Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami yang terdahulu yaitu tentang "Menghadapi Orang Tua Bermasalah Di Hari Tuanya" , kami berharap Anda sekalian bisa mengikuti perbincangan ini dengan baik. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada kesempatan yang lalu kita sudah membicarakan bagaimana orang tua itu bermasalah pada hari tuanya dan itu sangat berpengaruh hidup pernikahan dari anak atau anak-anaknya, Pak Paul. Kita sudah membicarakan empat hal yang lalu dan kita akan masuk pada masalah yang berikutnya, tapi sebelumnya mungkin Pak Paul bisa mengulas secara singkat.
PG : Ada empat yang telah kita bahas. Yang pertama adalah, ada orang tua yang terus ingin mengendalikan hidup kita anak-anaknya bahkan sampai di usia lanjut. Jadi kalau mereka mau sesuatu, mereka mesti mendapatkannya. Mereka tidak bisa mendengar kata "Tidak" dari kita. Kita harus selalu meluluskan permintaan mereka. Yang kedua, ada orang tua yang kasar dan merendahkan kita; anak dan menantunya. Karena kita tidak mencapai standar yang mereka katakan. Misalkan mereka berharap kita menjadi orang yang kaya, tapi kita tidak menjadi orang yang kaya. Mereka mengharapkan menantunya juga dari keluarga terhormat dan kaya, tapi tidak. Atau kita tidak bisa memberi pada orang tua sebesar kakak atau adik kita. Jadinya orang tua itu tidak lagi merasa malu atau apa langsung saja menegur kita, mempermalukan kita, mengatakan hal-hal yang merendahkan kita atau pasangan kita. Yang ketiga, ada orang tua yang memperalat anak sebagai ‘sapi perahan’ belaka. Jadi mereka itu tidak memikirkan kepentingan anak; mereka hanya memikirkan kepentingan sendiri. Terpenting bagi mereka anak memberikan uang. Jadi itu yang mereka fokuskan. Dan yang keempat, ada orang tua yang mengadu domba kita suami istri supaya hubungan kita retak. Ya, mungkin dari awalnya mereka tidak menyetujui pernikahan kita karena tidak suka dengan pasangan kita, jadi ada saja yang mereka katakan untuk menjelek-jelekkan pasangan kita; menambah-nambahkan hal yang tidak dikatakan pasangan kita supaya hubungan kita dengan pasangan retak. Meskipun ini sebuah hal yang menyedihkan seharusnya mereka tidak begitu. Kalau retak kita bisa bercerai. Tapi mereka sungguh-sungguh berharap kita retak dan cerai, sebab bagi mereka lebih baik kita cerai daripada mereka berhubungan dengan pasangan kita.
GS : Secara umum Pak Paul, apa yang bisa dilakukan oleh anak yang menjadi katakan korban dari orang tua yang seperti itu, Pak Paul ?
PG : Kalau masih memungkinkan kita harus berbicara kepada orang tua kita dan menyampaikan keberatan kita atau teguran kita. Kalau tidak memungkinkan karena nanti berekor panjang, lebih memperburuk situasi, memperburuk hubungannya dengan menantu atau dengan pasangan kita, lebih baik memang kita tutup telinga saja, tidak hiraukan. Yang penting kita dan pasangan ada saling pengertian, bahwa kita menyayanginya dan kita membelanya dan kita percaya padanya. Meskipun orang tua kita adalah orang tua kita, tapi kita tidak berpihak pada yang salah. Kita mau berpihak kepada yang benar.
GS : Kita lanjutkan perbincangan ini. Bentuk yang lain dari masalah orang tua di hari tua ini apa, Pak ?
PG : Ada orang tua yang berpikir dan berbicara negatif. Hanya melihat sisi buruk dan sukar melihat apalagi menghargai kebaikan orang; termasuk kita anaknya atau menantunya. Jadi ada orang tua yang selalu berpikir dan berkata negatif tentang segala sesuatu, termasuk orang, yang membuat kita tidak nyaman di dekat mereka. Karena mereka itu jarang berkata baik tentang orang; sebab bagi mereka semua orang tidak benar, tidak baik dan mereka selalu bisa melihat kekurangan orang, kejelekan orang. Itu yang dijadikan bahan kritikan dan bahan pembicaraan. Jika itulah kondisinya, adakalanya kita perlu memberitahukan orang tua untuk tidak berbuat seperti itu. Tapi memang tidak selalu kita bisa melakukannya. Mereka sudah begitu terbiasa berkata dan berpikir negatif, jadi tidak mudah bagi mereka untuk berubah. Selain dari itu, oleh karena begitu terbiasa maka jika tidak ada hal yang negatif mereka benar-benar tidak tahu mesti berbicara apa. Itu sebab mereka terus berpikir dan berkata negatif karena tanpa itu mereka akan kehabisan bahan pembicaraan.
GS : Iya. Sebenarnya mereka ini sulit untuk berubah atau memang tidak mau berubah Pak?
PG : Pada akhirnya memang tidak mau berubah, Pak Gunawan. Karena mereka ini memang sudah terbiasa. Dan sewaktu mereka membicarakan kejelekan orang, mereka beranggapan bahwa "Kami ini di pihak yang benar. Orang itu yang salah, orang ini yang punya masalah". Jadi mereka benar-benar tidak merasa bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Tapi orang yang disekitar mereka akan merasa "Aduh tidak enak dekat-dekat dengan mereka", karena selalu berkata buruk tentang orang atau tentang sebuah situasi. Misalnya, mengunjungi sebuah pesta pernikahan. Kita kebetulan sama-sama pergi dengan orang tua kita. Pulang dari pesta pernikahan bukannya berbicara yang bagus tentang pesta itu, tentang si mempelai dan sebagainya, bicara yang buruk saja tentang pesta itu atau tentang si mempelai. Jadi akhirnya kita memang tidak bisa tidak merasa tidak enak dekat dengan orang tua yang berpikir negatif dan berkata buruk tentang orang.
GS : Iya. Dan memang karena dari pikirannya yang negatif itu lalu tercetus kata-kata yang negatif itu tadi, Pak Paul?
PG : Betul, betul. Karena memang cara mereka melihat hidup dan manusia adalah seperti itu, negatif.
GS : Iya. Dan ini apa yang bisa kita lakukan sebagai anak?
PG : Satu-satunya cara menghadapi perilaku negatif yaitu adalah dengan menghindar atau tidak memberi respons. Jadi janganlah menanggapi bila orang tua berpikir atau berkata negatif; berdiam diri saja. Pada akhirnya mereka akan berhenti sendiri bila kita tidak memberikan tanggapan apa-apa. Juga dengan kita berdiam diri dan tidak memberi tanggapan, mereka akan tahu bahwa kita tidak suka dan tidak menyetujui perbuatan mereka. Nah, harapan kita adalah mereka pun akan berhenti karena tahu bahwa kita tidak nyaman dengan perbuatan mereka itu yang terus menyoroti hal-hal yang buruk atau negatif.
GS : Memang kadang-kadang kalau didiamkan justru kita ditanya, "Tanggapanmu apa?"
PG : Ada yang begitu, Pak Gunawan. Saran saya adalah kalau ditanya begitu kita berkata "Saya tidak mau memberikan tanggapan sebab nanti akan jadi panjang", jadi kita berterus terang begitu. Misalnya mereka tersinggung, mereka tanya lagi, "Tapi apa pandanganmu ? Kenapa tidak mau berbicara?" karena tidak mau panjang; jadi selesai. "Papa mama berkata begitu itu yang papa mama lihat. Sudah saya dengarkan. Tapi saya tidak mau memberitahu apa yang saya pikirkan. Tidak usah"
GS : Karena kalau kita memberikan komentar tertentu pasti salah juga.
PG : Betul, betul. Apalagi kalau kita tidak setuju dengan komentarnya kita mau berkata bahwa orang ini tidak seburuk yang papa mama katakan, maka kita yang akan jadi bahan yang diserang oleh mereka.
GS : Iya, yang jadi boomerang kita sendiri. Jadi lebih baik memang didiamkan. Hal yang keenam apa, Pak Paul ?
PG : Ada orang tua yang gemar menjelek-jelekkan kita di hadapan adik atau kakak kita dan berbuat yang sama dengan mereka di hadapan kita pula. Jadi di depan kita menjelek-jelekkan kakak adik kita. Di hadapan kakak adik kita menjelek-jelekkan kita. Mungkin kita bertanya, "Mengapa mereka begitu ?". Sesungguhnya mereka menjelek-jelekkan kita untuk memeroleh simpati dari kakak atau adik kita. Sudah tentu tidak apa orang tua bercerita tentang kita kepada kakak atau adik jika memang benar kita seburuk dan sejahat itu. Namun jika tidak, dapat kita simpulkan bahwa tujuan mereka adalah untuk mendapatkan simpati sekaligus dukungan untuk menghadapi kita. Kebanyakan orang tua yang tidak menyenangkan tahu bahwa mereka tidak menyenangkan dan tidak disukai oleh anak. Itu sebab untuk memeroleh dukungan mereka perlu menjelek-jelekkan kita di hadapan kakak dan adik, supaya kakak dan adik misalnya marah dan menegur kita dan mereka juga akan lebih berbelas kasihan kepada orang tua. Nah, itulah yang kira-kira diinginkan oleh orang tua kita dengan cara menjelek-jelekkan kita di hadapan kakak atau adik kita.
GS : Ini sama dengan yang terdahulu yang kita bicarakan di sesi yang sebelumnya; mengadu domba antara suami dengan istri, tapi yang ini mengadu domba antara saudara dengan saudara.
PG : Betul. Disini memang beda tujuannya. Kalau mengadu domba yang kita bicarakan sebelumnya itu memang adalah untuk sengaja mau meretakkan relasi kita dengan pasangan. Kalau ini karena untuk mendapatkan dukungan. Sebab mereka itu sudah merasa kita ini tidak mendukung, kita ini tidak suka dengan perbuatan-perbuatan atau sikap-sikap orang tua yang kita anggap tidak benar. Nah, mereka itu tidak mau nantinya anak-anak semuanya jadinya sepakat sehati tidak menyukai mereka. Supaya mereka aman, maka mereka menjelek-jelekkan kita di hadapan kakak atau adik kita supaya mereka berada di pihak orang tua kita. Jadi kitalah yang dikucilkan sendirian.
GS : Tetapi lama-lama ‘kan anak-anak juga memahami akan sifat dari orang tuanya ini, lalu mereka bisa menjadi menyatu begitu untuk menghadapi orang tua ini ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Cara memeroleh simpati seperti ini tidak sehat dan juga, tadi Pak Gunawan berkata, tidak berlangsung lama. Tinggal menunggu waktu maka semua anak akan tahu bahwa mereka pernah menjadi korban; bahwa orang tua pernah menjelek-jelekkan mereka pula. Pada saat terbongkar sudah tentu reaksi kakak dan adik bukan memberi simpati kepada orang tua, sebaliknya malah bertambah tidak simpati terhadap orang tua. Mereka tidak akan memercayai apa yang orang tua katakan, itu saja. Dengan kata lain kesimpulannya, orang tua yang gemar menjelek-jelekkan anak akan menuai konsekuensinya. Akhirnya anak-anak semuanya itu tidak mau lagi percaya apa yang orang tuanya katakan karena tahu bahwa inilah kebiasaan orang tua yang tidak baik. Kalau sama kami menjelekkan kakak, kalau sama kakak menjelekkan kami supaya mendapatkan dukungan yang mereka inginkan.
GS : Iya. Karena sama saja dengan berbohong terhadap anak-anaknya, Pak Paul ?
PG : Berbohong dan juga jadinya memfitnah, Pak Gunawan. Karena memang menjelek-jelekkan yang sebetulnya tidak seperti itu.
GS : Jadi tujuan utamanya apa, Pak Paul, dengan mengadu domba ini?
PG : Tujuannya adalah supaya anak itu berpihak pada dia, sayang kepada dia dan membela orang tua untuk menegur atau menyalahkan yang satunya lagi. Jadi mereka itu, karena tahu bahwa mereka bukan orang tua yang disenangi oleh anak-anaknya oleh karena memang sifat-sifatnya, mungkin mereka perlu mendapatkan dukungan dari satu dua anak. Kepada dua anak itulah si orang tua akan bercerita hal-hal buruk tentang anak yang lain itu.
GS : Setelah kebohongan ini terbongkar, anak-anaknya menyadari bahwa mereka di adu domba. Itu bagaimana reaksinya ?
PG : Biasanya orang tua memang akan marah, merasa dibuang, membuat kita anak-anak juga rasa bersalah. Sudah tentu kita tidak boleh memang membuang orang tua, seperti apapun. Sudah kita terima, ini orang tua kita. Yang penting adalah kita ini semuanya sudah saling tahu bahwa mama atau papa seperti itu. Jadi waktu mereka berbicara, sudah dengarkan saja tapi kita tidak perlu memercayainya.
GS : Iya. Hal yang ketujuh apa, Pak Paul?
PG : Ada orang tua yang egois. Menuntut anak untuk membahagiakan dan mementingkan mereka di atas kepentingan siapapun. Ada orang tua yang jauh lebih memikirkan dan mementingkan kebutuhan serta keinginan mereka pribadi ketimbang kita anak-anaknya. Bila kita tidak sanggup membahagiakan mereka, maka mereka akan terus membicarakan kita dan membuat kita merasa bersalah. Yang menyedihkan adalah orang tua yang seperti ini benar-benar tidak peduli seperti apa letihnya kita mengupayakan pemenuhan kebutuhan mereka. Bagi mereka hidup berputar di sekitar mereka. Jadi tidak ada yang dipikirkan kecuali dirinya sendiri. Mereka harus selalu dibahagiakan. Tidak soal caranya. Sebagai contoh, ada orang tua Pak Gunawan yang benar-benar mengharuskan anaknya setiap hari datang. Padahal anaknya juga repot; punya anak juga, punya keluarga, kerja sudah lelah. Tidak bisa tidak, harus datang setiap hari. Kalau tidak datang akan jadi masalah. Pokoknya mesti membahagiakan hati orang tua. Tidak boleh itu orang tuanya sedikit pun sedih. Anaknya yang harus bertanggung jawab mengupayakan kebahagiaan itu.
GS : Sifat egois ini apakah akan muncul setelah pasangannya meninggal atau walaupun masih ada pasangannya bisa seperti itu ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Memang tidak mesti setelah salah satu sudah meninggal. Tidak. Sifat egois itu bisa terus memang ada pada diri orang tua atau pada diri kita juga nanti setelah kita tua.
GS : Iya jadi sebenarnya tujuannya supaya dia bahagia. Tapi kalau caranya seperti itu tentu tidak betul, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi karena mereka memang tidak memusingkan kita; kita ini seperti apa, pontang-pantingnya apa, susahnya apa. Tidak. Pokoknya yang penting mereka bahagia, jadi mereka akan terus menuntut, mereka akan terus egois. Nah, bila orang tua seperti itu, kita harus membuat batas yang jelas antara kita dan mereka. Kita mesti menyatakan bahwa kita tidak sanggup membahagiakan mereka. Sebab hanya mereka sendirilah yang mampu membuat diri bahagia. Jadi tugas kita adalah menyadarkan orang tua bahwa tidak ada yang dapat membuat mereka bahagia selain diri mereka sendiri. Dan bahwa kebahagiaan sejati keluar dari kerja keras untuk membahagiakan keluarga, bukan diri sendiri. Sebaliknya makin kita egois, makin kita merasa tidak bahagia. Kita lihat ini, Pak Gunawan, dalam kenyataan hidup. Orang tua yang memikirkan kebahagiaan satu keluarga. Di hari tuanya paling bahagia karena kita anak-anak sayang mereka, ingin membahagiakan mereka. Tapi kalau orang tua hanya memikirkan diri, kebahagiaannya sendiri tidak memikirkan keluarga atau anak-anaknya, justru sudah tua akan merana. Karena kita anak-anak tidak suka dengan orang tua kita yang hanya mementingkan kebahagiaan, tidak memikirkan kebahagiaan kita anak-anaknya.
GS : Iya. Bahkan sifat egois ini bukan hanya menuntut bahagia di dunia. Dia bahkan menuntut kalau nanti dia sudah tidak ada masih tetap minta diperhatikan. Entah kamarnya, atau fotonya, atau apa bahkan untuk orang-orang tertentu harus diadakan upacara-upacara tertentu begitu.
PG : Betul. Jadi ada yang seperti itu. Benar-benar mereka itu yang hanya memikirkan diri sendirinya, yang penting mereka bahagia. Anak-anaklah yang bertanggung jawab untuk membuat mereka bahagia. Jadi ada saja yang mereka minta dari kita, anak-anaknya. Dan mereka tidak peduli seperti apa kita sudah pontang-panting hidup ini.
GS : Hal itu buat anak-anak menjadi suatu beban tersendiri, Pak Paul. Untuk mengurus yang sekarang sudah sibuk masih harus dibebani hal-hal yang akan datang.
PG : Betul, betul. Belum lagi, misalkan kita juga sudah ada umur; kita sudah tidak muda lagi dan orang tua kita sudah tua, kita sudah mulai sakit-sakitan atau ada masalah keterbatasan, atau anak-anak kita sudah besar yang memiliki kebutuhan yang juga tidak kecil. Jadi kita bisa stres berat, Pak Gunawan, karena kita merasa kita dihantam kanan kiri, dituntut kanan kiri. Dan kita sendiri sebenarnya sudah mulai terbatas.
GS : Iya. Masih ada lagi kira-kira, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir yang kedelapan adalah, ada orang tua yang perhitungan. Mengharuskan kita membayar balik semua yang pernah mereka keluarkan untuk membesarkan kita. Dengan kata lain, mereka menuntut kita membalas budi. Sebab bagi mereka membesarkan anak sama dengan menginvestasi uang mereka. Tidak bisa tidak, bila kita dibesarkan oleh orang tua yang perhitungan sedapatnya kita berusaha untuk bebas utang. Kita tidak mau berutang budi. Sebab kita tahu nanti kita akan ditagih; mulai dari uang sampai pengorbanan semua diingat dan dihitung. Setelah itu ditagihkan kepada kita anak-anaknya. Jika orang tua kita seperti itu, tidak bisa tidak, kita memang harus memenuhi tuntutan mereka; membayar utang dengan cara menyuplai kebutuhan mereka. Jika memungkinkan justru berilah lebih daripada yang mereka tuntut, kalau memungkinkan. Tujuannya satu, yaitu agar mereka belajar untuk bermurah hati. Sebab mereka hanya dapat belajar untuk bermurah hati jika mereka melihat dan menerima kemurahan hati. Singkat kata, bila kita memberi respons yang sama atau perhitungan, maka siklus perhitungan tidak akan pernah putus. Kita hanya dapat memutusnya bila kita mulai menerapkan konsep kasih karunia, yaitu memberi lebih daripada yang seharusnya kepada orang yang tidak selayaknya menerima.
GS : Iya. Pak Paul, kalau kita memberi apa yang diminta orang tua kita walaupun kita mampu, apakah itu tidak akan membuat dia semakin meningkatkan tuntutan untuk diberikan haknya begitu, menurut dia ?
PG : Bisa, bisa. Mereka akan minta lagi, minta lagi. Sudah tentu kita akan lihat apakah permintaannya itu baik untuk kita turuti atau tidak. Kalau tidak kita memang harus berkata, "Maaf saya kira, saya tidak bisa berikan ini ke papa dan mama". Jadi tidak apa-apa sekali-kali menolak. Yang saya mau tekankan memang adalah jangan membalas. Saya mengerti kita manusia ini bisa jengkel, Pak Gunawan. Kalau orang tua itu perhitungan, membangkit-bangkitkan apa yang mereka dulu keluarkan, seberapa banyak yang mereka keluarkan untuk membesarkan kita dan menyekolahkan kita; dorongan kita adalah "Pokoknya saya akan bayar semua sehingga tidak ada utang satu sen pun". Biasanya kita seperti itu. Dan kalau kita rasa kita sudah bayar lunas semua utang itu, sudah kita tidak mau tahu lagi tentang orang tua kita. Ini saya mengerti, kita bisa bertindak seperti ini. Tapi kalau bisa kita jangan sampai seperti itu. Karena orang tua kita itu yang menurut kita yang membayar lunas utang-utangnya adalah orang yang memang tidak mengerti konsep anugerah. Kita ini anak-anak Tuhan, kita tahu kita diselamatkan oleh anugerah. Kita tidak layak menerima tapi Tuhan memberikan kepada kita. Jadi sama ya. Kita kepada orang tua juga kita terapkan konsep anugerah. Sewaktu kita memberi kita berkata "Kita memberi bukan karena ingin membayar budi melainkan karena Tuhan mengajarkan kita untuk hidup dalam anugerah". Jadi biar orang tua melihat dan belajar gaya hidup anugerah dari kehidupan kita. Sewaktu memberi kita tidak pernah menghitung-hitung dan biarlah mereka pun melihat bahwa Tuhan setia dan terus memberkati kita, sebagaimana dikatakan oleh Amsal 11:24-25 ,"Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa , namun selalu berkekurangan. Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum." Jadi biar orang tua melihat bukti pemeliharaan Tuhan. Tuhan justru menambahkan kepada kita bukannya mengurangi. Bukannya kita jadinya miskin gara-gara memberi dengan bebas, dengan murah hati kepada orang terlebih kepada orang tua. Tidak. Justru Tuhan tambahkan. Jadi biarlah orang tua melihat bahwa inilah gaya hidup yang Tuhan inginkan, gaya hidup kasih karunia.
GS : Tapi biasanya ketika mereka melihat bahwa kita mendapat berkat baru dari Tuhan tuntutannya juga baru lagi, Pak Paul ?
PG : Iya bisa, bisa, Pak Gunawan. Ada orang tua yang begitu, "Kamu sekarang ‘kan sudah lebih ada. Kamu sekarang sudah punya ini. Kamu tolong memikirkan kami", ada Pak Gunawan. Jadi kita lihat apakah memang kita bisa memberi atau tidak, apakah memang orang tua kita perlu atau tidak. Terkadang tidak perlu, maka kita katakan "Maaf mama, papa kalau perlu kami pasti berikan. Tapi rasanya ini tidak perlu buat apa beli itu, buang-buang uang saja". Terkadang orang tua tidak terima; "Sekarang anak perhitungan sama orang tua. Kami dulu tidak perhitungan sama kamu", orang tua bisa berbicara seperti itu. Tapi kita katakan, "Tidak. Kami selalu memberi. Kami tidak pernah menghitung-hitung. Tapi memang untuk hal ini kita melihat, ini tidak perlu. Jadi sudah, yang ini jangan. Kalau yang lain yang perlu, pasti kami penuhi".
GS : Iya. Seringkali juga ini terjadi walaupun kita mau memberi, Pak Paul, pasangan kita belum tentu setuju dengan tindakan kita. Kalau kita tetap bersikukuh untuk memberikan, ‘kan ini bisa menjadi masalah suami istri di antara kita ?
PG : Betul, betul sekali. Jadi memang kita mesti konsultasi dengan pasangan. Jangan sampai seperti ini, kita mau memberi akhirnya kita curi-curi untuk memberi kepada orang tua kita. Jangan, soalnya kalau sampai pasangan kita tahu kita akhirnya ribut dan tidak dipercaya lagi oleh pasangan. Jadi lebih baik kita berbicara baik-baik "Orang tua kita begini, bagaimana ya?", lalu kita berikan kepada orang tua.
GS : Iya. Itu kalau memang ada persetujuan Pak Paul ya. Kalau tidak, kita tidak bisa paksakan untuk harus memberi ?
PG : Betul. Kadang-kadang tidak bisa. Karena pasangan kita tidak setuju misalnya "Buat apa beli ini beli itu?" dan sebagainya. Kita mencoba berbicara tapi kita di dalam hati juga setuju dengan pendapat pasangan; tidak begitu perlu karena hanya ingin menyenangkan hati orang tua. Mungkin dalam situasi seperti itu kita itu ikuti saja apa yang pasangan kita katakan, karena memang kita harus memprioritaskan rumah tangga kita.
GS : Iya. Pak Paul, sebelum mengakhiri perbincangan ini apakah ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Sekali lagi saya akan membacakan firman Tuhan, "Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu". Seperti apapun orang tua, Pak Gunawan, mereka adalah orang tua. Kita tetap harus menghormati mereka. Dan kita mesti mengingat dasar penghormatan kita bukanlah perlakuan mereka, melainkan perintah Tuhan. Bukan karena mereka memperlakukan kita baik, maka kita menambahkan penghormatan, bukan. Dasarnya bukan perlakuan mereka, tapi perintah Tuhan. Karena Tuhan perintahkan, kita taati. Sudah, maka kita tetap hormati. Kita cukupi kebutuhan mereka. Kita berikan yang terbaik kepada mereka dan kita tetap berdoa untuk mereka. Kita tidak mau merendahkan dan mencaci maki mereka.
GS : Ayat yang Pak Paul kutip itu dari dasa titah, 10 perintah Allah dan itu diletakkan yang pertama dari perintah untuk sesama manusia, Pak Paul ya. Berarti ini sesuatu hal yang penting untuk kita perhatikan. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Menghadapi Orang Tua Bermasalah Di Hari Tuanya" Bagian Kedua, bagian terakhir. Bagi Anda yang berminat mengetahui lebih lanjut melalui acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) di Jalan Cimanuk 56 Malang. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.