Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang topik "Menolong Korban Bullying". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
H : Pak Sindu, apa yang membuat Bapak memutuskan untuk mengangkat topik "Menolong Korban Bullying" kali ini ?
SK : Bullying ini ‘kan menjadi hal yang kian terbiasa terangkat di dalam situasi negeri kita. Kasus-kasus banyak bermunculan, korban juga semakin banyak. Hal ini menjadi pola yang perlu dengan sengaja kita hentikan dengan berbagai upaya yang positif, termasuk lewat bahasan kita kali ini.
H : Sekilas saja mungkin bisa diulas kembali apa yang dimaksud dengan bullying ini, Pak ?
SK : Bullying atau perundungan adalah perilaku perorangan atau sekelompok orang yang menyalahgunakan kekuasaan dengan menyerang atau merendahkan seseorang yang lebih lemah secara berulang dan terus-menerus sehingga menyebabkan orang tersebut merasa takut, terintimidasi, tidak berdaya, tidak berarti, merasa terluka, kehilangan rasa aman dan rasa percaya diri.
H : Seseorang bisa dikatakan dia menjadi korban bullying kalau dia seperti apa, Pak ?
SK : Kalau dia merasa diganggu, dipermalukan atau mengalami perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan.
H : Tidak hanya dari teman, namun bisa dari siapa saja, termasuk orang tua dan pihak yang berotoritas ? Apa itu bisa terjadi ?
SK : Bisa. Memang yang terutama, bullying lebih banyak dilakukan oleh sesama teman, sesama siswa khususnya bagi anak-anak atau kakak kelas kepada adik kelas. Bullying juga bisa dilakukan oleh seorang guru atau orang tua dalam konteks misalnya mau bergurau, tetapi sebenarnya gurauan-gurauan itu membuat sang korban merasa terluka, terhina.
H : Contohnya seperti apa, Pak ?
SK : Misalnya orang tua mencoba bergurau dengan anaknya yang sedang semangat-semangatnya menyanyi. Dia menyanyi di halaman rumah, misalnya orang tua sambil tertawa berkata, "Hahaha, suara seperti itu saja dibanggakan! Nyanyi di luar pula. Cari perhatian ya!" Orang tua berpikir hanya bergurau. Tapi itu beberapa kali dilakukan. Itu sebenarnya tindakan bullying. Bukan tindakan ‘abusive’ secara langsung, misalnya kekerasan fisik atau dalam bentuk kekerasan verbal, penghinaan yang sangat tajam, tapi dinuansai dengan gurauan. Namun ini sudah menjadi tindakan bullying dari orang tua terhadap anak. Atau mungkin guru terhadap siswa, "Mana si dekil itu ? Mana si kerempeng itu ? Ayo maju ke depan." Pikirnya julukan itu juga membuat suasana cair, terasa akrab bersahabat. Tapi sesungguhnya sudah mencederai rasa keberhargaan dari siswa tersebut.
H : Jadi seringkali orang melakukan itu dengan dalil atau alasan dia bergurau tapi dia tidak memperhitungkan bahwa itu melukai dan itu termasuk kategori bullying ?
SK : Iya. Tapi memang ada bullying yang tidak bersuasana gurauan, memang niatnya untuk menganiaya atau menggarap seseorang. Misalnya setiap kali anak itu lewat di jalan tertentu, dicegat kemudian diancam, dimintai uang, diminta membawakan sesuatu sebagai upeti. Atau mungkin dalam konteks dunia maya lewat internet, jejaring sosial, lewat email, SMS dikirimi pesan-pesan dan posting-posting yang buruk, yang mempermalukan, yang menghina, yang memberikan fitnah, atau membuka rahasia buruk tentang orang ini. Itu ‘kan tidak bergurau, memang niatnya mencelakai dan menghina. Itu bagian dari bullying juga. Jadi memang cukup luas cakupan bullying atau perundungan ini, Pak Hendra.
H : Jadi seorang korban bullying itu bisa menjadi korban secara fisik, verbal, maupun secara sosial, ya Pak ?
SK : Betul. Secara fisik kalau dia dipukul, dicubit, dijewer, ditinju, didorong, badannya dihempaskan, ditendang, dijegal, dijitak. Atau secara verbal, termasuk melalui dunia maya, dituduh, digertak, dibentak, diintimidasi, dipersalahkan, diancam, diolok-olok, difitnah, diberi julukan negatif, dipermalukan. Atau secara sosial dia dikucilkan atau dianggap tidak ada. Itu bentuk-bentuk dari bullying, Pak Hendra.
H : Ini yang penting, Pak, setelah mereka membidik korban, kita ‘kan ingin semua pendengar dan masyarakat luas bisa memahami akibat yang dialami oleh korban itu bukan akibat yang remeh atau akibat yang sederhana. Ini adalah akibat yang kadang-kadang berat sekali. Mungkin Bapak bisa jabarkan akibat-akibat bullying ini seperti apa ?
SK : Akibatnya dia akan merasa tertekan. Pasti tertekan dan akhirnya bisa masuk kepada depresi, artinya perubahan suasana hatinya sangat menekan, sehingga dia sulit berkonsentrasi dengan hal-hal yang dulu dia bisa kerjakan dengan baik. Kemudian pikirannya jadi kosong, susah fokus, selera makan berubah, kemudian pola tidurnya berubah, dikuasai kecemasan, rasa was-was, rasa tidak aman. Seperti itu, Pak Hendra.
H : Dengan kondisi seperti ini, apakah itu bisa sangat bisa memengaruhi kesehatan psikologis maupun kesehatan fisiknya juga, Pak ? Jadi dia bisa jadi kelihatan sering sakit-sakitan, begitu.
SK : Bisa, Pak Hendra. Itu yang disebut dengan psikosomatis. Dimana psikisnya tertekan dan terserang kemudian diwujudkan pada tubuh atau soma. Psikosomatis seperti jadi migraine, mual-mual, atau merasa sakit maagnya (lambungnya) kambuh berulang-ulang, dalam bentuk keluhan-keluhan fisik yang lain. Dan juga dia kehilangan rasa percaya diri, lebih suka menghindari kontak mata, lebih suka menunduk, menarik diri, berdiam diri, karena dikuasai rasa rendah diri. Menjadi penakut, apatis, cuek. Sehingga inilah yang membuat perkembangan sosialnya terhambat karena dia menarik diri dari pergaulan. Apalagi kalau ini terjadi pada anak-anak usia pertumbuhan. Dari anak-anak prasekolah, SD, SMP, dan SMA ini ‘kan masa-masa membangun kepribadian yang matang dan sehat. Kalau mengalami bullying secara berulang sampai sekian bulan dan tahun, tentu akan mengganggu perkembangan yang sehat dari segi sosial.
H : Bisa juga sampai timbul keinginan bunuh diri ya, Pak ?
SK : Betul. Survei memerlihatkan bahwa korban bullying itu memiliki satu resiko dua kali meningkat untuk bisa memunyai keinginan-keinginan dan fantasi bunuh diri. Bahkan lebih jauh lagi, muncullah yang disebut mentalitas korban. Maksudnya, korban bullying ini akhirnya mengalami perubahan cara pandang terhadap diri, gambar diri, konsep diri. "Oh, memang aku orang yang kecil, lemah, layak diolok-olok. Aku memang tidak punya sesuatu yang berharga untuk dibanggakan. Dan kalau orang lain memperlakukanku dengan semena-mena itu wajar, tidak apa-apa." Akhirnya ini membentuk mentalitas, cara berpikir, cara merasa, cara menghayati kehidupannya. Mentalitas korban artinya dimana pun dia berada nanti, di sekolah yang berbeda, jenjang yang berbeda, di kota yang berbeda, dia akan menjadi orang yang pasif, yang menerima, tapi menerima yang negatif. Orang lain, "Eh, gini saja dia. Dia tidak membela diri, tidak marah. Oh, menarik ! Ayo kita garap !" akhirnya bullying itu berulang dalam jangka waktu yang panjang, dalam sekian jenjang usia dia terus-menerus menjadi korban. Inilah dampak yang sangat buruk bagi orang tersebut.
H : Kalau kita bicara tentang dampak yang sangat buruk ini, kelihatannya yang paling banyak terjadi adalah pada anak-anak yang masih sekolah. Rupanya mereka mengalami dampak buruknya, mereka tertekan, mereka tidak berdaya.
SK : Betul. Bahkan kalau ini terus berlanjut, akan memberi resiko masalah psikologis di masa dewasa. Muncullah trauma, artinya gedoran atau hantaman jiwa yang berdampak pada munculnya serangan panik (‘panic attack’). Tiba-tiba dia susah bernafas, jantungnya berdebar-debar, pusing mau pingsan. Akhirnya dicek oleh dokter, ternyata semua berfungsi normal. Itulah yang disebut serangan panik atau mengalami depresi klinis. Artinya bukan sekadar perasaan depresif, tapi sudah muncul gagasan-gagasan bunuh diri, bahkan usaha bunuh diri dan ini butuh bantuan psikiater, obat medis, obat antidepresan untuk mengatasi depresi klinis yang dialami. Jadi sampai sefatal itu dampak dari bullying.
H : Kalau boleh saya coba mengerti, itu ‘kan bisa sampai sefatal itu lewat tahapan-tahapan, tidak langsung sekali bully langsung sefatal itu. Biasanya ‘kan dia menjadi korban bullying yang berulang kali terus-menerus terjadi, terutama di usia sekolah. Baik dia masih TK, SD berlanjut ke SMP dan SMA. Berarti kita ‘kan harus mencegahnya sedini mungkin ya ? Begitu kita tahu misalnya di TK atau SD dia sudah menjadi sasaran bullying teman-temannya maka kita harus melakukan sesuatu.
SK : Betul, saya setuju. Karena ini memang masa-masa keemasan atau masa-masa kerentanan membentuk struktur hidup, struktur kepribadian seseorang. Apa yang dialami kalau itu buruk sekali di masa prasekolah, masa SD, terutama 12 tahun pertama, ditambah masa SMP dan SMA, ini akan sangat mencetak, akhirnya melahirkan struktur hidup yang rentan, rapuh dengan berbagai masalah psikis, emosi, sosial, kesehatan secara holistik bagi orang tersebut.
H : Dengan kata lain, kita bisa cegah sedini mungkin. Kita bisa lakukan seawal mungkin untuk tidak membiarkan anak-anak kita, keponakan atau peserta didik kita untuk menjadi korban bullying, begitu ?
SK : Betul. Kita sebagai orang dewasa, termasuk orang tua dari anak tersebut, kita perlu proaktif, tidak boleh berdiam diri membiarkan, "Oh, tidak apa-apa kok, semua baik-baik saja. Ya sudah." Tidak pernah mengecek, tidak pernah komunikasi, tidak pernah menjalin relasi. Ini disayangkan. Karena dalam beberapa kasus yang pernah saya hadapi, orang tua mengabaikan anaknya yang masih imut dan membutuhkan pemantauan dan dukungan secara aktif dari orang tua.
H : Jadi, langkah konkret apa yang bisa dilakukan ?
SK : Dalam hal ini, kalau anak kita menjadi korban bullying, kita sebagai orang tua mari kita menyatakan keprihatinan kita dan memberikan peneguhan kepada anak kita. Kita nyatakan bahwa kita memang hadir, kita selalu ada dan siap mendampingi anak tersebut. Jadi kalau misalnya selama ini memang tidak pernah terjadi relasi yang hangat, yang dekat, komunikasinya itu di level formal, basa-basi, misalnya " Dimana sekolahnya, lancar ? Apa PR sudah selesai ? Bagaimana, kamu mau liburan dimana ?" kalau hanya sebatas itu, itu kurang. Jadi kalau sudah ada kasus bullying yang kita ketahui, sebagai orang tua inilah momentum yang penting untuk memperbaiki relasi yang formal yang sekadar biasa-biasa saja ini. Dalam hal ini, mungkin orang tua kesulitan. Tidak apa-apa, carilah bantuan konselor, orang-orang dewasa lain mungkin hamba Tuhan yang bisa menolong orang tua untuk mengubah pola relasi, pola emosinya dengan anaknya ini. Mungkin dia sebagai orang tua dulu juga dipupuk dibesarkan oleh orang tua yang kurang afeksi, yang kurang mengakomodasi keterbukaan dia dulu sebagai anak. Mari kalau kita dengar anak mengalami itu, kita susah untuk memerbaiki pola relasi, emosi dan komunikasi, carilah pertolongan. Mumpung anak itu masih ada bersama-sama kita dan ada harapan nasib dia lebih baik daripada kita dulu ketika kita sebagai anak-anak.
H : Tapi yang banyak terjadi ‘kan kalau orang tua sudah mengetahui anaknya dibully, reaksi pertama pada umumnya adalah ingin datang ke sekolah, mengklarifikasi, bertemu dengan guru wali kelasnya dan sebagainya. Bagaimana tanggapan Bapak ?
SK : Itu sikap yang sangat baik. Sikap yang memihak kepada anak tersebut. Tetapi sayangnya, sebaiknya ini tidak dilakukan dengan reaktif atau terburu-buru. Tapi berilah ruang bagi anak tersebut untuk diajar oleh kita orang tua cara yang tepat untuk berespons seperti apa. Misalnya, "Bagaimana, apa kamu sudah coba bersikap assertif, "Tidak, aku tidak mau diperlakukan seperti itu. Aku tolak, pergi !" selama ini mungkin dia diam saja. Coba dilatih, untuk berani sebagai korban yang berbicara, bukan hanya diam. Kemudian dia memilih cara-cara kreatif yang lain, misalnya pergi menghindari tempat-tempat dia dibullying. Atau solusi kreatif yang lain, misalnya seringkali uang sakunya dicuri, akhirnya dia belajar untuk tidak membawa uang saku dan sekarang membawa bekal makanan. Atau kalau barangnya diancam akan dirusak, ya sudah, rusak saja barang itu di depan si pelaku. Misalnya, "Kalau kamu tidak mau, aku rusak handphonemu ya!" ya sudah, banting sendiri saja handphone itu di depan si pelaku. Itu tidak harus dipilih, tapi itu salah satu cara yang perlu diedukasi kepada korban, kita sebagai orang tua perlu memahami dan coba melakukan lebih dulu bagiannya.
H : Artinya orang tua harus mengajarkan kepada anak bagaimana dirinya yang semula tidak berdaya menjadi berdaya, begitu Pak ?
SK : Tepat. Dari korban yang pasif dan tidak berdaya menjadi diberdayakan. Dari cara itu akan menumbuhkan rasa percaya diri, melatih ketrampilan sosial. Karena situasi ini ‘kan bukan satu-satunya. Nantinya dalam perjalanan hidupnya di masa yang akan datang bahkan sebagai orang dewasa, pola bullying ini mudah dijumpai di tengah masyarakat yang semakin merosot ini. Dengan dilatih lewat kancah yang sesungguhnya, maka anak ini akan bertambah matang. Sehingga di level kemandirian, level kecerdasan secara emosi dan sosial, level hikmat di dalam menghadapi situasi sosial yang buruk , itu akan terasah. Jadi orang tua menjadi pelatih emosi, pelatih secara keterampilan sosial, keterampilan jiwani bagi sang anak. Maka orang tua jangan buru-buru untuk langsung melabrak ke sekolah, melabrak anak pelaku bullying itu, jangan! Beri tenggang waktu untuk membekali anak dan memberi ijin anak untuk mencoba lebih dulu.
H : Kalau mendaftarkan anaknya ke klub bela diri ?
SK : Boleh. Dalam konteks tertentu tidak apa-apa. Apalagi anak laki-laki. Anak laki-laki belajar bela diri tapi penting kita tanamkan bela diri ini bukan dengan semangat kebencian dan balas dendam. Bela diri yang sehat mengajar filosofi penguasaan diri, membangun struktur tubuh yang sehat, mengendalikan struktur jiwa. Jadi orang tua juga perlu mengecek kemajuannya seperti apa, filosofi apa yang diajarkan dalam bela diri ini, orang tua membantu menanamkan.
H : Artinya kita jangan cepat-cepat bereaksi sebagai orang tua. Jangan cepat-cepat mendatangi sekolah, langsung mengcover anaknya. Tapi anaknya perlu dibekali, dibuat berdaya, diajak untuk melihat kasusnya seperti apa dan dibimbing untuk menemukan solusi-solusi yang kreatif, yang tepat sasaran untuk menghadapi, supaya dia tidak menjadi korban lagi di kemudian hari.
SK : Betul. Memang langkah untuk mendatangi, bahkan mungkin langkah ekstrem memindahkan anak dari sekolahnya memang masih mungkin, tapi silakan itu di tahap berikutnya. Jadi tahap demi tahap dulu. Kalau sampai ketika kita sebagai orang tua membekali anak dan menghadapi jalan buntu akhirnya anak itu kesulitan untuk melakukannya. Atau anak itu sudah melakukan dengan baik namun perlawanan dari pelaku bullying kok semakin menjadi-jadi. Dan ini sudah level yang memprihatinkan, artinya anak itu menjadi korban yang bertubi-tubi bahkan membahayakan keselamatan jiwanya. Dalam konteks seperti itu sangatlah tepat orang tua untuk mendatangi guru, kepala sekolah, mendatangi pelaku, mendatangi orang tua pelaku, atau bahkan sampai titik terakhir karena situasi tidak kunjung berubah setelah sekian bulan, langkah yang bijak kalau kita mulai mempertimbangkan supaya anak tersebut kita pindahkan dari sekolahnya ke sekolah yang lain.
H : Artinya setelah kita memberdayakan anak, kalau tidak ada perubahan, baru kita datangi gurunya, temannya, atau orang-orang yang berkaitan. Terus kalau tidak ada perubahan juga, barulah kita masuk fase berikutnya yaitu mempertimbangkan untuk memindahkannya ke sekolah yang lain.
SK : Betul. Dalam hal ini saya mendorong dan mengusulkan supaya kita bisa mencari konselor yang mendampingi ataupun hamba Tuhan atau orang-orang lain yang Tuhan beri hikmat untuk mendampingi supaya ada pertanggung jawaban dari kita, sehingga kita tidak tenggelam dalam posisi kekalutan tetapi karena kita ada rekan dan kita terbuka berbagi dan didoakan, kita bisa punya hikmat dan ketenangan untuk berespons dengan tepat. Anak juga akan belajar dari cara kita merespons.
H : Saya kembali ke titik awal yaitu memberdayakan korban. Nampaknya sebelum kita membuat korban bisa jadi korban yang aktif dan berdaya, kita perlu mengenali dulu sisi lemahnya. Betul tidak, Pak ?
SK : Betul. Kita perlu lihat pada diri anak kita apa saja yang membuat dia bisa menjadi korban. Mungkin memang rasa percaya dirinya rapuh, dia terlalu pendiam, tidak pernah berani bersuara. Atau dia mengalami hal-hal tertentu yang membuatnya seperti itu, artinya mudah jadi korban. Nah kita kenali di sisi apa saja dan mari kita jangan memaksa, jangan memaki, "Kamu itu harus lebih tegap ! Harus lebih berani bicara lho ! Kamu harus lebih aktif lagi." Itu malah jadi beban, sudah jatuh tertimpa tangga. Orang tua atau kita sebagai orang dewasa perlu menyelam lebih dalam, artinya memahami struktur jiwanya, perasaannya, rasa tidak berdayanya ini. Dan kita bisa layani dia, ajak kepada seorang konselor ataupun rekan hamba Tuhan yang mengerti untuk menolong membuang sampah-sampah jiwanya, luka-lukanya, gambar diri yang buruk di masa lalu, dia belajar untuk menyerahkan kepada Tuhan, mengampuni orang-orang yang bersalah, menerima gambar diri yang baru, membangun dalam komunitas yang sehat sebagai sesama tubuh Kristus. Proses-proses ini tidak bisa instan, tetapi kalau kita lakukan dengan setia ini akan membangun struktur yang baru, yang kokoh, yang solid dan sehat bagi anak yang semula adalah korban bullying.
H : Selain membangun struktur baru yang sehat dan kokoh, apalagi saran Bapak ?
SK : Kita sebagai orang dewasa atau orang tua perlu memberikan kegiatan positif kepada anak tersebut. Kita kenali minatnya, bakatnya. Kita berikan dukungan fasilitas, berikan sanjungan, peneguhan untuk memunyai rasa percaya diri. Jadi membangun dari dalam ke luar. Dalam hal ini memang orang tua perlu sabar dalam proses. Anak itu perlu waktu untuk bertumbuh mendewasa ataupun untuk bisa berkembang dalam mengatasi masalah atau dalam bersosialisasi. Kalau orang tua tidak tahan, silakan mencari pertolongan konselor atau hamba Tuhan yang bisa mendoakan dan menyertai proses pendampingan, pengembangan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya.
H : Kalau dia punya rasa percaya diri yang baik dan sehat, dengan sendirinya akan membuatnya berdaya dan akan membuatnya tidak menjadi sasaran pelaku bullying.
SK : Betul. Orang tua perlu memberikan kegiatan-kegiatan positif, dukungan-dukungan, membangun komunikasi, mengecek, memahami, kadang bisa ceritakan pengalamannya dulu yang pernah menjadi korban juga. Ceritakan, "Dulu papa pernah seperti ini. Papa merespons seperti ini." Misalnya dulu respons papanya keliru, katakan, "Nak, kamu sudah dengar papa pernah gagal. Silakan kamu belajar dari kegagalan papa untuk kamu lakukan cara yang lain." Atau kalau papanya berhasil, katakan, "Kalau papa bisa menghadapinya, papa yakin kamu juga bisa."
H : Ini menarik sekali. Kalau Bapak bisa jelaskan, kenapa anak yang punya percaya diri yang tinggi dan sehat justru tidak rentan menjadi korban bullying ?
SK : Karena dia bisa menyatakan dirinya. Benteng atau pagar perlindungannya, "tidak, aku tidak mau!" dengan sikap tegas dan badan tegap. Dia bisa mencari pembenaran dari rekan-rekan yang lain untuk mendukung. Dengan cara itu dia sudah punya perlindungan dari serangan-serangan orang lain. Ada namanya ‘deterance’ artinya halangan-halangan yang diciptakan untuk orang tidak melanjutkan proses bullying yang diberikan.
H : Jadi pelakunya juga pikir-pikir kalau mau melakukan lagi.
SK : Betul.
H : Terakhir, Pak. Kalau si korban itu mengalami trauma, apa yang harus kita lakukan ?
SK : Perlu proses untuk menyelesaikan trauma. Langkah-langkah empati, menghargai perasaan yang terluka, rasa takut ini. Dia didampingi oleh kita ataupun oleh konselor yang bisa kita rujuk untuk mengekspresikan perasaan-perasaan takut, tertekan, terancam dan mengakui, menyerahkan kepada Kristus. Didampingi untuk mengambil langkah pengakuan secara imani, artinya perasaan masih takut dan terancam, tapi di dalam nama Yesus dia mau menyerahkan secara sadar. Sehingga perasaan inilah yang nanti dimurnikan oleh tindakan atau langkah iman pengampunan ini. Ini proses yang perlu didampingi orang tua. Atau kalau orang tua merasa kurang sanggup kurang berpengalaman, ada konselor yang bisa membantu melatih, atau ada anak-anak Tuhan lainnya.
H : Apa pesan firman Tuhan untuk kita ?
SK : Saya bacakan dari Roma 12:15, "Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, menangislah dengan orang yang menangis." Firman Tuhan meneguhkan kita, ada rasa solidaritas, senasib sepenanggungan ketika ada seseorang yang menjadi korban, apalagi itu anak kita, mari kita ikut merasakan beban itu, ikut mendampingi dia untuk menyerahkannya kepada Allah dan menerima kekuatan pembaharuan dari Allah. Proses berjalan seiring inilah yang sangat vital dibutuhkan oleh sang korban bullying untuk bangkit kembali.
H : Terima kasih, Pak Sindu, untuk percakapan yang sangat menarik ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Menolong Korban Bullying". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan kepada Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.