T 207 B
Lengkap
"Mengapa Anak Bersikap Negatif (II)" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu yaitu tentang "Mengapa Anak Bersikap Negatif". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pada perbincangan terdahulu Pak Paul sudah mengungkapkan ada dua faktor mengapa anak bersikap negatif dan bagaimana kita memberikan teladan supaya anak bersikap positif. Nah supaya para pendengar kita bisa mengikuti pada saat ini sebagai kelanjutannya, Pak Paul bisa menguraikan secara singkat apa yang sudah kita perbincangkan pada kesempatan yang lalu.
PG : Yang pertama adalah relasi orangtua yang penuh konflik akan cenderung menimbulkan sikap negatif pada diri anak. Kenapa, sebab waktu orangtua berkonflik maka suasana rumah akan penuh denga ketegangan.
Akhirnya anak akan hidup dalam ketegangan atau ketakutan. Dalam kondisi takut, dalam kondisi tegang si anak akan sukar melihat hal-hal positif, dia cenderung melihat hal-hal yang buruk atau yang negatif. Juga pada waktu orangtua bertengkar sudah tentu orangtua akan menyoroti hal-hal negatif pada pasangannya. Akhirnya itulah yang dipelajari atau ditangkap oleh si anak, yaitu waktu melihat seseorang-lihatlah yang negatifnya. Karena itulah yang didengarnya setiap hari tatkala orangtuanya bertengkar, itu yang pertama. Yang kedua adalah adakalanya masalah muncul dalam kehidupan kita, bagaimanakah kita bereaksi terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan kita. Ada orangtua yang bereaksi terhadap masalah secara positif, tapi ada pula orangtua yang bereaksi terhadap masalah secara negatif. Menyalahkan orang, tidak mau memikul tanggung jawabnya, misalnya juga mengutuki orang-orang disekitarnya sebagai penyebab problem yang dihadapinya. Kalau itu yang dilakukan oleh orangtua maka pada akhirnya anak akan belajar hal yang sama, kalau ada masalah muncul maka dia akan bersikap negatif, menyalahkan semua orang, tidak bisa melihat jalan keluarnya sudah langsung kacau, stresnya langsung tinggi. Karena itulah yang dilihatnya dulu pada diri orangtuanya. Jadi kalau boleh saya rangkumkan dari kedua poin ini adalah kalau kita mau menanamkan sikap positif pada anak, kita harus hidup positif. Relasi kita harus positif antara suami dan istri, dan sikap kita pun terhadap hidup ini terhadap masalah yang muncul dalam hidup harus juga positif. Dan itu yang menjadi modal dalam menanamkan sikap positif pada anak-anak.
GS : Dan faktor berikutnya apa Pak Paul?
PG : Yang berikut adalah anak-anak akan lebih positif, jikalau mereka sering mendengar orangtua mengatakan hal positif tentang dirinya. Kebalikannya, kalau orangtua terus-menerus menyoroti halnegatif pada si anak maka tidak bisa tidak si anak itu akan terlatih, terkondisi hanya melihat hal negatif pada dirinya.
Dan kalau dia sudah melihat dirinya negatif, otomatis atau besar kemungkinannya dia pun melihat hidup ini dari sisi negatifnya pula. Salah satu hal yang sering kali dilakukan oleh orangtua yang menjadi bibit negatif dalam diri anak adalah orangtua jarang memuji anak. Kalau anak berbuat salah langsung ditanggapi, langsung dikomentari tapi anak berbuat baik atau berbuat hal yang positif didiamkan. Ada orangtua berkata, "Ya, kalau memang sudah baik ngapain dipuji, kalau dia berbuat salah kita harus benarkan, kita harus koreksi." Ini suatu pandangan yang tidak tepat, sebab anak itu memerlukan keduanya. Anak memerlukan disiplin, sudah tentu itu betul tapi anak juga memerlukan pujian, agar dia bisa mengembangkan diri atau penghargaan diri yang juga positif.
GS : Karena itu mengata-ngatai anak atau mengolok-olok anak yang membuat anak itu malu, sebenarnya itu menanamkan sikap negatif dalam diri anak itu Pak Paul?
PG : Betul, akhirnya dia tidak melihat hal-hal positif pada dirinya, dia selalu meragukan kemampuannya; kenapa, sebab pada akhirnya memang dia takut dia akan gagal. Banyak anak-anak yang takutakan gagal; kenapa takut gagal, karena ada dua yaitu takut malu dan takut hukuman.
Ada anak yang mungkin saja tidak dihukum secara keras oleh orangtuanya kalau tidak mencapai target yang diharapkan oleh orangtua, tapi akan dipermalukan, akan dikata-katai, akan dibanding-bandingkan dengan anak-anak lain. Itulah akhirnya yang ditanggung oleh si anak yaitu rasa malu, sehingga si anak bertumbuh kembang dengan pemikiran bahwa dirinya itu ada yang kurang dan ada yang harus membuatnya merasa malu. Kalau anak sudah mempunyai konsep berpikir seperti ini bahwa ada yang tidak benar dalam dirinya dan seharusnya dia merasa malu, sudah tentu dia akan takut gagal. Daripada dia gagal ketahuan dan dibuat malu, akhirnya yang dia lakukan adalah berhenti mencoba. Yang dia lakukan supaya dia tidak mencoba adalah semua hal dilihat dari sisi negatifnya. Dia akan mengungkapkan semua yang negatif untuk atau agar dia tidak usah mencoba melakukannya. Dengan cara itulah dia bebas dari kemungkinan dipermalukan, atau yang kedua yang saya sebut adalah dihukum. Orangtua kadang-kadang terlalu keras menuntut anaknya harus seperti apa, akhirnya anak-anak menjadi takut gagal, takut berbuat salah, nanti hukumannya terlalu berat ditanggungnya; jadi yang akhirnya anak lakukan adalah berpikir negatif. Mencari alasan yang buruk dan negatif yang akan menghentikannya untuk melakukan sesuatu atau mencoba sesuatu, jadi akhirnya perlahan-lahan dia makin tergiring masuk ke lembah negatif.
GS : Malah sebagian anak seolah-olah ingin membuktikan perkataan orangtuanya. Maksud saya begini, anak itu selalu dikatakan malas, sudah berusaha rajin tapi tetap dikatakan malas. Akhirnya anak ini menunjukkan kemasalasannya di depan orangtua itu.
PG : Betul sekali, sebab akhirnya dia berpikir "buat apa lagi saya buktikan diri bahwa saya rajin, karena waktu saya mencoba membuktikan bahwa saya tidak malas tetap dikatakan malas, jadi tanggng lebih baik saya menjadi malas sekalian."
Ada juga yang menjadi masalah kalau orangtua menuntut anak sesuatu yang anak tidak bisa berikan, bukannya tidak mau tapi memang tidak bisa. Contohnya, tidak semua anak bisa ilmu science, karena memang kemampuannya tidak di situ. Tapi ada orangtua yang tidak mengerti akan hal itu, si anak harus bisa, akibatnya si anak mulai mengalami penurunan. Akhirnya nilainya makin hari makin jelek, nah ini juga nanti akan menanamkan bibit negatif pada diri si anak. Dia melihat dirinya memang penuh dengan ketidakbisaan, padahal masalahnya bukannya dia itu gagal atau tidak bisa dalam segala hal. Dia tidak bisa hanya pada bidang science, dalam bidang lain dia bisa tapi orangtua tidak mau melihat hal-hal lain yang dia bisa, karena orangtuanya mengharapkan dia bisa dalam bidang science, maka itulah terus-menerus yang disoroti oleh orangtua. Sayang sekali Pak Gunawan, sebab akhirnya si anak merasa dirinya buruk. Dengan pandangan diri yang negatif seperti itu, maka tidak heran akhirnya dia pun nanti akan terjun ke dalam kehidupan dengan modal negatif. Selalu beranggapan dirinya pasti tidak bisa, sudah beranggapan bahwa dirinya nanti pasti akan mêntok, tidak berani mencoba; daripada mencoba nanti gagal lagi, jadi benar-benar sebelum berperang dia sudah kalah terlebih dahulu. Kenapa? Alasannya sederhana, karena orangtua menyoroti sesuatu, gagal melihat hal-hal yang lain dimana sebetulnya si anak sangat baik.
GS : Jadi tuntutan untuk berprestasi misalnya mencapai ranking tertentu yang dituntut orangtua itu tidak selalu baik?
PG : Kita harus benar-benar mengerti dan melihat kemampuan anak kita. Seberapa tinggi, seberapa rendah dan melihat dimana anak kita itu memang mampu. Ada yang tidak mampu dalam bidang tertent tapi mampu dalam bidang yang lainnya.
Orangtua mesti peka melihat semua ini dan jangan menyamaratakan semua. Misalkan kalau dalam bidang science tidak bisa, orangtua langsung marah-marah dan mengata-ngatai si anak bodoh dan sebagainya, padahal si anak sangat bagus dalam bidang sosial atau dalam bidang bahasa atau dalam bidang seni. Nah orangtua perlu menyoroti dalam bidang yang si anak bisa, memujinya di situ dan menerimanya sehingga si anak tahu bahwa dirinya itu oke, tidak apa-apa, tidak ada yang salah. Kenyataan dia bisa dalam bahasa tapi kurang bisa dalam science, itu tidak menjadikan dia seseorang yang tidak komplit, tidak menjadikan dia seseorang yang seolah-olah cacat. Orangtua penting menanamkan sikap positif itu dengan cara menyoroti yang si anak itu bisa, dan memujinya dan mendorongnya. Dari fondasi inilah si anak akan membangun diri yang positif, sehingga dia nanti waktu terjun dalam kehidupan berpikir lebih positif, lebih berani mencoba sebab dia tahu dimanakah kekuatannya, apa yang bisa dilakukannya dan di bidang itulah dia akan mencobanya terus. Di bidang yang dia memang tidak bisa, dia akan katakan saya memang tidak bisa, tapi dia tidak akan berkata saya tidak bisa semuanya. Kebalikannya tadi yang kita sebut itu kalau anak dimarahi, dicela karena tidak bisa dalam bidang science, padahal dalam bidang yang lain dia bagus, akhirnya si anak akan beranggapan bahwa dalam semua hal, dalam semua bidang dia tidak bisa. Maka waktu disuruh apa-apa dia tidak mau dan sudah takut bakalan gagal daripada nanti dia dikatakan bodoh dan sebagainya.
GS : Jadi ada baiknya orangtua itu mendengarkan keluh kesah anak atau apa yang diharapkan oleh anak dan menyatakan kemampuannya sampai di mana, dalam pembicaraan yang cukup terbuka, Pak Paul?
PG : Betul, jadi jangan sungkan untuk orangtua memberikan tanggapan-tanggapan dimanakah si anak itu mampu, dan juga katakan dimanakah kira-kira si anak itu kurang. Saya tidak berkata bahwa oragtua itu tidak boleh membicarakan kelemahan anak atau masalah anak.
Ada tempat dan waktunya orangtua menyoroti juga yang tidak benar dan merupakan kelemahan si anak. Tapi ini penting, waktu kita mengatakannya kepada si anak, bingkailah dalam bingkai positif. Artinya kita mau mencari solusinya, kita bukan hanya mau melemparkan problem ini pada diri si anak dan memarahinya. Kita memunculkannya untuk mencari solusinya. Jadi waktu kita munculkan, misalnya si anak itu kurang semangat belajar; kita munculkan "ini yang kami lihat, kamu kok tidak semangat belajar, kamu kok begini bukannya belajar malah bermain-main." Langkah berikutnya atau perkataan berikutnya adalah orangtua bisa berkata, "apa yang bisa kami bantu supaya kamu bisa belajar, sebab kami memunculkan masalah ini dengan satu tujuan supaya kita menemukan satu solusinya bersama. Kami tidak berminat membenamkan kamu dengan rasa bersalah, itu tidak ada gunanya; kami memunculkan ini supaya kamu menyadarinya dan ayo kita diskusikan solusinya apa." Dengan cara begitu si anak melihat bahwa yang disoroti oleh orangtua bukannya problem tapi solusi yaitu bagaimana mencari solusi. Nah ini menolong anak untuk membangun sikap positif dalam hidup. Waktu ada masalah dia tidak terbenam dalam masalah tapi dia langsung berpikir apa solusi yang bisa dicari. Ini akan berdampak panjang tatkala anak nanti sudah dewasa.
GS : Itulah salah satu kesulitan bagi orangtua untuk berdiri sejajar dengan anak, supaya sama-sama melihat solusinya. Kadang-kadang kita sebagai orangtua sudah mempunyai konsep tersendiri seperti yang Pak Paul katakan, dan apa pun pendapat anak kita tidak mau terima.
PG : Betul, jadi adakalanya kita memang sudah menempatkan diri di atas anak. Kita yang tahu semuanya sehingga tidak mau melibatkan anak. Ini disayangkan, kalau memang anak-anak terlalu kecil an tidak bisa itu betul, tapi begitu anak sudah berusia di atas 10 tahun, kita seharusnya sudah bisa mulai mengajak anak untuk berdiskusi.
"Ini masalahnya, kamu ulangan jelek-jelek; kamu tidak bisa terus-menerus begini, ini tidak benar. Coba beritahu kepada kami apa penyebabnya tapi kami tidak mau terbenam dalam penyebab, setelah kamu katakan penyebabnya ayo kita mencari solusinya, supaya kamu tidak mengalami ini lagi." Jadi bingkailah dalam bingkai positif, yaitu kita memunculkan masalah untuk mencari solusi bukan untuk menyalahkan dia. Yang juga sering kali orangtua lakukan adalah karena marah pada anak, langsung menyerang diri si anak, mengata-ngatai si anak. Misalnya: "Tahu begitu kamu tidak usah lahir, nyesal kami mempunyai anak seperti kamu." Ini suatu tusukan di ulu hati si anak bahwa dia itu tidak diinginkan oleh orangtuanya, bahwa dia ini memang anak yang terlalu buruk untuk ada di tengah-tengah orangtuanya. Apa reaksi anak? Dia akan enggan untuk dikaitkan dengan orangtuanya, dia akan melakukan hal-hal yang berkebalikan dari yang orangtuanya idealkan atau harapkan. Dan sudah tentu dengan modal bahwa dirinya itu seburuk yang orangtuanya katakan, dia akan cenderung bersikap buruk, berpikir negatif tentang hidup ini, tentang hal-hal yang seharusnya dia lakukan, pasti tidak bisa buat apa dicoba, saya memang sebodoh ini, seburuk ini. Label-label orangtualah yang akhirnya membuat si anak menyikapi hidup dengan negatif.
GS : Selain faktor itu tadi apakah masih ada faktor lain yang bisa mempengaruhi anak supaya anak itu bersikap positif dan tidak bersikap negatif?
PG : Ada satu hal lain lagi yang sangat sederhana tapi kalau dilakukan besar sekali khasiatnya, yaitu kita mesti menciptakan suasana rumah yang santai, yang penuh gelak tawa, penuh canda. Misakan juga mengajak anak-anak untuk bermain bersama-sama, dari kecil misalnya main ci-luk-ba waktu anak masih usia di bawah 2 tahun, main petak umpet atau yang lain.
Jadi disitulah anak-anak itu menikmati kehidupan dengan gelak tawanya. Apa dampaknya pada sikap positif atau sikap negatif anak? Sudah tentu anak-anak yang dibesarkan dalam rumah dimana orangtua sering main bersamanya, terlibat dalam gelak tawa, tidak bisa tidak anak-anak ini hatinya penuh dengan sukacita; kegembiraan itu akan menandai hidupnya. Sudah tentu hati yang gembira akan membuat pikiran pun lebih positif. Kalau ada apa-apa dia tidak langsung cepat-cepat melihat yang negatifnya, dia akan melihat positifnya sebab hatinya penuh dengan sukacita.
GS : Malah ada sebagian orangtua yang menganggap kalau bergurau dengan anak, bercanda dengan anak itu membuat anak kurang ajar terhadap orangtuanya. Jadi ada kekhawatiran itu Pak Paul.
PG : Memang ada, sudah tentu anak-anak itu tidak selalu, tidak otomatis tahu batasnya; tugas kitalah mengajar dan mendidik si anak. Misalkan, dia bermainnya kurang ajar dengan kita, mengata-ngtai kita dan sebagainya; nah kita bisa mengatakan, "kalau main atau bercanda kamu jangan katakan ini kepada kami orangtuamu, ini tidak sopan, jangan katakan lagi ini tidak baik."
Nah inilah tugas kita memberitahukan kepada si anak sehingga dia tahu garis dimana dia tidak boleh melewatinya. Jangan waktu anak melakukannya orangtua meledak, marah; nanti anak takut, "kalau gitu tidak mau main lagi dengan papa-mama, sebab nanti tidak tahu kapan papa atau mama ngamuk lagi, marah lagi, kami dianggap melewati bataslah." Jadi kalau memang melewati batas, beritahukanlah secara baik-baik jangan langsung dimarahi.
GS : Untuk membangun suasana akrab seperti itu kadang-kadang pergi bersama dalam bentuk rekreasi dan sebagainya itu juga sangat menolong Pak Paul.
PG : Sangat menolong, berarti kalau orangtua bisa mengajak anak-anak rekreasi, anak-anak itu belajar rekreasi, belajar memulihkan dirinya sewaktu dia mengalami tekanan atau stres. Dia mulai megerti bagaimana memulihkan dan menyegarkan dirinya lagi, ini dia pelajari dari orangtuanya.
Sebab pada umumnya waktu kita berkreasi kita lebih sering tertawa, ini yang dibutuhkan oleh si anak. Kalau orangtua gagal melakukan itu semua malah menyoroti hidup anak dengan serius, menyoroti hidup ini dengan serius, jarang sekali tertawa; nomor satu suasana rumah memang menjadi tegang sehingga anak-anak juga akan takut untuk bercanda, untuk tertawa, untuk bermain, menggoda adiknya, kakaknya atau pun orangtuanya. Karena takut, takut dan takut, hatinya penuh dengan ketegangan dan ketakutan. Jadi kata yang sering kali muncul dibenaknya adalah jangan nanti ini, nanti itu; kenapa? Sebab orangtua terlalu tegang, terlalu serius. Jarang sekali mau bercanda dengan anak, mau bermain-main dengan anak. Ini nanti berpengaruh pada si anak, terutama ini dampaknya besar kalau orangtua selalu menyikapi hidup dengan serius. Si anak akhirnya mencontoh si orangtua menyikapi hidup seserius itu. Dampaknya si anak tidak bisa menoleransi canda-tawa, orangtuanya pun tidak bisa, jadi kalau ada orang lain bercanda-tertawa mereka akan marah, tidak suka, rasanya risih. Atau kalau orang bercanda-tawa, mereka berpikir negatif mungkin mereka yang menjadi bahan canda-tawa orang lain. Jadi benar-benar ketersinggungan mudah muncul, sedikit-sedikit tersinggung karena sudah mencurigai orang. Atau kalau ada orang bermain dan tertawa, dia tidak suka, nah itu makin menjauhkan dia dari orang lain. Waktu dia merasa kok orang menjauhkan diri dari dia, dia mulai mengembangkan pemikiran negatif, "memang orang tidak suka, orang tidak serius dalam hidup." Sehingga dia terlalu kritis dengan orang dan itu akan makin mengusir orang atau menghalau orang pergi jauh darinya.
GS : Memang ada orang-orang yang sudah dewasa tetapi sulit untuk diajak bergurau atau tertawa sejenak, bahkan ada yang menganggap bahwa senang-senang itu sebagai dosa.
PG : Betul, memang tidak sehat sekali. Jadi ada orang yang melihat canda-tawa, santai, rileks sebagai dosa sehingga merasa bersalah padahal tidak ada yang menyalahkan, tapi kalau dia bercanda tau santai dia sendiri sudah merasa bersalah.
Kenapa, ya karena itulah yang diperolehnya di dalam rumahnya dulu, waktu orangtuanya memarahinya kalau dia terlalu santai atau terlalu rileks atau bercanda, karena orangtuanya tidak suka dengan hal-hal seperti itu. Jadi anak ini mulailah mengembangkan sikap kehidupan yang kaku, sangat kaku sekali; kalau tidak hitam ya putih, kalau tidak salah ya benar. Tidak ada lagi daerah-daerah yang di tengah-tengah antara dua kubu ini, jadi orang akhirnya tidak begitu nyaman bersama dengan mereka. Dari mulut mereka cenderung keluar hal-hal yang kritis, kritis dan kristis, dan kita tahu kristis memang cenderung ke arah negatif. Inilah yang akan dibawanya sampai usia dewasa dan akan sangat berdampak dalam relasinya dengan orang lain.
GS : Padahal di kitab Amsal sendiri dikatakan, "Hati yang bergembira itu adalah obat."
PG : Yang sangat mujarab Pak Gunawan.
GS : Tetapi bagi orangtua, bagaimana membatasi dirinya supaya anak itu juga mengerti batas-batasnya antara yang serius dan yang canda-tawa?
PG : Sudah tentu kalau orangtua itu bisa menyeimbangkan keduanya, anak pun perlahan-lahan akan belajar. Jadi orangtua waktu menghadapi sesuatu tekanan, dia akan berusaha menyelesaikan. Dan suah tentu sikap yang dimunculkan adalah sikap serius, nah di situ anak belajar bahwa tatkala menghadapi tekanan atau masalah dalam hidup seperti ini, sikap seperti inilah yang diperlukan yaitu serius.
Ada tantangan kita harus selesaikan, kita harus serius. Jadi orangtua bisa mengajarkan lewat contoh, lewat perbuatannya tapi juga bisa dilakukan lewat perkataan. Orangtua bisa mengajarkan kepada anak, "ini masalah penting sekali, kamu tidak bisa main-main; kalau sampai keliru dampaknya ini panjang, coba tolong berhati-hati jangan sampai kamu lengah." Nah omongan-omongan seperti itu penting tapi sekali lagi orangtua tidak mengatakannya terus-menerus, kalau terus-menerus nanti si anak sedikit-sedikit sudah takut salah dan cenderung melihat hidup dengan serius. Pada intinya yang ingin saya tekankan di sini adalah orangtua mesti bisa menertawakan dirinya sendiri. Orang yang sehat adalah orang yang bisa menertawakan kesalahannya, kebodohannya sendiri. Nah orang yang bisa menertawakan dirinya akan berhati lebih besar, nanti anak pun akan belajar dari orangtuanya. Dia pun bisa menertawakan dirinya sehingga tidak mudah tersinggung, tidak mudah curiga kepada orang. Ini akan membuat relasi yang jauh lebih positif dengan orang lain.
GS : Sekali pun sebagai orangtua kita sudah berusaha keras untuk menanamkan atau menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri anak, sering kali masih muncul hal-hal yang negatif dalam diri anak yang kita lihat, yang kita sendiri heran siapa yang mengajar anak ini kok bisa seperti ini.
PG : Anak-anak tidak tumbuh dalam rumah saja, anak-anak juga bertumbuh di luar rumah, jadi akan ada pengaruh-pengaruh luar rumah yang akan bisa masuk ke dalam dirinya dan akhirnya memberikan pegaruh yang buruk kepadanya juga.
Itu sebabnya kita harus menerima fakta itu, kadang-kadang kita tanamkan 100 yang tumbuh 90 yang 10-nya negatif, tapi disitulah anak nantinya berkesempatan untuk memikirkan ulang, mengambil keputusan yang lebih positif dalam hidupnya.
GS : Tapi sebenarnya itu masih bisa dikurangi dampak-dampak negatif dari luar itu daripada dampak negatif itu timbul karena masalah dalam rumah sendiri?
PG : Betul sekali, jadi yang penting adalah rumah kita sendiri, setelah itu ya sudah kita tidak bisa selalu melindungi anak dalam lingkup yang sempurna. Inilah kehidupan.
GS : Pak Paul, dalam hal ini apakah ada Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan bacakan Amsal 27:18, "Siapa memelihara pohon ara akan memakan buahnya..." Jadi dengan kata lain Tuhan mau berkata, yang kita tabur itulah yang kita tuai. Jadi sebagai orangtua anamlah sikap yang positif, tanamlah benih positif nanti itulah buah yang akan dipetik.
Anak-anak pun akan menuai buah yang positif dalam hidupnya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mengapa Anak Bersikap Negatif" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.