Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, selama ± 30 menit akan menemani Anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Dr. Paul Gunadi seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Sekolah Alkitab Asia Tenggara di Malang. Dan juga telah hadir pula bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di Lembaga Bina Keluarga Kristen. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.
GS : Kali ini kami ingin mengajak Pak Paul berbincang-bincang seputar kehidupan remaja khususnya di dalam mereka menentukan pilihan hidupnya atau perjodohan, itu yang sering kali kita dengar. Pembicaraan ini memang sudah sering kali dilakukan tapi selalu menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas, bukan begitu Pak Paul?
PG : Sangat betul Pak Gunawan, bahwa topik berpacaran atau memilih jodoh adalah topik yang selalu enak untuk dibicarakan dan memang sangat penting sekali.
GS : Jadi kami akan memulai mempersoalkan akan apa yang mereka bingungkan. Apakah ada semacam pedoman Pak Paul khususnya bagi remaja-remaja Kristen di dalam menentukan pilihan teman hidupnya?
PG : Ada Pak Gunawan jadi memang secara jelas Alkitab memberikan kita beberapa petunjuk. Namun sebelum kita masuk ke situ Pak Gunawan, saya pikir ini penting sekali agar kita menyadari bahwaanak memilih jodoh tidak begitu jauh atau berkisar dari kita sebagai orang tua.
Maksudnya begini, anak-anak itu sebetulnya melihat dan menyerap banyak sekali dari kita sebagai orang tua. Dati kecil mereka melihat misalnya interaksi kita, hal-hal yang mereka sukai atau tidak sukai pada diri kita sebagai seorang pria atau sebagai seorang wanita. Kalau seorang anak pria menyukai sifat-sifat mamanya, dia akan cenderung mencari seorang wanita yang menyerupai mamanya. Sama juga dengan seorang anak wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya. Jadi lingkungan hidup anak itu sendiri sebetulnya merupakan pengajaran langsung kepada anak akan jodoh seperti apa yang akan mereka pilih nantinya. Nah saya melihat kadang kala kita mulai mau memberikan petunjuk kepada anak kita setelah anak itu menginjak usia remaja, namun sesungguhnya anak sudah harus belajar tentang pemilihan jodoh itu jauh sebelum usia remaja. Jadi misalkan anak waktu berumur 8, 9 tahun, anak itu sebetulnya sudah mulai belajar dari kita secara informal. Dia mulai sebetulnya diarahkan ke orang-orang tertentu dalam hidupnya yang akan membuat dia tertarik. Contoh yang lain yang negatif misalkan ada seorang ayah yang tidak begitu peka dengan mamanya atau ibunya, nah si anak ini kalau misalkan melihat ketidakpekaan ayah sebagai sesuatu hal yang negatif misalkan dia anak wanita, dia akan cenderung mencari seorang teman hidup yang tidak seperti ayahnya. Jadi sekali lagi memang seseorang itu memilih jodoh sebetulnya berputar-putar pada apa yang dia lihat dalam keluarganya sendiri.
IR : Selaku orang tua Pak Paul, apakah kita perlu mendoakan anak-anak kita supaya dia itu memperoleh jodoh yang seiman, dan itu mulai anak-anak masih kecil atau pada waktu remaja?
PG : Sudah tentu kita perlu mendoakan, jadi baik sekali usulan ibu Ida dan sejak kecil ya kita boleh mendoakan, namun saya kira kita akan lebih intensif mendoakan anak setelah mereka menginjk usia dewasa, usia remaja dan seterusnya.
Sebab di saat itulah anak-anak remaja mulai bereksperimen dalam pergaulan dengan lawan jenisnya. Nah di situ kita memang lebih harus menghabiskan waktu berdoa untuk mereka. Namun sejak kecil sekali lagi anak-anak itu sebetulnya perlu menerima pengarahan dari kita tentang suami atau istri yang seharusnya mereka pilih. Karena hal-hal ini adalah hal yang akan menjadi prinsip mereka di kemudian hari, apalagi kalau pengajaran kita ini didukung oleh kehidupan keluarga yang baik, yang positif baginya. Nah dia akan lebih terdorong untuk hanya mencari jodoh yang seperti itu karena dia melihat ini adalah figur yang positif.
GS : Selain menemukan figur yang positif di dalam diri orang tua, apakah ada pedoman yang lain yang bisa dijadikan semacam pegangan untuk anak-anak itu?
PG : Ada, bagaimana kalau saya langsung berbicara kepada para remaja yang misalkan mendengarkan siaran radio kita ini Pak Gunawan. Jadi anak remaja kalau engkau ingin mencari jodoh, nah ini aya membahasnya sudah tentu dari sudut Kristiani, yakni engkau harus menyadari bahwa Tuhan meminta engkau hanya memilih yang seiman denganmu.
Saya akan membacakan dari Firman Tuhan di
1 Korintus 7:30, "Istri terikat selama suaminya hidup, kalau suaminya telah meninggal dia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya." Nah ini adalah nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, memang secara khusus nasihat ini ditujukan kepada para istri di mana mereka telah menjanda karena kematian suami mereka. Jadi Paulus berkata kalau hendak menikah lagi silakan, namun hanya boleh menikah dengan yang seiman atau orang percaya. Jadi yang dimaksud orang percaya di sini adalah sesama orang Kristen. Jadi saudara-saudara yang usianya masih remaja atau dewasa awal, kita sebagai orang Kristen memang diminta Tuhan untuk memilih jodoh yang seiman, ini prinsip yang pertama yang jelas sekali. Jadi kalau engkau misalkan melihat seseorang, tertarik kepada dia dan memang dia bukan sesama orang percaya, saya akan minta untuk Anda tidak memulai hubungan apapun yang serius dengannya. Kecuali kalau memang orang itu akhirnya tergerak dan menjadi sesama orang Kristen, nah itu baru Anda bisa mulai hubungan yang lebih serius dengannya. Kalau belum jangan Anda terlalu dekat, karena nanti kalau sudah terlanjur cinta susah sekali untuk bisa dijauhkan.
IR : Pak Paul, anak-anak muda sekarang ini banyak yang mengeluh katanya, mereka itu ingin sekali mencari yang seiman, tapi kenyataannya di kalangan di mana dia itu ikut pelayanan mereka sulit untuk mencari yang sesuai dengan seleranya. Karena kadang-kadang mereka tertarik karena kecantikan Pak Paul, dan mereka itu tidak mengutamakan yang seiman.
PG : Betul sekali Bu Ida, maka Firman Tuhan ini sebetulnya yang tadi telah kita baca telah memberikan kita dua prinsip sekaligus yang perlu kita seimbangkan. Jadi Paulus berkata kepada para anda yang suaminya sudah meninggal, engkau bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya.
Jadi di sini Paulus memang memberikan kebebasan kita menikah dengan orang yang sesuai dengan selera kita, dan ini penting sekali yaitu nikahilah orang yang kita sukai, tidak bisa kita menikah dengan orang yang tidak kita sukai, tidak sesuai dengan selera kita itu tidak lazim dilakukan dan tidak terlalu baik. Namun di pihak yang lain Paulus memberikan langsung syaratnya, boleh menikah dengan siapa saja sesuai dengan seleramu, ada yang suka tinggi, ada yang suka orang yang agak gemuk, ada yang suka kurus, tergantung orang itu, terserah. Namun langsung Paulus menambahkan asal orang itu adalah seseorang yang percaya. Jadi memang keduanya langsung digabungkan dan saya bisa memahami bahwa adakalanya mencari seseorang yang bisa merupakan gabungan dari keduanya bukan perkara mudah.
GS : Saya melihat peringatan itu sebagai suatu yang perlu artinya sebenarnya itu bukan malah menghalangi seseorang, tapi demi kepentingan orang itu sendiri. Jadi untuk kepentingan dia karena kalau kita berbeda iman itu pasti akan menimbulkan masalah di kemudian hari begitu Pak Paul.
PG : Betul sekali, belum tentu sebetulnya menimbulkan masalah, jadi dalam pengertian begini Pak Gunawan, saya harus terbuka untuk melihat masalah pernikahan secara luas. Apakah mungkin ada oang yang menikah dengan yang tidak seiman dan hidup bahagia, hidup harmonis? Sangat mungkin, sangat mungkin sebab pernikahan itu terdiri dari banyak faktor, persamaan iman adalah salah satu di antaranya namun bukan semuanya.
Jadi kita tidak bisa berkata kebalikannya wah dia sama seiman dengan kita, dia mencintai Tuhan Yesus, melayani Tuhan dan sebagainya sama dengan saya langsung cocok, langsung menikah. Nah itu juga adalah pertimbangan yang tidak dewasa, tidak matang karena banyak faktor lain yang harus dinilai. Jadi kenapa tidak memilih yang bukan seiman, bagi saya alasan terkuatnya bukan untuk menghindari masalah tapi itu adalah perintah Tuhan. Jadi kita dituntut untuk taat, nah pilihan kita di situ hanya dua, taat atau tidak taat. Sebab kalau kita berargumentasi dengan anak-anak kita, nanti hidupmu tidak bahagia, nanti banyak problem dan sebagainya mereka yang sudah pikirannya kritis mungkin sekali akan berkata: "Tidak harus begitu Pa, banyak orang yang menikah sesama Kristen tapi hidupnya kacau-balau, sering bertengkar, nah kenapa saya harus yakin bahwa Papa betul!" Misalnya dia berkata begitu, saya pikir anak itu mempunyai alasan yang tepat, jadi memang tidak menjamin menikah dengan yang seiman berarti pasti harmonis. Tapi ini adalah masalah ketaatan kepada kehendak Tuhan.
GS : Ada banyak yang mengatakan itu setengah memaksakan . Walaupun pasangan saya atau calon pasangan saya tidak seiman, nanti kalau menikah dengan saya bakal jadi seiman dengan saya, begitu Pak Paul. Jadi dia katakan ini ada harapan untuk jadi seiman dengan saya, bagaimana itu Pak Paul?
PG : Ini sebetulnya membuka dua pintu ya, memang ada harapan pasangan saya akan menjadi seiman dengan saya, namun sebetulnya pintu yang satunya juga terbuka, saya pun akan tersedot oleh dia enjadi seiman dengan pasangan saya, alias saya meninggalkan iman saya, itu pun juga mungkin.
GS : Jadi resikonya hampir sama Pak Paul ya?
PG : Sebetulnya resikonya persis 50:50, 50:50. Jadi kita berkata kepadanya, "Engkau menaati perintah Tuhan, ini bukan masalah apakah engkau akan berhasil membawa dia mengenal Tuhan Yesus dansebagainya, itu bukan masalahnya sebab kalau dia mengatakan: "ya mungkin saja".
Jawaban kita pasti adalah mungkin dan memang mungkin. Jadi kalau kita berargumentasi dari sudut ini ya tidak ada jalan keluarnya sebab memang tidak ada yang bisa memastikan masa depan kita. Namun ini adalah masalah ketaatan kepada yang Tuhan sudah minta.
IR : Bagaimana kalau anak ini sudah terlanjur cinta dengan yang tidak seiman Pak Paul, orang tua apa harus kompromi untuk menerima dia?
PG : Ini masalah yang sulit sekali Ibu Ida, sudah tentu kita akan berdoa dengan lebih serius memohon Tuhan untuk campur tangan, sehingga anak kita ini akhirnya bisa mengambil keputusan yang esuai dengan kehendak Tuhan.
Namun di pihak lain saya juga harus mengakui bahwa kalau kita bersikeras dan anak kita sudah kadung cinta, sering kali kita akhirnya tidak bisa memaksakan kehendak kita. Sering kali kita akhirnya harus mundur, kita harus mundur dan berkata kepadanya: "Engkau bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, dan ini adalah hidupmu silakan engkau mengambil keputusan. Kami sebagai orang tua hanya bisa memberitahukan hal yang benar, tapi setelah itu engkau yang harus menimbangnya dan menerimanya. Jadi saya pikir ini hal yang sulit sekali Bu Ida, karena sebagai orang tua sudah pasti mau menantu kita itu seiman dengan kita. Namun kalau misalkan dia tidak seiman dan anak kita sudah terlanjur cinta kepadanya dan mau menikahinya ya kita akan berkata terserah dia. Dan hanya bisa meminta kemurahan Tuhan agar suatu hari nanti mereka berdua akhirnya bisa menyembah kepada Tuhan dalam iman yang sama.
GS : Apakah ada pedoman yang lain Pak Paul, di dalam hal memilih pasangan hidup itu?
PG : Ada Pak Gunawan, di kitab Kejadian 2 : 18, "Tuhan Allah berfirman : Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengandia."
Nah prinsip yang diberikan oleh Tuhan di sini adalah, kita ini menikah dengan yang sepadan, maksudnya sepadan adalah cocok dengan kita. Nah dalam hal kecocokan ini kita bisa uraikan dalam banyak faktor. Cocok artinya bukan sama, adakalanya orang suka bertanya apakah baik saya menikah dengan yang sama dengan saya? Nah saya suka berkata: kalau engkau ingin menikah dengan yang sama denganmu, engkau menikah dengan dirimu sendiri, sebab sebetulnya tidak ada yang sama dengan kita. Jadi memang sekilas orang ini mungkin sama mempunyai minat yang sama dengan kita, cara berpikir yang sama dengan kita. Namun setelah menikah saya yakin mereka akan menemukan bahwa dibalik kesamaan-kesamaan yang ada juga ada banyak keunikan masing-masing. Jadi kecocokan adalah hal yang penting, tidak harus sama tapi bisa mengimbangi dan bisa menerima perbedaan masing-masing. Nah kecocokan dalam hal apa yang kita perlu pertimbangkan. Nomor satu yang penting adalah kecocokan secara emosional, kecocokan secara sifat atau karakteristik, tabiat, perangai. Jangan sampai kita menikah dengan orang yang sifatnya tidak kita sukai, misalkan kita tahu bahwa pasangan kita ini, pacar kita ini cepat marah, kurang sabar orangnya. Nah kita mesti tanya apakah kita siap hidup dengan dia selama 50 tahun mendatang dan harus diperhadapkan dengan perangainya yang tidak sabar itu. Nah apakah kita bisa mengimbangi ketidaksabarannya itu. Jangan kita langsung berharap, nanti setelah menikah perangainya akan berubah, dia akan lebih sabar, saya kira itu tidak realistik. Jadi waktu kita mau menikah, kita harus bertanya akan pertanyaan ini apakah saya siap hidup dengan perangai-perangainya yang seperti ini?
IR : Jadi harus memakai logika Pak Paul, sering kali orang selalu memakai perasaan Pak Paul?
PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi jangan sampai kita meninggalkan hikmat yang memang Tuhan telah karuniakan kepada kita. Nah kecocokan itu adakalanya ya secara emosional adakalanya tidak mudah ita temukan.
Karena begini atau maksud saya perbedaan-perbedaannya tidak mudah kita lihat adakalanya kita dibutakan. Nah dibutakannya oleh beberapa faktor tadi saya sudah singgung bahwa adakalanya kita dibutakannya oleh impian kita, o.....dia nanti akan berubah, dia tidak akan seperti sekarang, dia akan menjadi lebih sabar atau saya akan membuatnya lebih sabar. Nah ini saya kira adalah ilusi, belum tentu akan terjadi seperti yang kita harapkan. Berikutnya adakalanya kita ini menyangkali perbedaan kita atau ketidakcocokan kita dengan berdalih pada diri kita sendiri bahwa ketidakcocokan itu adalah kita katakan bumbu dalam pernikahan, bumbu yang bisa menambah sedapnya makanan pernikahan, saya kira hati-hati ya dengan pemikiran seperti ini. Sebab perbedaan yang tidak bisa dicocokan, bukannya perbedaan keunikan masing-masing tapi yang tidak bisa dicocokan itu tidak menjadi bumbu, itu menjadi bumbu yang berlebihan pada makanan, bukan melezatkan tapi akan justru merusakkan rasa makanan itu.
GS : Tapi itu mungkin lebih banyak didasari bahwa anak-anak remaja itu bekeksperimen Pak Paul, juga dalam hidup pernikahan mereka mau dieksperimenkan.
PG : Maksudnya Pak Gunawan bagaimana ini?
GS : Sekalipun tidak cocok, tapi mau dicoba Pak Paul.
PG : OK! Saya kira kalau mereka tetap ingin bersatu menikah dengan pasangannya meski telah melihat ketidacocokan, dugaan saya adalah karena mereka itu nomor satu karena sudah terlanjur cinta dan biasanya ketertarikan fisik lebih kuat.
Karena sudah begitu suka dengan penampilan fisik pacarnya jadi akhirnya cenderung meminimalkan hal-hal yang serius, yang sebetulnya perlu dipertimbangkan dengan saksama.
GS : Mungkin salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan itu adalah faktor usia Pak Paul. Menurut Pak Paul kira-kira pada usia berapa remaja pria atau remaja putri itu sudah mulai memasuki tahapan untuk berpacaran bukan lagi berteman?
PG : Saya anjurkan para remaja baru mulai berpacaran setelah lulus SMA, jadi setelah usia 18 tahun. Alasan saya adalah begini, di bawah usia 18 tahun, anak-anak sebetulnya sedang berada padatahap di mana mereka membentuk atau sedang dalam proses membentuk identitas diri.
Mereka mulai mencari tahu siapa diri mereka nah masalahnya adalah kalau pada usia 14, 15 mereka sudah dekat dengan seseorang, tidak bisa tidak kondisi tersebut akan membatasinya bergaul dengan lebih banyak orang, akhirnya bahan-bahan yang seharusnya dia terima dari banyak orang untuk membentuk dirinya akan berkurang karena waktu harus dihabiskan hanya dengan satu orang itu saja. Jadi saya kira kalau berpacaran di bawah usia 18 tidak begitu sehat bagi pertumbuhan jiwa si anak itu. Setelah usia 18 tahun anak-anak remaja mulai memasuki tahap di mana mereka ini membutuhkan keintiman yang lebih pribadi. Jadi setelah SMA, waktu masa berkuliah silakanlah anda mulai mencari pasangan hidup, jangan sebelumnya.
GS : Apakah ini juga berlaku untuk yang putri Pak?
PG : Sama, saya pikir itu berlaku buat putra dan putri.
IR : Tapi kenyataannya yang sekarang Pak Paul, banyak anak yang SMP itu sudah mulai berpacaran, apakah itu namanya cinta monyet Pak Paul?
PG : Saya takut itu memang cinta monyet, namun saya khawatir sekali ini akan menjadi trend yang lebih banyak terjadi di masa yang akan datang. Karena kita harus mengakui bahwa kesibukan kitakita ini sebagai orang tua memberikan atau menciptakan kekosongan-kekosongan tertentu pada diri anak-anak kita.
Mereka butuh sekali keintiman dengan orang tua, namun anak-anak remaja akhirnya bertumbuh besar sendirian. Banyak yang tidak begitu dekat dengan orang tua akibat kesibukan orang tua. Akibatnya kekosongan-kekosongan ini menjadi kekosongan yang perlu diisi pada usia yang terlalu dini. Seharusnya mereka mulai membutuhkan keintiman pribadi satu orang, bukannya dari kelompok yaitu pada dewasa awal yaitu usia 19, 20 tahun dsb. Namun saya takut karena masalah-masalah ini anak-anak akan lebih butuh adanya teman yang intim pada usia yang lebih dini. Mereka lebih butuh ada teman ngobrol yang bisa dijadikan tempat pencurahan isi hati. Kalau kita-kita dulu mungkin yang hidup di generasi sebelumnya tidak memerlukan itu sampai kita usia sudah agak lanjut 19 tahun, 20 tahun sebelumnya kita senang-senang saja bergaul dalam kelompok besar. Jadi saya takut itulah yang akan menjadi trend di masa yang akan datang.
GS : Bagaimana pandangan Pak Paul dengan remaja yang suka berganti-ganti pasangan Pak Paul?
PG : Saya kira kalau dia berganti pasangan dalam konteks dia berteman saja secara ramai-ramai ya tidak apa-apa, tapi kalau kemudian dia berpacaran kemudian ganti lagi pacaran, ganti lagi, saa kira ini menunjukkan kekurangstabilannya dia.
Sehingga dia kurang mengerti apa yang dia mau dan yang paling serius lagi adalah kalau memang dia bergonta-ganti pacar karena kehendak pribadinya, bukan karena dia diputuskan oleh pacarnya saya kira dia kurang memiliki penghargaan terhadap pasangan orang. Bahwa waktu dia memutuskan hubungan pacaran, itu berarti dia melukai hati orang lain. Jadi saya takut orang ini tidak dewasa hanya memikirkan kesenangannya saja, itu yang saya takuti.
GS : Apakah ada faktor dari latar belakang rumah tangganya itu Pak Paul?
PG : Bisa sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang tua, cenderung menganggap gonta-ganti pacar adalah hal yang menyenangkan, menghibur diinya.
Jadi tidak ada pengarahan bahwa pacaran bukanlah untuk menyenangkan hati tapi untuk mempersiapkan diri menuju ke pernikahan.
IR : Bagaimana sikap orang tua menghadapi anak-anak remaja sekarang Pak Paul, yang suka berpacaran, yang suka main-main, bagaimana langkah kita sebagai orang tua?
PG : Kita mesti berbicara dengan mereka dari hati ke hati bahwa yang penting dalam hidup ini bukannya engkau mendapatkan kepuasan karena gonta-ganti pacar, jadi ajar mereka takut kepada Tuha bahwa tindakan mereka itu harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
GS : Jadi seperti tadi kami katakan ini tentu suatu perbincangan yang sangat menarik dan kami berterima kasih perhatian anda sekalian dalam mengikuti perbincangan kami pada acara Telaga kali ini. Apabila anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan dan dukungan anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.