Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mengapa Sejarah Berulang". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Setelah mengikuti perjalanan hidup sekian lama, kita bisa melihat seperti kata orang bahwa hidup itu seperti spiral. Pada suatu saat akan mengulang hal-hal yang mirip walaupun dalam rentang waktu yang sudah berbeda. Termasuk juga di dalam kehidupan berumah tangga dan seperti itulah yang saya jalani dan saya percaya juga Pak Paul jalani. Dan ini kenapa? Apakah ini sesuatu hal yang kebetulan atau bagaimana?
PG : Untuk lebih menegaskan contohnya Pak Gunawan, ini sering saya lihat sewaktu saya dulu bekerja di rumah sakit jiwa. Orang yang menjadi korban kekerasan tatkala kecil dan setelah dewasa kala dia tidak menggunakan kekerasan yang sama kepada anak-anaknya, dia itu seperti menjadi korban kekerasan suaminya.
Jadi dulu saya sering bertanya-tanya, kenapa hal itu bisa terjadi seharusnya dia sudah belajar dari pengalaman dan dia telah menjadi korban kekerasan. Maka sekarang jangan mengulang lagi sejarah yang sama. Tapi sering kali itulah yang kita lihat yaitu sejarah berulang dan ada beberapa yang bisa kita pikirkan sebagai penyebab kenapa sejarah cenderung berulang di dalam kehidupan kita. Yang pertama adalah fokus kita seringkali pada sejarah yang buruk, dan sejarah yang buruk itu akhirnya berulang lagi dalam kehidupan kita. Jadi apa yang kita alami sewaktu kita kecil, hal-hal yang manis yang kita juga bisa cicipi itu cenderung berulang tatkala kita dewasa membangun rumah tangga kita sendiri. Kalau rumah tangga kita penuh dengan kasih mesra, kecenderungannya yang besar setelah kita nanti berkeluarga adalah kita pun akan mengulang rumah tangga yang penuh kasih mesra itu. Jadi yang perlu kita luruskan adalah ternyata bukan hanya sejarah yang buruk yang akan bisa terulang tapi sejarah yang baik pun bisa terulang dan ini yang kita perlu waspadai tapi sekarang pertanyaannya adalah, kepada sejarah yang buruk itu sering berulang. Yang pertama saya kira alasannya adalah ketidak tahuan kita akan dampak buruk itu misalnya karena orang tua menggunakan pukulan keras dalam mendisiplin kita maka kita pun menggunakan cara yang sama mendisiplin anak, kita luput menyadari bahwa sesungguhnya problem kita dengan kemarahan bersumber dari cara orang tua mendisiplin kita dengan cara kekerasan, kita tidak suka dipukul tapi orang tua sering menggunakan kekerasan, kita akhirnya menyimpan kemarahan demi kemarahan sehingga meluap dan hati pun dipenuhi dengan kemarahan. Tidak heran waktu anak kita melakukan kesalahan maka kemarahan itulah yang keluar atau pasangan kita melakukan kesalahan, kemarahan kita langsung meluap dan kita ingin langsung menggunakan kekerasan.
GS : Kalau begitu apakah bentuk-bentuk seperti itu merupakan bentuk balas dendam, Pak Paul?
PG : Sesungguhnya dalam pemikiran kita, tidak! Kita tidak mau melakukannya untuk membalas dendam sebab kita tahu bahwa sasarannya bukanlah anak-anak kita atau pasangan kita, tapi kita sebetulny tidak suka dengan orang tua kita, namun karena kemarahan sudah terlalu menumpuk sehingga akhirnya mudah sekali keluar kemarahan-kemarahan tersebut.
Itu sebabnya kekerasan sering dilestarikan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya, maka langkah pertama adalah kita mesti menyadari dampak buruknya. Karena dulu kita tidak menyadari dampak buruknya sehingga kita terus menggunakannya, tapi sekarang kita sadar mengerti, kenapa saya mudah marah, sebab apa yang saya alami dulu menciptakan kemarahan dalam hati saya, saya tidak suka dengan apa yang saya alami. Makanya kemarahan demi kemarahan menumpuk-numpuk sehingga mudah sekali meledak dan hal itulah yang pertama-tama harus kita sadari.
GS : Kalau yang menjadi korban adalah kita yaitu saya sendiri yang menjadi korban orang tua atau lingkungan, itu berarti kita lebih mudah mengenali dampak buruknya, Pak Paul.
PG : Seringkali kita tidak menyadari bahwa kita akhirnya mempunyai potensi yang sama melakukan perbuatan itu, kita hanya menyadari kalau kita dulu adalah korban, kita tidak suka diperlakukan seerti itu, kita malang dan sebagainya.
Tapi kita tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut menciptakan siklus kemarahan, sebetulnya kita sedang menumpuk energi kemarahan yang besar dalam diri kita yang kita tidak sadari. Maka sekarang kita perlu menyadarinya bahwa perbuatan orang tua yang penuh dengan kekerasan, itulah yang menciptakan kemarahan yang besar dalam diri saya dan kemarahan yang besar itulah yang akhirnya membuat saya mudah sekali meledak.
GS : Kalau begitu sebenarnya peran pasangan besar sekali, Pak Paul. Kalau dia melihat pasangannya berlaku kasar, maka dia bisa mengingatkan, apakah pasangannya dulu tidak menjadi korban kekerasan orang tuanya, Pak Paul.
PG : Dalam upayanya menyadarkan memang dia perlu berdoa supaya Tuhan memberinya hikmat bagaimana menyampaikan dengan tepat dan minta waktu yang tepat supaya orang yang bersangkutan bisa mendengrkannya.
Kalau tidak kecenderungannya adalah dia akan defensif, dia akan menyalahkan orang dan dia akan berkata kamu yang membuat saya marah atau anak ini yang keterlaluan membuat saya marah. Sudah tentu kita harus mengakui bahwa dalam hidup akan ada seribu satu hal yang berpotensi membuat kita marah tapi pertanyaannya adalah kenapakah harus marah sebesar itu? Dan yang kedua kenapakah harus marah sesering itu? Jadi seyogianyalah kita memang menyadari bahwa ini ada masalah, ada yang tidak beres. Kenapakah saya marah sekeras itu dan sesering itu. Waktu pasangan memberitahu kita maka seyogianyalah kita dengan tenang mendengarkan dan sebisanya memeriksa diri. "Benar juga, sepertinya ini memang sebuah masalah dan timbul gara-gara masa kecil saya." Kalau kita sudah mengakui bahwa ini adalah masalah-masalah kita maka kita akan lebih mudah membereskannya.
GS : Selain hal tadi yaitu mengetahui atau tidak mengetahui, apa ada masalah lain Pak Paul?
PG : Sejarah buruk cenderung berulang sebab kita akhirnya tidak mengenal cara lain untuk hidup sehat misalkan dengan cara yang sama tadi. Misalkan pukulan menjadi menu keseharian maka pada akhinya kita tidak mengenal cara lain mendisiplin yang lebih sehat.
Kita tidak tahu kalau kita masih bisa mendisiplin secara efektif dengan cara misalkan membujuk, dengan cara misalkan meniadakan imbalan yang dia inginkan dan sebagainya. Karena ketidak tahuan cara lain yang tidak sehat maka kita menggunakan cara yang sama atau kita terbiasa melihat orang tua kita kalau sedikit marah, sedikit cekcok langsung diam, langsung menangis, akhirnya cara itulah yang kita gunakan karena kita pun tidak mengerti cara yang lain, kita tidak melihatnya di rumah sehingga nanti setelah kita besar kita menikah ada masalah dengan pasangan dan kita menarik diri, langsung menangis, menutup diri tidak mau bicara dengan dia berhari-hari dan akhirnya menangis. Itulah yang akhirnya terjadi Pak Gunawan, kita tidak mengetahui ada cara lain yang lebih efektif.
GS : Kalau saja dulu orangnya sering bergaul dengan banyak orang, melihat pasangan-pasangannya yang lain, sebenarnya dia tidak melihat bahwa ada alternatif yang lain untuk mengungkapkan kejengkelan dan sebagainya selain yang satu ini, Pak Paul.
PG : Betul. Jadi kalau saja dalam pertumbuhannya, orang ini diekspose dengan cara-cara lain yang lebih positif maka dia akan lebih bisa menyerapnya, dia akan bisa belajar. Misalkan di gereja didakan ceramah dan dia belajar cara-cara yang lebih efisien dan lebih baik, maka itu yang akan menolong dia.
Dan menyadarkan dia bahwa ternyata cara orang tua saya salah dan ada cara yang benar, dan sekarang saya mau belajar cara yang benar ini.
GS : Atau sebenarnya dia tahu bahwa cara itu keliru tapi karena dia tidak punya pilihan lain dan hanya itu yang dia kerjakan.
PG : Seringkali itu yang terjadi, karena proses pembelajaran dalam masa pertumbuhan yang diketahuinya jadi itulah yang dia gunakan. Ada orang yang saat marah mulutnya kasar sekali sebab itulah ang didengarnya hari lepas hari dulu, sehingga dia tidak mengerti cara lain mengeluarkan kemarahan, bagi dia mengeluarkan kemarahan identik dengan sumpah serapah dan sebagainya.
Dan sekarang dia sudah mengerti kalau ada cara lain, dia bisa bicara baik-baik dan bukankah nantinya dengan dia bicara baik-baik dia malah mendapatkan yang dia inginkan, dia akan belajar cara lain yang lebih efektif itu.
GS : Apakah ada cara lain yang menyebabkan sejarah buruk itu terus berulang lagi Pak Paul?
PG : Yang ketiga, sejarah buruk sering berulang oleh karena kekerasan hati kita mempertahankan yang buruk. Kadang kita merasa bangga bahwa kendati di pukul, dibesarkan dengan kekerasan tapi kit tetap berhasil menjadi orang bahkan kita beranggapan disiplin orang tua itulah yang telah membuat kita tegar dalam menghadapi hidup.
Alhasil kita justru ingin mempertahankan metode disiplin yang keras itu dan bersikukuh pada keefektifannya, kita tidak terbuka pada saran yang lain, meskipun kita telah mendengar masukan atau ceramah atau cara lain yang lebih efektif, tidak kita tidak mau dengarkan, cara kitalah yang paling baik dan terbukti bahwa saya menjadi seperti ini, bertanggung jawab, berdisiplin tinggi dan sebagainya. Kita lupa bahwa bukankah dulu kita ingin orang tua kita mendisiplin kita dengan cara yang lain. Bukankah kita dulu mencicipi betapa menyakitkannya diperlakukan secara keras seperti itu tapi ini yang berbahaya, kalau kita akhirnya membanggakan cara itu maka makin sukarlah kita mengubah cara itu.
GS : Jadi ini sesuatu yang buruk tapi buat dia ini merupakan suatu kebanggaan, Pak Paul.
GS : Dan saya teringat kehidupan bangsa Israel Pak Paul, yang berkali-kali jatuh pada hal-hal yang sama. Apakah itu mirip dengan ini, Pak Paul ?
PG : Pada akhirnya cara-cara yang kita gunakan itu meskipun kita tahu tidak efektif tapi karena itu cara kita, kita cenderung membenarkannya, Pak Gunawan. Ini problem manusia yakni cenderung mmbenarkan diri, apapun yang kita lakukan, apapun hasilnya kalau kita yang melakukannya kecenderungan pertama adalah membenarkannya sehingga kita gagal melakukan cara lain yang lebih baik, dalam hal rumah tangga juga begitu.
Ada cara yang lebih baik misalkan meminta tapi kita tidak mau meminta dan kita memerintah, kita berkata, "Memang dia perlu diperintah kalau tidak diperintah maka dia tidak akan menjalankannya." Sebetulnya ada cara yang lain yaitu meminta dengan baik-baik tapi dia tidak mau, kenapa tidak mau? Karena kita mau membenarkan cara kita alias kita ingin membenarkan diri kita. Jadi saya kira di sini ada muatan dosa yaitu muatan dosa keangkuhan, Pak Gunawan, karena kita angkuh, kita tidak mau berubah tapi kita mau membenarkan dengan cara membuat kelakuan kita seolah-olah yang paling baik.
GS : Mungkin ini yang Tuhan katakan tegar tengkuk, Pak Paul ?
PG : Seringkali ini merupakan dasar atau masalah yang sesungguhnya Pak Gunawan, kita manusia yang tegar tengkuk, itu yang dialami juga oleh bani Israel mereka tegar tengkuk tidak mau belajar yag baru yaitu cara yang baik, hidup yang berkenan kepada Tuhan.
Kenapa ? Mereka hidup dengan cara mereka dan mereka membenarkan cara itu, demikian pulalah kita. Bukankah kita sering melihat cara yang tidak sehat lagi, tidak benar lagi tapi untuk merubahnya kita tidak mau jadi membenarkan diri bahwa ini cara yang paling tepat dan pasanganlah yang tidak mau mengerti kita, anaklah yang tidak menyadarinya, kita limpahkan kesalahan kepada orang lain tapi sesungguhnyalah kita yang mesti berubah.
GS : Kalau pasangan atau keluarga kita sendiri tidak mampu menyadarkan kita, bagaimana kita bisa merubah sikap itu nantinya ?
PG : Biasanya kalau ada peristiwa atau kejadian yang benar-benar mendobrak membuat kita sangat tertekan, akhirnya baru kita sadar, ini yang sering kita lihat Pak Gunawan, pada orang tua yang akirnya mengalami masalah demi masalah yang berat dengan anak, setelah anak remaja atau dewasa.
Bukankah di saat itulah orang tua baru berkata, "Saya sadar, saya salah, dulu saya tidak mengerti sehingga dulu saya sangat keras dengan anak atau dulu dengan anak saya tidak begitu terlibat maka saya anggap anak sudah harus tahu sendiri dan saya tidak harus nasehati." Bukankah itu yang sering terjadi, penyesalan datang terlambat, baru kita sadar dan baru kita mau berubah namun di saat itu anak sudah terlanjur besar, polanya sudah terbentuk, untuk dia berubah pun sudah susah.
GS : Jadi siklus kembalinya peristiwa yang menyakitkan itu bisa pendek dan bisa panjang, bisa lama dan bisa singkat, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Secepat atau selambat kesadaran kita. Kalau kita dengan cepat menyadarinya, mau berubah maka siklus itu akan terputus dengan segera. Tapi kalau kita juga lambat menyadarinya tau lambat mau mengubahnya maka dampak itu juga akan terus berlanjut.
GS : Tapi tadi yang Pak Paul katakan adalah kemungkinan pertama menimpa kita lalu generasi kedua adalah anak kita, bisa lagi nanti cucu dan seterusnya dan ini makin sulit, Pak Paul.
PG : Ya seharusnyalah kita menyadari hal itu, tapi seringkali kita terlambat mengetahui. Kita baru menyadarinya tatkala anak itu menjadi seperti kita, tapi saat itu terjadi anak sudah besar sebb waktu anak itu kecil belum menampakkan perilaku yang seperti kita, kita memang belum bisa melihatnya karena anak masih kecil, waktu anak sudah besarlah baru kita disadarkan kalau dia mirip dengan saya.
Saya tidak bisa mengontrol kemarahan dan sekarang anak ini seperti saya juga tidak bisa mengontrol kemarahan, anak ini manipulatif dan saya baru sadar kalau anak ini seperti saya, saya juga begitu. Akhirnya baru kita sadari di usia anak kita sudah besar.
GS : Mungkin ada penyebab yang lain, yang menyebabkan kembalinya sejarah buruk itu terulang ?
PG : Kadang sejarah buruk itu berulang sebab adanya kebutuhan yang memang dapat dipenuhi oleh orang lain kendati kita harus bayar mahal. Misalkan kita dibesarkan tanpa kasih sayang dan berupayamendapatkan kasih sayang itu dari orang lain dan akibat dari kurangnya bimbingan, pada akhirnya kita malah terjerat dalam relasi yang buruk dan sarat kekerasan.
Kendati demikian kita tetap mempertahankan relasi itu oleh karena kita tetap merasa dikasihi olehnya, meskipun harus bayar mahal, rumah tangga kita berantakan, sering bertengkar tapi kita masih mendapatkan kasih sayang karena adanya kebutuhan itu, sehingga kita mengulang dan mengulang lagi. Ini sering saya lihat dulu Pak Gunawan, waktu saya bekerja di rumah sakit jiwa, orang-orang yang dulunya adalah korban kekerasan menikah dengan pasangan yang menggunakan kekerasan. Kenapa tetap tinggal dalam relasi yang seperti itu? Karena dia masih mendapatkan kebutuhannya yang terpenuhi sehingga meskipun harganya harus dibayar mahal, tetap dia harus mengulang sejarah orang tuanya yang buruk itu.
GS : Padahal kedua orang itu atau pasangan suami istri itu mempunyai latar belakang yang berbeda Pak Paul, hanya mungkin masing-masing pernah mengalami kekerasan walau pun bentuknya berbeda. Dan ini kalau disatukan dalam pernikahan maka masalahnya banyak, Pak Paul.
PG : Inilah ironinya hidup Pak Gunawan, seharusnya kalau mereka tahu ada masalah yang terjadi sebelum mereka berdua menikah, harusnya dibereskan dan sebagainya. Tapi seringkali tidak! Karena seerti colokan listrik dengan tempatnya Pak Gunawan, bukankah masalah seringkali klop karena kebutuhannya memang berbeda.
Yang butuh kasih sayang akhirnya menikah dengan orang yang sangat mengontrol, senang menggunakan disiplin yang tinggi dan akhirnya mudah sekali masuk dalam kekerasan. Jadi akhirnya orang yang butuh kasih sayang menikah dengan orang yang butuh kekuasaan. Jadi dia butuh kekuasaan tapi dia mendapatkan pasangan yang lemah, butuh kasih sayang sehingga klop. Yang butuh kasih sayang, butuh keamanan dan ketemu orang yang sepertinya tegas bisa memberikan keamanan, jadi kebutuhannya akhirnya pas meskipun sebetulnya di balik kebutuhan itu ada dua problem yang sangat besar.
GS : Kalau memang seperti itu, keluarga itu bisa tenang. Tapi bagaimana kalau sama-sama membutuhkan kasih sayang dan itu bertemu, Pak Paul ?
PG : Sudah pasti akan saling tarik-menarik, menuntut. Kamu selalu kurang dan hanya saya saja yang memberi, jadi akhirnya menambah masalah. Bahkan kalau pun tidak sama kebutuhannya, seringkali tdak tenang Pak Gunawan.
Karena dibalik kebutuhan itu ada problem-problem besar yang akhirnya mewarnai relasi mereka.
GS : Jadi masalah ini yaitu berulangnya sejarah buruk atau yang baik merupakan sebab akibat, Pak Paul.
PG : Betul, jadi apa yang telah tertaburkan akhirnya itulah yang harus kita tuai.
GS : Apakah ada contoh konkret di dalam Alkitab mengenai hal ini?
PG : Saya teringat dengan Samuel. Samuel dibesarkan oleh Imam Eli dan kita tahu Imam Eli tidak menjadi ayah yang baik kepada anak-anaknya Hofni dan Pinehas. Tuhan menegur Imam Eli bahwa kamu leih menghormati dan mementingkan anak dari pada Tuhan dan hasilnya buruk.
Jadi kedua anak ini meskipun anak Imam dan seharusnya menjadi Imam pula, tapi malah tidur dengan perempuan lain, mengambil harta orang lain dan benar-benar berkelakuan buruk sekali. Sehingga akhirnya Tuhan memutuskan untuk tidak melanjutkan imamat Imam Eli. Dan pertanyaan saya adalah Samuel seharusnya melihat semuanya itu, sejak kecil dia tinggal dengan Imam Eli dan dia melihat anak Imam Eli yang seperti itu dan melihat secara langung bahwa Tuhan akhirnya menghukum kedua orang ini. Dan yang menarik adalah Imam Eli meninggal digantikan oleh Samuel, dan Samuel mengulang sejarah. Anak-anak Samuel juga mengulang sejarah sehingga akhirnya orang Israel berkata kepada Samuel, "Kami meminta raja, kami tidak mau mempunyai imam atau hakim seperti anakmu karena bermasalah." Tapi pertanyaan saya adalah kenapa seperti itu? Kenapa sampai orang-orang berkata kepada Samuel di I Samuel 8:3, "Tetapi anak-anaknya itu tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan." Sejarah itu bisa terulang, saya kira yang terjadi adalah salah satunya misalkan Samuel sejak kecil dibesarkan oleh Imam Eli dan dia tidak melihat contoh lainnya, cara Eli membesarkan kedua anaknya adalah satu-satunya cara yang dia kenal. Mungkin sekali Eli selalu menuruti kemauan anak dan tidak tegas dengan anak, makanya Tuhan memarahi dia bahwa dia lebih menghormati anaknya. Dia menegur anaknya, dan anaknya pun tidak mendengarkan dia. Jadi kesimpulan saya adalah kemungkinan besar waktu anak-anaknya kecil, Imam Eli tidak bisa tegas dengan anaknya dan Samuel kecil melihat bahwa dalam mendisiplin, Imam Eli lunak hanya memberitahu, tidak ada sangsi, tidak tegas dengan anak, membiarkan anak, mungkin nanti diberitahukan lagi tapi tidak cukup, diberitahukan lagi tapi tidak ada sangsi tegasnya. Mungkin sekali itu pola asuh yang dilihat oleh Samuel dan akhirnya waktu Samuel menikah dan mempunyai anak, dia menerapkan pola asuh yang sama, sehingga anak-anaknya pun akhirnya tidak terkontrol. Samuel yang begitu hati-hati, di akhir hidupnya dia berkata kepada orang Israel, "Siapa yang bisa mengatakan kalau saya pernah mengambil sapi dan kambing lembu kalian, siapa yang bisa berkata saya pernah merampas milik kalian," tidak ada. Jadi dia hidup dengan begitu lurus tapi dengan anak kemungkinan tidak menerapkan disiplin yang baik, pola asuhnya mirip dengan Imam Eli.
GS : Jadi apa yang telah diterapkan oleh Samuel kepada orang lain rupanya tidak bisa diterapkan oleh anak-anaknya sendiri, Pak Paul.
PG : Itu ironi, misalkan kita lihat waktu Samuel menghadapi Saul, Saul diharuskan Tuhan untuk taat membasmi Agak, raja Agak dan satu negerinya tapi dia tidak melakukannya. Samuel datang, marah ekali dan menegur Saul, akhirnya Samuel yang membunuh Raja Agak itu.
Pertanyaannya adalah, yang Pak Gunawan tadi munculkan, kenapa dengan orang lain dia bisa begitu tegas tapi dengan anak-anaknya dia tidak bisa tegas ? Kenapa dia bisa mendisiplin orang lain dan kepada anaknya tidak bisa ? Dugaan saya adalah karena sejak kecil dia hanya melihat satu model pola asuh yaitu model pola asuhnya Imam Eli yang lunak dengan anak. Jadi akhirnya dia menerapkan pola yang sama dengan anak sendiri, dan bukankah itu memberi dampak yang sangat luas, Israel tidak lagi diperintah oleh Tuhan secara langsung lewat hamba-hambaNya tapi hanya diperintah oleh raja, sejak itu muncullan Saul bukan lagi seorang hakim atau imam seperti Samuel.
GS : Kalau begitu apakah seseorang itu bisa berkata bahwa saya menjadi begini karena orang tua saya dulu tidak betul dalam mendidik ?
PG : Di satu pihak kita bisa berkata, "Ada pengaruh besar bahwa apa yang kita alami dulu, apa yang kita dulu petik atau terima dari orang tua akhirnya harus kita petik dan itu betul sekali." Naun di pihak lain kita mesti berkata bahwa saya pun harus bertanggung jawab untuk belajar yang benar.
Seharusnyalah Samuel pada waktu anak-anak kecil, dia mulai melihat kalau anak-anaknya makin seperti Hofni dan Pinehas. Seharusnya saya juga harus berubah, saya harus lebih tegas dengan anak-anak, saya tidak bisa lagi memberikan kesempatan kepada anak-anak saya semena-mena berbuat semaunya, saya harus lebih tegas. Tapi itu pun tidak dilakukannya, jadi ada tanggung jawabnya, tanggung jawabnya Eli maupun tanggung jawabnya Samuel. Dia seharusnya sudah tahu dan mengubah cara itu tapi ternyata tidak juga.
GS : Jadi sebenarnya siklus atau spiral kehidupan khususnya untuk pengaruh yang jelek itu bisa diputuskan oleh seseorang kalau dia mau belajar dan berubah, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Dia mesti menyadari bahwa caranya keliru, ini langkah pertama yang tadi sudah kita singgung. Kita mesti sadari ini tidak benar dan jangan membenarkan diri, jangan justru berkta, "Saya kasihan, saya tidak mau anak saya mengalami keburukan dan sebagainya makanya saya harus mengasihi" akhirnya tidak menerapkan disiplin dan itu yang tidak benar.
Jadi kita mesti menerima fakta, yang tidak benar adalah tidak benar, dan kita mesti berubah.
GS : Tapi untuk hal-hal yang baik atau positif, bisa dilestarikan, Pak Paul.
PG : Justru hal yang positif, hal yang baik yang harus kita teruskan kepada anak-anak kita sehingga sejarah yang baik yang telah kita alami dulu dengan orang tua kita akhirnya berulang kembali alam sejarah hidup kita.
GS : Apakah ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Firman Tuhan di Amsal 10:17 berkata, "Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan, tetapi siapa mengabaikan teguran, tersesat." Pada akhirnya Tuhan pasti memberitahukan kita jalanny yang benar, didikan-didikan kita terima, kita mesti indahkan kalau tidak kita indahkan maka tersesat.
Kalau kita indahkan kita justru akan berjalan menuju jalan kehidupan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Sejarah Berulang". Bagi Anda yang berminat untuk mengikuti lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.