Mengapa Mengasuh Anak?

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T584A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kelekatan yaitu kenyamanan dan kebutuhan untuk berdekatan, keterbiasaan, mengasuh adalah mengasihi dan mengasihi adalah masalah hati, waktu mengasuh dan mendidik anak terbatas hanya sewaktu kecil.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Kita mafhum pentingnya memerhatikan kesehatan dan pertumbuhan anak dalam kandungan. Kekurangan gizi dan pola hidup ibu yang tidak sehat niscaya memengaruhi pertumbuhan anak. Bila kebutuhan pokok anak dalam kandungan lebih bersifat jasmaniah, maka setelah lahir kebutuhan pokok anak bukan hanya jasmaniah tetapi juga mental, emosional, sosial dan spiritual. Kekurangan perhatian dan kesalahan dalam menyediakan kebutuhan anak akan berdampak pada pertumbuhan jiwa anak. Berikut akan diuraikan pentingnya orangtua perlu terlibat dalam proses pengasuhan anak.

Hal pertama yang mesti kita camkan adalah TIDAK SEMUA TUGAS MENGASUH ANAK DAPAT DIDELEGASIKAN KEPADA ORANG LAIN. Saya memahami betapa tidak mudahnya dan melelahkannya mengasuh anak; itu sebab, saya mengerti kebutuhan orangtua untuk dibantu dan secara berkala dibebaskan dari tugas mengasuh anak agar dapat beristirahat. Namun tetap, porsi terbesar mengasuh anak seyogianya dikerjakan oleh orangtua. Bukan saja karena adanya hal-hal tertentu yang memang hanya dapat diberikan oleh orangtua, tetapi juga karena interaksi atau menghabiskan waktu bersama anak adalah bagian penting dalam pembentukan KELEKATAN (attachment). Kelekatan bukanlah hubungan atau relasi. Kita dapat memunyai hubungan atau relasi dengan banyak orang, tetapi biasanya kita hanya memunyai kelekatan dengan beberapa orang. Demikian pula dengan orangtua dan anak. Hampir semua anak memunyai hubungan atau relasi dengan orangtua namun belum tentu semua anak memiliki kelekatan dengan orangtua. Jadi, apakah kelekatan itu? Kelekatan adalah KENYAMANAN dan KEBUTUHAN untuk BERDEKATAN dengan seseorang. Sewaktu orangtua mengasuh anak dan berhasil menciptakan suasana yang menyenangkan, maka anak akan merasa nyaman dan aman bersama orangtua. Pada akhirnya bukan saja anak tidak merasa takut berdekatan dengan dan diasuh orangtua, anak pun merasa butuh untuk dekat dengan orangtua. Itu sebab tatkala anak tidak melihat orangtua atau dipisah dari orangtua, anak akan menangis. Ibarat pot tanaman, kelekatan adalah tanah yang subur di dalam pot, di mana benih yang ditabur akhirnya bertumbuh menjadi tanaman yang sehat. Apa pun yang orangtua lakukan terhadap dan buat anak, semua bergantung pada kelekatan. Apabila tidak ada kelekatan—atau kalau pun ada, namun tidak banyak—maka apa pun yang orangtua perbuat terhadap dan buat anak niscaya tidak efektif, bahkan kadang malah berakibat negatif. Itu sebab, penting terbentuk kelekatan ini. Kelekatan tidak terbentuk kapan saja. Ada masa di mana kelekatan tidak dapat terbentuk lagi yaitu setelah lewat masa kecil. Pada dasarnya potensi terbentuknya kelekatan adalah sejak awal, yakni sejak dalam kandungan dan beberapa tahun selanjutnya. Makin bertambah usia anak, makin berkurang kemungkinan tercipta kelekatan. Jadi, bila orangtua kurang berinteraksi dengan anak dan kurang terlibat dalam pengasuhan anak di masa anak kecil, besar kemungkinan kesempatan untuk membangun kelekatan terlewati. Usaha untuk menciptakan kelekatan tidak dapat tercapai lagi.

Hal kedua yang perlu kita camkan dalam mengasuh anak ialah MAKIN SAMA ATAU KONSTAN FIGUR PENGASUH, MAKIN EFEKTIF PENGASUHAN. Mengasuh anak dimulai sejak anak dalam kandungan. Sewaktu orangtua berbicara kepada anak dan membelai-belainya dalam kandungan, sesungguhnya orangtua sudah mulai mengasuh anak. Pada masa itulah anak mulai mengenali suara orangtuanya. Setelah anak lahir, seyogianya suara yang samalah yang didengar oleh anak, bukan hanya pada bulan-bulan pertama, tetapi juga pada tahun-tahun pertama setelah kelahiran. Dinaungi oleh suara yang sama — yang menyenangkan dan aman — anak membangun KETERBIASAAN (familiarity) terhadap figur pengasuh. Keterbiasaan bukanlah pengenalan; keterbiasaan lebih dari pengenalan. Bukan saja anak tahu dan mengenali suara pengasuhnya, anak pun memahami suara itu; ia tahu perasaan yang berada di balik suara. Ia tahu mana kala orangtua letih, marah, mengasihinya, senang, serius atau bercanda; dan perlahan tetapi pasti anak mulai beradaptasi dengan pemahaman itu. Sebagai contoh, sewaktu anak tahu bahwa orangtua serius dan berniat menghukumnya, iapun berhati-hati dan memutuskan untuk taat. Tatkala orangtua bercanda, ia pun balas bercanda. Interaksi yang didasari atas dasar pemahaman yang mendalam dan tepat akan perasaan orangtua akhirnya berkembang menjadi alas pengasuhan. Ketika orangtua marah, anak takut; manakala orangtua sedih, anak berhati-hati agar tidak menambah kesedihan. Di dalam relasi ini pengasuhan menjadi tepat sasaran alias efektif. Orangtua menjadi figur pengasuh yang konstan dan ajeg; anak tidak perlu bingung membedakan manakah orangtua dan manakah pengasuh; siapakah yang harus ditaati dan siapakah yang boleh dilawan. Anak menerima kasih, disiplin, dan arahan dari sumber yang sama.

Hal ketiga dan terakhir yang mesti kita perhatikan tentang pengasuhan sebelum kita membahas isi pengasuhan ialah pada hakikinya MENGASUH ADALAH MENGASIHI, DAN MENGASIHI ADALAH MASALAH HATI. Bila tidak ada hati, maka tidak ada mengasihi, dan itu berarti, tidak ada pengasuhan. Tanpa hati dan tanpa kasih, tidak ada pengasuhan; kalaupun ada, sesungguhnya itu bukan pengasuhan melainkan pemerintahan. Dengan kata lain, relasi orangtua dan anak menjadi relasi administratif—ada aturan dan penegakan aturan lewat perintah atau ketentuan. Sewaktu anak diasuh dalam kasih, anak masuk kedalam relasi yang paling unik sekaligus paling agung yaitu dikasihi apa adanya, tanpa syarat. Orangtua menaruh hati pada anak bukan karena apa yang anak dapat perbuat atau berikan kepada orangtua. Orangtua mengasihi anak hanya karena ia adalah anak. Di dalam pengasuhan ini anak menyadari bahwa ia berharga, tanpa ia harus melakukan apa pun. Dari pengasuhan anak belajar MENGASIHI orangtua dari hati. Anak mengasihi orangtua bukan karena ia mendapatkan apa yang diinginkannya tetapi karena hatinya mengasihi. Sebaliknya bila anak mengalami pemerintahan dari orangtua, maka kasih anak kepada orangtua lebih merupakan kewajiban. Ia tidak mengasihi dari dan dengan hati; ia mengasihi dari dan dengan kepala. Pada akhirnya anak akan balik memerlakukan orangtua sebagai obyek pemerintahan; anak akan sayang dan bangga bila orangtua memenuhi tuntutannya dan menjadi seperti yang diharapkannya. Relasi dengan orangtua menjadi relasi administratif—ada aturan dan penegakan aturan lewat ketentuan.

Kesimpulan

Mengasuh anak bukanlah pilihan melainkan keharusan. Di dalam dan melalui pengasuhan, anak membangun kelekatan dengan orangtua; anak memahami orangtua, dan anak mengasihi orangtua. Itu sebab orangtua mesti mengasuh anak dan tidak boleh melepaskan tanggungjawab. Orangtua juga tidak seharusnya memprioritaskan kepentingan lain sehingga mengabaikan tanggungjawab mengasuh anak. Barangsiapa melalaikan tanggungjawab mengasuh anak, pada akhirnya harus membayar harga mahal setelah anak beranjak dewasa. Malangnya pada saat itu, semua upaya untuk mereparasi kerusakan dan memenuhi kekurangan sudah terlambat. Amsal 29:17 mengingatkan, "Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." Dan, waktu mendidik—mengasuh anak—terbatas, hanya sewaktu kecil. Jadi, jangan lewatkan kesempatan.