Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang “Menebus Waktu yang Terhilang”. Kami percaya acara ini pasti
bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang
lampau, kita membicarakan tentang beberapa kendala di dalam pasangan suami
istri mengisi waktu mereka bersama-sama. Dan kita beberapa waktu yang lalu juga
sudah membicarakan tentang pentingnya kebersamaan itu. Kita akan lebih lanjut
membicarakan hal-hal itu namun supaya para pendengar kita memunyai gambaran
yang lebih lengkap tentang apa yang kita bicarakan, mungkin Pak Paul bisa
mengulang sejenak.
PG : Pada dasarnya kita membicarakan
adanya kendala didalam mengisi waktu bersama antara wanita dan pria, kendala
yang kita bicarakan adalah betapa berbedanya pria dan wanita dalam hal mengisi
waktu bersama-sama, wanita jauh lebih menginginkan adanya kontak verbal sehingga
cenderung mau memperpanjang percakapan dan mengisinya dengan lebih banyak
detail sedangkan pria tidak, kadang muncul konflik karena hal itu. Yang lain
juga karena pria maunya berbicara to the point kalau tujuannya sudah
tercapai maka tidak diperpanjang lagi sehingga wanita seringkali merasa seperti
instruksi tidak ada bahasa kasih, tidak ada lagi toleransi sehingga nantinya si
istri malas untuk bicara dengan si suami. Maka masing-masing harus saling
mengerti meskipun berbeda tapi masih bisa dijembatani dengan cara suami belajar
untuk mendengarkan, membiarkan istri berbicara lebih banyak dan istri juga
waktu melihat suami misalkan sudah mulai jenuh atau konsentrasinya mulai terbagi
maka dia mungkin bisa hentikan dan istri belajar lebih to the point
sehingga tidak terlalu panjang. Jadi masing-masing mencoba untuk meningkatkan
toleransi dan saling pengertian, sehingga itu nanti akan menjembatani. Dan yang
kedua adalah kendala kesibukan karena masing-masing punya kesibukan yang
berbeda dan akhirnya waktu bersama juga makin berkurang, dampak negatifnya dari
makin berkurangnya waktu bersama biasanya kita kurang sabar. Kebalikannya orang
yang makin banyak mengisi waktu bersama justru lebih sabar dengan satu sama
lain dan kelemahan masing-masing, tapi orang yang jarang menghabiskan waktu
bersama tambah tidak sabar dengan kelemahan pasangannya atau hal-hal yang dia
tidak sukai. Jadi penting kita mengisi waktu bersama sehingga kesabaran juga
makin terbangun sehingga relasi kita pun makin lebih kuat.
DL : Ini ada pertanyaan, Pak Paul, apa
yang harus diperbuat bila nasi sudah menjadi bubur alias sudah terlambat karena
satu dan lain hal suami atau istri kurang memberi waktu pada pasangannya dan
sekarang mereka ingin merebut kembali waktu yang terhilang. Apakah ada hal yang
harus dilakukan dan apakah ada hal yang jangan dilakukan oleh mereka ?
PG : Kita tidak hidup dalam dunia yang
sempurna dan kita tidak selalu melakukan hal yang benar, mungkin karena ketidaktahuan
atau penyebab lainnya, kita gagal mengisi waktu bersama pasangan. Ada yang
mungkin beranggapan “Karena nasi sudah menjadi bubur maka diam saja dan
menjalani hidup apa adanya dan kita tidak perlu lagi berbuat apa-apa”, tapi ada
yang mau merebut kembali waktu yang terhilang itu. Coba kita lihat apa yang
bisa kita lakukan dan sebaliknya apa yang tidak perlu dilakukan, bila memang
waktu telah terlewati tanpa kebersamaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya
terpenting dalam menghabiskan waktu bersama adalah mengisinya dengan diri yang
terbaik dan kita harus menjadi diri apa adanya namun berusahalah menjadi diri
yang terbaik. Jadi langkah pertama adalah mengobati diri sendiri dulu, kita harus
berubah dan kita harus menyikapi hidup dengan lebih positif dan kita harus
bertumbuh agar lebih sehat dan lebih dewasa, bila kita berubah tidak bisa tidak
pasangan pun akan tergugah untuk berbagi waktu dengan kita. Mungkin di masa
lampau dia tidak suka berbagi waktu dengan kita, sebab akhirnya dia terluka
oleh perkataan dan sikap kita, namun sekarang dia tidak lagi merasa demikian
oleh karena kita telah berubah bahkan oleh karena kita telah bertumbuh dewasa
maka diapun dapat mengecap manfaat berbagi waktu bersama kita. Hal-hal inilah
yang akan membuatnya makin bersedia untuk membagi waktu bersama kita. Jadi
intinya kita tidak bisa memaksa pasangan untuk kembali memberikan waktu bersama
dengan kita, kita harus terlebih dahulu membuktikan diri bahwa kita telah
berubah, biarlah dia menilai dan berilah waktu kepadanya untuk merasa aman dan
nyaman berdekatan dengan kita. Kalau dia sudah merasakan itu semua maka dengan
sendirinya perlahan-lahan dia juga akan mau memberikan waktunya kepada kita.
GS : Tapi yang namanya kebersamaan butuh
respon yang positif dari pihak yang satunya, Pak Paul, katakan si suami sudah
menyadari bahwa dulu waktu bekerja dia sibuk sekali dan tidak sempat untuk
meluangkan waktu berbicara dan sekarang dia sudah pensiun sehingga punya waktu cukup
banyak untuk bicara, namun kalau si istri yang sudah terbiasa dengan diamnya
suami, lalu tiba-tiba kita berubah tanpa dia tahu penyebabnya maka tidak akan
ada suatu perbaikan di sana, Pak Paul.
PG : Kalau itu yang terjadi maka si suami
harus mengutarakan niatnya dan mungkin juga penyesalannya bahwa di masa lampau
saya tidak seperti ini, “Ini menjadi terhilang, saya ingin dimasa tua kita
menebus hal ini”. Tapi sekali lagi apa pun yang kita katakan kita harus
membuktikannya bahwa kita telah berubah, sebab pasangan harus diyakinkan bahwa
berbagi waktu bersama kita adalah sesuatu yang nyaman, enak, baik, berguna.
Tapi kalau kita tidak bisa meyakinkan hal itu kepada pasangan maka dia juga
tidak mau. Jadi kalau kita sudah gagal sehingga nasi sudah menjadi bubur maka
kita seolah-olah tidak punya hak lagi untuk menuntut dan kita hanya bisa
menawarkan supaya dia tergerak, dan untuk menolong pasangan kita kembali
memberi waktunya kepada kita maka kitanya juga harus membuktikan diri. Ini yang
saya sering lihat adalah karena merasa bersalah dulu tidak dan sekarang mau
merebut waktu kembali dan memaksakan, “Kamu harus seperti ini karena sekarang
saya sudah seperti ini, saya sudah baik tapi kenapa kamu masih seperti ini
kepada saya” makin diberikan atau disuguhkan kata-kata seperti itu maka
pasangannya makin tidak mau dan makin merasa kalau kamu itu dari dulu tidak
berubah dan sama, bersikap manis karena ada kepentingannya, begitu kamu tidak
mendapatkan yang kamu minta dan saya tidak manis seperti yang kamu harapkan, maka
kamu kembali kasar dan menyakiti hati saya. Jadi akhirnya kita tidak bisa lagi
menuntut pada saat seperti itu, kalau nasi sudah menjadi bubur kita harus
buktikan dengan perbuatan kalau kita telah sungguh-sungguh berubah.
GS : Memang bukan menuntut, Pak Paul,
tapi niat baik ini harus diberi semangat oleh pihak pasangannya, jadi misalnya
tadi si istri berkata, “Dulu saya sudah katakan bahwa kebersamaan itu penting,
tapi kamu abaikan dan sekarang sudah sama-sama tuanya baru mau dibangun
kembali”, kata-kata seperti itu bisa mematahkan semangat suami.
PG : Itu sebabnya dalam kenyataannya
kalau nasi sudah menjadi bubur akan menjadi bubur terus. Jadi kalau sudah
sampai titik itu maka memang akan susah sebab yang tadi Pak Gunawan katakan itu
sering dikatakan oleh orang, oleh pihak yang merasa, “Dulu kamu seperti itu
kepada saya, saya sekarang juga tidak ada keinginan untuk bicara dan membagi
waktu bersama kamu, saya tidak bisa diberikan seolah-olah korek api untuk menyalakan
kompor, sekarang sudah tidak ada gasnya, diberikan api seperti apa pun akan tetap
apinya tidak akan keluar”. Jadi kebanyakan, itulah respons yang diberikan dan
betul kata Pak Gunawan, di pihak yang mau merebut kembali begitu mendengar kata-kata
seperti itu maka reaksinya adalah patah semangat dan biasanya digantikan dengan
kemarahan sebab dia merasa tertolak dan dia merasa, “Saya sudah berusaha dan
berubah, tapi kamu tidak menanggapi dengan positif perubahan saya”, sebab dia
beranggapan, “Seharusnya kamu ini berterimakasih dan bersyukur karena saya
sudah berubah, saya baik kepada kamu, dulu kurang baik dan sekarang sudah baik
maka kamu harus berterima kasih”, dan dia tidak ingat bahwa di pihak yang sana
sudah tidak peduli lagi entah dia bicara atau tidak bicara, jadi mana mungkin
berterimakasih, dengarkan dia bicara saja sebetulnya tidak mau. Jadi pada titik
itu sebetulnya sudah sulit dan saya lihat dalam hidup kalau sampai titik itu
sudah sangat sulit, maka benar-benar relasi itu seperti pohon yang dibangun,
ditumbuhkan dari kecil setahap demi setahap sampai besar dan tidak bisa kita
membuat pohon dalam waktu satu hari dari kecil menjadi besar.
GS : Walaupun itu sulit tapi bukan suatu
kemustahilan yang bisa diupayakan, begitu Pak Paul ?
PG : Saya melihat misalnya kalau pun
sampai terjadi biasanya ada sesuatu yang luar biasa terjadi, misalnya si orang
yang sudah tidak mau lagi berhubungan karena sudah terlalu sering kecewa dan
disakiti, misalnya dia itu jatuh sakit sehingga memerlukan pertolongan, bantuan
sehingga terciptalah sebuah situasi dimana dia harus menerima kebaikan dari
orang yang pernah menyakiti hati dia, yang pernah menyakiti hatinya juga
berkesempatan menunjukkan kebaikan hatinya kepada orang ini. Dalam konteks
seperti itu lebih bisa terjadi, tapi biasanya kalau tidak terjadi apa-apa dan
biasa-biasa saja maka sangat sulit. Sekali lagi seperti yang Pak Gunawan sudah
katakan kalau sudah terlalu lama tidak ada apa-apa dan sudah terlalu lama tidak
diberikan perhatian dan tidak diajak bicara maka benar-benar relasi itu mati
dan perasaan itu sudah mati dan dia lebih nyaman mempertahankan “status quo”. “Tidak perlu diubah lagi diam saja” dan terutama satu
hal yang saya perhatikan adalah dia akan merasa pasangannya itu seperti gombal,
“Kamu membaik-baiki saya sekarang, merasa menyesal dan mau menebus, jadi
sepertinya kamu gombal”, jadi untuk dia percaya dan orang benar-benar atau
sungguh-sungguh berniat baik itu agak lama dan susah, seringnya yang satu
akhirnya berkata, “Baiklah saya akan coba memberikan kesempatan kembali”.
Kemudian ada kejadian dan karena hidup ini tidak sempurna kemudian ada kejadian
dimana dia dimarahi lagi, maka relasi itu menjadi buyar dan dia tidak bisa lagi
memberikan dirinya dan waktu kepada pasangannya. Kadang-kadang itu yang terjadi
yaitu di tengah jalan tabrakan lagi dan yang satu marah lagi seperti dulu dan
membiarkan lagi, maka semua ini menjadi hilang.
GS : Mungkin kekecewaannya menjadi lebih
besar daripada yang dulu. Tapi dengan melihat kebutuhan bersama itu menjadi
suatu tempat atau titik di mana mereka memulai kebersamaan itu. Misalnya pada
saat si suami sudah pensiun dan si istri kondisi tubuhnya mulai melemah menjadi
saling membutuhkan misalnya dari segi finansial, kesehatan, dari titik itulah
kita bisa memulai kebersamaan dan mengatakan, “Kita sekarang harus saling
tolong menolong”.
PG : Betul, biasanya kalau terjadi
sesuatu yang luar biasa, lebih dimungkinkan relasi itu dijahit kembali dan biasanya
di hari tua yang saya lihat dan sering menjadi penyatu kembali adalah sakit,
karena yang satu sakit maka yang satu menjadi terpaksa memberikan perawatannya
atau dua-duanya sakit, tapi masih bisa saling merawat maka itu memaksa mereka
untuk saling bergantung satu sama lain. Jadi itu yang menjadi titik tolak,
titik berangkat yang baru.
GS : Tapi kesempatan ini memang harus
digunakan oleh mereka berdua, karena kalau dibiarkan lewat maka juga akan lewat
begitu saja.
PG : Betul. Karena ada juga yang seperti
ini walaupun dia sakit, tapi dia justru tidak mau terima perawatan dari
pasangannya, dia akan memaksa anaknya yang merawatnya karena dia sudah tidak
nyaman dengan kehadiran pasangannya. Jadi walaupun pasangannya sudah baik mau
merawatnya, dia tidak suka sehingga dia mati-matian lebih mau anaknya yang
datang dan merawat dia, dan membuat anak juga tertekan dan akhirnya anak akan
berkata, “Kan ada papa di rumah, kenapa harus saya juga yang datang ?” mungkin karena
tidak nyaman. Sebab dalam kondisi yang tidak nyaman misalnya yang satu mengatakan
sesuatu yang kurang tepat, perawatannya kurang pas akhirnya dimarahi dan dia
akan marah, “Saya sudah berbaik hati mau merawat kamu tapi kenapa kamu begitu
kasar kepada saya dan tidak menghargai saya” akhirnya memutar kembali.
GS : Tapi sebenarnya itu bisa dilakukan
sebelum musibah atau penyakit itu datang dengan suatu kesadaran bersama bahwa usia
mereka sudah mulai memasuki masa tua dan mereka memersiapkan ini bersama-sama
dan ini membutuhkan komunikasi dan kebersamaan.
PG : Idealnya seperti itu. Jadi kalau dua-dua
bersedia dan memunyai tekad maka akan menjadi indah dan sangat dimungkinkan
tercipta relasi di antara mereka tapi seringkali yang saya lihat adalah yang
satu tidak ada lagi motivasi dan tidak mau. Jadi akhirnya bagi dia lebih baik
hidup seperti ini, karena nanti akan susah dan nanti saya terluka lagi. Apalagi
lama-lama akhirnya dia terbukti karena yang ini tetap memberikan sikap negatif
dan tidak mau didekati, yang satunya tinggal tunggu waktu dia meledak lagi dan panas
lagi, “Saya sudah berubah tapi kamu tetap seperti ini kepada saya” akhirnya
ribut lagi, begitu satu kali ribut maka prosesnya mundur, tiap kali ribut
mundur lagi dan kalau ribut lagi akhirnya bukan hanya mundur tapi juga
berhenti.
GS : Itulah sebabnya banyak pasangan di
usia tua mereka tidurnya terpisah dan mereka memilih tidur sendiri-sendiri
karena sudah tidak ada lagi yang dibicarakan dan dilakukan, lebih baik tidur
sendiri-sendiri, begitu Pak Paul ?
PG : Dan jarang terjadi komunikasi.
Banyak pasangan tua yang jarang berkomunikasi tapi mereka tetap meneruskan walaupun
sudah tidak terjadi apa-apa lagi. Akhirnya rasa tanggung jawablah yang
menyatukan mereka.
DL : Tapi Tuhan bekerja lewat koridor
waktu, bagaimana Tuhan bisa membentuk pasangan supaya menggenapi kehendak-Nya
dan rencana-Nya ?
PG : Betul sekali kata Ibu Dientje,
memang Tuhan bekerja melalui koridor waktu. Apa yang Dia lakukan waktu Dia
bekerja lewat koridor waktu ? Dia sebetulnya membentuk kita, jadi Tuhan tidak
pernah berhenti membentuk, itulah karyanya Tuhan dan Dia mula-mula menciptakan
kita dan ketika kita jatuh ke dalam dosa, Dia menciptakan kita kembali menjadi
manusia yang baru dan itulah yang Tuhan lakukan dalam hidup kita. Tujuannya
supaya kita menjadi serupa dengan Dia, diperlukan waktu yang panjang untuk
menjadikan kita pengampun dan pemurah, diperlukan waktu yang panjang untuk
membuat kita penyabar dan penyayang dan diperlukan waktu untuk memahat kita
menjadi rendah hati dan tulus. Jadi bila kita ingin memberi diri yang terbaik
kepada pasangan maka pertama-tama kita harus memberi diri kita kepada Tuhan
terlebih dahulu. Kita harus mendengarkan dan menaati firman-Nya dan kita harus
melawan keinginan pribadi dan menuruti keinginan Tuhan. Jadi lewat berbagai peristiwa
Tuhan akan membentuk kita agar serupa dengan-Nya, ketika kita bersedia dibentuk
oleh-Nya maka Dia akan terus membentuk kita sehingga kita makin hari makin
serupa dengan-Nya. Pada akhirnya diri yang makin serupa Kristuslah yang kita
persembahkan kepada satu sama lain. Jadi biarlah Tuhan membentuk kita lewat
waktu. Dan memang waktu itu diperlukan sehingga akhirnya diri yang serupa
Kristus yang kita berikan kepada pasangan kita. Waktu kita lebih bisa
memberikan diri yang serupa Kristus kepada pasangan maka waktu yang kita isi
pun menjadi waktu yang lebih indah, kalau kita memberikan diri yang kebalikan
dari Kristus yang jahat, kasar dan sebagainya, maka waktu itu bukan untuk
memulihkan tapi malah menghancurkan kehidupan pasangan kita.
GS : Berbicara tentang waktu, ini
masing-masing pasangan berbeda-beda, ada yang secara cepat dipulihkan tapi ada
yang begitu panjang sampai akhirnya mereka tidak memunyai kesempatan untuk
pulih kembali dan bisa bersama-sama lagi karena dengan berjalannya waktu mereka
tentu makin lama makin tua, Pak Paul.
PG : Jadi seyogianyalah dua-dua berkata
terutama yang dilukai berkata, “Baiklah memang saya telah dilukai dan saya
telah menjadi korban, tapi sekarang dia mau bertobat maka saya mau percaya bahwa
dia mau bertobat dan saya mau melakukan ini demi Tuhan bahwa Tuhan meminta saya
untuk menjadi seorang pengampun dan juga pemberi kesempatan kedua, jadi saya
mau jadi orang seperti itu”. Jadi dimana telah disinggung pertama-tama kita
harus menyerahkan diri kita kembali kepada Tuhan sehingga bukan kehendak kita
atau bukan apa maunya kita tapi apa maunya Tuhan, kalau kita mau datang kepada
Tuhan dan berkata seperti itu maka barulah kita bisa memberikan diri kita
kepada masing-masing sehingga akhirnya kita menjadi dibentuk.
GS : Kalau waktu itu dibiarkan lewat dan
kesempatan yang diberikan Tuhan diabaikan maka yang ada hanyalah penyesalan di
hari tua, Pak Paul.
PG : Betul sebab pada akhirnya memang tidak
bisa lagi diambil kembali dan hilang begitu saja dan semakin tua makin
terbatasi, misalnya kita menderita stroke, mau bicara saja tidak bisa,
bagaimana mau bicara ?
GS : Dan peran pasangan apa di sini, Pak
Paul ?
PG : Tuhan memakai pasangan untuk turut
membentuk kita. Jadi melalui interaksi baik yang positif atau negatif, Tuhan
membentuk kita dan sudah tentu semua terjadi lewat waktu dan harus diakui
kadang lebih mudah menerima misalnya bentukan atau teguran dari teman daripada
dari pasangan sendiri. Dan juga bukankah kita lebih sabar menoleransi kelemahan
orang lain daripada pasangan sendiri. Namun lewat semua itulah Tuhan membentuk
kita, adakalanya kita tidak sabar menunggu terjadinya perubahan pada pasangan,
adakalanya memang perubahan datang cepat, namun kadang datang lambat tapi Tuhan
terus bekerja meskipun kita tidak selalu tanggap, itu sebabnya perubahan tidak
kunjung datang. Maka kalau kita mau cepat berubah, waktu Tuhan mulai mengubah kita
dan menunjukkan apa yang harus dan tidak harus kita lakukan maka kita harus
taati terus. Namun waktu kita melihat pasangan kita belum bertumbuh dan sama
seperti dulu bahkan masa penantian itu pun dapat digunakan Tuhan untuk
membentuk kita, sehingga akhirnya kita menjadi orang yang tabah untuk menahan
derita dan kita juga akhirnya makin bertumbuh.
GS : Jadi sebenarnya tidak ada kata
terlambat bagi pasangan-pasangan yang memunyai tekad yang kuat untuk kembali
bersama-sama dengan pasangannya di dalam berkomunikasi dan hidup bersama
seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul asalkan mau dan ada tekad,
saya kira tidak ada kata terlambat tapi memang yang seringkali menghalangi
adalah dua, yaitu ego dan takut sakit. Karena ego akhirnya gengsi dan berkata,
“Untuk apa dan tidak perlu, daripada terus dihina dan ditolak, untuk apa
bertobat dan melakukan yang dia inginkan”. Yang kedua adalah takut disakiti
kembali, takut terluka kembali. Jadi bagi siapa yang mau memulai proses ini
maka dia harus menghilangkan egonya dan berani mengambil resiko untuk terluka.
GS : Tanpa harus menunggu bahwa pasangan
kita untuk berubah dulu daripada kita, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Kalau kita saling
menunggu maka kita tidak akan pernah memulai.
GS : Dan kebersamaan itu tidak akan terwujud
dalam keluarga yang mereka bina sejak muda.
PG : Betul.
GS : Pak Paul, untuk merangkumkan
perbincangan kita ini apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul
sampaikan ?
PG : Saya bacakan dari Filipi 1:27,
“Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya,
apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar,
bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman
yang timbul dari Berita Injil”. Jadi firman Tuhan meminta kita untuk
hidup berpadanan dengan Injil Kristus, artinya kita itu sama serupa dengan apa
yang Injil Kristus ajarkan supaya kita satu roh, sehati, sejiwa. Jadi itulah
yang Tuhan nantikan dan Tuhan ingin lihat dalam diri kita dan jangan sampai waktu
Tuhan menjumpai kita dan yang dijumpai adalah kita tidak sehati, tidak satu
roh, tidak sejiwa dan bahkan terbelah-belah, maka itu akan mendukakan hati
Tuhan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk
perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima
kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi,
dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang
tentang “Menebus Waktu yang Terhilang”. Bagi Anda yang berminat untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat
surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk
56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org
kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.