Mendampingi Anak dalam Masa Berpacaran

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T487B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu persoalan anak di saat besar berkaitan dengan hal berpacaran. Ada anak yang sudah akil balik namun tak kunjung berpacaran, ada yang berpacaran tapi tak sesuai harapan kita, ada yang pacarnya begitu berbeda dari dia, atau ada yang terlibat dalam relasi tidak sehat bahkan salah mengambil keputusan dalam berpacaran. Bagaimana orangtua bisa mendampingi anaknya dalam masalah ini?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Sewaktu anak kecil, ada persoalannya; sewaktu anak besar, juga ada persoalannya. Salah satu persoalan anak di saat besar berkaitan dengan hal berpacaran. Tidak bisa tidak, sebagai orang tua kita akan harus menghadapi masalah ini; tidak jarang, dampak masalah berpacaran bisa berekor panjang. Berikut akan dipaparkan beberapa permasalahan yang kadang timbul.

PERTAMA, anak sudah akil-balig tetapi tidak punya pacar. Biasanya reaksi kita adalah khawatir dan tindakan kita adalah terus menanyakan anak, kapankah ia akan berpacaran. Atau, kita menjadi sibuk mengajukan nama calon orang yang selayaknya ia pertimbangkan untuk menjadi pacarnya. Tidak jarang, tindakan kita yang bertujuan baik malah ditanggapi secara negatif oleh anak. Bukannya menghargai, anak malah tersinggung.

Beberapa alasan mengapa anak tidak berpacaran di usia dewasa:

  • Anak belum memikirkan tentang berpacaran sebab memang ia belum mempunyai kebutuhan untuk hubungan yang lebih intim dan ekslusif.
  • Anak sudah memikirkan tentang berpacaran tetapi ia belum menemukan orang yang sesuai dengan keinginannya.
  • Anak sudah memikirkan tentang berpacaran tetapi selama ini ia takut penolakan karena belum pernah ada orang yang menunjukkan ketertarikan kepadanya.
  • Anak tidak mau berpacaran karena ia melihat relasi kita yang tidak harmonis. Ia takut pernikahannya juga akan buruk dan menyakitkan.
  • Anak tidak mau berpacaran karena ia pernah mengalami luka dalam menjalin relasi dengan orang. Ia tidak mau terluka lagi, jadi, ia tidak mau berpacaran.
Sebagaimana dapat kita lihat, ada pelbagai kemungkinan mengapa anak tidak berpacaran. Itu sebab kita perlu mencari tahu penyebabnya sebelum kita dapat menolongnya. Masalahnya adalah, sebagian besar anak tidak mau terbuka dengan alasan sesungguhnya. Itu sebab pada akhirnya kita hanya dapat bertanya dan menawarkan bantuan kepadanya. Kita tidak dapat memaksanya untuk berterus-terang kepada kita. Kita hanya dapat menunggu sampai ia siap.

KEDUA, anak berpacaran dengan orang yang tidak sesuai harapan kita. Masukan saya adalah, untuk hal-hal yang hakiki seperti iman, kita tidak berkompromi; untuk hal-hal yang tidak hakiki, sebaiknya kita berkompromi. Sebagai contoh, mungkin kita menginginkan menantu yang lebih tampan atau lebih cantik. Nah, hal ini bukan hal yang prinsipil, jadi, silakan berkompromi dan tidak memaksakan kehendak. Terpenting adalah kita mengetahui mengapakah ia memilih orang tersebut. Alasan yang diberikannya mencerminkan kematangan (atau ketidakmatangan) pemikirannya dan keputusannya.

KETIGA, anak memilih pasangan yang sangat berbeda darinya. Tidak bisa tidak, kita khawatir karena relasi ini berpotensi membuahkan masalah dikarenakan perbedaan-perbedaan itu. Oleh karena tidak ada seorang pun yang sempurna, maka tidak ada relasi yang sempurna di dunia ini. Tugas kita sebagai orang tua adalah menyadarkan anak akan risiko yang mesti diambilnya. Untuk itu secara berkala kita perlu menanyakan kondisi relasinya. Selama kita tidak menghakimi dia atau pacarnya, besar kemungkinan anak akan terbuka kepada kita. Apalagi bila kita bersedia memulai dengan menceritakan relasi pernikahan kita sendiri dan tantangan yang kita hadapi. Jelaskan kepadanya bahwa setiap perbedaan menuntut penyesuaian dan setiap penyesuaian menuntut kerja keras yang tidak mudah dan kerap kali, panjang.

Dalam memberikan masukan kepadanya, selalulah berusaha untuk menyajikan kekuatan relasinya pula. Jangan sampai kita lalai mengingatkan bahwa relasinya juga mempunyai kekuatan pula. Nah, di dalam bingkai inilah kita memberinya masukan akan hal-hal yang nantinya berdampak pada pernikahannya. Katakan kepadanya bahwa setiap relasi mempunyai kelemahannya masing-masing dan bahwa terpenting adalah ia menyadarinya.

KEEMPAT, anak terlibat dalam relasi yang tidak sehat. Apabila anak terlibat dalam relasi yang tidak sehat dan merusak, selaku orangtuanya kita perlu mengutarakan kekhatiwaran kita. Namun karena kita tidak mau menganggap diri selalu benar, maka kita dapat menyarankannya untuk bertemu dengan konselor yang dapat memberikannya tanggapan.

Jika anak melihat bahwa kita bukanlah orang yang mudah menghakimi orang tanpa bukti yang jelas, maka besar kemungkinan kali ini ia akan mendengar masukan kita. Mungkin ia tidak langsung memutuskan hubungan, tetapi setidaknya ia mendengar masukan kita. Biarkan waktu berlalu sampai ia siap bertindak. Sudah tentu bila kondisinya buruk dan kita dapat mengusahakan pemisahan, lakukanlah. Kadang kita harus melakukan hal yang drastik untuk melindungi anak sendiri.

KELIMA dan terakhir, kita pun harus mafhum bahwa anak tidak selalu mengambil keputusan yang tepat dalam hal berpacaran. Kadang ia mengambil keputusan yang keliru dan ini berakibat panjang. Ia menikah dengan orang yang tidak tepat dan akhirnya pernikahan itu bermasalah. Akibatnya bisa meluap ke mana-mana. Ia sendiri bisa mengembangkan masalah, sebagai akibat dari masalah dalam pernikahannya. Atau, pasangannya menimbulkan masalah, yang bukan saja berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada kita sebagai orang tua.

Amsal 14:15 mengingatkan, "Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang yang bijak memperhatikan langkahnya." Kita mesti berdoa meminta agar Tuhan mengaruniakan hikmat kepada anak agar ia memperhatikan langkahnya dalam berpacaran dan tidak begitu saja percaya kepada setiap perkataan orang.