Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Mendampingi Disaat Akhir". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, kita yang sehat dan masih segar bugar saja perlu pendampingan, butuh orang yang dekat dengan kita yang bisa mengerti perasaan kita. Orang yang sakit tentu lebih membutuhkan. Tetapi mendampingi orang sakit dan orang sehat itu tentu berbeda. Ada hal-hal yang agak sulit mendampingi orang yang sakit. Selain perasaannya peka, kebutuhannya banyak, dan kita kadang-kadang tidak mengerti apa yang dia mau. Dia tidak mengungkapkan apa adanya walau pasti dia butuh. Bagaimana mendampingi orang yang sakit, Pak Paul ?
PG : Tidak gampang ya, Pak Gunawan. Karena setiap orang berbeda caranya menghadapi sakit-penyakit. Jadi, kita sebagai orang yang terdekat dengan dia, diharapkan mendampingi dia. Tapi ini juga bukan tugas yang mudah. Bukan saja meletihkan secara fisik, seringkali juga meletihkan secara mental. Tapi sekali lagi, saya kira setiap kita akan harus berhadapan dengan kematian orang yang terdekat dengan kita, mungkin itu ayah atau ibu, suami atau istri, kakak atau adik kita, atau bahkan anak sendiri ya. Pada saat itu kita diharapkan akan bersedia mendampingi orang yang dekat dengan kita itu sampai akhirnya dia pulang ke rumah Bapa di surga. Jadi saya kira kita perlu angkat topik ini dan membahas beberapa masukan untuk menolong kita mendampingi si penderita sakit ini.
GS : Hal apa saja yang bisa kita lakukan dan perlu kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Yang pertama, kita perlu memerhatikan satu pertanyaan yang muncul pada awalnya, yaitu apakah kita perlu memberitahukan kondisi yang sebenarnya kepada si penderita sakit. Misalkan dokter mula-mula bicara dengan kita sebagai orang terdekat. Nah, apakah kita akan memberitahukan kepada penderita sakit itu. Sebab tidak semua orang siap dan ingin tahu kondisi sesungguhnya. Itu kenyataan ya. Tidak semua orang siap. Sebaliknya, tidak semua orang mau ditutup-tutupi dari kondisi yang sebenarnya. Ada orang tidak suka dibohongi, maunya dia diberitahu kondisinya. Jadi, kita sebagai orang terdekat mesti memutuskan apa yang terbaik bagi si penderita sakit itu. Biasanya yang mau kita pertimbangkan adalah kondisi jiwa dan kepribadian si penderita sakit selama ini. Jika kita menilai bahwa dia orang yang penuh dengan ketakutan bahwa hal kecil dapat membuatnya kuatir, mungkin kita dapat menunda memberitahu dia kondisi yang sesungguhnya. Mungkin kita berkata bahwa pembacaan medis belum dapat memastikan apa penyakitnya. Tapi kalau kita menilai orangnya memang kuat dan siap serta dia ingin diberitahu, maka kita beritahu apa yang jadi penyakitnya itu.
GS : Tapi disamping si pasien yang siap, kadang-kadang si penyampai berita ini sendiri juga harus siap mental, Pak Paul. Bukankah tidak mudah menyampaikan sesuatu apa adanya kepada seseorang yang sebenarnya sudah siap untuk menerima. Kadang-kadang diawali dengan tangisan, sehingga si pasien bertanya kenapa kok menangis dan sebagainya. Padahal dia tidak bisa mengucapkan itu. Jadi saya rasa kesiapan itu harus dari dua belah pihak, Pak Paul.
PG : Itu betul. Saya pernah mendampingi sebuah keluarga. Begitu dokter memberitahu keluarga itu, mereka langsung menangis. Karena mereka tidak siap mendengar kondisi sesungguhnya dari orang yang mereka kasihi itu.
GS : Kalau mendengar saja tidak siap, apalagi menyampaikannya, lebih sulit lagi. Nah, itu membuat pasien tambah bingung.
PG : Iya. Bisa juga kita gunakan cara jika kita tidak bisa menyampaikan, kita minta tolong orang lain yang juga dekat dengan si penderita sakit, atau kita minta dokter yang langsung menjelaskan kepada dia.
GS : Iya. Biasanya dokter yang kita mintai tolong untuk menyampaikannya, kita yang mendampingi. Tapi juga ada pasien yang dulu ketika masih sehat, dia pernah berkata, "Apapun keputusan dokter nanti seandainya saya sakit, tolong kamu beri tahu apa adanya. Saya siap." Ternyata pada saat dia sakit, kita melihat bahwa sebenarnya dia tidak siap mendengar itu. Bagaimana, Pak Paul ? Apakah harus disampaikan karena dia pernah bicara begitu atau kita melihat kondisinya saat ini ?
PG : Kita harus melihat kondisinya. Kalau kita melihat kondisinya tidak siap, kita tunda dulu. Atau kita berkata, "Sepertinya ada sesuatu tapi dokter belum memastikannya. Kita tunggu saja ya." Kadang-kadang orang perlu kesempatan ‘menarik nafas dulu’ sebelum akhirnya mendengar berita yang lebih berat lagi.
GS : Jadi yang penting adalah kondisi saat itu dan bukan dulunya. Walaupun dulu dia bilang sudah siap tapi kalau kenyataannya tidak, ya kita tunda dulu ya, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang waktu kita sehat kita akan berkata kita siap.
GS : Iya. Bagaimana mengenai hal-hal berikutnya ?
PG : Yang berikutnya, setelah kita memberitahukan kondisi yang sesungguhnya, penting bagi kita untuk melibatkannya dalam proses pemilihan perawatan, apa yang diinginkannya dan terbaik baginya. Tentu apa yang diinginkannya belum tentu baik baginya. Dan apa yang tidak baik mungkin itulah yang justru diinginkannya. Disini peran dokter diperlukan untuk memberikan penjelasan serealistik mungkin tentang apa yang baik dan yang tidak baik pada setiap pilihan. Setelah itu kita mesti memberikan waktu kepada si penderita untuk mempertimbangkannya. Dalam proses pemilihan ini, kadang si penderita bergantung kepada kita, pada iman kita. Ada kalanya dia juga bingung tidak tahu apa yang mesti dilakukannya. Sudah tentu kita tidak mengambil alih tanggung jawabnya untuk memutuskan, tapi kalau kita meyakini bahwa pilihan tersebut terbaik baginya, maka kita mesti menyampaikan hal itu kepadanya sejelas dan sekuat mungkin. Saya masih ingat, saya pernah mendampingi seseorang yang terkena kanker dan harus menjalani kemoterapi. Waktu dia menjalani sekali, reaksinya memang berat sekali. Memang tidak setiap orang memunyai reaksi yang seberat itu. Jadi banyak yang bisa meredam reaksinya dengan obat-obat. Tapi memang reaksinya ini berat sehingga dia sangat menderita setelah kemoterapi yang pertama. Saya masih ingat waktu saya mengunjungi dia, dia berkata, "Saya tidak mau. Saya lebih baik mati daripada saya menjalani kemoterapi lagi." Dia berumur 30-an. Anaknya masih sangat kecil. Akhirnya saya bujuk dia, saya bilang, "Kalau kamu memang sudah kena penyakit ini tapi sudah terlalu berat stadiumnya, saya akan terima. Tapi penyakit kamu ini termasuk penyakit kanker yang relatif dapat disembuhkan. Kamu masih dalam stadium yang rendah. Jika menjalani kemoterapi kamu bisa cepat sembuh." Akhirnya saya benar-benar seperti memaksa dia dan saya berjanji akan mendampingi dia. Jadi, setiap kali kemoterapi saya datang mendampingi dan menungguinya. Akhirnya dia jalani. Meskipun berat sekali, dia pulang ke rumah juga berat. Saya kunjungi, saya doakan, terus begitu, Pak Gunawan. Dan sudah belasan tahun berlalu dia hidup sampai sekarang. Kalau saat itu dia menolak, benar-benar sudah tidak ada hari ini. Jadi, kadang-kadang kita mau memberikan dia kesempatan untuk memilih. Tapi kalau pilihannya keliru, kita memang harus mendesak dia untuk bisa menerimanya.
GS : Atau kadang-kadang orang memilih pengobatan alternatif karena sudah terdesak pengobatan-pengobatan yang biasa dijalani tidak membuahkan hasil. Padahal kita tahu bahwa itu tidak akan membawa kesembuhan. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Biasanya saya kalau dalam kondisi begitu saya akan ikuti. Karena dia itu merasa dia harus coba. Kalau dia tidak coba ya dia tidak tahu, ya sudah, kita ikuti. Walaupun sebetulnya akan makan waktu dan uang. Kalau kita memang punya waktu dan uang, jalani saja.
GS : Bukan, Pak Paul. Pengertian alternatif disini adalah ke dukun atau obat-obatan tradisional.
PG : Oh, sudah tentu kalau ke dukun, saya bilang jangan ya. Tapi kalau obat-obatan herbal atau tumbuh-tumbuhan tidak apa-apa. Itu mungkin sekali bisa dipakai oleh Tuhan untuk memberikan kesembuhan. Atau misalnya kita bisa ajak dia ke dokter dan menanyakan apakah obat herbal ini bisa cocok atau malah berefek buruk buat dia. Kalau dokter mempersilakan, ya jalani saja.
GS : Selain itu apa kesiapan kita sebagai pendamping, Pak Paul ?
PG : Kita memang mesti punya komitmen dan kesiapan untuk mendampinginya. Artinya bukan saja kita memberikan janji bahwa kita akan bersamanya melewati setiap tahapan perawatan, tapi juga kita menunjukkan kesiapan untuk melakukannya. Kenyataan membuktikan bahwa komitmen dan kesiapan tidak sama ya. Mungkin saja kita ingin menolong orang tapi belum tentu kita siap melakukannya. Si penderita sakit perlu melihat bahwa kita memang siap menjalaninya. Jadi misalnya kita berkata saya akan datang seminggu sekali, maka datanglah seminggu sekali. Kalau tidak bisa ya jangan. Karena dia bisa jadi bergantung pada kita untuk memberikan dukungan itu. Tapi kalau kita sudah janji lalu kita tidak datang, itu akan membuat dia kecewa sekali. Sebab sekali lagi pada masa sakit, orang itu akan bergantung pada orang yang paling dekat dengan dia. Itu tidak bisa tidak. Jadi kita juga mesti realistik seberapa banyak dan seberapa jauh kita bisa mendampingi dia. Jangan sampai kita hanya membuat komitmen tapi akhirnya tidak bisa menepatinya.
GS : Iya. Karena kita juga ketika sehat masih banyak pekerjaan yang kita selesaikan. Belum lagi mendampingi itu kadang-kadang mesti mengeluarkan dana.
PG : Betul.
GS : Jadi, kalau kita tidak memberitahukan, dan sebisanya saja kita datang ?
PG : Ya memang kalau kita tidak bisa berikan janji, jangan berikan. Jadi bilang saja saya akan datang sedapatnya. Saya tidak bisa berjanji seberapa sering saya datang tapi saya akan datang sedapatnya saya bisa datang. Itu lebih baik dan tidak apa-apa. Sebab begini, sekali lagi saya tekankan bahwa orang yang sakit akan mau bergantung, akan butuh bergantung. Kepada siapa ? Kepada orang-orang yang dekat dengan dia. Jadi yang masih bisa mengandalkannya. Sebab ada orang-orang yang karena dia tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan orang dan dia tidak mau merepotkan orang, akhirnya dia memilih tidak mau menjalani perawatan. Ada orang-orang seperti itu. Sebetulnya alasan mengapa dia tidak mau adalah karena dia tidak mau menyusahkan orang lain. Jadi kalau kita mungkin tahu dia orangnya begitu, kita mesti tegaskan bahwa "Tidak apa-apa. Kami bisa bantu dan ini akan kami lakukan" sehingga dia mau menjalani perawatan.
GS : Menjaga supaya dia tidak merasa tertolak, Pak Paul ?
PG : Iya. Memang kita mau menjelaskan sehingga dia salah mengerti. Jangan sampai dia merasa kita mau lepas tangan dan tidak mau lagi mendampingi dia.
GS : Memang kalau waktunya tidak terlalu panjang, orang masih bersedia untuk mendampingi. Tapi kalau sudah berlarut-larut, lama-lama orang yang mendampinginya ini bosan, Pak Paul. Jenuh sendiri lalu si pendamping ini akan merasa, "Kok saya terus ya ? Kenapa orang lain tidak mau mendamping i?" , terutama di antara saudaranya sendiri, Pak Paul.
PG : Betul. Misalnya kita harus merawat orang tua kita, seringkali dalam proses perawatan itu antar saudara bisa timbul kesalahpahaman. Yang satu akan merasa, "Saya yang paling banyak berkorban. Saya yang paling banyak disini. Kok yang lain-lain tidak peduli ?" Jadi muncullah kemarahan dan sebagainya. Jadi sebaiknya kita tidak melihat kanan kiri. Kita hanya lihat kita semampunya berapa sering kita bisa mendampingi dia. Itu janji yang kita berikan kepada si penderita sakit. Jangan kita dipengaruhi oleh orang-orang lain.
GS : Biasanya kalau kita mendampingi, yang kita dengarkan adalah keluhan-keluhan atau permohonan-permohonan dari si pasien ini. Bagaimana sikap kita, tidak semua kita bisa memenuhi permintaannya.
PG : Yang harus selalu kita kedepankan adalah sikap mendengarkan dan mengerti, Pak Gunawan. Maksudnya, kadang kita tergoda untuk menyuruhnya berhenti mengeluh karena dia bicara keluhan ini itu dan sebagainya. Kita mungkin akhirnya tegas bicara padanya, "Kamu harus lebih bersyukur kepada Tuhan lho. Kamu harus lihat orang lain yang penderitaannya lebih besar dari kamu." Sebaiknya kita tidak melakukan hal itu. Cukup dengarkan saja keluhannya dan kita mengiyakan penderitaannya karena itulah yang diperlukannya. Jadi kepada dia tidak perlu kita memberikan pelajaran bagaimana harus bersyukur mengatasi ini dan sebagainya. Saya kira tidak perlu, pokoknya selalu kedepankan sikap mendengarkan dan mengerti. Tidak jarang pergumulan pada orang yang sakit ini tumpah ke wilayah rohani. Mungkin dia mempertanyakan kebaikan Tuhan, mungkin dia kecewa kepada Tuhan, mungkin dia marah kepada Tuhan. Apapun itu, saya sarankan biarkanlah dia mengatakannya dan kita mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sebaiknya kita tidak memberikan jawaban yang klasik seperti, "Tuhan tahu apa yang terbaik bagimu" atau "Tuhan pasti punya rencana yang indah bagimu." Saya kira lebih baik pada awal-awal kita tidak mengatakan itu. Bukan karena salah bicara demikian. Ini semua betul, Tuhan tahu yang paling baik buat kita dan Tuhan punya rencana yang indah buat kita. Tapi sebaiknya memang bukan dikatakan pada waktu orang tersebut sedang mengalami pergumulan terberatnya. Jadi biarkanlah waktu dia sedang bergumul terberatnya itu dia mencetuskan kemarahan dan kekecewaannya. Setelah itu, pada waktu dia mulai terdiam, dia mulai merenung, saat itu kita mengingatkannya tentang perbuatan Tuhan yang pernah dialaminya dulu. Sebab bisa jadi memang ada banyak, tapi karena dia marah dan kecewa, dia tidak ingat lagi. Jadi kita ingatkan. Tapi kita tidak tegur atau memarahi dia bahwa ‘Kamu kok sekarang jadi tidak bersyukur pada Tuhan ?’ dan sebagainya.
GS : Memang yang tersulit itu memberikan waktu untuk mendengarkan apa yang menjadi keluhan-keluhannya, permintaan-permintaannya. Karena itu kadang-kadang diulang-ulang dan diulang-ulang, sehingga kita berkata, "Sudahlah, tidak usah mengeluh lagi soal itu." Tapi dengan mengatakan itu kita memutuskan komunikasi dengan dia.
PG : Iya. Saya sudah melihat ini dalam pelayanan saya. Saya masih ingat ada orang tua yang mengeluhkan sakitnya yang berkepanjangan. Lebih dari setahun dia sakit yang lumayan berat. Tapi dia masih bisa berjalan meskipun perlahan. Waktu dia mengeluh, anaknya tidak tahan. "Mesti melihat orang lain yang lebih susah. Sekarang kamu bisa berjalan, harus berterima kasih" dan sebagainya. Saya pikir kasihan juga si ayah ini. Jadi saya kira yang lebih tepat ya dengarkan saja. Misalkan kita berkata, "Iya tidak enak ya sakit seperti ini. Saya bisa bayangkan kamu pasti menderita." Biarkan dia ngomong. Karena memang yang perlu dia lakukan adalah mengeluarkan uneg-unegnya itu. Dia tidak perlu penjelasan kita untuk dia bisa mengerti tentang rencana Tuhan. Sebetulnya tidak. Jadi biarkan dia keluarkan saja uneg-unegnya.
GS : Tapi dari pihak keluarga mengharapkan dia bisa mengatasi masalah-masalah seperti itu sendiri, Pak Paul.
PG : Iya. Apalagi kalau kita menganggap, "Kamu seharusnya bersyukur kamu tidak hanya marah-marah kepada Tuhan. Tapi kok kamu lupa kepada Tuhan." Bisa jadi akhirnya kita tidak sabar kepadanya. Ya kita harus ingat bahwa orang dalam kondisi sakit itu tidak enak, semuanya tidak enak, tidak nyaman. Makan tidak bisa menikmati karena lidahnya pahit. Tidur rasanya tidak bisa pulas. Badan rasanya sakit-sakitan. Karena kita juga tahu, kita saja kalau tidak sakit berat tapi harus berbaring terus di ranjang, rasanya tidak enak. Karena tubuh kita memang dirancang untuk bergerak. Kalau tidak bisa bergerak, tubuh ini jadi merasa tidak enak. Jadi kita harus mengerti orang pada kondisi sakit apalagi yang berkepanjangan itu sangat tidak nyaman.
GS : Tapi kalau kita tahu bahwa sebenarnya ini adalah saat-saat terakhir kita bisa mendampingi dia, kita bisa jadi lebih sabar mendengarkan apa yang dia keluhkan itu, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Karena kita tahu waktunya tidak banyak lagi.
GS : Bahkan mungkin dari situ bisa keluar sesuatu yang selama ini tidak pernah kita dengar dari orang itu.
PG : Iya. Saya kira sikap mendengarkan dan mengerti akan menolong orang itu dapat mengeluarkan isi hatinya kepada kita juga.
GS : Mungkin mengerti juga penting. Tapi bagaimana kita menyatakan kepada dia bahwa ‘Saya mengerti apa yang kamu keluhkan’ ?
PG : Mungkin kita tidak bisa sepenuhnya mengerti, tapi kita bisa berkata, "Saya mengerti tidak enak tidur di ranjang terus. Tidak enak tidak bisa pulang ke rumah. Tidak enak tidak bisa makan enak." Jadi kita katakan hal seperti itu. Jadi kita bisa berkata, "Tidak apa-apa kamu mau mengeluh, saya bersedia mendengarkan." Begitu saja.
GS : Iya. Sebenarnya orang yang sedang sakit dalam kondisi menuju kepada kematian ini, perhatiannya kemana ?
PG : Pada masa-masa ini sebetulnya idealnya kita itu menolongnya untuk mempunyai sudut pandang yang seimbang. Antara fokus pada penyakitnya dan juga pada hal-hal lain dalam hidup. Misalnya kita dapat memberikan kesempatan kepada dia. Bukan saja membicarakan tentang sakit penyakitnya tapi juga tentang hal-hal lain. Memang orang-orang ini perlu untuk bisa memikirkan dan membicarakan hal-hal lain dalam hidupnya. Misalnya membicarakan tentang – saya masih ingat berkunjung kepada orang yang sakit berat – dia suka bertanya, "Bagaimana kondisi di sini menurut kamu?" Kenapa? Sebab saya juga cerita kepada dia. Setiap kali saya datang saya bercerita kondisi yang sedang terjadi, politik itu begini, dan lain-lain. Akhirnya setiap kali saya datang, dia tanya saya. Nah, untuk sejenak akhirnya kami bisa bicara panjang lebar tentang hal lain. Jadi memang perlu keseimbangan. Kita biarkan dia bicara tentang sakit penyakitnya tapi kita juga mau membawa dia ke percakapan tentang hal-hal lain.
GS : Tapi yang berinisiatif seharusnya si sakit ya. Bukan kita yang mencoba mengalihkan pembicaraan kalau dia sedang membicarakan tentang penyakitnya.
PG : Betul. Selagi dia bicara tentang penyakitnya ya kita dengarkan dan kita berikan pengertian kita, tapi setelah itu selesai atau sewaktu kita baru datang, setelah kita tanya tentang kondisinya kita langsung cerita tentang hal-hal lain dan kita lihat reaksinya apakah dia mau mendengarkan atau tidak. Misalkan saya menengok seseorang yang sedang sakit, ternyata dia sedang menonton tenis di televisi. Jadi saya bisa tanya, "Sering nonton tenis ya ?" Iya. "Bisa main tenis ?" Bisa. Nah, jadi saya ngobrol-ngobrol tentang tenis dengannya. Untuk sejenak dia bisa melupakan sakit penyakitnya. Itu juga baik.
GS : Tapi apakah itu bukan hanya mengalihkan perhatiannya saja ?
PG : Iya. Memang itu upaya kita untuk mengalihkan perhatian dia dari sakit penyakitnya walaupun itu hanya sejenak. Karena memang setelah itu berlalu, dia akan ingat lagi dia sakit. Tapi ya tidak apa-apa. Sebab sekali lagi yang penting dia bisa memiliki fokus yang lebih luas. Tidak hanya pada penyakitnya tapi juga pada penyakitnya secara umum.
GS : Apa akibatnya jika fokusnya pada penyakitnya saja ?
PG : Biasanya makin terpuruk, Pak Gunawan. Dia makin putus asa, depresi, berdampak negatif. Tapi jika dia bisa bicara hal-hal lain, itu sedikit banyak meringankan bebannya dan menolong dia berpikir dengan lebih luas dan positif.
GS : Apakah masih ada langkah lain yang diperlukan, Pak Paul ?
PG : Ada. Kita mesti menolongnya untuk bersiap-siap meninggalkan orang-orang yang dikasihinya dan bertemu dengan orang yang dikasihinya pula. Maksudnya, kematian itu ‘kan perpisahan sementara dengan orang yang dikasihi tapi sekaligus perjumpaan selamanya dengan orang yang dikasihinya pula. Mulai dari Tuhan Yesus sampai kepada orang-orang lain yang diselamatkan-Nya. Saya masih ingat perkataan C. S. Lewis, seorang penulis Kristen, dia berkata, "Tidak pernah ada perpisahan bagi orang Kristen. Perpisahan sementara akan segera disusul dengan perjumpaan selamanya." Jadi, perlahan-lahan kalau memang penyakitnya makin berat dan kita tahu memang sepertinya tidak ada kesempatan untuk sembuh dan dia sepertinya sudah tahu itu, ya kita ingatkan dia, bahwa perpisahan ini sementara. Tapi nanti kamu akan berjumpa lagi dengan orang-orang yang kamu kasihi selama-lamanya.
GS : Itu memberikan pengharapan pada si sakit ini.
PG : Betul. Jadi kita mulai hendak mengubah arahan pandangan matanya. Bukan saja pada, "Aduh saya sedih meninggalkan orang-orang yang saya kasihi." Tapi sekarang kepada, "Saya akan berjumpa dengan orang-orang yang saya kasihi." Misalnya dia ingat siapa-siapa yang dia kasihi, "Oh, saya akan berjumpa dengan dia nanti." Terutama dia akan menjumpai Tuhan Yesus sendiri.
GS : Lalu, langkah yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir, kita mempersiapkannya untuk meninggalkan hidup sekaligus memandang hidup dari bingkai pemeliharaan Tuhan. Saya kutip dari Mazmur 23:7, "Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku. Dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa." Maksudnya kita dapat mengajaknya melihat kebaikan dan kemurahan Tuhan di dalam hidupnya. Kita melihat apa yang Tuhan telah perbuat didalam hidup kita, kemudian kita menolong dia menatap masa depan terindah yang telah menantinya, yaitu hidup dalam rumah Tuhan sepanjang masa. Jadi, kita mau dia melihat keduanya, bersyukur atas apa yang telah Tuhan lakukan dan mengantisipasi hidup bersama Tuhan. Dan itu akan menjadi bagian yang paling indah.
GS : Kadang-kadang kita kesulitan menyampaikan kata-kata pada saat-saat seperti itu ya, Pak Paul. Ada orang yang mengambil cara dengan membacakan ayat-ayat Kitab Suci atau menyanyikan puji-pujian. Itu bisa menolong juga.
PG : Bisa. Melalui puji-pujian kita mengingatkan dia bahwa Tuhan sudah menyediakan tempat bagi dia. Kita bisa membacakan firman Tuhan juga misalnya dari Yohanes 14, sehingga dia diingatkan Tuhan sudah berjanji Dia menyediakan tempat dan Dia akan datang kembali membawa kita pulang, sehingga dimana Dia berada, kita berada bersama dengan Tuhan. Semua itu menolong orang untuk mulai fokus pada surga dan lebih siap meninggalkan dunia ini.
GS : Iya. Kondisinya semakin lama semakin menurun, mungkin kita tahu sebentar lagi dia coma, kalau sudah begitu kita sudah tidak bisa bicara apa-apa.
PG : Betul. Jadi, sebelum dia coma, itu yang harus mulai kita sampaikan kepadanya.
GS : Iya. Jadi, pendamping juga harus jeli dalam hal ini ya, Pak Paul. Harus bisa melihat kapan dia harus bertindak dan bagaimana dia harus bertindak. Terima kasih Pak Paul, untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mendampingi di Saat Akhir". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.