Memelihara Pernikahan 2

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T565B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Komitmen yang teguh menerima pasangan secara utuh, bertanggungjawab kepada Tuhan. Firman Tuhan akan selalu mengingatkan kita agar tetap memegang komitmen yang teguh.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Pernikahan berawal dari sebuah janji, tetapi untuk tetap bertahan diperlukan sebuah komitmen yang teguh. Bila janji mencerminkan tekad, maka komitmen menjadi bukti tekad atau pemenuhan janji itu. Jika janji berisikan keinginan, maka komitmen adalah kenyataannya. Tanpa komitmen yang teguh pernikahan akan oleng dan besar kemungkinan tenggelam ditelan ombak persoalan hidup dan godaan dari luar. Itu sebab komitmen adalah suatu keharusan.

Ada tiga hal yang harus ada di dalam komitmen:
  1. penerimaan diri pasangan,
  2. pilihan untuk tinggal,
  3. pertanggungjawaban terhadap Tuhan.
Mari kita lihat ketiga unsur ini satu per satu.

Kita harus bersedia MENERIMA pasangan apa adanya—kelebihan dan kekurangannya. Sudah tentu adalah mudah menerima kelebihan pasangan karena kelebihan pasangan biasanya berarti keuntungan buat kita. Sebaliknya, tidak mudah untuk kita menerima kekurangan pasangan sebab kekurangannya berarti kerugian dan pengorbanan kita. Komitmen yang teguh adalah komitmen untuk menerima pasangan secara utuh.

Pertanyaannya adalah, apakah boleh kita menuntut perubahan atau perbaikan? Jawabannya adalah, boleh, apalagi bila kekurangan pasangan bermuatan dosa atau berpotensi merugikan keluarga secara keseluruhan. Jadi, tidak apa kita menuntut pasangan untuk meninggalkan meja judi atau menggunakan narkoba, atau berhenti mabuk-mabukan. Singkat kata, kita boleh menuntut pasangan untuk bertobat. Jika demikian, kapankah kita menerimanya apa adanya? Kita menerima apa adanya, dalam pengertian, kita bersedia menerimanya dan mengampuninya bila ia bertobat atau berubah. Dengan kata lain, komitmen yang teguh tidak membebaskan siapa pun untuk berbuat semaunya. Pertobatan adalah syarat penerimaan. Di luar konteks dosa dan kerugian besar pada keluarga, penerimaan mesti dijalankan atas hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan hidup dan kelemahan minor lainnya. Misalkan, kita menerima pasangan walau ia sekarang bertambah gemuk. Kita menerima pasangan kendati kepalanya sudah botak. Kita menerima pasangan ketika usahanya gagal. Atau, kita menerima pasangan sewaktu ia sakit dan tidak lagi bisa bekerja. Di dalam konteks inilah kita mesti menerima pasangan apa adanya—bahwa ia tidak sempurna dan tidak selalu menyenangkan hati kita. Kita baru dapat mengambil komitmen yang teguh bila kita menerima kelemahannya.

Komitmen yang teguh dimungkinkan dan dibuktikan tatkala kita memunyai alternatif selain pasangan. Komitmen yang teguh ditunjukkan tatkala kita MEMILIH UNTUK TINGGAL, dan tidak meninggalkan pasangan. Kita—dan pasangan—tidak sempurna; kita memunyai kekurangan dan tidak selalu dapat menjadi diri kita terbaik. Adakalanya kita berjumpa dengan orang yang lebih baik—dan lebih cocok dengan kita—ketimbang pasangan. Di saat itulah kita tergoda untuk meninggalkan pasangan; godaan makin besar bila kita merasa tidak bahagia.

Sewaktu pasangan menyadari kekurangannya—dan melihat adanya orang lain yang lebih baik daripadanya dan mungkin pula lebih serasi dengan kita daripadanya—pada umumnya ia akan merasa tidak aman. Ia mulai merasa terancam; ia takut ia tidak lagi dikasihi. Jadi, betapa besar sukacita di hatinya tatkala ia melihat—dan menerima peneguhan dari kita—bahwa kita tetap memilih bersamanya. Komitmen kita kepadanya menciptakan rasa aman; ia tahu ia aman di dalam pernikahan ini sebab kita telah membuktikan kesetiaan kita kepadanya.

Terakhir, komitmen yang teguh mengharuskan kita untuk memunyai SESEORANG untuk menjadi tempat PERTANGGUNGJAWABAN, dan orang itu adalah Tuhan Allah sendiri. Kita ingat bahwa janji untuk setia diucapkan di hadapan Tuhan dan kepada Tuhan, bukan saja kepada pasangan. Pada akhirnya kepada Tuhanlah kita harus memertanggungjawabkan semua perbuatan kita. Tanpa Tuhan di dalam komitmen yang kita buat, janji hanya akan tinggal janji.

Saya telah bertemu dengan orang yang telah meninggalkan pasangannya; hampir semua memunyai kesamaan pada saat keputusan itu diambil—mereka telah berjalan meninggalkan Tuhan. Memang ada yang baru beranjak dan ada yang sudah berjalan jauh, tetapi pada dasarnya masing-masing sudah memulai langkah meninggalkan Tuhan.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa keputusan meninggalkan Tuhan acap kali mendahului atau setidaknya berjalan seiring dengan keputusan meninggalkan pasangan, kecuali bila kita adalah korban perbuatan jahat pasangan. Di dalam kondisi yang sangat buruk itu kita terpaksa melanggar komitmen yang kita buat; kita berani memertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan karena kita tidak memunyai pilihan lain.

Maleakhi 2:14 mengingatkan, "Oleh sebab Tuhan telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah berlaku tidak setia, padahal dia adalah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu." Komitmen yang kita buat kepada pasangan disaksikan oleh Tuhan dan Ia—bukan saja pasangan—menuntut pertanggungjawaban kita. Atas dasar inilah kita bertahan dalam segala musim kehidupan untuk tetap setia kepada pasangan. Dan, atas dasar komitmen seperti inilah pernikahan terus berdiri dengan teguh.