Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Menghargai dan Menerima Pasangan Kita", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, hal-hal apa yang membuat seseorang itu bisa merosot rasa hormatnya terhadap pasangannya?
PG : Biasanya yang membuat kita akhirnya kehilangan respek kepada pasangan kita adalah kita melihat perbuatan-perbuatan pasangan kita yang benar-benar di bawah standar yang kita miliki. Sebeulnya kita itu memasuki pernikahan membawa nilai-nilai atau standar-standar sesuatu itu harus dilakukan seperti ini dengan cara ini.
Kita hidup harus seperti ini jangan seperti itu dan sebagainya. Sewaktu kita melihat pasangan kita melakukan berbagai hal dengan cara yang di bawah standar kita atau melakukan hal-hal yang kita anggap itu tidak boleh dilakukan, hilanglah respek kita kepadanya. Dan respek ini adalah hal yang penting dalam pernikahan. Saya teringat perkataan dr. James Dobson yang berkata bahwa hampir dapat dipastikan di dalam setiap rumah tangga yang bermasalah, terdapat masalah hilangnya respek. Dan menurut James Dobson problem muncul tatkala respek itu sudah mulai hilang, jadi dengan kata lain hilangnya respek mengawali munculnya masalah yang lebih besar dalam keluarga itu.
GS : Tetapi bukankah kalau ada hal-hal yang kurang berkenan di hati kita atas pasangan kita, kita bisa memberitahu dia?
PG : Biasanya itulah yang kita lakukan, kita mencoba mengkomunikasikan apa yang menjadi harapan kita, namun sudah tentu apa yang kita harapkan itu kadang-kadang tidak terlalu mudah untuk dipnuhi oleh pasangan kita, sebab bisa jadi dia sudah memiliki standar atau cara yang dia anggap benar.
Dan akhirnya karena tidak ketemu di tengah standar dia dan standar kita mulailah terjadi ketegangan. Waktu pasangan kita tidak berubah seperti yang kita harapkan, maka yang muncul adalah perasaan mengapa sampai begini, pasangan kita tidak mau menuruti yang kita inginkan, mengapa dia masih melakukan hal seperti itu, nah mulailah merosot respek kita kepadanya.
WL : Pak Paul tadi mengatakan bahwa setiap kita mempunyai satu set standar. Saya mengasumsikannya setiap kita sebaiknya menikah dengan orang yang memang dari awalnya respek atau kita kagumi, Pak Paul?
PG : Tepat sekali, respek itu sebetulnya adalah buah dari atau kepanjangan dari kekaguman. Maka saya sering berkata kepada pasangan yang mau menikah atau remaja-pemuda, pilihlah pasangan hidp yang engkau respek, yang engkau hormati yaitu yang engkau kagumi.
Kalau dari awalnya engkau tidak memiliki kekaguman terhadapnya, setelah menikah engkau akan mengalami kesulitan mempertahankan respek terhadapnya, karena respek keluar atau kepanjangan dari kekaguman itu. Kekaguman terhadap apa, yaitu terhadap hal-hal atau karakteristik pada dirinya yang memang mulia, yang memang baik, yang memang membuat kita salut. Misalkan dia memiliki kesabaran yang begitu tinggi, nah itulah bahan kekaguman kita; dia memiliki sifat keibuan yang begitu kuat, itulah bahan kekaguman kita; dia mudah memaafkan, inilah bahan kekaguman kita; dia bisa tegas, ini bahan kekaguman kita; sebaiknya kekaguman kita memang tidak terbatas pada kekaguman fisik, karena kalau itu dasar kita maka kita akan mengalami bahaya juga. Sebab kekaguman fisik itu lama-lama bisa berkurang, tapi kekaguman terhadap karakter atau sifat-sifat orang itu biasanya memang tidak tererosi oleh usia maupun waktu.
GS : Apakah ada gejala-gejala atau tanda-tanda awal Pak Paul, ketika pasangan kita mulai tidak respek terhadap diri kita?
PG : Biasanya tanda yang paling jelas adalah sewaktu marah, kemarahan kita itu makin kasar, kalau kemarahan kita makin kasar biasanya itu pertanda respek sudah mulai berkurang.
WL : Pak Paul ada atau tidak perbedaan antara kebutuhan pria dan wanita untuk lebih dihargai. Saya pernah mendengar seorang pendeta mengatakan kalau laki-laki itu butuh dihargai, dihormati tapi kalau wanita itu butuh dikasih, ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?
PG : Saya kira ada, sebetulnya wanita sudah tentu sama seperti pria ingin dihargai, priapun sama seperti wanita ingin dikasihi. Namun memang kebutuhan pokoknya, wanita itu ingin dikasihi, seab itulah yang menyentuh hatinya.
Wanita sewaktu dikasihi dia akan melihat dan merasakan sentuhan langsung dari si suami kepada hatinya, waktu suami dihargai itu juga memang menyentuh hatinya yaitu bahwa dia itu seseorang yang berharga. Jadi dengan kata lain sewaktu seorang wanita menerima kasih sayang, yang terjadi adalah dia merasa dirinya berharga, bernilai. Sewaktu seorang pria mendapatkan pengakuan dari pasangannya, dia juga akan merasakan dirinya berharga. Maka seorang psikolog bernama Larry Crabb mengatakan bahwa manusia mempunyai kebutuhan dasar, yang pertama rasa aman dan yang kedua rasa berharga. Saya kira itu betul jadi dua-duanya baik wanita maupun pria akhirnya memiliki kebutuhan yang sama itu untuk melihat dirinya berharga, namun sarana untuk memenuhinya kebetulan berbeda. Wanita melalui sarana dikasihi sedangkan pria melalui sarana diakui.
WL : Pak Paul, kalau berbicara tentang respek berarti tadi berbicara tentang kelebihan, adanya kelebihan-kelebihan apa yang kita kagumi. Tapi setelah sekian waktu berlalu tiba-tiba kita ketemu dengan orang lain yang lebih kita kagumi, ada kelebihan-kelebihan lain yang tidak ada pada pasangan kita, terus muncul respek terhadap orang itu. Nah ini bagaimana Pak Paul?
PG : OK! Pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa hal itu wajar, hal itu wajar sebab kita menikah dengan manusia yang tidak sempurna, memiliki kelemahan-kelemahan. Kalau nanti dalam perjalann nikah kita akhirnya kita bertemu dengan orang yang lebih dari pasangan kita, ya jangan kaget dan jangan berkata (ini yang sering orang katakan) saya keliru menikah, o....tidak.
Sebab misalnya kita tidak menikah dengan pasangan kita dan menikah dengan orang tersebut, itu tidak berarti orang tersebut tidak memiliki kelemahan. Jadi jangan berkata o.... saya salah menikah, saya salah pilih, o....belum tentu, sebab masing-masing orang memiliki kelemahannya juga. Kalau tadi kita membicarakan mengenai menghargai, respek dan sudah tentu itu muncul dari hal-hal yang kita kagumi, hal-hal yang muncul dari kekuatan kita, sudah tentu harus ada sisi satunya yakni kita terpaksa dan harus melihat serta menerima kelemahan pasangan kita, hal-hal yang tidak kita sukai pada pasangan kita. Untuk ini yang diperlukan adalah menerima, kalau pertama tadi lebih gampang, kita melihat hal yang kita sukai reaksi alamiah atau otomatis adalah kekaguman, respek. Nah yang kedua ini tidaklah alamiah, tidaklah otomatis, menerima berarti memang melihat jelas apa itu kelemahan pasangan kita dan kita memilih untuk berkata ini bagian dari hidup kami berdua.
WL : Dari penjelasan Pak Paul yang terakhir ini, membuat saya semakin kagum kepada Tuhan, kalau ke manusia tadi Pak Paul jelaskan ada bagian-bagian yang kita kagumi, kita respek, tapi mau tidak mau ada bagian yang harus kita akui ada kelemahan dia yang sudah menjadi satu paket dan kita tidak bisa menolaknya. Sedangkan kepada Tuhan, kita kagum tapi tidak ada setitik pun yang memang kelemahan Tuhan yang membuat kita benar-benar harus kagum.
PG : Seharusnyalah respek kita terhadap Tuhan memang respek puncak karena Tuhan adalah Allah yang sempurna, tidak ada kelemahan pada diriNya.
GS : Pak Paul, kalau di dalam hal penerimaan, bukankah kita menikah dengan seseorang, apakah itu tidak berarti bahwa kita menerima dia?
PG : Ini memang secara teoritis itulah yang terjadi Pak Gunawan, bukankah janji nikah juga kita akan bersama pasangan kita melewati suka dan duka dan sebagainya. Tapi janji itu memang janji ang harus kita penuhi dan harus diuji, diuji melewati apa yaitu pengalaman-pengalaman itu sendiri.
Sudah tentu saya tidak ingin menggampangkan masalah, saya menyadari ada para pendengar kita yang berpasangan dengan suami atau istri yang memiliki kelemahan moral yang sangat parah. Yang memukuli pasangannya, yang membohongi pasangannya seperti minum air, kata-kata bohong itu keluar dari mulutnya itu dengan begitu mudah, atau ada orang yang menyumpah serapah semaunya, ada orang yang berzinah semaunya juga, berselingkuh seenaknya dan pasangannya harus menerima dia, otomatis saya tidak berniat untuk menggampangkan masalah. Ada hal-hal yang sangat sulit untuk menerima dan dalam kasus-kasus yang begitu parah saya mengerti kalau kita memilih atau mengalami kesukaran menerima hal-hal yang seperti itu. Sebab itu terlalu menjijikkan dan terlalu berat untuk ditanggung. Nah saya mencoba untuk hanya membicarakan yang di bawah, yang di bawah dari masalah-masalah tadi, yang saya maksud adalah hal-hal yang lebih bersifat perbedaan-perbedaan antara kita dan pasangan kita. Misalkan dalam hal kebersihan, dalam hal kerapian, dalam hal disiplin, dalam hal membesarkan anak, dalam hal waktu, dan sebagainya. Nah ini memang sering kali ada perbedaaan, dalam hal penghasilan uang ada yang lebih tinggi, ada yang lebih rendah, dalam hal kecepatan berpikir, dalam hal kemampuan mengingat, nah hal seperti inilah yang sedang saya bicarakan. Kalau memang kita menemukan ya....dia berbeda dengan kita, jangan terlalu cepat untuk berkata itu adalah sesuatu yang salah atau sesuatu yang merupakan kelemahannya, jangan terlalu cepat. Sebab bisa jadi ini memang suatu perbedaan tidak harus selalu kita katakan kelemahan. Contoh saya menyukai makanan yang mempunyai cita rasa yang kuat, istri saya lebih menyukai makanan yang lebih hambar, tidak terlalu mempunyai cita rasa yang kuat. Nah dalam kami menikmati makanan, ya ada perbedaan, dia suka makanan yang lebih kebaratan, saya suka makanan yang ketimuran. Tapi saya tidak berhak mengatakan bahwa cita rasa saya itu adalah cita rasa yang baik dan cita rasanya cita rasa yang buruk, tidak bisa. Jadi prinsip pertama jangan cepat-cepat melabelkan (waktu berbeda antara selera kita dan selera pasangan kita) seleranya itu salah, rusak, tidak benar atau lemah.
WL : Pak Paul, saya tertarik dengan penjelasan Pak Paul tentang kasus-kasus tadi, permasalahan-permasalahan yang berat-berat itu. Justru ada ekstrim lain lagi Pak Paul, kalau kita telusuri dari kasus-kasus itu sebenarnya dari masa awal pacaran itu "sudah ketahuan" tapi secara ekstrim mungkin wanitanya yang lebih banyak, memerima dengan membabi buta, walaupun orang tua pihak gereja atau lingkungan teman-teman sudah memberikan isyarat-isyarat: "Pacarmu ini agak sering-sering bohong begitu ya kepada kami pu," tetapi porsi menerima apa adanya ini sangat ekstrim, sangat besar. Jadi ya sudah menikah dan akhirnya begitu, Pak Paul?
PG : Saya sering menekankan ini kepada pasangan muda sebelum mereka menikah yaitu carilah pasangan yang paling baik. Kalau menggunakan istilah James Dobson, dia berkata nikahilah orang yang angat kamu cintai dan benar-benar itu adalah orang yang terbaik untuk kamu.
Dan saya setuju, kita menikah bukan seperti membeli mobil, kalau 10 tahun kemudian tidak menyenangkan hati, kita bisa menjualnya dan menggantinya dengan yang baru. Tidak, pernikahan adalah suatu yang permanen dan kita jalani seumur hidup, jadi kita mesti memiliki dengan berhati-hati, pilihlah yang paling baik. Adakalanya dalam budaya kita yang lebih menekankan pernikahan akhirnya ada orang-orang yang terjebak, tertekan oleh harapan-harapan ini, akhirnya menikah dengan sembarangan dan sudah melihat kekurangan atau kelemahan pasangannya namun dia berkata ya tidak apa-apa nanti juga akan beres, padahalnya tidak pernah beres. Ini hal yang sering saya saksikan dalam konseling-konseling saya juga, waktu saya mendapatkan kasus-kasus yang berat seperti itu saya bertanya kepada pasangannya, kapankah dia melakukan hal itu? Dan sering kali jawabannya adalah sejak masih berpacaran. Tadi Ibu Wulan sudah katakan sejak mulai berpacaran sudah mulai berbohong, sudah mulai tidak setia, sudah mulai berjudi, sudah mulai minum-minum dan mabuk-mabukan, sudah mulai memukuli, tapi tetap dianggap tidak apa-apa. Karena apa, penerimaan yang terlalu membabi buta. Jadi penerimaan di sini memang sesuatu yang perlu berimbang, kita perlu mempunyai standar, kita memilih yang terbaik namun setelah itu kita lakukan waktu kita menemukan hal-hal yang tidak kita senangi, yang di bawah standar kita berusahalah untuk menerimanya.
GS : Tetapi menerima dengan resiko respeknya berkurang.
PG : Saya kira itu adalah bagian dari pertumbuhan kita Pak Gunawan, dan itulah yang saya kira ada dalam rencana Tuhan. Tuhan tidak merencanakan agar kita menikah dalam kesempurnaan, Tuhan daam rencananya memang mengijinkan kita dan seolah-olah mewajibkan kita menikah di dalam ketidaksempurnaan.
Sebab di dalam ketidaksempurnaanlah karakter kita disempurnakan Tuhan, waktu kita harus bersama dengan orang yang memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, hal-hal yang tidak kita sukai, tidak bisa tidak yang akan nanti mengalami perubahan paling drastis adalah diri kita. Kita dipaksa Tuhan untuk lebih sabar kepadanya dan sebagainya.
GS : Berarti respek itu sebenarnya bisa ditumbuhkan, Pak Paul? Katakan kita awalnya tidak terlalu respek, apakah kita bisa menumbuhkan respek terhadap pasangan?
PG : Saya kira bisa Pak Gunawan, respek itu memang tumbuh sebagai produk, produk dari yang kita lihat dan kita sukai. Nah pertanyaannya, kalau memang ini kelemahan pasangan kita bagaimana kia bisa menyukainya, sehingga bisa menumbuhkan respek? Tadi saya sudah katakan prinsip pertama adalah kita jangan cepat-cepat menuduh atau melabelkan perbedaan itu sebagai kelemahan pasangan kita.
Sesuatu yang berbeda panggillah berbeda jangan buru-buru mengatakan dia yang lemah, yang salah, yang buruk, saya yang benar dan baik. Kedua, kalau kita menyadari memang itu hal yang merupakan kelemahannya, kita harus melihatnya sebagai kelemahan. Jangan kita menyangkal dan berkata, itu bukan kelemahannya sebab kalau kita menyangkal itu berarti kita tetap menuntutnya untuk memiliki kwalitas itu. Misalkan kita melihat pasangan kita itu sering lupa, nah kalau kita masih berkata kamu sebetulnya tidak pelupa, kamu ingat ini, kamu bisa ingat itu, kenapa ini bisa lupa. Semua orang yang namanya pelupa, itu tidak melupakan semua hal sudah tentu hanya sebagian hal dan tidak bisa dirumuskan untuk hal apa kita bisa lupa, dan untuk hal apa kita tidak lupa, lupa itu tidak bisa dipatok atau dirumuskan. Nah yang lebih sehat adalah mengakui dan menerima fakta bahwa pasangan kita memiliki kelemahan ini. Jadi yang pertama tadi jangan buru-buru memanggil kelemahan, jadi kita tidak cepat-cepat menghakimi orang. Namun kalau memang kita melihat ini memang kelemahan, sebaiknya kita akui sebagai kelemahan. Karena kalau kita masih belum memanggilnya kelemahan berarti kita masih menuntutnya harus berbeda dari apa adanya, dia seharusnya tidak lupa berarti itulah awal dari konflik. Waktu kita memanggilnya kelemahan, ini membawa kita masuk ke langkah yang ketiga. Setelah kita panggil itu, kita akui itu sebagai kelemahan, langkah berikutnya adalah apa yang akan kita perbuat dengan kelemahan pasangan kita itu. Yang saya kira sehat untuk kita lakukan adalah kita mencoba melengkapi kelemahannya itu. Kalau kita tahu dia akan mudah lupa, waktu kita melihat dia menaruh kunci, kita lihat kuncinya ditaruh di mana sebab kita sudah tahu kemungkinan besar dia akan lupa akan kunci ini. Namun yang sering kali kita lakukan, bukannya kita sengaja ingatkan kita diamkan, kita mau melihat lupa atau tidak ini, waktu dia lupa kita marah kita katakan kamu mesti lupa menaruh barang sembarangan, akhirnya terjadi pertengkaran. Betapa mudahnya dan harmonisnya relasi kita kalau kita langsung melengkapi kelemahannya, kita melihat dia menaruh kunci di mana kita ingatkan dia ini kuncinya jangan sampai lupa nanti, sudah beres tidak ada pertengkaran.
WL : Pak Paul, mungkin agak sulit menyeimbangkan antara melengkapi dengan berusaha juga menjadi berkat yang mengubah dia. Kalau kita melengkapi terus dia akan terus lupa karena dia pikir nanti istri saya atau suami saya juga pasti ingatkan kuncinya ada di mana, bagaimana Pak Paul?
PG : Sudah tentu dalam hal-hal seperti ini, awal-awalnya saya kira kita tidak langsung ke sana, awal-awalnya kita ribut-ribut dengannya karena kita menuntut dia harus ingat. Nah sesuatu yangkita ributkan misalkan selama 5 tahun, saya kira cukuplah untuk menyadarkan kita bahwa inilah kelemahan pasangan kita, dan terima.
Jadi kita belajar hidup dengan kelemahan pasangan kita. Sering kali yang kita inginkan adalah kita hidup di luar atau tanpa kelemahan pasangan kita, bagaimana menghapusnya, menghilangkannya dan menggantikannya selalu dengan hal-hal yang kita senangi. Tidak, akan ada hal-hal yang tidak kita senangi itu, nah bagaimanakah kita hidup dengan kelemahan ini, nah memang kita mencoba melengkapi. Awal-awalnya mungkin 5 tahun pertama kita tidak menerima, kita terus-menerus menegur dia, marah sama dia karena lupa terus, tapi setelah 5 tahun akhirnya kita terbangun dan berkata itulah kelemahan pasangan kita.
WL : Pak Paul, saya pernah mendengar teori yang mengatakan bagaimana mengharapkan orang menghargai atau respek kepada kita itu bergantung juga pada bagaimana sikap kita terhadap diri kita sendiri. Nah kalau kita menghadapi pasangan yang dia sendiri tidak respek pada dirinya sendiri, tidak mungkin juga kita belajar atau memaksakan diri respek kepada dia, Pak Paul.
PG : Betul, sudah tentu orang itu sendiri berpengaruh atau berperan terhadap apa yang orang lain akan lakukan terhadapnya. Kalau dia sendiri tidak merespek dirinya, menghina dirinya terus-meerus, ya orang akan mudah akhirnya menghina dia, dan tidak merespek kepadanya.
Jadi betul, perlakuan kita terhadap diri sendiri itu mempengaruhi perlakuan orang terhadap diri kita.
GS : Tetapi di dalam semua ini memang peran kasih itu luar biasa, Pak Paul?
PG : Betul, peran kasih sangat penting, sebab firman Tuhan di I Petrus berkata kasih itu menutupi pelanggaran yang begitu banyak atau kita boleh gunakan kelemahan-kelemahan sebanyak apapun, alau kasih itu ada kasih memang bisa menutupinya.
Tapi saya juga mau ingatkan lagi bahwa saya mengerti ada sebagian dari pendengar kita yang hidup di dalam suasana yang terlalu berat sehingga kasih itu lama-lama menjadi pudar.
GS : Ada seorang istri itu yang sering kali merendahkan suaminya itu di depan orang lain, memperbincangkan kelemahannya, kekurangannya dan sebagainya. Itu bagaimana Pak Paul?
PG : Itu tidak akan menolong malah makin merusakkan relasi nikah itu. Karena si suami akan melihat bahwa istrinya memang bukan saja tidak respek kepadanya tetapi memohon atau mengundang oran lain untuk tidak respek kepada suaminya.
Akhirnya biasanya reaksi suami hanya dua, yang pertama dia marah atau yang kedua dia makin mencuekkan atau memasabodohkan istrinya itu. Sebaiknya memang istrinya berbicara dengan suami minta apa yang dia harapkan dan si suami juga berusaha untuk memenuhi apa yang diminta oleh istrinya itu. Sebab baik yang berusaha menerima atau pun yang berusaha memperbaiki diri, dua-duanya mengalami pertumbuhan. Pernikahan di dalam pengertian kita tentang rencana Tuhan, pernikahan adalah ajang pertumbuhan yang Tuhan gunakan, dengan kata lain di dalam pernikahanlah anak-anak Tuhan itu digembleng supaya bertumbuh lebih dewasa. Sekali lagi saya tekankan, yang berusaha menerima kelemahan pasangannya dia akan bertumbuh, karakter kesabarannya, karakter penguasaan dirinya, karakter kasihnya akan diperkuat. Tapi yang berusaha memperbaiki diri dalam kelemahannya itu pun akan mengalami pertumbuhan. Jadi kalau kita melihat dari kacamata Tuhan, dua-duanya memang dituntut untuk mencoba bertumbuh.
GS : Di dalam hal menghormati pasangan ini Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang mau Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan dari 1 Korintus 12:23, "Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap angota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus."
Nah kenapa Tuhan meminta kita melakukan hal-hal ini yaitu kepada yang kurang terhormat kita berikan penghormatan khusus, kepada yang tidak elok kita berikan perhatian khusus. Di
1 Korintus 12:22 dikatakan, "Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan." Saya akan tutup dengan sebuah contoh, beberapa waktu yang lalu istri saya masak mie goreng, saya suka mie goreng. Eh....mie itu lembek sekali, saya kesal sekali akhirnya saya tidak bisa makan banyak, dalam hati saya mengomel tapi tidak tega menyampaikannya akhirnya tidak makan. Tapi istri saya sangat murah hati, dia berkata tidak apa-apa dia simpan mie gorengnya. Nah beberapa hari kemudian, dua atau tiga hari kemudian saya mau membuat mie ayam, saya sudah membuat mie ayam mungkin ratusan atau ribuan kali, tapi hari itu saya buat, saya taruh air kebanyakan sehingga mie ayam itu lembek. Anak saya, saya ajak makan, dengan bermurah hati anak saya makan meskipun mienya begitu lembek, saya hanya bisa makan sedikit karena tidak enak. Supaya tidak nempel-nempel saya pakaikan minyak tambah saya mual, akhirnya setelah makan anak saya sakit perut, saya pun sakit perut. Tiba-tiba saya dengar Tuhan berkata kepada saya Pak Guawan: "Paul, waktu istrimu masak tidak enak, kamu begitu kritisnya, sekarang kamu masak tidak enak anakmu makan dengan diam-diam." Saya merasa sangat bersalah Pak Gunawan, saya minta maaf kepada istri saya dan saya berkata Tuhan membela kamu karena kamu orang yang lemah. Nah apa yang saya pelajari Pak Gunawan, yang lemah kita butuhkan, kelemahan kita butuhkan sebab di dalam menghadapi kelemahanlah kita bertumbuh dan pertumbuhan itulah yang kita butuhkan. Dan Tuhan sediakan itu dalam pernikahan kita.
GS : Ya terima kasih Pak Paul untuk kisah yang menarik di akhir perbincangan ini, tetapi secara keseluruhan saya rasa perbincangan ini memang sangat penting sekali bagaimana kita menghargai dan menerima pasangan kita yang Tuhan sudah karuniakan kepada kita. Terima kasih juga Ibu Wulan untuk bersama kami di dalam perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghargai dan Menerima Pasangan Kita." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.