Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang mendidik anak yang lamban. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, anak-anak yang lahir ke dunia ini sama seperti kita yang dewasa tentunya, tingkat kecerdasannya pun berbeda-beda walaupun itu saudara sekandung. Nah masalahnya apakah kita bisa mengenalinya sejak dini dan sebenarnya apa yang dikatakan atau bagaimana anak yang dikatakan lamban itu, Pak Paul ?
PG : Yang dikatakan lamban adalah anak-anak yang mengalami kesukaran untuk mengerti konsep-konsep yang dijelaskan kepadanya, sehingga dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk bisa memahamidan biasanya terlihat sewaktu dia memasuki SD.
Nah, semakin tinggi kelasnya semakin bisa terlihat bahwa itulah duduk masalahnya. Biasanya pada usia yang lebih dini yaitu usia TK atau SD kelas I, kelas II hal ini belum terlihat, mulai menginjak ke kelas III dan seterusnya baru bisa mulai terlihat dengan jelas, inilah duduk masalah si anak. Pada dasarnya anak yang lamban memang kita bisa kategorikan secara lebih spesifik, yaitu yang ber-IQ di bawah rata-rata. Yang di bawah rata-rata sebetulnya memang ada banyak bagian atau kategorinya, tapi anak-anak yang misalnya ber-IQ sekitar 100 dan ke bawah sampai 90 biasanya akan mengalami masalah-masalah dalam sekolah. Atau anak yang memang tidak begitu bisa berpikir secara abstrak dan dia memerlukan contoh-contoh yang sangat konkret sekali, biasanya anak-anak ini akan mengalami kesulitan dalam sekolah karena kebanyakan sekolah itu menggunakan metode belajar yang bersifat abstrak. Jadi memberikan penjelasan-penjelasan secara verbal dan si anak diharapkan bisa mengkonsepkannya secara abstrak dalam benaknya. Nah, anak-anak yang kemampuan berpikir abstraknya agak lemah biasanya akan mengalami kesulitan.
(2) GS : Dalam hal yang nanti akan kita bicarakan tentang anak lamban masih kategori anak yang belum membutuhkan pendidikan di sekolah luar biasa, maksudnya belum ke sana ya Pak Paul? (PG :belum) Anak bisa mempunyai kecerdasan yang lamban seperti itu, faktor penyebabnya apa Pak Paul?
PG : Sebetulnya tidak bisa kita ketahui kenapa seorang anak ini mempunyai kemampuan yang terbatas, dibandingkan misalnya dengan kakak atau adiknya. Jadi benar-benar kelahiran anak adalah suau misteri, kadang-kadang kita mengaitkannya dengan hal-hal tertentu pada masa kehamilan ibunya.
Tapi sesungguhnya tidak bisa kita ketahui apa penyebabnya. Yang cukup sering terjadi adalah sebetulnya anak-anak itu mewariskan kecerdasan intelektual dari orang tuanya, jadi ada kecenderungan orang tua yang cerdas biasanya mewariskan kecerdasannya itu kepada anaknya. Tapi ini bukan suatu prinsip umum, sebab adakalanya orang tua yang biasa-biasa saja tetapi mempunyai anak-anak yang sangat cerdas, jadi tidak bisa kita pastikan.
GS : Kalau kita menghadapi anak yang kurang kecerdasannya dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain, bagaimana sebaiknya kita sebagai orang tua harus bersikap, Pak Paul?
PG : Yang pertama, yang paling penting adalah kita menerima fakta itu. Dalam konseling saya Pak Gunawan, saya cukup sering juga menerima kedatangan orang tua yang membawa anak mereka yang dinggap lamban.
Tapi sebetulnya yang menarik adalah kebanyakan mereka itu tidak mengakui bahwa anak mereka lamban. Jadi hampir dapat dipastikan semua orang tua berkata sebetulnya anak saya pandai, tapi...... misalnya malaslah, maunya main dan sebagainya. Jarang ada orang tua yang dengan berani berkata rasanya anak saya ini lamban, tidak mengerti dengan jelas dan perlu waktu yang lama sekali. "Saya menjelaskannya harus beberapa kali baru dia mengerti, kalau kakaknya saya jelaskan sekali langsung mengerti". Sebetulnya yang terjadi adalah orang tua enggan untuk mengakui inilah faktanya, nah keengganan ini memang saya kira juga hal yang wajar, Pak Gunawan, wajar karena kita sebagai orang tua mengharapkan anak-anak kita ini cerdas, maju, dan berprestasi baik di sekolah. Waktu dia tidak memenuhi harapan kita, kita kecewa sehingga enggan mengakui bahwa inilah faktanya atau kita enggan karena kita takut dia mencoreng wajah kita. Kita menjadi malu karena anak kita tidak pandai, tidak sepandai anak-anak lainnya misalnya.
GS : Tapi memang faktanya kadang-kadang ada anak yang lamban karena faktor kemalasannya, bagaimana itu Pak Paul?
PG : Kalau dia lamban karena kemalasannya, saya tidak kategorikan dia lamban, dia malas. Nah misalkan dalam hal-hal yang lain dia cepat sekali, kalau yang dia sukai dia cepat mengerti, kalaupelajaran yang tidak disukai lambat sekali, itu masalah lain lagi, masalah bagaimana mendisiplinkan dan memotivasi dia.
Tapi kita sekarang sedang membicarakan hal yang memang kita harus akui dia lamban, jadi ada anak yang memang sungguh-sungguh lamban.
GS : Itu berarti orang tua harus terlebih dahulu mendeteksi atau mengetahui dengan jelas bahwa memang anaknya lamban, baru dia bisa mengakuinya, Pak Paul.
PG : Caranya yang paling mudah adalah tidak perlu dibawa ke psikolog atau test kepandaian. Yang mudah sekali adalah waktu dia memberikan penjelasan-penjelasan kepada si anak, coba berikan seara konkret apakah anak itu mudah menangkapnya.
Kalau sudah memberikan contoh-contoh konkret si anak tetap sulit menangkapnya, bisa kita pastikan memang dia agak lamban. Nah, kalau dengan kita di rumah, satu dengan satu, dia mengalami kesulitan memahami konsep yang kita ajarkan dengan konkret itu, dapat dipastikan di sekolah dia mengalami kesulitan yang lebih besar. Karena ada kemungkinan guru tidak akan bisa menjelaskannya secara pribadi dengan dia, satu dengan satu.
GS : Selain kita harus mengakui keberadaan anak kita yang memang lamban, langkah konkret apa yang bisa dilakukan, Pak Paul?
PG : Yang berikutnya adalah kita harus memperlihatkan sikap penerimaan pada anak itu. Kenapa kita perlu memberikan sikap penuh penerimaan, sebab kelambanan bukan salahnya dan ia tidak ingin enjadi anak yang lamban, ini yang harus selalu kita ingat.
Tidak ada anak yang senang menjadi bahan olokan dan tidak ada anak yang mau tersiksa 7 jam sehari, bagi anak yang lamban pergi ke sekolah merupakan penderitaan yang tersendiri, Pak Gunawan. Waktu gurunya menjelaskan dia tidak mudah menangkapnya dan waktu hasil ulangan diberikan dia paling takut menerimanya karena dia tahu angkanya jelek dan kadang-kadang dicemooh teman-temannya atau kalau ada guru yang kurang sensitif, dia dipermalukan. Jadi bersekolah adalah suatu penderitaan bagi anak-anak ini. Nah dia perlu pulang ke rumah mendapatkan penerimaan penuh dari orang tuanya. Dia tahu dia di luar dievaluasi, dinilai dan dianggap gagal, di rumah dia tidak dianggap gagal, dia bebas dari penilaian karena orang tuanya menerima dia dengan apa adanya.
GS : Tapi kalau anak yang lamban seperti itu lalu diterima apa adanya, ya memang kita harus menerima apa adanya. Yang saya khawatirkan apa tidak berdampak pada anak itu, lalu dia merasa memang saya ini orang yang lamban, ya sudah tidak apa-apa sehingga dia tidak termotivasi untuk maju. Akibatnya yang nampak adalah kemalasan seperti tadi di sekolah, dia tidak cepat bisa menangkap apa yang diterangkan oleh guru, ketinggalan dengan teman-temannya, itu bisa membuat dia jadi malas ke sekolah, Pak Paul.
PG : Sangat mungkin sekali, sebab bukankah kita pun harus akui kalau kita diminta melakukan pekerjaan yang kita tidak sukai maka kita malas melakukannya. Jadi saya kira itu adalah reaksi mansiawi, reaksi alamiah dari semua orang, baik anak kecil ataupun orang dewasa.
Jadi apa yang bisa kita lakukan adalah kita menekankan pentingnya melakukan bagiannya. Dia perlu belajar dan itu tidak bisa dia lalaikan, dia perlu belajar malam hari selama 2 jam dan dia harus duduk selama dua jam. Dan kita katakan kepadanya selama engkau sudah belajar, apapun hasilnya saya akan terima. Atau misalkan yang lain, dia harus menghafal misalnya 100 ibu kota, nah memang dia tidak bisa hafal 100 ibu kota. Yang harus bisa kita lakukan, daripada kita memaksanya menghafalkan 100 ibu kota. Kita mula-mula minta dia menghafalkan 5 ibu kota. Hari ini belajar 5 ibu kota besok belajar 5 ibu kota lagi, hari ke-3 baru tambah lagi dengan 2 ibu kota, menjadi 12 ibu kota. Dan kalau misalnya kita sudah penuhi dia dengan 25 ibu kota waktu ke 26, 27 dia mulai lupa yang lain-lainnya nah kita tahu itu batasnya. Dan kita berhenti di 25 ibu kota dan kita katakan sudah cukup kami melihat engkau belajar, makin dipaksakan makin lupa yang lainnya. Kami mau kamu ingat terus yang 25 ibu kota ini, nah kemungkinan yang jelek ada tidak? Ya ada, tapi ya tidak apa-apa karena kita bisa katakan kepada dia, yang penting kamu telah melakukan bagian kamu. Nah jadi itulah salah satu cara untuk tetap menyeimbangkan penerimaan dan mengerjakan bagiannya atau tanggung jawabnya.
GS : Tetapi katakan dia di rumah dia bisa mengerti seperti itu, tapi waktu di sekolah kenyataannya lain, berbeda sekali. Mungkin dia di sekolah dipermalukan walaupun sudah berusaha keras, dengan begitu pasti menimbulkan perasaan putus asa di dalam dirinya. Bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Betul sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang lamban ini cenderung menyimpan rasa frustrasi. Sebab kita bayangkan saja, kita harus berada di tempat yang sama hari lepas hari kira-kira , 7 jam per harinya dan kita dinilai orang bukan orang yang sukses tapi kita harus memendam rasa malu sehingga kita tertekan hampir setiap hari.
Terhadap anak-anak yang mudah frustrasi itu, kita harus hadapi rasa frustrasi itu. Hadapi dalam pengertian kita menyadari bahwa dia menyimpan rasa frustrasi dan orang frustrasi perlu melampiaskannya. Nah, bagaimanakah dia bisa melampiaskannya dengan cara yang sehat, biarkan setelah pulang sekolah dia main, mungkin main sepeda, video game, menggambar atau mendengarkan musik. Jadi berikan dia jedah, berikan dia jarak antara sekolah dan nanti baru belajar kembali pada malam hari, berikan waktu yang cukup banyak untuk dia bisa melampiaskan kecapaiannya, keletihan dan rasa frustrasinya itu. Setelah makan malam dan sebagainya, baru kita beritahu dia, "Ayo.. kita belajar" dan kita beritahu dia hanya 2 jam, setelah itu sudah. Jadi dia tahu dia hanya diharuskan belajar 2 jam dan yang paling penting dia melakukan tugasnya itu. Kadangkala orang tua salah menangani masalah ini, anak justru disuruh les. Pulang sekolah habis makan, jam 2.00 langsung les sampai jam 5.00, jam 5.30 dia pulang les sudah lelah, dia mandi, makan malam, malamnya membuat PR lagi dan belajar buat besok ulangan, nah ini makin merusakkan dia. Dia tidak suka dengan pelajaran itu dan dari pagi sampai siang dia harus menghadapinya di sekolah. Pulang ke rumah dibebani lagi dengan les, kemudian malam harus membuat PR lagi, ini tidak menolong. Tidak menolong dia, dalam pengertian pertumbuhannya secara keseluruhan akan sangat terganggu karena satu aspek ini yaitu aspek pelajarannya. Jadi kita harus menempatkan masalah akademik ini dalam persepsi yang benar. Masalah akademik hanyalah satu bagian dari kehidupannya bukan seluruh bagian dari kehidupannya, jadi biarkan dia hanya bisa sebegini. Kita dorong dia melakukan tanggung jawabnya, dia bisa belajar 2 jam ya 2 jam. Tapi 2 jam itu dia sungguh-sungguh belajar dengan konsentrasi, kalau dia main-main tidak bertanggung jawab maka kita harus menegurnya.
GS : Ada sebagian orang tua yang memindahkan anaknya ke sekolah lain yang tuntutannya tidak setinggi sekolah yang lama, nah itu bagaimana Pak Paul?
PG : Kalau memang anak ini tidak mencapai standar yang dituntut oleh sekolahnya, saya anjurkan memang pindah. Saya anjurkan pindah sehingga kompetisinya tidak terlalu tinggi dan si guru tida terlalu menyoroti dia.
Kalau dia di kalangan orang yang cerdas-cerdas, si guru akan menyoroti dia, dia akan menonjol bukan sebagai anak yang pandai, menonjol sebagai anak yang tidak pandai dan itu akan sangat membawa tekanan bagi dia. Sering kali orang tua ini berkepentingan menyekolahkan anak di sekolah yang bagus-bagus, tapi kita sebagai orang tua harus menyadari kemampuan dan keterbatasan anak kita. Kalau memang tidak mampu, jangan dipaksakan di sekolah yang bagus, di sekolah yang sedang-sedang saja sehingga dia tidak terlalu tertekan. Nah sering kali kita sebagai orang tua sudah stres karena pulang ke rumah dia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, kita frustrasi lalu kita melampiaskan kepadanya karena kita mengajarkannya susah sekali, dia bertambah stres dan frustrasi. Jadi akhirnya di sekolah dia frustrasi, di rumah bertambah frustrasi dan akhirnya dia takut pulang ke rumah. Karena apa, dia tahu akan terjadi keributan dengan orang tuanya, di sekolah dia sudah stres, di rumah dia takut nanti ribut dengan orang tua. Jadi kita sangat menekan anak ini secara tidak perlu dan akan menghambat pertumbuhannya, maka tidak heran kalau nantinya dia menjadi lebih lamban lagi.
GS : Nah Pak Paul, kalau frustrasinya itu diungkapkan dalam bentuk yang positif, seperti tadi Pak Paul katakan bermain, pergi ke rumah temannya itu masih bisa kita pahami. Tapi kalau frustrasinya itu justru disalurkan ke hal-hal yang negatif, Pak Paul ?
PG : Sebetulnya Pak Gunawan, kalau dari awalnya kita menerima anak kita, bahwa dia itu agak lamban dan kita memberi ruang gerak yang cukup luas baginya untuk bermain, untuk mengerjakan hal-hl yang lainnya, seharusnya dia tidak melampiaskan frustrasinya secara negatif.
Karena dia tahu dia pulang ke rumah, dia bisa main-main berjam-jam dan itu sudah menjadi penyaluran buat dia. Nah sudah tentu pada waktu malam kita ingin dia belajar ya susah, karena sekali lagi tidak ada orang yang senang mengerjakan hal-hal dimana dia merasa gagal di situ. Jadi kita memang harus menyediakan waktu untuk bersama dia, misalkan duduk di samping dia atau sekali-sekali mengecek lagi, menanyakannya, jadi orang tua harus terlibat di sini. Selama misalnya 2 jam pada waktu malam hari, kita ajak dia belajar. Kalau sudah bisa ya sudah tidak perlu dipelajari lagi, biarkan. Karena kita tahu kalau kita paksakan masuk semuanya, maka akan keluar semua dari benaknya.
GS : Pak Paul, apakah seseorang anak yang lamban tadi, di semua bidang ilmu pengetahuan juga lamban?
PG : Nah ini pertanyaan yang bagus sekali Pak Gunawan, sebab faktanya adalah tidak. Jadi kecenderungannya adalah anak itu lamban pada 1 bidang saja, bahkan waktu dia lamban misalkan hal-hal ang bersifat absrak.
Jadi misalkan dia akan susah misalkan nanti mengerjakan matematika, fisika dan lain sebagainya. Tidak berarti dia akan lamban misalkan dalam bidang-bidang yang lainnya, dia mungkin sekali sangat pandai dalam bidang seni, dalam bidang yang misalnya juga menuntut penguraian secara tertulis. Jadi ada hal-hal yang mungkin dia bisa lakukan dengan baik, selain dari itu mungkin dia akan sangat berprestasi dalam bidang olah raga atau dalam bidang komputer. Dia bisa bermain dengan sangat bagus sekali. Nah tugas kita sebagai orang tua adalah membantunya menemukan minat-minat yang lain itu, saya tidak menggunakan kata menemukan kelebihan-kelebihannya, sebab kadangkala kita mempunyai anggapan o....... dia lemah di sini, dia pasti punya kelebihan yang lain, kenyataannya adalah tidak, kelebihannya hanya biasa-biasa saja.
GS : Hanya berminat di satu bidang itu, dan itu harus dikembangkan terus ya, Pak Paul?
PG : Betul, jadi minatnya apa kita coba mencari tahu bersama dia, mencari tahunya bagaimana? Ya kita memang harus berikan dia kebebasan untuk mencari tahu dan kita bisa membantunya menanyakamau coba ini apa tidak? Kalau yang ini mau apa tidak.
Nah waktu dia senang melakukannya, dia gembira melakukannya kita tahu ini minatnya. Kita mendorong dia untuk melakukan yang dia senangi itu dengan sebaik-baiknya, ini penting sekali untuk pertumbuhan keyakinan dirinya. Dengan dia mampu mengembangkan diri pada bidang-bidang yang lain, dia menjadi tahu bahwa dia bernilai pula.
GS : Banyak pandangan yang mengatakan bahwa kalau orang yang lamban ini khususnya kecerdasannya tidak terlalu tinggi, lalu dia menjadi seseorang yang agresif atau yang merusak dan sebagainya yang tingkah lakunya itu negatif, apakah itu benar?
PG : Itu bisa terjadi Pak Gunawan, yaitu anak-anak ini karena tidak mendapatkan penyaluran di rumah dan tidak diterima tetap dimarahi di rumah, dia akan melampiaskannya keluar. Dia agresif, ia berkelahi sebab apa, mungkin dengan dia agresif, dia berkelahi, dia menjadi anak yang dikenal sebagai anak yang disegani padahal sebelumnya dia dianggap "anak bawang", tidak ada apa-apa.
Nah sekarang karena dia berhasil berkelahi maka disegani oleh teman-temannya. Itu menjadi jati dirinya dan itu berbahaya atau karena dia frustrasi tidak mampu dianggap bodoh, dia akhirnya harus melampiaskan frustrasinya secara fisik. Dia berkelahi dengan orang dan sebagainya. Atau berperilaku yang lain Pak Gunawan, yang juga umum adalah anak ini mulai mengucilkan diri, dia tidak diterima oleh teman-temannya, menjadi bahan olok-olokan, jadi daripada malu maka dia menyendiri, nah ini perilaku-perilaku yang tidak sehat.
GS : Lalu bagaimana kita harus bersikap sebagai orang tua, Pak Paul ?
PG : Untuk yang agresif dan merusak orang kita harus memberikan sanksi, jangan ragu menghukumnya, dan jangan sampai karena kita tahu dia lamban, akhirnya kita membiarkan dia berbuat semaunya Jadi tetap kalau dia salah kita berikan hukuman, kalau dia menarik diri, mengucilkan diri di kamar dan sebagainya kita harus proaktif mengajak dia keluar, membawa dia ke rumah temannya atau mengajak teman-temannya ke rumah.
Jadi orang tua harus peka melihat ini dan secara aktif melibatkan dia dalam pergaulan dengan teman-temannya kembali. Daripada nanti dia sudah berumur 19, 20 tahun, baru kita sadar wah anak saya ini tidak pernah bergaul, tidak pernah keluar dengan teman-teman, baru kita panik dan saat itu sudah terlambat. Sebab keterampilan bergaul itu dipupuk pada masa-masa umur sekitar 8, 9 tahun terus sampai usia sekitar misalnya 13, 14 tahun. Jadi pada masa kecil itulah keterampilan bergaul dipupuk, sehingga pada masa remaja dia bisa memakai keterampilan itu. Kalau dari kecil sudah mulai diam maka remaja tidak bisa bergaul, setelah itu ya sudah tidak bisa bergaul terus.
GS : Walaupun anak itu mempunyai kecerdasan yang lamban dan sebagainya, tetapi kita sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus mengakui bahwa anak itu sebagai karunia dari Tuhan dan tentu ada firman Tuhan yang akan diberikan kepada kita sebagai bekal.
PG : Saya akan bacakan dari Mazmur 22:9, " Ia menyerah kepada Tuhan, biarlah Dia yang meluputkannya, biarlah Dia yang melepaskannya! Bukankah Dia berkenan kepadanya?". Tuhan memrintahkan kasih setiaNya pada siang hari dan pada malam hari, aku menyanyikan suatu doa kepada Allah kehidupanku.
Tuhan memerintahkan kasih setiaNya pada siang hari. Di sini kita bisa melihat satu kebenaran tentang Tuhan yaitu dia selalu memberikan kasih setiaNya kepada kita. Adakalanya kita bertanya-tanya kenapa anak saya lamban, tidak sama seperti adiknya atau kakaknya atau seperti saya. Kita harus selalu ingat itu, kasih setia Tuhan tidak hanya cukup untuk kita, tapi cukup untuk dia pula. Kalau Tuhan sudah setia dengan kita, dia akan setia memelihara anak kita pula. Jadi kita jangan sampai melupakan hal ini, Pak Gunawan.
GS : Sebenarnya kalau sampai saat ini pun kita ada, semata-mata karena Tuhan setia kepada kita, kita pun di mata Tuhan mungkin juga sebagai anak yang lamban, ya Pak Paul. Tetapi hanya karena kasih setia Tuhan, kita tetap sebagai karunia Tuhan dan firman Tuhan itu sudah menguatkan kita.
Jadi saudara-saudara pendengar demikianlah tadi kami telah persembahkan sebuah perbincangan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang menangani anak yang lamban. Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.