Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini bersama Ibu wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini berjudul “Menghadapi Krisis”, kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, krisis rasa-rasanya sudah begitu bersahabat dengan kita, kita hidup di suatu era yang multidimensi krisis, berbagai-bagai macam bentuk krisis itu Pak Paul. Namun sekarang masalahnya ini harus dihadapi, nah apakah semua orang itu dilanda krisis atau bagaimana, apa yang Pak Paul bisa sampaikan?
PG : Pertama-tama kita ingin melihat sebetulnya apa krisis itu Pak Gunawan, sebab memang kata krisis itu kata yang subjektif jadi berbobot pribadi. Buat seseorang misalkan kantornya kebakaran bukanlah krisis, buat orang lain kebakaran kantor itu krisis yang besar. Buat seseorang bertengkar dengan istrinya atau suaminya bukanlah krisis, tapi buat orang lain itu adalah krisis. Jadi kita perlu jelas apa itu krisis. Krisis dapat kita definisikan sebagai problem yang berat sehingga menguras sumber daya kita, dengan kata lain kita benar-benar merasakan bahwa kita sudah kehilangan akal, kehilangan tenaga untuk bisa mengatasi problem yang besar itu. Nah jadi dengan kata lain definisi ini juga kita bisa katakan definisi yang subjektif. Apakah kita akan menghadapi krisis, saya kira ya, akan ada hal-hal yang besar yang akan menguras sumber daya kekuatan kita itu sehingga kita merasakan kita benar-benar kehilangan akal dan tenaga untuk bisa melewati problem itu. Bentuknya memang bisa berbagai macam, misalkan kita kehilangan pasangan hidup kita, kita kehilangan orangtua kita, kita harus merawat orangtua kita yang terkena penyakit yang menahun dan harus dirawat di rumah kita. Atau anak kita berbelok iman, meninggalkan imannya, tidak percaya lagi kepada Kristus sebagai Juru Selamat dan sebagainya nah ini adalah krisis-krisis yang besar yang mungkin saja menimpa kita.
WL : Pak Paul, tapi ada orang tertentu yang sedikit-sedikit merasa memang wah krisis. Apa yang membedakan, ada orang yang agak kuat, ada orang yang tidak begitu?
PG : Betul, maka tadi saya menggunakan satu istilah yaitu sumber dayanya. Ada orang yang sumber dayanya tipis, ada orang yang sumber dayanya tebal. Yang sumber dayanya tipis akan cenderung mengalami krisis demi krisis seolah-olah tidak tahan.
GS : Pak Paul, supaya pembicaraan ini lebih jelas lagi apakah di Alkitab itu ada satu contoh khusus tentang seseorang yang mengalami krisis itu Pak?
PG : Ada Pak Gunawan, salah satunya adalah Daud dan ini yang akan kita fokuskan. Di II Samuel kita akan bisa melihat perkembangan hidup Daud di paro kedua dari kehidupannya. Di paro pertama di I Samuel, Daud dikejar-kejar oleh Saul, nah di II Samuel-lah kita bisa membaca akhirnya pergumulan Daud itu selesai, dia diangkat menjadi raja. Nah 10 pasal pertama dari kitab II Samuel berisikan kejayaan atau kemenangan Dud, dia berhasil mengalahkan bangsa-bangsa yang lainnya, dia menjadi raja yang populer sekali. Tapi 10 pasal berikutnya memuat kisah kehancuran atau kejatuhan Daud, diawali perzinahannya dengan Batsyeba di pasal 11 terus diikuti dengan krisis demi krisis. Anak laki-lakinya meniduri adik perempuannya yaitu Amnon meniduri atau memperkosa Tamar, adik tirinya. Kemudian Absalom marah, Absalom kakak kandungnya Tamar membunuh Amnon. Setelah itu Absalom melarikan diri, Absalom kembali lagi Absalom marah kepada Daud karena kurang diperhatikan Daud, membakar ladangnya Yoab, krisis demi krisis menghantam keluarganya akhirnya Absalom memutuskan memberontak, Daud harus lari dari Yerusalem tapi akhirnya Daud kembali dan berhasil memenangkan pertempuran dengan Absalom. Tapi setelah itu ada lagi pemberontakan dengan Ziba tapi bisa ditumpas juga. Jadi suatu belahan hidup yang penuh dengan krisis dan itu harus dilalui oleh Daud.
GS : Ya kalau kita melihat kisah Daud memang ada krisis yaitu yang timbul atau yang menimpa Daud karena memang kesalahannya sendiri, ulahnya sendiri. Dia menikahi Batsyeba dan sebagainya itu, tetapi juga ada krisis yang timbul yang sebenarnya bukan kesalahannya ketika dia dikejar-kejar oleh Saul, dia sudah begitu baik terhadap Saul tapi toh tetap dikejar-kejar nah itu bagaimana?
PG : Betul, jadi saya akan membagikan 5 prinsip di sini Pak Gunawan untuk menghadapi krisis. Prinsip pertama adalah kita bertanya apakah krisis yang sedang terjadi ini merupakan alat Tuhan untuk mendisiplin kita, kita harus jelas hubungan kita dengan Tuhan, kita harus tahu status relasi kita dengan Tuhan, apakah kita telah berdosa dan mungkin ini adalah ganjaran Tuhan. Dalam kasusnya Daud dengan Saul, Daud jelas tahu ini bukannya kesalahan dia, tidak ada dosa yang diperbuatnya sehingga Saul ingin mengejar-ngejarnya, ini adalah masalah Saul yang berdosa dan Daud menjadi korban dari perbuatan Saul yang berdosa itu dan dia tahu jelas itulah posisinya. Maka Daud tidak melangkah keluar dari jalur, dia berkesempatan dua kali membunuh Saul, tapi tidak dilakukannya. Nah dengan kata lain pertanyaan pertama itu kita harus jawab dengan jujur. Kadang kala Tuhan mengganjar kita, Tuhan sedang mendisiplin kita, kadang kala Tuhan sedang memurnikan kita karena kita mulai kotor, kita mulai tercemar. Nah dalam waktu-waktu itulah Tuhan interfensi, Tuhan memukul kita, Tuhan membakar kita, memurnikan kita dan itu menyakitkan. Tapi kalau kita tahu memang itulah yang Tuhan lakukan kita bisa terima, kita tahu Tuhan yang memukul maka Tuhan akan menyembuhkan. Tangan yang sekarang sedang Tuhan pakai untuk mendisiplin kita adalah tangan yang Tuhan akan pakai untuk juga memulihkan kita.
WL : Tapi apakah kita bisa generalisir itu Pak, soalnya setahu saya ada aliran tertentu yang menganggap kalau orang sedang “jatuh” entah bangkrut, entah ada masalah pokoknya krisislah itu pasti kamu sedang berdosa, ayo cepat kamu harus mengakui dosamu ke hadapan Tuhan, tidak peduli sebenarnya dia tidak ada masalah dengan dosa tapi sering kali disudutkannya seperti itu Pak.
PG : Bagus sekali masukan ini Bu Wulan, jadi kita mesti berhati-hati jangan sampai terlempar ke ekstrim yang satu ini, sedikit-sedikit dosa, sedikit-sedikit dosa, bukan. Jadi kita mesti jujur membuka diri di hadapan Tuhan dan sudah tentu kita ini tidak sempurna. Tapi kita mesti jujur apakah Roh Kudus yang ada dalam hidup kita menunjukkan pada kita kamu berdosa dan inilah dosa kamu. Jadi kalau itu yang Tuhan lakukan, kita akui dan biasanya itu akan berbentuk seperti ini, Bu Wulan yaitu berkali-kali melewati proses waktu tidak hanya sekali saja muncul kamu berdosa, tidak. Memang melalui proses waktu kita makin diyakinkan ini yang Tuhan sedang lakukan, kamu telah salah. Atau kita tahu waktu kita melakukan yang dulu itu Roh Kudus sudah menegur kita kamu salah, kamu jangan melakukannya, kita tidak mendengarkan suara Roh Kudus, kita tetap melakukan nah akhirnya kita sekarang sedang menuai akibat perbuatan dosa kita. Nah kalau itu yang terjadi, seperti Daud dia datang kembali kepada Tuhan waktu dia lari dari Yerusalem dan imam Zadok membawa-bawa tabut perjanjian dia suruh kembalikan tabut perjanjian itu. Dia berkata: “Bawalah Tabut Allah itu kembali ke kota, jika aku mendapat kasih karunia di mata Tuhan maka Ia akan mengizinkan aku kembali, sehingga aku akan melihatnya lagi juga tempat kediamanNya. Tapi jika Ia berfirman begini : Aku tidak berkenan kepadamu, maka aku bersedia biarlah dilakukanNya kepadaku apa yang baik di mataNya.” Jadi dia menerima konsekuensi Tuhan mungkin tidak berkenan kepada dia karena dosanya kepada Batsyeba itu, jadi sudah dia terima apapun. Tapi jangan sampai kita mencari-cari dosa kemudian melebihkan saya dosa ini, dosa ini nah itu juga tidak tepat.
GS : Justru pada saat seseorang mengalami krisis sebenarnya dibutuhkan dia makin mendekat kepada Tuhan untuk mendapatkan jawaban itu tadi Pak Paul.
PG : Betul sekali, dia akhirnya harus tergiring lebih masuk ke dalam poros relasi dengan Tuhan itu. Dia benar-benar menatap kembali ke Tuhan dan bertanya: “Tuhan, apakah ada yang telah saya lakukan yang memang tidak berkenan kepadaMu, jika ada tunjukkan kepadaku.”
GS : Karena sering kali reaksi spontan kita itu justru marah sama Tuhan, saya ini tidak salah apa-apa, mengapa Tuhan itu membiarkan saja saya mengalami ini misalnya di-PHK dari suatu pekerjaan.
PG : Betul, nah ini berkaitan dengan prinsip kedua yaitu ini Pak Gunawan. Fokuskan pada masalah yang sebenarnya, yaitu prioritaskan tindakan yang harus diambil. Saya mau menggarisbawahi kata fokuskan ini karena kita cenderung bergeser dari perspektif yang semula itu. Misalkan kita tahu memang ini tidak ada kaitannya dengan siapa-siapa ini adalah situasi, kita sudah melihat ini adalah situasi. Misalkan krisis yang terjadi pada tahun 1998 itu, krisis moneter, memang kondisi di Asia sedang buruk akhirnya menjatuhkan kondisi kita juga secara finansial, sudah terima. Kita tidak usah melihat ke kiri, ke kanan mencari kambing hitam, menyalahkan siapa-siapa, nah kadang-kadang itu yang kita lakukan, kita lepas fokus. Atau kita lepas fokus dalam pengertian kita memakai cara-cara yang tidak berkenan kepada Tuhan, kita pakai cara-cara dunia. Uang kita tidak dikembalikan, kita pakai tukang pukul, kita pakai preman untuk mengancam orang itu untuk mengembalikan uang kita, jangan, meskipun uang kita tidak kembali jangan gunakan cara-cara yang tidak berkenan kepada Tuhan. Jadi jangan sampai kita lepas fokus, nah ini yang sering kali terjadi. Seperti tadi Pak Gunawan ungkapkan kita marah kepada Tuhan, nah reaksi spontan kita kalau kita sakit kita marah kepada Tuhan itu memang alamiah, tapi terus-menerus kita salahkan Tuhan saya kira kita mulai lepas fokus juga. Mungkin fokus utamanya adalah kita terluka, kita sedih karena misalnya kita kehilangan, tapi kita lebih baik mengakui kita sedih, kita terluka daripada menutupi kesedihan itu dengan kemarahan-kemarahan. Jadi melihat duduk masalahnya, melihat perasaan yang sebenarnya, melihat apa yang Tuhan inginkan dan fokuskan pada itu, jangan bergeser perspektif kita.
WL : Pak Paul, berkaitan dengan fokus dengan satu masalah atau satu perasaan tertentu, saya teringat waktu kasus ’98 itu krisis moneter, hantamannya cukup besar sekali. Nah ada beberapa orang yang mengalami kebangkrutan sangat-sangat terpukul, dolarnya habis segala macam dan saya mendengar ada yang sampai gila, depresi sekali. Misalnya dia terfokus hanya pada satu perasaan sedih sampai benar-benar ke titik nol istilahnya begitu, nah kalau sudah begitu berarti salah juga Pak Paul.
PG : Ya saya kira dia lepas fokus dalam hal itu, lepas fokus dalam pengertian dia lepaskan perspektif Tuhan itu lebih besar daripada perusahaannya. Ya perusahaannya habis, uangnya habis tapi Tuhan lebih besar dari perusahaan itu, bahwa akan ada jalan lain yang nanti Tuhan akan bukakan, nanti ada cara Tuhan untuk memelihara dia. Mungkin dia tidak akan sekaya dulu, tidak berarti Tuhan akan berhenti memelihara mereka, Tuhan akan mencukupinya dengan cara Tuhan yang memang belum terbayangkan olehnya sekarang. Jadi fokus kita harus tepat, kita mesti melihat Tuhan mampu memelihara kita, sudah kita tetap fokuskan pada itu saja.
GS : Jadi di tengah-tengah kemelut itu seseorang yang mengalami krisis Pak Paul, bagaimana caranya dia mendapatkan fokus yang tepat pada masalah itu?
PG : Saya kira memang ini bermacam-macam dimensi, tapi sebagai prinsipnya adalah kita mesti menelusuri pertama-tama penyebabnya kenapa problem itu terjadi. Dan kita bisa berpikir jernih menunjuk ini penyebabnya bukan semau-maunya, semena-mena, enak saja mengkambinghitamkan, tidak, kita tahu penyebabnya apa. Kedua, kita juga mau fokuskan pada cara yang Tuhan sudah tetapkan yang berkenan kepada-Nya, jangan memakai cara yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dan yang ketiga kita tentukan juga arahnya, targetnya ke mana nah kita tetapkan targetnya ke sana. Saya tahun ’95, ’96 dalam hidup pernikahan saya mengalami krisis dengan istri saya, hubungan saya dengan istri saya mengalami konflik sehingga 2, 3 kali seminggu kami bertengkar terus. Nah yang saya lakukan adalah pertama-tama saya menyadari saya tidak bisa melayani dalam kondisi seperti ini, saya tidak bisa memberikan ceramah tentang keluarga waktu keluarga saya sendiri sedang bermasalah. Jadi saya menolak untuk menerima ceramah-ceramah keluarga pada tahun-tahun itu. Tapi setelah melewati fase itu tetap rumah tangga kami mengalami perbaikan, kami akhirnya putuskan kembali ke Amerika saat itu, kami mendapatkan konseling selama 3 bulan di sana untuk mengutuhkan kembali relasi nikah kami. Nah apa yang kami pikirkan saat itu, kami mencoba benar-benar memprioritaskan apa yang harus kami lakukan, tindakan yang paling tepat sekarang yaitu kami harus bereskan rumah tangga kami dulu, nah setelah itu beres nanti baru melihat lagi Tuhan akan membuka jalan apa, saat itu saya tidak tahu apakah saya akan kembali lagi ke sini. Tapi setelah 3 bulan Tuhan bereskan pernikahan kami, kemudian istri saya sendiri setelah itu bersedia kembali ke sini, anak kami bersedia ke sini, kami putuskan kembali. Jadi mengetahui penyebabnya dengan jelas, mengetahui cara yang Tuhan kehendaki dan tahu arahnya, targetnya, apa itu solusinya yang harus kita lakukan, tindakan apa yang harus kita ambil, fokus pada itu saja.
GS : Apakah ada prinsip yang lain Pak Paul?
PG : Prinsip yang lain adalah hadapi krisis bersama-sama, ini prinsip ketiga. Daud mempunyai lingkaran sahabat yang terus bersama dengan dia, setia pada dia, anak-anak Zeruya itu Yoab, Asael, mereka selalu setia mendampingi Daud. Dan saya kira dalam kebersamaan itulah Daud menemukan kekuatan, jadi krisis akan lebih mudah kita hadapi kalau kita hadapi bersama-sama. Kalau kita suami-istri bersama-sama menghadapi misalkan anak kita yang bermasalah jangan saling tuding-menuding atau saling menyalahkan. Misalkan duduk masalahnya di luar diri kita dan kita bersama-sama menghadapinya. Dan juga jangan ragu untuk meminta bantuan orang, meminta bantuan doa dari teman seiman. Nah kebersamaan itu akan sangat menolong, menghadapi krisis sendirian benar-benar akan meletihkan dan menguras energi kita dengan lebih cepat.
WL : Berarti penting sekali persekutuan-persekutuan Kristen itu untuk mendukung, menopang peristiwa-peristiwa seperti ini Pak Paul. Karena di dunia ini ‘kan benar-benar berita pahitnya adalah lebih banyak teman kalau kita lagi senang, lagi tidak ada masalah, lagi tidak tertimpa musibah, tapi begitu ada masalah orang kebanyakan menarik diri.
PG : Betul, kadang-kadang orang menarik diri karena tidak tahu harus berbuat apa Bu Wulan, jadi kadang-kadang kita harus memberanikan diri juga meminta. Nah saya akan menggaris bawahi kata meminta di sini Ibu Wulan, karena kadang kala kita ini dalam krisis justru membuat musuh dengan orang, misalkan dengan sanak saudara sendiri, dengan istri dan suami kita, dengan anak kita. Kenapa kita membuat musuh karena kita bukannya meminta tapi menuntut. Menuntut orang harus tahu, menuntut orang harus memberikan, nah akhirnya karena menerima tuntutan seperti itu dari kita tidak tahan malah menjauhkan diri dari kita, maka kita mesti belajar merendahkan diri dan meminta. Saya membutuhkan ini, saya meminta, saya memohon kamu untuk bisa begini, memintalah. Dalam kondisi seperti itu orang lebih berani dan lebih senang menolong kita, akibatnya kita akan menghadapi krisis itu bersama-sama, tidak sendirian lagi.
WL : Tapi sepertinya tetap ada perbedaan Pak Paul, walau kita meminta orang akan lebih mudah membantu misalkan kita tertimpa musibah misalnya kesedihan karena meninggal atau hal-hal seperti itu. Tapi misalnya waktu kita terlibat hutang atau hal-hal yang memang akan bisa “merugikan” orang itu kalau kita melibatkan dia, kebanyakan orang menarik diri, “O...saya tidak sempat, saya harus begini”, tidak pernah ada kabar lagi begitu, padahal waktu masa-masa misalnya kita lagi “jaya” dulu wah....rajin datang ke rumah, minta tolong dan sebagainya, berbeda sekali Pak.
PG : Betul, ada hal-hal orang memang takut dekat dengan kita karena takut mereka akan dirugikan, ya sudah kita tidak usah meminta, yang kita minta yang dekat dengan kita dan bisa minta dalam bentuk yang lebih netral yaitu kita meminta doa, perhatiannya itu cukup.
GS : Kadang-kadang nasihat-nasihat dari orang dekat ini juga membingungkan Pak Paul, sehingga membuat kita itu makin sulit keluar dari masalah itu sendiri.
PG : Bisa jadi, maka kita harus jelas fokus kita apa (tadi prinsip yang kedua itu), sehingga waktu orang memberi nasihat kita juga tahu fokus kita apa.
GS : Dan kadang-kadang krisis itu datangnya tidak satu-satu tapi bersamaan Pak Paul, seperti kasus yang dihadapai oleh Ayub itu ‘kan beruntun. Sering kali kita mengalami hal seperti itu Pak Paul, walaupun mungkin tidak separah Ayub.
PG : Prinsip keempat ini Pak Gunawan, yaitu hadapi krisis satu persatu. Kadang kala banyak yang datang pada saat yang bersamaan, kita mesti melihat yang bisa kita hadapi sekarang ini apa. Dan salah satu petunjuknya adalah mulai dengan yang kecil, mulai dengan problem yang lebih sederhana. Kalau kita sudah selesaikan satu problem yang sederhana kita akan merasa lebih kuat untuk menghadapi problem yang sedikit lebih besar jadi kita mulai dengan problem yang lebih sederhana. Saya ingat tentang Daud di sini waktu dia lagi lari dari Yerusalem, Simei itu mengutuk Daud memaki-makinya, Daud tidak membalas, Abisai ingin membunuh Simei tapi Daud berkata, “Jangan, biarkan, tidak apa-apa”. Nah kenapa? Sebab memang fokus Daud jelas, saat itu dia sedang menghadapi ancaman yang lebih besar yaitu masalah dengan Absalom. Jadi krisis yang satu ini Simei memaki-maki dia abaikan, dia diamkan. Nah memang penting sekali kita menghadapi krisis itu satu persatu, jangan sampai kita akhirnya kacau, semua kalut harus kita selesaikan pada waktu yang bersamaan. Tidak, pilih satu dulu, nah itu yang kita hadapi.
GS : Tapi ada orang yang berprinsip begini Pak Paul, kalau yang besar bisa saya jinakkan atau dia selesaikan, yang lain itu otomatis bisa selesai.
PG : Kalau memang bisa tidak apa-apa, jadi prinsip ini memang tidak kaku sekali, kenapa tadi saya lebih menggunakan prinsip umum kalau bisa yang kecil dulu, sebab kadang-kadang karena yang besar belum selesai, yang kecil-kecil belum selesai juga kita akhirnya tambah pusing, begitu banyak yang belum selesai. Tapi kalau kita punya 9 masalah, 1, 2, 3 bisa kita selesaikan yang kecil-kecil, tinggal 6 sekarang. Tinggal 6 berarti secara psikologis kita merasa lebih ringan, memberikan kita dorongan untuk menyelesaikan yang lain-lainnya. Dan yang besar itu biasanya makan waktu lebih lama dan tidak tahu kapan selesainya, jadi yang lain-lainnya tertunda.
WL : Pak Paul, orang yang sudah terlatih dari muda, sudah terlalu banyak krisis yang dia hadapi, apakah membuat dia menjadi terlatih menangani krisis atau ada kecenderungan lain, justru lelah begitu. Hidup saya ini sudah terlalu banyak, dari kecil hidup ini susah sekali begitu.
PG : Keduanya betul Bu Wulan, jadi orang yang terbiasa menghadapi krisis ototnya akan lebih kuat, tapi kalau terlalu banyak krisis dan dia tidak ada waktu sejenak untuk beristirahat dia akan kehabisan tenaga, dan itu akan menurunkan daya juangnya. Nah di sini penting sekali apakah ada jeda-jeda yang panjang di mana dia bisa mengambil nafas. Kalau banyak waktu dia bisa mengambil nafas, nah dia bisa melewati krisis itu.
GS : Pak Paul, selain keempat prinsip yang tadi Pak Paul sampaikan, apakah masih ada prinsip yang lain?
PG : Satu yang terakhir adalah mintalah kasih karunia yang cukup untuk hari ini. Pada masa krisis yang berkepanjangan kita tidak bisa memikirkan hari-hari depan, minggu depan, tahun depan, kita hanya bisa melihat hari ini. Nah mintalah anugerah Tuhan, mintalah matahari untuk kita pada hari ini. Nah salah satu tindakan konkretnya adalah ini Pak Gunawan, kita mungkin tidak bisa lepas dari krisis itu namun kita sejenak bisa beristirahat, kita bisa keluar jalan-jalan dulu, kita bisa senangkan hati kita selama 1 jam atau 2 jam, nah jangan sampai kita abaikan 1, 2 jam dalam 24 jam itu. Krisisnya akan terus berlangsung mungkin selama berbulan-bulan, tapi tidak berarti dalam sehari itu kita tidak bisa menghirup udara segar dan menikmati anugerah Tuhan. Atau contoh kasus di mana seseorang harus hidup dengan ayahnya atau ibunya yang sakit-sakitan, dia capek sekali, nah dia harus mempunyai waktu 1, 2 jam dia bisa lepas, dia bisa keluar. Dengan kata lain dia perlu membangun sebuah ruang untuk dirinya sendiri di mana dia bisa untuk sejenak bebas dari tuntutan dan problem itu. Nah itu penting dia dapatkan 1, 2 jam atau dia dapatkan ruang kecil itu dia akan lebih kuat untuk menghadapi tantangan berikutnya.
WL : Pak Paul, ayat di Matius 6 apakah mungkin bisa digunakan untuk para pendengar, kesusahan sehari cukup untuk sehari’?
PG : Betul sekali, kesusahan sehari cukup untuk sehari, jadi kita tahu berarti besok ada lagi tapi akan ada kekuatan Tuhan untuk hari esok.
GS : Tetapi orang yang kehilangan pekerjaan Pak Paul, itu sulit jadi artinya dia sehari ini sudah mencoba melamar tidak dapat lagi pekerjaan, esok harinya lagi tidak dapat lagi nah padahal anaknya yang masih kecil di rumah itu membutuhkan makan, istrinya juga.
PG : Betul, nah contoh ini bisa kita gunakan yaitu meskipun pekerjaan belum dia dapat, tidak berarti dia dan keluarganya tidak bisa jalan-jalan sejenak keluar, meskipun tidak bisa membeli apa-apa tapi biarkan jalan-jalan keluar. Waktu mereka kembali pikirannya lebih segar, mereka lebih bisa lagi bersatu dalam doa meminta Tuhan menolong lagi dan itu menjadi energi tambahan untuk menghadapi tantangan besok.
GS : Ya karena di dalam kekalutannya itu rasanya sulit dia itu mendapatkan inspirasi atau mendapatkan ide untuk keluar dari krisis itu sendiri.
PG : Betul, jadi perlu sekali istirahat-istirahat kecil itu, anugerah-anugerah kecil itu untuk menolongnya menghadapi tantangan di esok hari.
GS : Ya terima kasih sekali Pak Paul, untuk prinsip-prinsip yang tentu sangat berguna bagi kita sekalian di dalam menghadapi krisis di dalam kehidupan yang nyata ini. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Menghadapi Krisis”. Bagi anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@infdo.net.id saran-saran, pertanyaan serta tanggapan anda sangat kami nantikan, dan akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian anda, sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.