, nah akhirnya yang terjadi adalah memang tidak ada titik kompromi, mereka tidak akan saling bernegosiasi, mencari jalan tengah dengan kata lain problem itu tidak dipecahkan, diapakan jadinya, dikesampingkan begitu.
IR : Nah kira-kira apakah tindakan konkretnya, Pak Paul?
PG : Pada dasarnya pasangan yang "avoidant" ini, saling menghindarkan ini akan "menyelesaikan masalah dengan pola menghindar" atau meminimalkan problem. Jadi kalau ditanya berapa seringnya brtengkar, mereka akan berkata kami jarang bertengkar, mereka mencoba menghindarkan pertengkaran.
Dan yang kedua mereka itu akan menekankan pada apa yang disukai bukan pada apa yang tidak disukai. Jadi kalau sudah menikah bertahun-tahun akan ditanya apa yang engkau tidak sukai pada pasanganmu, dengan jujur mungkin mereka akan berkata tidak ada atau sedikit sekali. Karena apa, karena mereka mencoba untuk tidak mengingat yang tidak mereka sukai, yang hanya mereka sukai sajalah yang mereka akan ingat. Dan yang tidak disukai mereka akan terima, tidak suka caranya tidur, tidak suka gaya hidupnya kalau malam tidur jam dua pagi bangun jam 10 pagi misalnya, mereka tidak suka tapi mereka terima. Nah saya kira falsafah ini sering kita dengar dari orang tua dulu, yang baik-baiknya, yang jelek-jeleknya jangan dipikirkan. Tapi kita bisa melihat kakek-nenek, orang tua kita itu langgeng menikah berpuluhan tahun dengan model seperti ini.
IR : Tapi tidak menyelesaikan masalah, Pak Paul?
PG : Tepat, itu kelemahannya masalah akhirnya tidak diselesaikan.
GS : Dan masalah itu akan terus mengganggu Pak Paul?
PG : Betul, ini kelemahannya; jadi kelemahannya adalah masalah tadi tidak selesai dan bisa mengganggu terus. Kalau mereka berhasil menekannya baik tidak apa-apa, namun kalau tidak berhasil mnekannya akan menggerogoti mereka.
Nah pasangan pecah, meledak karena tidak bisa lagi ditahan, dua-dua tidak terlatih untuk memecahkan masalah, karena dua-dua tidak benar-benar belajar keterampilan untuk membereskan problem di antara mereka. Kecenderungannya selama ini adalah menghindari problem, nah jadi ditambah dengan kadar kebersamaan mereka itu memang tidak terlalu banyak bersama-sama seperti pasangan yang "volatile" sangat mesra itu. Jadi waktu ada problem besar menerpa resiko pernikahan hancur cukup besar.
GS : Mungkin mereka tidak akan saling mengenal Pak Paul, kalau mereka mau menghindari masalahnya itu, sebetulnya pasangan itu seperti apa, bukankah mereka tidak bisa tahu pasangan yang lain?
PG : Betul, jadi mungkin kita bisa simpulkan hubungan mereka baik, kuat, tapi mungkin tidak terlalu dalam, itu yang Pak Gunawan maksud ya. Karena dimensi-dimensi yang biasanya muncul akibat danya penyesuaian dari pertengkaran tidak ada, mereka akhirnya tidak pernah masuk ke dimensi-dimensi seperti itu.
GS : Tapi memang segi positifnya tidak saling menyakiti.
PG : Betul, dan saya kira anak-anak akan lumayan senang mempunyai orang tua seperti ini.
IR : Pada hal di dalam hati orang tuanya ada ganjalan, karena masalah itu tidak pernah terselesaikan.
PG : Betul, jadi tidak terselesaikan, tapi akhirnya mencoba menghibur diri dan berkata siapa sih yang sempurna, semua pasangan ada problemnya, ya dia lemah di sini, tapi dia kuat di sini, yasudah saya terima yang lemah itu.
GS : Kalau tadi kita sudah membicarakan 3 model pernikahan, atau mungkin bisa lebih tapi apakah ada satu keluarga itu murni mengikuti satu model, satu pola atau campuran?
PG : Ternyata yang ditemukan oleh Dr. John Gartmand ini memang tidak ada yang murni Pak Gunawan, jadi yang terjadi adalah masing-masing itu sebetulnya campuran dari beberapa model ini. Dalamsituasi tertentu kita cenderung menjadi "volatile" atau yang satu lagi menjadi "validating" dan sebagainya.
Namun pada umumnya ada satu yang menjadi ciri khas yang dominan.
GS : Yang sering kali diambil atau sikap yang sering kali diambil.
GS : Nah padahal masing-masing model itu mempunyai kelemahannya Pak Paul, bagaimana secara umum mereka itu mempertahankan pernikahannya?
PG : Nah dalam penemuan Dr. Gartmand ini ternyata yang penting bukan modelnya, jadi justru Dr. Gartmand ini menemukan model ini kreatif, tidak harus sama untuk setiap pasangan. Tapi yang terenting adalah harus ada perbandingan 5:1, antara situasi yang positif dibandingkan dengan situasi yang negatif.
Maksudnya kalau ada suatu pertengkaran harus diikuti dengan 5 kemesraan misalnya seperti itu, nah selama perbandingannya selalu 5:1 pernikahan ini akan langgeng dan kuat. Yang akan menjadi bahaya adalah kalau perbandingannya bergeser misalnya 5:3, 4:5, 5:6 yang bahaya adalah 5:6 atau 5:7. Yang positif 5 yang negatif bisa 7, 8 itu akan merusak pernikahan, jadi akhirnya disimpulkan oleh Dr. Gartmand modelnya tidak menjadi masalah, yang paling penting adalah perbandingan antara yang positif dan negatif itu.
GS : Berarti di sana ada faktor-faktor yang menentukan suatu pernikahan itu bisa berhasil atau berantakan?
GS : Nah untuk pasangan masing-masing model itu tadi 'kan ada contoh-contoh yang konkret, untuk faktor-faktornya apa saja Pak Paul?
PG : Misalnya pasangan yang "volatile", pasangan yang tidak stabil, pasangan yang penuh emosi itu, mereka memang cukup sering bertengkar, namun kalau cinta dan kemesraan mereka 5 kali lebih anyak dari pertengkaran, pernikahan mereka akan kuat.
Atau yang lainnya pasangan yang "validating" yang saling mengukuhkan, yang saling memberikan pengakuan, dengan kepala dingin dalam menghadapi problem memang tingkat ketegangannya sedang-sedang, tapi cinta dan kehangatan juga sangat tinggi. Mereka saling menekankan kebersamaan, harus sama-sama, meskipun mereka itu kadang-kadang berargumen, tidak setuju dan sebagainya, namun banyak kebersamaannya. Perbandingannya menurut Gartmand 5:1 mereka akan cukup jalan. Yang terakhir adalah pasangan yang menghindar, memang sepintas kurang menunjukkan kemesraan atau kedalaman hati. Tapi yang positifnya adalah sangat sedikit kritikan atau penghinaan, atau pelecehan, sehingga sekali lagi ada perbandingan 5:1 di situ.
GS : Cuma masalahnya Pak Paul faktor-faktor ini unaccountable, sulit untuk diukur dengan angka, bagaimana kita tahu ini sudah sampai 5 dan bagaimana 1?
PG : Mungkin yang bisa dijadikan tolok ukur adalah perasaan subyektif, kita sendiri harus bisa menghitung, misalnya begini kita bertanya kapan kita bertengkar, o ya saya bertengkar terakhir ali 2 minggu yang lalu.
Nah sekarang kapan kita bertengkar lagi, sekarang ini 2 minggu setelah yang terakhir, nah antara yang terakhir dan sekarang apakah ada hal-hal yang enak, yang mesra kebersamaan yang kita lakukan bersama. O....ya kami pergi ke sana, kami mendengarkan lagu bersama, kami saling berdoa bersama, kami pergi dengan anak-anak, dihitung-hitung, o....ya....ya ada 10 hal positif yang kami lakukan dalam 2 minggu ini. Jadi apa kesimpulannya, saya bertengkar hanya sekali dalam 2 minggu, tapi hal-hal yang positif mungkin ada 10 kali kami lakukan. Nah saya kira kalau kita pikirkan bisa dihitung sebetulnya.
GS : Dan itu harus disadari oleh kedua belah pihak, Pak Paul?
PG : Ya tepat sekali, harus disadari oleh kedua belah pihak.
GS : Nah mengenai perasaan-perasaan atau tindakannya bagaimana Pak Paul di antara mereka?
PG : Begini yang dimaksud dengan yang positif dan negatif Pak Gunawan, yang pertama adalah yang negatif apa itu tindakan yang negatif. Menarik sekali penemuan Dr. Gartmand ini ternyata yang imaksud dengan tindakan negatif bukan kemarahan melainkan mencela dan menghina itu adalah tindakan yang negatif.
Jadi sering kali kita berpikir kemarahan itu sangat negatif, ternyata tidak, kemarahan yang tidak disertai dengan celaan dan hinaan justru dampaknya tidak terlalu buruk. Yang juga negatif misalnya adalah membenarkan diri tidak mau mengalah, defensif dan akhirnya misalkan menarik diri, mengucilkan diri tidak mau kontak dengan pasangannya. Menolak untuk berbicara dengan pasangannya itu termasuk dalam tindakan yang negatif pula. Dan yang terakhir dari tindakan negatif, kesepian dan kesendirian. Jadi waktu pasangannya mendiamkan, kesepian, itu menjadi hal yang negatif buat pernikahan. Pasangannya mengabaikan tidak mempedulikannya lagi, dia di rumah sendirian, nah itu adalah hal-hal yang negatif.
GS : Mungkin yang kedua dan yang ketiga itu mungkin putusnya komunikasi, Pak Paul?
PG : Betul sekali, karena putusnya komunikasi akhirnya mereka tidak lagi bisa mengisi kehadiran.
GS : Jadi mereka sengaja memutuskan komunikasi itu. Nah sebaliknya kalau tindakan yang positif apa Pak Paul?
PG : Misalnya yang pertama adalah memperlihatkan ketertarikan pada apa yang dikatakan oleh pasangan kita. Jadi ini tidak harus duduk atau berjalan tapi yang dimaksud oleh Gartmand adalah kit ini misalnya bertanya o....ya.....ya....begitu
ya, kenapa hampir terjadi seperti itu, atau menanyakan apa yang terjadi tadi sewaktu engkau pergi, bertemu dengan temanmu di kantor. Jadi kita menunjukkan ketertarikan, berminat pada apa yang dikatakan oleh pasangan kita melirik dia, melihat wajahnya sewaktu dia bicara. Jangan membaca koran, dia bicara kita acuhkan, nah itu tidak sehat. Yang lainnya lagi adalah misalnya menunjukkan kemesraan, misalnya kita menyentuhnya, berpegangan tangan, bercerita tentang masa lalu yang indah, terus menunjukkan kebersamaan kita dengan pasangan, waktu menghadapi problem kita tidak menyalahkan pasangan. Tapi kita berkata ini problem kita berdua, ayo kita hadapi bersama, atau melakukan hal-hal yang simpatik. Nah ini beberapa contoh hal-hal yang kita bisa lakukan untuk pasangan kita yang akan berdampak positif baginya.
GS : Nah apakah yang terjadi, kalau memang dalam pertengkaran itu bisa disalahartikan jadi hal-hal positif ini harus dilakukan pada waktu mereka tidak bertengkar Pak Paul?
PG : Tepat, ini adalah hal-hal yang harus dilakukan secara rutin, secara teratur.
GS : Lalu bagaimana dengan perhatian yang bisa kita berikan Pak Paul?
PG : Misalkan kita menunjukkan perhatian dengan membelikan sesuatu yang disenangi oleh pasangan kita. Hal kecil misalkan dia senang dengan mainan, anak-anak perempuan biasanya suka hal-hal yng kecil, kita belikan.
Suami kita suka makanan tertentu itu juga bisa kita belikan, nah itu semua menunjukkan perhatian kita pada kebutuhan dia dan saya kira semua orang akan senang diperhatikan.
GS : Saya rasa itu menjadi kebutuhan.
IR : Dan juga di dalam menghargai pernikahan itu sendiri bagaimana, Pak Paul?
PG : Misalnya kita mengingat-ingat kebaikannya dia Bu Ida, bahwa dia adalah seorang istri yang telah mengabdi, berkorban untuk kita dan kita sampaikan pujian itu. Terus misalkan juga yang bia mencerminkan penghargaan kita adalah kita tidak sedikit-sedikit melawan, berdebat dengan dia, tidak setuju.
Ya hal-hal yang tidak principle setujuilah, jangan kita itu begitu tertarik untuk mengemukakan pandangan kita, saya mempunyai ide, saya juga. Yang tidak principle dengarkan dan setujui saja, ia-kan, nah itu salah satu bentuk penghargaan terhadap pasangan kita.
GS : Kadang-kadang bercanda itu juga bisa mengakrabkan kita Pak Paul?
PG : Bagus sekali, bercanda saya kira akan saling mendekatkan.
IR : Juga permintaan maaf ya, Pak Paul?
PG : Jadi kalau kita memang telah menyusahkannya atau melukainya, permintaan maaf itu sangat dibutuhkan.
GS : Kalau kita melihat tadi Pak Paul, sebenarnya ada banyak tindakan positif yang bisa dilakukan, dibandingkan yang negatif.
PG : Tepat sekali, dan sebetulnya kalau kita melihat-lihat tidak terlalu sukar ya, yang lain lagi misalnya adalah menerima dan menghormati pandangannya meskipun kita berbeda pandang. Atau kia mencoba memahami perasaannya, membagikan sukacita kita dengannya itu bukan hal-hal yang terlalu sulit.
GS : Cuma kita ini tidak terlatih.
PG : Betul mungkin tidak terbiasa. Sebetulnya hal yang sangat sederhana tapi memang kita tak terbiasa. Kadang-kadang dalam konseling pernikahan Pak Gunawan dan Ibu Ida, saya bertanya apakah apak atau Ibu mencintai pasangan Bapak? O....tentu,
masa menikah begini lama tidak mencintai, jawabannya seperti itu. Kadang-kadang saya langsung mencoba untuk mengakrabkan mereka dengan cara meminta masing-masing menyatakan bahwa mereka mencintai pasangannya. Nah yang menarik adalah ternyata tidak terlalu mudah bagi seseorang menyatakan aku menyayangimu. Sedangkan kita tahu pernikahan itu diikat dan didasari oleh cinta kasih, jadi kalau tidak ada itu, pernikahan akan sangat kering sekali. Tapi hal yang begitu mendasar ternyata sulit dilakukan padahal tidak susah berkata aku mengasihimu. Hal yang sangat sederhana.
IR : Jadi harus melatih diri ya Pak Paul?
PG : Betul, dan tidak bersembunyi dengan alasan memang saya tidak biasa kok, yang penting perbuatan saya. Saya kira banyak orang rindu mendengar perkataan tersebut, bukan saja melalui perbuaan.
GS : Dengan begitu banyak model tapi ternyata ada faktor-faktor yang Tuhan berikan kepada kita supaya pernikahan itu tetap utuh dan itu yang menjadi harapan Tuhan dan harapan kita semua tentunya. Nah apa yang Alkitab katakan Pak Paul, tentang hubungan ini.
PG : Firman Tuhan yang akan saya bacakan diambil dari Efesus 4:25-26 "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain karena kita adalah sesama anggota. pabila kamu marah janganlah kamu berbuat dosa, janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu dan janganlah berikan kesempatan kepada Iblis."
Nah firman Tuhan memberikan kita beberapa petunjuk, yang pertama yang sangat jelas adalah Tuhan meminta kita untuk jujur, jangan berbohong. Jadi dalam pernikahan prinsip yang harus kita junjung tinggi adalah kejujuran dalam berkomunikasi, dalam hidup kita harus jujur. Dan yang kedua adalah sekali lagi Tuhan juga berikan ruangan adanya kemarahan dalam kehidupan manusia, tapi yang Tuhan tekankan adalah jangan sampai kemarahan ini berubah menjadi suatu dosa. Nah dosa dalam pengertian memang sesuatu yang akhirnya melewati batas kewajaran, melukai hati orang dan akhirnya menghancurkan hati atau diri pasangan kita. Sebab Tuhan memanggil kita satu sama lain bukan menghancurkan satu sama lain. Seiring dengan ini buku Dr. John Gartmand menyimpulkan bahwa ternyata yang merusakkan pernikahan bukan kemarahan, yang merusakkan pernikahan adalah penghinaan. Orang boleh marah tapi jangan menghina pasangan, jangan melecehkan pasangan, itu adalah satu unsur yang diidentifikasi oleh Dr. Gartmand yang sangat-sangat fatal. Nah saya kira firman Tuhan juga dengan jelas berkata hal yang sama, tapi jangan berdosa. Nah kalau saya boleh gabungkan, berdosa di sini sering kali menjadi racun dalam kemarahan kita. Yaitu kita menghancurkan, menghina orang lain, nah kemarahan itu saya kira menjadi kemarahan yang berdosa. Kebalikannya menurut Dr. Gartmand justru yang membangun pernikahan ialah kasih dan respek. Itu dua unsur yang paling kuat membangun pernikahan dan bagi kita orang kristen 2 hal ini bukanlah hal yang asing, Tuhan memanggil kita untuk saling menghargai dan perintah utama Tuhan adalah mengasihi satu sama lain seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
GS : Jadi cukup banyak prinsip-prinsip di dalam Alkitab yang diajarkan oleh Tuhan kita itu mempertahankan atau bahkan menumbuhkembangkan pernikahan ini.
GS : Para pendengar yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja melanjutkan perbincangan kami pada beberapa waktu yang lalu tentang beberapa point faktor penentu di dalam keberhasilan pernikahan. Dari studio kami mohon juga tanggapan saran serta pertanyaan-pertanyaan dari Anda yang bisa Anda alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.