Lengkap
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup". Dan karena panjangnya perbincangan ini maka kali ini merupakan bagian yang pertama dari topik tadi. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang setiap hari dalam hubungan relasi kita khususnya dengan pasangan kita, tidak mungkin tidak terjadi kesalahan dan sebagai pihak yang bersalah tentunya meminta maaf, kelihatannya pasangan kita memaafkan, namun ternyata ada perbedaan di dalam sikapnya dengan sebelum terjadi peristiwa itu. Padahal kita sudah minta maaf dengan tulus dan sungguh-sungguh, dan apa yang menjadi masalah, Pak Paul ?
PG : Bagaimana pun juga setelah kita melukai hati pasangan, pasangan memerlukan waktu untuk sembuh atau pulih seperti biasa, sudah tentu semua ini bergantung pada berapa dalamnya luka yang tela kita timbulkan.
Makin dalam luka yang telah kita timbulkan, maka makin lama waktu yang dia perlukan untuk pulih. Maka saya kira kalau kita melakukan sebuah kesalahan kepada pasangan, kita mesti meminta maaf. Pada kesempatan kali ini kita akan coba mengangkat, apa yang mesti kita lakukan selain dari pada hanya berkata "Sorry, ya." Jadi ada hal-hal lain yang selayaknyalah kita lakukan apalagi jika kesalahan yang kita perbuat adalah sebuah pelanggaran moral atau sebuah dosa yang telah kita lakukan.
GS : Memang seringkali orang yang melukai ini, menganggap dia sudah memaafkan kita, tapi sebenarnya dengan sikapnya yang seperti itu, menunjukkan bahwa dia belum memaafkan kita, apakah memang begitu, Pak Paul ?
PG : Saya kira pada hakekatnya kalau pasangan memang mencintai kita, maka dia akan memaafkan kita namun untuk dia bisa melewati semua perasaan-perasaannya, dia memerlukan waktu dan dalam prosesitu pastilah dia akan tetap bereaksi, dia akan marah, dia akan sedih kalau dia mengingat kembali perbuatan yang telah kita lakukan.
Jadi ini adalah sebuah proses dan makin dalam luka yang ditimbulkan maka makin lama proses penyembuhan itu.
GS : Jadi dalamnya luka, selain diakibatkan oleh apa yang kita telah lakukan, nampaknya kedekatan hubungan kita juga mempengaruhi ya, Pak Paul ? Makin dekat seseorang didalam berelasi maka makin dalam luka itu.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi didalam suatu relasi yang intim dimana ada kepercayaan dan kasih yang kuat dan ada respek yang dalam, tatkala kita melukai hatinya maka luka yang ditimbulka juga makin dalam, kalau hubungannya tidak akrab maka luka yang ditimbulkan juga tidak akan sedalam itu.
GS : Kalau terjadi hal yang demikian sebagai pihak yang bersalah ini, apa yang harus kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Yang pertama sudah tentu kita mesti datang kepada Tuhan, kita mesti berdoa memohon agar Tuhan kembali mengampuni kita, menghapus semua dosa, memang kita tahu Tuhan telah mengampuni kita, drahNya yang telah dikucurkan di kayu salib menghapus semua dosa-dosa kita.
Tapi kita perlu kembali kepadaNya mengakui dosa-dosa kita dan Tuhan sudah berjanji kalau kita mengakui dosa maka Dia akan setia, Dia akan bermurah hati, mengampuni semua dosa-dosa kita, ini adalah suatu hal yang perlu sebab ini pertanda bahwa kita tidak mengabaikan teguran Roh Kudus di dalam hati kita. Waktu Tuhan menegur, "Kamu salah, kamu harus meminta maaf" dan kita datang kepada Tuhan memohon ampun, itu berarti kita memang menanggapi teguran Roh Kudus. Makin peka kita terhadap teguran Roh Kudus, maka akan makin terjalin erat hubungan kita dengan Tuhan dan kita akan makin terlindung dari dosa-dosa yang lebih besar, karena kita makin peka terhadap suara Roh Kudus. Sebaliknya kalau kita makin mengeraskan hati, kita tidak mau mendengarkan suara Roh Kudus yang menegur kita, dan kita terus berkata, "Tidak apa-apa, ini bukan kesalahan, ini bukan dosa, makin kita merasionalisasi, makin mengeraskan hati, kita makin sulit mendengarkan suara Tuhan dan akhirnya kita makin jauh dari Tuhan. Dan akhirnya membuat kita jauh lebih rentan dan lebih sering untuk jatuh ke dalam dosa.
GS : Di dalam mengakui dosa kepada Tuhan, minta pengampunan Tuhan, itu ada sebagian orang yang mengatakan bahwa itu harus diuraikan secara rinci dosa yang kita lakukan. Tapi ada juga yang mengatakan "Tuhan itu Mahatahu, bilang saja kalau sudah berbuat dosa dan minta ampun," bagaimana pandangan ini menurut Pak Paul ?
PG : Saya melihat, pentingnya mengakui apa yang kita telah lakukan di hadapan Tuhan, kalau kita berasumsi Tuhan sudah tahu semua berarti doa pun tidak perlu sebab bukankah waktu kita berdoa Tuhn meminta untuk membawa petisi-petisi kita, membawa syafaat-syafaat kita kepadaNya.
Dan kita bisa berkata, "Tuhan sudah tahu, kita tidak perlu minta lagi," oh tidak ! Sebab dengan meminta apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan kita, maka kita mempercayakan bahwa Tuhan akan mendengarkan dan ini adalah wujud sebuah relasi antara anak dan Bapa dan memang selayaknya anak datang kepada Bapa di surga kemudian mengucapkan hal-hal yang menjadi kebutuhannya. Demikian kalau anak telah berdosa kepada Bapa, sudah selayaknya dia datang kepada Bapa mengakui dosa yang telah dilakukannya, sebab keberanian menatap kembali apa yang telah kita perbuat, itu juga akan menjadi sebuah pelajaran bagi kita bahwa kita telah melakukan hal seperti itu. Itu sebabnya Daud, kita bisa membaca di kitab Mazmur 51, dia dengan hati yang hancur mengakui dosanya, kenapa dia bisa berbuat dosa ? Dia mengatakan bahwa rasanya tulang-tulangnya seperti remuk. Jadi waktu kita memandang lagi dosa yang telah kita lakukan maka dosa itu akan tampak begitu buruk dan kita makin disadarkan betapa kita telah jatuh begitu dalamnya ke dalam dosa, dan ini justru menjadi sebuah pelajaran yang nanti kita akan ingat supaya nanti kita tidak mengulangnya kembali. Saya juga mau mengingatkan satu hal, Pak Gunawan, ada kecenderungan kita datang hanya untuk meminta maaf kepada Tuhan kalau kita ini merasa bersalah, tidak tentu ! Adakalanya karena hati nurani kita sudah begitu terbalik, sudah tidak lagi tepat, maka bukannya merasa bersalah tapi kita tidak merasa apa-apa dan itu bukan pertanda bahwa kita tidak bersalah. Jadi jangan gantungkan pada perasaan, perasaan penyesalan bisa ada, bisa tidak dan yang terpenting adalah sebuah kesadaran, sebuah pengakuan, "Saya telah melanggar, saya telah melakukan kesalahan dan saya harus datang memohon pengampunan kepada Tuhan."
GS : Sebagai seseorang yang sama-sama beriman dengan pasangan kita, kalau kita itu menyakiti hati pasangan kita, maka secara tidak langsung kita juga menyakiti hati Tuhan, karena dia juga kekasih Tuhan.
PG : Betul sekali. Sebab bukankah dia anak Tuhan, kekasih Tuhan dan kita akhirnya melukai anak Tuhan yang dikasihiNya.
GS : Apakah ada tindakan lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Selain datang dan meminta ampun kepada Tuhan mengakui dosa kita, kita juga harus mengakui dosa di hadapan pasangan kita pula. Jangan mencari alasan untuk membenarkan diri, kendati bisa saj perbuatan kita berkaitan dengan masalah yang sedang melanda pernikahan kita.
Maksud saya begini, akui kelemahan kita, jangan singgung-singgung keterkaitan dengan dirinya, waktu kita meminta maaf jangan katakan, "Saya seperti ini karena kamu begitu, kalau kamu tidak begitu maka saya tidak begini," jangan ! Akui bagian kita, apa yang telah kita lakukan, yang salah katakan, jangan singgung-singgung bagiannya. Itu hanya akan membuat dia beranggapan bahwa kita tidak memikul tanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan salah yang telah kita lakukan.
GS : Biasanya untuk meminta maaf, kadang-kadang juga berat untuk dilakukan khususnya bagi kaum pria. Kita berharap dengan perubahan sikap kita maka pasangan kita sudah mengerti bahwa kita sudah menyesal, tidak perlu dengan bahasa lisan mengatakan, "Sorry atau minta maaf."
PG : Ada orang yang memang berkilah, "Tidak perlu bicara minta maaf yang penting adalah perbuatan kita." Bagi saya itu adalah sebuah cara untuk menutupi kesombongan kita karena waktu kita memina maaf, tidak bisa tidak kita harus merendahkan diri kita di hadapan pasangan.
Ada sebagian kita yang sulit untuk merendahkan diri, maka dari pada mengatakan, "Saya salah, saya minta maaf", Lebih baik menutup mulut kemudian mengkompensasi dan berkata, "Sudah saya tunjukkan dalam perbuatan" itu tidak cukup. Sebab sekali lagi Tuhan pun pernah berkata lewat hambanya Samuel, apa yang Tuhan inginkan, apakah korban bakaran, korban sembelihan, tidak ! Yang Tuhan inginkan adalah hati yang hancur. Jadi benar-benar sebuah hati yang merendah di hadapan Tuhan, mengakui kita telah salah, kita telah jatuh maka Tuhan tolong ampuni saya, demikianlah yang Tuhan juga tuntut dari kita kepada pasangan. Kalau kita telah salah, merendahlah, katakanlah kita telah salah, jangan merasionalisasi, membenarkan diri, apalagi menyalahkannya, tapi akui bagian kita tanpa harus menyinggung-nyinggung peranan atau bagian pasangan kita.
GS : Jadi sebenarnya untuk meminta maaf diperlukan kesatuan antara apa yang kita katakan dan juga sikap kita kepada dia, dalam hal ini tidak bisa dipilih salah satu ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Sudah tentu yang benar bukan hanya mengatakannya tapi juga harus menunjukkan perubahan lewat perbuatan kita.
GS : Pak Paul, mengenai tindakan yang salah itu, seringkali kita mengungkit masa lalunya. Jadi bukan terkait pada dosa yang kita lakukan saat ini, hubungannya dengan dia, tapi masa lalunya misalnya, "Dulu kamu salah, tidak pernah meminta maaf kepada saya dan saya memaafkan kamu, kenapa sekarang kamu tidak bisa memaafkan saya."
PG : Kadangkala ini adalah hal yang kita lakukan sebab kita merasa kita harus adil, "Kalau dulu saya memaafkan kamu maka sekarang kamu harus memaafkan saya," sebaiknya jangan mengatakan hal seprti itu, waktu kita datang dan kita salah, maka kita akui bagian kita, jangan singgung-singgung bagian pasangan kita sebab pasangan yang tengah terluka dan melihat kita mengungkit-ungkit bagiannya, maka akan cepat berkesimpulan, "Kamu ini tidak sungguh-sungguh menyesali perbuatanmu, kamu lebih sibuk dan maunya menyalahkan saya, kamu tidak mau melihat bagianmu."
Ini yang perlu dilihat oleh pasangan bahwa kita bersedia melihat bagian kita, salah dimana, perlu koreksi dimana, dan itulah yang nanti kita perlu akui di hadapan pasangan.
GS : Seringkali kalau kita meminta maaf kepada pasangan, pasangan tidak langsung menanggapi dengan mengatakan, "Ya, kamu saya maafkan," dia diam saja, Pak Paul. Dan bagaimana kita bisa tahu kalau dia memaafkan kita ?
PG : Memang kita harus memahami bahwa pasangan perlu waktu untuk mencerna semua yang telah terjadi, untuk juga bisa menyembuhkan dirinya dari luka yang telah ditimbulkan dari perbuatan kita. Jai ada baiknya setelah kita meminta maaf, kita diam, kita tidak memaksanya untuk dengan segera mengampuni kita, mengatakan kata-kata seperti, "Saya mengampuni kamu dan sebagainya," tidak perlu ! Katakan saja bagian kita, setelah itu biarkan dan dia mencerna, mungkin dia perlu waktu berhari-hari atau mungkin berminggu-minggu untuk bisa mencerna semuanya dan setelah melewati waktu yang agak panjang, kita juga bisa datang kepadanya, kita bisa bertanya lagi, "Bagaimana apakah engkau sudah memaafkan saya, apakah ada hal-hal yang perlu saya lakukan lagi ?" Jadi kita menunjukkan sikap sensitif, kita mengerti dia butuh waktu.
Satu hal yang saya ingin ingatkan kepada para pendengar kita, jangan mengutip-ngutip Firman Tuhan untuk memaksanya mengampuni, adakalanya itu yang kita lakukan, "Kamu ini orang kristen, Firman Tuhan berkata; ampunilah dosa, mengapa kamu tidak mau mengampuni, nanti Allah Bapa di sorga tidak mengampuni dosa kamu juga, itu adalah Firman Tuhan." Sudah tentu pasangan kita tahu kalau dia harus mengampuni tapi dia perlu melalui sebuah proses untuk sungguh-sungguh bisa mengampuni kita, kalau kita malah mengutip-ngutip Firman Tuhan seperti itu, saya kira kita malah memancing kemarahannya, sebab buat dia, kita menjadi orang yang munafik, hanya cakap menggunakan Firman Tuhan untuk kepentingan pribadi.
GS : Tapi yang saya tanyakan, bagaimana kita bisa memahami bahwa dia secara prinsip sudah memaafkan kita, Pak Paul ?
PG : Biasanya secara langsung nanti akan berkata, "Baik saya sudah memaafkan kamu, asal kamu jangan berbuat lagi," kalau memang dia tidak mengatakan apa-apa, kita bisa bertanya, "Apakah kamu bia memaafkan saya ?" biarkan dia menjawabnya.
Ada juga yang menunjukkan sikap-sikap yang memang berubah, dulunya diam, dulu tidak mau bicara dengan kita tapi setelah lewat beberapa hari, dia mulai berbicara, mulai memberikan sikap yang lebih menyenangkan. Kita tahu bahwa mulai saat itu, dia telah memulai proses mengampuni kita, mungkin belum tuntas tapi setidak-tidaknya ada gerakan-gerakan ke arah itu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Ini yang susah, yang berikutnya adalah bersikap pasrah terhadap keputusannya dan bersiaplah untuk menerima konsekwensi. Artinya, kita jangan memaksa pasangan untuk tidak memberikan konsekunsi.
Ada kecenderungan kita berkata seperti ini, "Karena saya sudah minta maaf maka kamu tidak boleh lagi menghukum saya atau memberikan konsekuensi apa pun, kamu benar-benar harus melupakan, kamu tidak boleh marah, kamu tidak boleh mengungkit-ungkit dan sebagainya." Sudah tentu akan ada waktu dimana pasangan harus berhenti membangkit-bangkitkan masalah, tapi untuk satu kurun dia memerlukan waktu, kesempatan untuk bisa mengeluarkan luka di hatinya dan kemarahannya. Sudah tentu ada waktu juga, dimana pasangan perlu menjauh dari kita, dia tidak bisa dekat-dekat dengan kita, dia merasa sudah tertusuk, dia tidak bisa lagi percaya kepada kita, dan mungkin untuk sementara waktu dia tidak begitu senang disentuh oleh kita dan sebagainya. Kita mesti mengerti ini, kita tidak bisa memaksanya untuk melupakan secara sekejap dan kemudian bersikap normal lagi kepada kita, tidak ! Bahkan adakalanya nanti ada akibat-akibat lain yang harus ditanggung dan inilah hal-hal yang kita harus pasrah dan terima. Ada orang yang sangat terlukai, sehingga perlu waktu yang lama untuk bisa menjalin hubungan yang akrab kembali dengan pasangannya. Hal-hal seperti ini memang harus diterima, kita mesti pasrah, kita tidak boleh menuntutnya untuk bersikap seperti biasa lagi kepadanya. Kita berada di posisi yang salah, tuntutan hanyalah membuatnya yakin bahwa kita sebenarnya tidak menyesali perbuatan kita. Jadi bagi dia kalau kita buru-buru menuntut agar dia tidak meminta konsekuensi apa pun bagi dia, bagi dia kita hanyalah orang yang ingin lari dari konsekuensi, hanya ingin jalan pintas yang mudah, makanya tergesa-gesa meminta maaf, tidak berani dan tidak mau bertanggung jawab memikul akibat perbuatan sendiri.
GS : Kadang-kadang karena butuh waktu yang cukup lama, Pak Paul, pasangan tidak segera memaafkan, lalu di pihak yang salah ini mulai berpikir-pikir, hal ini terjadi juga karena salah dia. Walaupun tadi Pak Paul mengatakan bahwa kita tidak mau mengungkit-ungkit di hadapannya, tetapi sebenarnya didalam pemikiran kita, "Sebenarnya saya juga tidak terlalu salah betul, dia juga punya andil di dalam kesalahan." Dan ini menghadapi diri kita sendiri bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang adakalanya waktu kita sudah meminta maaf, kita ingin tergesa-gesa mengubur semuanya, tidak mau lagi mengungkitnya dan waktu pasangan mau memunculkannya, kita merasa tidak nyaman. Tpi sekali lagi satu hal yang ingin saya tekankan adalah ini semua merupakan sebuah proses dan kita harus bersedia melewatinya bersama-sama dengan pasangan dan tidak mudah untuk kita membalik lembaran hidup kita, adakalanya akan tersangkut di lembaran yang sama untuk satu kurun yang agak panjang, kita tidak bisa langsung membuka lembaran dan mengajaknya langsung memulai, sudah tentu ini akan menjadi target, ini adalah tujuannya, tapi untuk dia sembuh berilah dia waktu, setelah itu kalau memang memungkinkan kita datang meminta bantuan dari seorang konselor sehingga dia bisa ditolong mencerna luka-lukanya dan kembali menjahit relasi yang telah robek itu.
GS : Bagaimana kita harus bersikap karena setiap hari kita bertemu dengan dia, tidak bisa kita menghindar untuk lari dari hadapannya tapi sikap kita itu kadang-kadang canggung.
PG : Sudah tentu karena apa yang telah kita lakukan, itu sepertinya memberikan sebuah kecacatan di dalam relasi kita, akhirnya dalam bersikap kita menjadi serba salah. Jadi nasehat saya adalah edapatnya kita bersikap biasa.
Artinya lakukanlah kewajiban kita sehari-hari, yang mestinya kita lakukan, yang biasanya kita kerjakan maka kita lakukan, jangan meremehkan namun sebaliknya jangan membesar-besarkan penyesalan. Maksud saya misalnya jangan menunjukkan reaksi yang gembira karena kita ini lega, karena kita telah mengakui dosa kita, sekarang kita merasa bahwa beban itu lepas dari kita ini senang, kita tiba-tiba berseri-seri, pasangan yang harus memikul semua ini, dia harus menjalani perjalanan yang panjang dan penuh derita untuk mengampuni kita. Sewaktu dia melihat kita begitu gampangnya melupakan kesalahan, normal-normal, biasa-biasa, ketawa-ketawa, bercanda-canda lagi, itu akan makin menambahkan luka di hatinya. Dan makin membuat dia merasa "Kamu ini seenaknya saja, menggampangkan semuanya ini, kamu tidak bisa peka, sadar, bahwa saya ini sekarang sedang terluka." Jadi sekali lagi bersikap biasa namun jangan meremehkan penyesalan, sebaliknya juga jangan membesar-besarkan penyesalan, karena itu akan membuatnya berpikir, "Kalau sudah tahu akibatnya begitu buruk, mengapa tetap melakukannya, mengapa tidak memikirkannya terlebih dahulu." Jadi kalau kita menyesal, ya menyesal tapi juga harus jaga. Ada juga orang yang menangis terus-menerus, pasangan mungkin saja tidak merasa enak atau iba, malahan dia merasa kesal, "Kamu sekarang menangis dan sebagainya," belum lagi nanti berpikiran buruk, kamu ini pura-pura dan sebagainya. Jadi sekali lagi bersikap biasa jangan meremehkan penyesalan, jangan mengecilkannya tapi sekaligus juga jangan membesar-besarkan.
GS : Memang betul Pak Paul, ada beberapa pasangan yang merasa pasangan hidupnya ini menggunakan air mata hanya untuk memperoleh belas kasihan, karena itu sudah dilakukan berkali-kali, setiap kali dia melakukan kesalahan itu maka dia menangis-nangis di depan istrinya, pertama istrinya memang melihat kehancuran hatinya tapi lama-lama dia jadi muak, Pak Paul.
PG : Sebab sekali lagi yang terpenting adalah perbuatannya. Jadi kita harus menindaklanjuti penyesalan kita dengan perbuatan, makanya Tuhan pun meminta kita melakukan yang disebut di Alkitab, pnyesalan yang rohani atau penyesalan yang Ilahi, suatu penyesalan yang keluar dari lubuk hati terdalam karena telah melukai hati Tuhan dan sesama serta sebuah komitmen untuk berubah, untuk tidak melakukan lagi dosa yang sama.
GS : Mungkin ada contoh yang konkret di Alkitab tentang pengampunan ?
PG : Di dalam Injil Yohanes 8:1-11 dicatat kisah perjumpaan Kristus dengan wanita yang tertangkap basah kedapatan berbuat zinah, orang Farisi dan para ahli Taurat membawa perempuan itu kepada Ysus untuk mencobaiNya supaya mereka memperoleh alasan untuk mendiskreditkan Tuhan Yesus yang saat itu tengah mengajar di Bait Allah, di hadapan orang banyak.
Sebetulnya mereka sendiri sudah tidak lagi menerapkan hukum Musa, yakni merajam pezinah sampai mati, namun mereka memperhadapkan Tuhan dengan perempuan itu, jika Tuhan Yesus menyuruh mereka merajam perempuan itu, Tuhan akan dinilai kejam, sebaliknya jika Dia menolak untuk melakukannya maka dia akan dinilai tidak taat kepada hukum Taurat. Sungguh merupakan suatu situasi yang sulit namun apa jawab Tuhan kepada mereka ? Di Yohanes 8:7 ditulis "Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Kita semua orang berdosa dan layak menerima hukuman Tuhan yaitu kematian, kita tidak boleh menganggap diri lebih benar dari sesama, jangan menjadi hakim, selalu lihatlah sebelum melihat kesalahan orang. Jadi bagi siapa yang telah dilukai, saya minta mengampunilah, Tuhan mengingatkan kita semua orang berdosa, kita semua tidak ada yang sempurna, maka kalau pasangan telah bersalah dan meminta ampun, maka ampunilah. Kalau memang sulit maka mintalah kuasa Tuhan untuk menolong kita mengampuni. Salah satu cara untuk mengampuni adalah menyadari kita pun orang berdosa yang tidak luput dari dosa yang sama.
GS : Di dalam peristiwa perempuan yang berzinah, ada suatu peristiwa ketika Tuhan Yesus menunduk lalu menulis-nulis, banyak orang bertanya, "Tuhan Yesus menulis apa ?"
PG : Saya menyimpulkannya sederhana yaitu Tuhan Yesus menulis apa yang Dia katakan yaitu Dia menulis, "Barangsiapa di antara kamu yang tanpa dosa, silakan melemparkan batu yang pertama."
GS : Tapi kita memang tidak tahu dengan jelas apa yang ditulis oleh Tuhan Yesus, Pak Paul ?
PG : Ya, saya hanya menduga saja sebab Alkitab atau orang-orang Yahudi sering menggunakan gaya bahasa pengulangan, yaitu "Sesungguhnya, sesungguhnya Aku berkata kepadamu," itu gaya bahasa mereka. Jadi sangat mungkin Tuhan menuliskannya kemudian mengatakannya.
GS : Tapi begitu cepat orang-orang Yahudi menyadari bahwa sebenarnya mereka pun juga berdosa, jadi tidak berani melempar batu.
PG : Dan itu adalah cara Tuhan yang sangat efektif, Dia tidak memarah-marahi, tidak memojokkan, Dia hanya mengungkapkan sebuah fakta dan fakta itu langsung berbicara ke hati nurani mereka. Seba memang orang Farisi dan ahli Taurat adalah orang yang setiap hari menggumuli hukum Taurat Musa, jadi tidak bisa tidak hati nurani mereka tertegur oleh perkataan Tuhan Yesus.
GS : Perbincangan kita kali ini tentu belum tuntas, jadi memang ada banyak hal yang perlu kita bicarakan tapi nanti kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang dan kita berharap para pendengar bisa mengikuti kelanjutan dari perbincangan ini. Terima kasih Pak Paul dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Meminta Maaf Saja Tidak Cukup," bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.