Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Mencari Istri yang Cakap". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Sebagai pria pastinya berharap istri yang dinikahinya adalah seorang istri yang cakap bukannya istri yang banyak cakapnya, yang membuat orang bising yang Amsal katakan bagai air yang menitis. Tetapi mencari istri yang cakap tentu ada kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi, Pak Paul, supaya tidak menimbulkan masalah di dalam pernikahan. Seringkali yang dijumpai adalah istri yang kurang tepat sehingga ada banyak orang yang ditanya kalau ada kesempatan menikah lagi apakah mau menikah dengan istrinya ini, jawabannya tidak mau. Apa sebenarnya yang harus diperhatikan oleh seorang pria sebelum mendapatkan istri yang cakap ?
PG : Sudah tentu yang harus dilakukan adalah benar-benar mengenal pasangannya sebelum menikah, Pak Gunawan. Norman Wright seorang penulis dan konselor keluarga membagikan pengamatannya bahwa di Amerika Serikat, orang lebih banyak menghabiskan waktu mempersiapkan ujian Surat Ijin Mengemudi ketimbang mempersiapkan pernikahannya. Singkat kata, banyak orang masuk ke dalam pernikahan tanpa mengenal pasangannya dengan baik. Jadi, kita benar-benar mesti mengenal pasangan kita. Nah, pada kesempatan ini kita akan membahas beberapa hal. Terutama kita akan melihat tipe wanita yang kerap kali menimbulkan masalah dalam pernikahan.
GS : Wanita-wanita macam apa yang seringkali menimbulkan masalah setelah pernikahan, Pak Paul ?
PG : Pertama, wanita yang memandang diri sebagai putri raja. Perhatiannya hanya tertuju pada diri sendiri, secara spesifik pada kecantikannya. Setiap hari yang dikerjakannya hanyalah pemeliharaan tubuh dan kecantikan. Hal-hal lain dan tanggung jawab berumah tangga tidak dihiraukannya. Setelah memunyai anak, dia langsung menyerahkan tanggung jawab membesarkan anak kepada pengasuh atau suaminya. Nah, pada umumnya wanita seperti ini egois, Pak Gunawan. Kepentingannya mesti dikedepankan dan kepentingan orang lain dikorbankan. Akhirnya suami maupun anak terabaikan dan masalah pun meledak.
GS : Iya. Masalahnya bukan tentang merawat tubuhnya ya tapi egoisnya ini yang jadi masalah besar bagi pria yang akan menikahinya.
PG : Betul, karena dia hanya memikirkan kepentingannya. Misalkan kepentingannya adalah memelihara tubuhnya, itulah yang akan dia kerjakan. Ada yang bisa berolahraga ke fitness center bukan hanya tiga kali seminggu tapi tujuh kali seminggu dan menghabiskan waktu berjam-jam. Kemudian masuk ke tempat-tempat untuk merawat tubuhnya berjam-jam lagi. Akhirnya kepentingan suami dan anak-anaknya terabaikan.
GS : Ini bukan hanya menghabiskan waktu tapi juga menghabiskan dana, Pak Paul. Mungkin sebelum menikah dia memakai dananya sendiri. tapi setelah menikah dia akan memakai keuangan keluarga.
PG : Betul. Kita tahu itu semua memakan biaya yang tidak murah ya, Pak Gunawan.
GS : Tipe yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah wanita yang terus terikat dengan relasi keluarga asalnya. Dia merasa bertanggung jawab untuk memerhatikan keluarganya dan berusaha mencukupi kebutuhan mereka. Masalahnya adalah dia melakukannya secara berlebih sehingga dia lebih mengutamakan keluarga asal ketimbang keluarganya sendiri, secara khusus suaminya. Jika keluarga asalnya membutuhkan bantuan keuangan, dengan segera dia memberikannya. Sebaliknya bila keluarga suami membutuhkan dukungan, dia melarang suami memberi bantuan atau setidaknya dia tidak terlalu bersemangat menolong.
GS : Iya. Seringkali kalau dia anak tunggal lalu orang tuanya sakit atau orang tuanya kurang mampu secara ekonomi, dia akan memberi perhatian yang sangat besar, Pak Paul.
PG : Betul. Sudah tentu kita mau menghargai sikapnya yang menghormati orang tua, yang mempedulikan kebutuhan orang tua dan keluarganya. Itu semuanya baik. Jadi, yang ingin saya tekankan disini bukan memberi bantuan kepada orang tuanya. Bukan. Tapi sikap tidak adilnya. Kalau keluarganya, sebesar-besarnya pun tidak apa-apa, tidak ada rem. Tapi begitu menyangkut keluarga suami, rem itu dipakai di setiap jengkal. ‘Tidak boleh’, ‘jangan, nanti inilah’, ‘jangan, nanti begini’, selalu ada alasan. Nah, sikap seperti inilah yang tidak sehat.
GS : Jadi, tidak seimbang antara apa yang dia lakukan dan kalau kita sebagai suami yang mau seperti itu dia yang marah-marah, Pak Paul ?
PG : Betul. Mungkin dia akan berkata, "Orang tuamu tidak perlu." Tapi persoalannya, suami juga ingin memberi kepada orang tuanya. Berikanlah kesempatan kepada suami untuk memberi. Sekali lagi yang kita soroti disini bukanlah dia memedulikan keluarga asalnya tapi ketidakadilannya.
GS : Iya. Tipe yang ketiga apa, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah wanita yang mementingkan anak di atas suami. Sudah tentu anak memerlukan perhatian. Baik ibu maupun ayah harus berusaha memberikannya. Namun ada sebagian wanita yang begitu memunyai anak mencurahkan segenap perhatiannya pada anak saja seakan-akan relasi dengan suami sudah tidak ada lagi. Sewaktu anak kecil, dia beralasan anak masih memerlukan perhatian. Tetapi setelah anak besar pun dia tetap lebih nyaman bercengkrama dengan anak ketimbang dengan suaminya. Sudah tentu suami mesti instrospeksi diri sebab mungkin ada penyebab yang membuat istri tidak menikmati bercengkrama dengannya. Namun bila dia telah berusaha dan istri tetap bersikap demikian, besar kemungkinan masalah bersumber pada istri.
GS : Iya. Memang sulit kalau kita diperhadapkan dengan anak, Pak Paul. Dia selalu beralasan memerhatikan anak, apalagi kalau anaknya sudah lebih dari satu. Sebagai istri tentu sangat sibuk merawat anak-anak yang lebih dari satu dan masih kecil-kecil, Pak Paul. Tapi seringkali tidak seimbang juga antara waktu yang diberikan kepada anak dan suaminya sehingga seringkali timbul masalah disana.
PG : Betul. Saya juga mau bersikap adil ya. Saya mengerti pada waktu anak-anak kecil, istri akan sibuk merawat anak dan kita, suami, tidak bisa menuntut istri memberikan waktu yang sama jumlahnya seperti dulu. Tidak mungkin. Jadi, suami juga mesti mengerti. Tapi yang saya sedang fokuskan disini adalah memang ada wanita yang begitu punya anak benar-benar tidak lagi memikirkan suami. Seolah-olah suami itu tidak lagi penting atau tidak ada. Selalu anak yang diperhatikannya. Seakan-akan memang fungsi suami hanya untuk menolongnya punya anak. Setelah punya anak, suami tidak diperlukan lagi. Yang mau saya bicarakan dalam kesempatan ini adalah wanita yang seperti itu, Pak Gunawan. Tidak bisa tidak, hal ini pasti menimbulkan masalah.
GS : Tapi memang seringkali kalau ditelusuri masalahnya adalah komunikasi suami istri ini terhambat. Ada masalah sehingga mereka tidak dapat berbicara dengan nyaman apalagi bercengkrama dengan baik.
PG : Bisa. Itu memang penyebab yang umum, Pak Gunawan. Karena tidak bisa bercengkrama dengan baik dengan suaminya, dia seolah-olah melarikan diri dan membenamkan dirinya pada merawat anak. Tapi ada juga wanita yang merasa hidupnya itu tidak pernah penuh. Kenapa ? Misalnya, masa kecilnya dia tidak terlalu menikmati kasih sayang. Dia tidak pernah benar-benar merasakan dianakkan oleh orang tuanya, disayang sebagai anak oleh orang tuanya. Sehingga sewaktu dia besar dan memunyai anak, dia memunyai kerinduan seolah-olah menebus kekurangannya itu. Dia dulu tidak menerima kasih sayang sebagai anak. Nah, sekarang dia ingin seolah-olah menebusnya. Dia melimpahkan kasih sayang kepada anaknya. Sebab dengan dia melimpahkan kasih sayang kepada anaknya, dia merasa terpenuhi. Ini yang saya kira mesti diperhatikan jika salah seorang pendengar kita memunyai kebutuhan seperti ini, mestilah ini disadari.
GS : Tipe keempat apa, Pak Paul ?
PG : Yang keempat adalah wanita yang kekanak-kanakan. Mungkin dia terbiasa hidup senang, semua disediakan dan dia tidak perlu bersusah payah mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Setelah menikah, dia melepas tanggung jawab karena kemalasannya dan kurangnya disiplin diri. Dia terus bergantung pada orang untuk mengerjakan kewajibannya dan berusaha mengelak dari tanggung jawab, Pak Gunawan.
GS : Jadi, ini memang sifat kekanak-kanakan ?
PG : Iya. Akhirnya dia memunyai konsep dia tidak harus melakukan tugas-tugas itu, suaminyalah yang harus melakukan semua tugas itu. Mungkin sebelum dia menikah, misalnya karena dia harus hidup sendiri, dia melakukan tugas-tugas itu. Tetapi begitu dia menikah, karena memang dalam dirinya dia merasa seperti anak-anak yang bergantung, ya sudah, dia seolah-olah berhenti berfungsi melakukan tugas-tugasnya. Dia mengharapkan dan menuntut suaminya melakukan semua itu bagi dia.
GS : Jadi, dia cuma mau dilayani tanpa mau melayani, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi, relasi mereka menjadi relasi yang tidak berimbang.
GS : Tipe lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Yang kelima adalah wanita yang bergantung dan tidak aman. Dia terus memonitor suami dan ingin selalu tahu kemana suami pergi dan siapa yang dijumpainya. Dia juga sering bertanya apakah suami tertarik kepada si Anu dan menuntut suami untuk terus menunjukkan kasih dan perhatian. Dia juga cenderung membatasi pergaulan suami, bukan hanya dengan teman tetapi juga dengan keluarga asalnya. Singkat kata, dia berusaha mengurung suami di rumah. Pada umumnya orang ini juga mudah tersinggung dan mudah salah paham. Akhirnya untuk menghindari konflik, suami harus selalu menuruti keinginannya.
GS : Mungkin masalahnya dia tidak merasa aman dengan suaminya itu, kuatir suaminya itu berbuat serong atau melakukan hal-hal yang merugikan dia. Sebelum itu terjadi lebih baik dia memproteksi diri dengan mengurung suaminya di rumah.
PG : Betul. Karena rasa tidak aman yang begitu besar, dia tidak memiliki kepercayaan. Dia senantiasa harus memastikan dimana suaminya berada dan bagaimana kondisi hati suaminya. Dia mesti memastikan di dalam hati suaminya tidak ada orang lain. Maka kadang-kadang orang seperti ini bukan saja bisa cemburu terhadap wanita lain bahkan cemburu terhadap orang tua atau kakak atau adik si suami sendiri, Pak Gunawan.
GS : Iya. Tetapi kaum pria semakin dikekang seperti itu makin melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diinginkan.
PG : Betul. Mula-mula suami tidak ada niat untuk berbuat dosa atau mengkhianati si istri. Tapi kadang dia ‘kan bertemu dengan orang secara tidak sengaja, mungkin temannya atau rekan sepelayanannya dulu. Nah, si istri mau tahu. Tapi suami tahu kalau dia cerita pasti ribut besar sehingga dia tidak memberitahukannya. Begitu si istri tahu bahwa si suami menyembunyikan sesuatu, dia tidak akan percaya suaminya lagi, akan terus memonitor kemanapun suaminya pergi.
GS : Sifat negatif apalagi yang bisa dilakukan istri terhadap suaminya ?
PG : Keenam adalah wanita yang pendendam. Dunia ini sarat dengan orang yang tidak sempurna dan semua orang dapat melakukan kesalahan. Itu sebab sifat mengampuni penting dan mutlak dimiliki. Orang yang tidak dapat atau sukar mengampuni bukan saja tidak diperkenan Tuhan, dia pun sulit hidup dengan orang. Ada wanita yang pendendam, Pak Gunawan. Dia terus mengingat perbuatan orang yang menyakiti hatinya. Dia pun tidak mudah mengampuni kesalahan suami. Dia terus mengingat kesalahan suami. Akhirnya hatinya penuh kepahitan dan relasi dengan suami pun terganggu.
GS : Tapi ada juga yang pendendam terhadap orang lain. Terhadap suaminya tidak, Pak Paul. Kalau suaminya, dia bisa mengampuni, bisa memaafkan. Tetapi terhadap orang lain dia sulit sekali melakukan hal itu. Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang ada orang yang tidak begitu kepada suaminya karena dia ada kepentingan untuk memiliki si suami. Jadi, dia menjaga si suami. Kalau suaminya salah pun dengan cepat dia berhasil mengampuni supaya suaminya tetap ada dalam rangkulannya. Tapi terhadap orang lain tidak seperti itu, Pak Gunawan. Orang-orang seperti ini memang hatinya luar biasa sensitif. Begitu ada kesalahpahaman, sampai kapan pun dia akan selalu ingat. Daya ingat akan sakit hati itu kuat dalam diri dia sehingga sampai kapan pun kalau dia mengingat sakit hatinya yang dulu itu seakan-akan dia sekarang sama sakitnya seperti dulu.
GS : Ini menarik, Pak Paul. Kadang kita mudah melupakan sesuatu yang seharusnya kita ingat-ingat. Tetapi dalam hal dendam, kita justru mengingat sesuatu yang seharusnya kita lupakan.
PG : Karena ada orang-orang yang memang mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan pada masa kecilnya, Pak Gunawan. Misalnya dia terlalu sering menerima penghinaan sehingga dia cepat menuduh orang itu menghina dia. Karena itu sewaktu orang berbuat sesuatu kepadanya dan menyakiti hatinya, sebetulnya sakit hatinya bukan saja akibat perbuatan orang tersebut tapi merupakan tumpukan dari sakit hatinya yang terdahulu yang mungkin sudah setinggi gunung. Karena dia tidak bisa melupakan atau mengampuni, maka sakit hati itu terus menumpuk. Jadi, sakit hati yang baru terjadi itu langsung ditumpukkan ke gunung sakit hati yang lama. Makanya sakit hatinya bukannya makin mengecil, semakin dia tua sakit hatinya semakin besar.
GS : Tapi kalau dia tidak mendendam kepada suaminya, sebenarnya relasi nikah tidak akan ada masalah, Pak Paul ?
PG : Idealnya demikian. Tapi kita ‘kan tidak hidup berduaan di dunia ini. Mungkin dia bisa sakit hati kepada mertua atau kakak dan adik dari suaminya, dia bisa sakit hati dengan rekan sepelayanan si suami. Nah, banyak sekali masalah yang bisa terjadi. Akhirnya si suami bingung sebab kalau berteman dengan orang pasti ada saja kejadian yang membuat suaminya repot.
GS : Apakah masih ada kasus yang lain, Pak Paul ?
PG : Ada satu lagi yang mesti diwaspadai juga, Pak Gunawan, yaitu wanita yang keras hati dan sukar tunduk kepada otoritas. Pada umumnya dia mempunyai latar belakang yang tidak menyenangkan. Mungkin ayahnya meninggalkan dan mengkhianati keluarga. Mungkin ayahnya memperlakukan ibunya secara tidak baik. Akhirnya dia bertumbuh besar membawa kemarahan tersembunyi kepada figur otoritas terutama pria yang dianggapnya sebagai penjajah. Tidak bisa tidak sikap memberontak seperti ini akan berdampak buruk pada pernikahan. Dia sulit menerima nasehat dan sukar mengalah.
GS : Tunduk pada otoritas ini sebenarnya dia sebagai istri ‘kan harus belajar tunduk kepada suaminya. Tetapi buat dia sangat sulit karena dia selalu ingin orang lain yang tunduk kepada dia.
PG : Ada anak yang memang terlalu ditindas oleh figur otoritas, dalam hal ini ayah. Tidak bisa tidak, dia memunyai kecenderungan untuk melawan figur otoritas. Tidak usah diapa-apakan pun, begitu berjumpa dengan figur otoritas, bawaannya ingin melawan. Jadi, anak-anak perempuan yang mempunyai latar belakang bermasalah dengan ayahnya dan sukar tunduk kepada ayahnya besar kemungkinan akan sukar tunduk kepada suaminya pula.
GS : Jadi, sebelum kita menikah dengan tujuh tipe wanita yang dijabarkan tadi, apa yang harus kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Ada beberapa saran yang dapat kita pertimbangkan, Pak Gunawan. Yang pertama, carilah istri yang takut akan Tuhan. Istri yang takut akan Tuhan adalah istri yang berhikmat dan menjauhi kejahatan atau dosa. Amsal 9:1 berkata, "Hikmat telah mendirikan rumahnya menegakkan ketujuh tiangnya." Dan Amsal 16:6 menegaskan, "Karena takut akan Tuhan, orang menjauhi kejahatan." Sekali lagi, carilah istri yang takut akan Tuhan karena di dalam takut akan Tuhan ada hikmat dan kekudusan.
GS : Iya. Agak sulit mencarinya, Pak Paul. Karena kita tidak begitu mudah menilai kerohanian seseorang. Bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang kita memerlukan waktu yang agak panjang untuk bisa menilai kerohanian seseorang. Kita bisa menilainya dari beberapa hal, misalnya apakah dia secara teratur datang kepada Tuhan, membaca firman Tuhan dan berdoa ? Apakah dia mementingkan waktu pribadi dengan Tuhan ? Kalau orang berkata dia mementingkan Tuhan tapi tidak mementingkan menghabiskan waktu bersama Tuhan, itu tandanya dia tidak begitu mementingkan Tuhan. Yang kedua, kita juga bisa mengukur dari apakah dia adalah orang yang bersedia berkorban bagi orang dan bagi kepentingan Tuhan ? Kalau tidak, berarti memang Tuhan tidak begitu penting dalam hidupnya. Kemudian dalam dia bersikap serta memutuskan segala sesuatu, apakah dia mempertimbangkannya dari kacamata Tuhan ? Apakah dia bertanya, "Apa kehendak Tuhan, ya ? Ini menyenangkan Tuhan atau tidak, ya ?" kalau dia tidak seperti itu berarti dia tidak begitu takut dan mementingkan Tuhan.
GS : Selain orang yang takut akan Tuhan, adakah hal lain yang perlu diperhatikan, Pak Paul ?
PG : Yang kedua, carilah istri yang berinisiatif, istri yang tidak menunggu dengan pasif, sebaliknya dia berusaha mencari jalan dan tidak mudah menyerah. Sebaiknya kita mencari perempuan yang seperti ini, Pak Gunawan, sehingga nanti setelah menikah dengan kita, dia juga akan berperan aktif di dalam kehidupan tidak hanya menunggu kita melakukan semuanya bagi dia.
GS : Adakah tanda yang bisa kita jadikan pedoman, Pak Paul ?
PG : Misalnya ada orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau dia memang orang yang berinisiatif, dia cepat tanggap. Dia cepat tanggap terhadap kebutuhan tidak pasif melihat saja, akan berusaha berbuat sesuatu. Apapun, misalnya dalam persekutuan, dalam organisasi, dalam pekerjaan, dalam pertemanan, kita mau mengukur berapa tanggapnya dia dengan kebutuhan. Makin tanggap, makin berinisiatif. Kita juga bisa melihatnya dari keluarganya. Apakah dia dibesarkan dalam keluarga yang semuanya sudah disediakan dan kita melihat juga cara hidupnya yang berantakan, tidak bisa mengatur diri, semua mesti dikerjakan oleh orang lain. Kalau demikian, kita dapat simpulkan dia bukanlah orang yang berinisiatif atau bertanggung jawab.
GS : Iya. Apalagi yang perlu kita perhatikan, Pak Paul ?
PG : Carilah istri yang mengasihi sesama. Dia rela berkorban bagi kepentingan orang dan mudah memaafkan. Dia senang bertemu dan bergaul dengan orang, dia merasa aman dan percaya kepada suami. Saya kira ini penting sekali. Kalau pasangan kita tidak begitu suka bertemu orang, begitu susah untuk percaya kepada orang, kita bisa membayangkan nanti setelah menikah dengan dia, dia akan mencoba untuk menguasai atau mengisolasi kita.
GS : Tapi ada juga suami yang kuatir kalau istrinya terlalu mengasihi orang lain. Dia kuatir jangan-jangan orang lain dikasihinya sementara dia tidak.
PG : Kalau memang dari awal tidak begitu memerhatikan si suami, hanya perhatikan orang lain, itu tanda awas juga. Jadi, yang saya maksud disini adalah pilihlah istri yang juga senang bergaul. Dia bisa eksis di dalam pergaulan atau dalam masyarakat sehingga nanti dia tidak buru-buru berusaha memagari dan membatasi diri kita.
GS : Tingkat bersosialisasinya itu yang kita perhatikan, ya ?
PG : Betul.
GS : Mungkin masih ada yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Yang terakhir adalah jangan lupa berdoa meminta pimpinan Tuhan dan terimalah masukan dari orang. Amsal 31:10 berkata, "Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya ? Ia lebih berharga dari permata." Istri yang cakap sangat berharga dan untuk mendapatkannya, kita memerlukan pimpinan Tuhan. Selain melalui firman-Nya, acapkali Tuhan menuntun lewat peristiwa yang terjadi dan nasehat baik dari orang tua maupun pembimbing rohani serta kawan dan kerabat. Jadi, dalam masa berpacaran, bukalah telinga, sebab orang yang membuka telinga akan mendengar banyak dan menerima hikmat.
GS : Jadi memang ada banyak hal yang harus diperhatikan sebelum seseorang memutuskan untuk menikahi pasangannya ini ya ? Daripada menyesal setelah menikah, lebih baik menyesal sebelum menikah.
PG : Betul.
GS : Untuk ini kita membutuhkan pimpinan Tuhan dengan jelas apakah kita bisa menikah dengan orang itu atau tidak.
PG : Betul.
GS : Terima kasih untuk perbincangan kali ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mencari Istri yang Cakap". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.