Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. Beliau berdua adalah pakar konseling keluarga dan juga dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang, kali ini akan menemani Anda dalam sebuah perbincangan yang pasti menarik dan bermanfaat. Ibu Esther Tjahja akan mengulas tentang bagaimana membantu anak mengelola kemarahan. Perbincangan ini tentu akan sangat berguna bagi kita sekalian khususnya Anda yang punya anak-anak kecil yang perlu bantuan dalam hal ini, karenanya dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Ibu Esther, seorang anak pasti bisa marah tetapi bagaimana sebenarnya cara mereka mengungkapkan atau mengekspresikan kemarahannya itu?
ET : Sebenarnya bukan hanya anak-anak, semua manusia pasti bisa marah, baik anak-anak, orang dewasa sampai orang tua bahkan bayi juga. Dan kemarahan itu sebenarnya dapat diekspresikan secaraaktif.
Misalnya secara verbal yaitu dengan kata-kata memaki, menghina orang, mengumpat bahkan juga dengan berteriak atau kalau tidak secara verbal dengan misalnya membanting barang, memukul sesuatu bahkan menendang, biasanya yang sering menjadi objek kemarahan adalah binatang-binatang piaraan, anjing ditendang, mobil ditendang. Kemarahan juga dapat diekspresikan dengan pasif, biasanya ditandai dengan sikap menarik diri, tidak suka bersama-sama dengan orang lain, lebih baik menyendiri, berdiam diri, jadi memang dengan sengaja tidak mau bertemu orang lain, dengan sengaja tidak mau berbicara dan satu ciri yang lain dari kemarahan yang pasif dapat diungkapkan dalam bentuk menangis, jadi diekspresikannya dengan air mata.
GS : Nah apakah seorang anak yang biasanya mengekspresikan kemarahan secara pasif, dia akan selalu mengekspresikannya dengan cara seperti itu atau keluar juga yang aktif?
ET : Kalau saya melihat biasanya ada pola yang lebih, istilahnya lebih permanen, lebih sering dalam bentuk seperti itu, kalau orang yang cenderung aktif biasanya dia akan selalu seperti itu.Kalau orang yang memang pola kemarahannya pasif, biasanya disuruh marah dengan mengeluarkan perkataan seperti misalnya memaki itu susah, biasanya semarah-marahnya akhirnya menangis.
Tapi kadang-kadang bisa kalau dalam situasi tertentu dengan cara yang sebaliknya, cuma biasanya lebih mayornya ya itu.
PG : Atau kadang kala juga ada pengaruh kepada siapakah dia marah. Saya memperhatikan di rumah, istri saya dibandingkan dengan saya. Saya ini bertaring jadi anak-anak lebih takut dengan saya kalau tidak ada saya, istri saya sering berkata anak ini tadi marah kepada saya, berani begini begitu kepada saya, tapi begitu saya pulang dan bicara dengan dia, dia tidak berani begitu kepada saya.
Dan istri saya pun melihat perbedaannya dan itu sering kali menjengkelkan dia, "mengapa dengan saya dia berani dengan kamu tidak berani". Kita sadari kadang-kadang manusia akan memilih sasaran yang lebih empuk sebagai tempat pengekspresiannya.
ET : Selain itu juga obyeknya, misalnya seperti dimarahi oleh guru, dimarahi oleh orang tua biasanya lain, adakalanya dengan orang tua berani menjawab tapi kalau dengan guru paling-paling haya berdiam diri karena kalau membalas berarti tidak naik kelas.
GS : Yang penting mungkin dia bisa menyalurkan kemarahannya, entah itu secara pasif atau aktif.
ET : Intinya diekspresikan cuma dengan cara bagaimana, memang kalau secara aktif ya aktif tetapi yang tepat secara pasif. Jadi intinya kadang-kadang orang mempermasalahkan tentang ekspresi krena takut kebablasan, tapi di sisi lain juga kebanyakan jadi makan dalam, memang ada dua sisi di sini.
(2) GS : Tapi sebenarnya yang penting adalah mengetahui penyebab kemarahan anak, Bu ?
GS : Nah itu apa saja?
ET : Banyak hal yang bisa menyebabkan anak-anak marah, yang paling mendasar sering kali biasanya nampak pada anak-anak yang masih kecil, yang belum terlalu bisa mengkomunikasikan apa yang di mau.
Biasanya kalau mereka sedang sakit, badannya tidak enak juga tidak bisa mengatakan apa yang dia rasakan, bawaannya mau marah, rewel. Dan biasanya kalau anak sudah lebih besar dan ada rasa sakit juga bisa membuat seseorang marah, cuma biasanya kalau sudah lebih besar sakitnya bukan hanya sakit secara fisik, bisa jadi sakit hati, secara emosi terganggu dia bisa marah-marah, dan apa yang menyebabkan mereka bisa sakit hati atau secara emosi terganggu biasanya juga macam-macam seperti mungkin menghadapi orang tua yang tidak konsisten. Maksudnya, di satu hari dia melakukan sesuatu tidak diapa-apakan, keesokan harinya dia melakukan hal yang sama kena marah atau kadang-kadang dimarahinya hanya ditegur tetapi dengan kelakuan yang sama bisa dihukum dengan keras. Jadi orang tua yang seperti itu bisa membuat anak sakit hati.
PG : Berbicara tentang badan yang sakit Bu Esther, saya kira bukan hanya anak kecil saja kalau sedang sakit mau marah. Saya akui saya pun juga begitu (ET : Apalagi sakit gigi ya?) ya, tubuh tidak enak, kenapa emosi rasanya lebih mudah untuk meletup ya ?
ET : Jadi lebih sensitif rasanya, sepertinya syaraf-syaraf kita ini siap buat beraksi terhadap hal-hal yang tidak nyaman.
PG : Rasanya memang daya tahan kita menurun ya, sehingga kemampuan untuk mengontrol emosi menjadi lebih tipis, rupanya itu juga yang kita bawa dari kecil sampai sekarang.
ET : Apalagi kalau misalnya sakitnya juga tidak jelas di mana, biasanya membuat kita juga lebih emosional.
GS : Tadi pada awalnya Bu Esther sudah mengatakan bahwa semua orang bisa marah termasuk kita yang sudah dewasa dan menjadi orang tua. Nah anak-anak sering kali memperhatikan kalau kita marah, apakah itu berpengaruh pada pola kemarahan si anak?
ET : Ya itu bisa sekali, karena mereka melihat bagaimana orang tuanya, itu mempunyai kemungkinan yang besar untuk membuat anak meniru pola kemarahan orang tuanya. Jadi kalau misalnya anak seing dimaki-maki walaupun mungkin belum tentu balik memaki orang tuanya, tapi biasanya di luar dia juga akan lebih mudah memaki-maki.
Dan biasanya kata-kata makiannya mirip dengan yang dia dengar dari orang tuanya. Atau kalau misalnya orang tua yang melarang anak membuat marah, biasanya nanti juga akan merasa tidak nyaman dengan orang lain yang marah-marah.
GS : Dan itu sebenarnya berbahaya, mungkin buat orang dewasa tidak terlalu berbahaya mengekspresikan kemarahan seperti itu tapi buat anak kadang-kadang itu bisa berbahaya sekali, Bu Esther?
ET : Ya betul sekali, saya pernah mendengar ada satu orang tua menceritakan tentang suatu hari dia ditelepon oleh pembantu di rumah, jadi ibu ini sedang di kantor ditelepon oleh pembantunya.Dan pembantunya mengeluhkan bahwa anak ini sedang marah kepada adiknya sambil membawa-bawa pisau.
Jadi memang kadang-kadang tidak selalu dari orang tua tapi bisa juga meniru dari apa yang dia lihat dari TV, yang dia dengar. Nah pola-pola seperti itu juga bisa memberi ide pada si anak bagaimana mengekspresikan kemarahannya, kalau memang tidak pernah diarahkan dengan tepat.
GS : Atau mungkin kegagalan, apakah itu bisa menimbulkan kemarahan dalam diri seorang anak?
ET : Ya, kegagalan yang terus-menerus biasanya membuat seseorang frustrasi, perasaan frustrasi biasanya juga bisa membuat tidak tahu harus berbuat apa, tidak bisa keluar dari rasa kegagalan tau frustrasi itu biasanya berbuntut kepada kemarahan.
Misalnya seseorang yang merasa tidak mampu di satu bidang padahal itu dituntut terus-menerus misalnya anak yang memang matematikanya lemah tapi terus dituntut harus mendapat nilai 8, 9, 10 sementara jelas-jelas dia tidak bisa mendapat nilai seperti itu. Hal itu kalau tidak dipahami juga bisa menghasilkan kemarahan buat si anak.
GS : Saya pernah mengalami ada seorang anak yang marah karena dia merasa tidak bersalah tapi dituduh bersalah. Orang tuanya atau kakaknya memarahi dia padahal dia sendiri merasa tidak salah, lalu dia bereaksi dengan keras, nah apakah itu disebut ekspresi kemarahan atau membela diri atau bagaimana ?
ET : Kemarahan itu sendiri bisa campuran, biasanya karena merasa diperlakukan tidak adil, karena memang sepertinya jadi kambing hitam, itu juga bisa mengakibatkan kemarahan.
PG : Kalau yang lainnya Bu Esther, seorang anak yang membutuhkan perhatian dan tidak mendapatkannya, apakah ini bisa menjadi penyebab kemarahannya ?
ET : Ingin mendapatkan perhatian tetapi tidak dia dapatkan, bisa sekali mengakibatkan dia marah.
PG : Bisa sekali ya, jadi yang dia harapkan reaksi orangtuanya melihat dia berbuat ini itu tidak seperti yang dia bayangkan, jadi akhirnya mengkompensasikan diri, marah-marah supaya yang diabutuhkan itu bisa dia peroleh.
ET : Misalnya orang tua terlalu sibuk, jadi dia minta diperhatikan dengan cara baik-baik rasanya tidak didapatkan, setelah mencapai puncaknya dia mungkin bisa melampiaskan tapi tidak beranilangsung ke orang tuanya.
Misalnya terhadap mainannya, terhadap orang di sekitarnya intinya sebagai protes bagaimana memanfaatkan kemarahannya ini untuk mendapatkan yang dia butuhkan dari orang tua. Jadi biasanya hal ini dipelajari dari waktu kecil, pokoknya begitu dia minta sesuatu tidak didapatkan wah dia marah. Akhirnya pola ini yang dipelajari, semakin besar sepertinya cara itu yang digunakan sebagai senjata supaya dipenuhi keinginannya, dengan dia marah. Dan begitu marah orang tua biasanya kalah, akhirnya diberikanlah apa yang dia inginkan. Dan akhirnya itu terus yang menjadi senjata, senjata untuk mendapatkan hal-hal yang dia inginkan.
GS : Ya kadang-kadang ada yang sampai jongkok di depan toko atau sampai di lantai berguling-guling karena keinginannya tidak dipenuhi oleh orang tuanya. Nah masalahnya sekarang adalah setelah kita tadi mengungkapkan banyak hal ternyata yang bisa menyebabkan anak marah; apa reaksi orang tua dalam menghadapi anak-anak yang sedang marah ?
ET : Ya, kita akan membahas lebih dahulu cara-cara yang selama ini kurang tepat, yang sering kali dilakukan orang tua. Yang cukup sering terjadi adalah sempat saya singgung sedikit yaitu banak orang tua yang beranggapan marah itu dosa, jadi kemarahan itu identik dengan dosa sehingga orang tidak boleh marah.
Karena dia menerapkan hal itu pada dirinya dia akan mengatakan kepada anak juga tidak boleh marah. Jadi kalau anak sampai marah malah dihukum, sehingga itu justru membuat anak tidak bisa menyalurkan kemarahannya. Sudah sakit hati, mau mengungkapkan dengan marah justru dimarahi lagi tambah sakit lagi. Dan anak juga semakin tidak tahu seharusnya bagaimana, karena pada kenyataannya tidak bisa begitu saja memadamkan amarah yang ada di dalam hatinya.
PG : Seperti memencet/menekan balon ya, kita pencet atau kita tekan di sini akan melejit di sana. Jadi orang tua yang meredam kemarahan anaknya seolah-olah menghilangkan kemarahan, namun sesngguhnya hanyalah memindahkan sasaran kemarahan si anak.
Tadinya mungkin kemarahan tersebut harus dialamatkan kepada orang tuanya, tapi karena tidak boleh dan orang tuanya lebih besar, lebih berdaya, lebih bertaring terpaksa dia harus simpan. Dan akan dia lampiaskan misalkan kepada adiknya, kepada yang lain di luar rumah, jadi sama sekali bukan solusi yang baik, merantai anak untuk tidak boleh marah sama sekali.
ET : Ya apalagi tidak ada alternatif, tidak diberikan alternatif pokoknya jangan marah! Dengan kata jangan marah, anak tidak tahu mesti berbuat apa lagi.
GS : Nah ada juga orang tua yang justru membiarkan anaknya marah, bagaimana dengan hal seperti itu Bu Esther, kalau mau marah, marahlah begitu?
ET : Sampai dia bosan begitu ya, jadi orang tua membiarkan begitu saja berharap kemarahannya mereda. Tapi kalau ternyata penyebab kemarahan itu tidak tersentuh sebenarnya sama saja. Mungkin ada saat itu sepertinya dia merasa puas.
Puas dalam arti mengungkapkan kemarahannya pada saat itu, hanya sesaat, sepertinya reda tapi karena tujuannya belum tercapai, kebutuhannya belum terpenuhi, suatu saat bisa muncul lagi.
(3) GS : Bagaimana orang tua seharusnya bertindak, Bu Esther ?
ET : Memang yang kebalikan melarang anak untuk marah adalah anak sangat membutuhkan penerimaan dari orang tua bahwa marah itu adalah bagian dari emosi manusia yang merupakan hal yang manusiai.
Hal yang dimiliki setiap orang itulah emosi. Kalau orang bisa bahagia, orang bisa senang kenapa orang tidak bisa marah itulah bagian dari emosi yang Tuhan berikan juga buat manusia. Jadi memang yang pertama penerimaan, orang tua perlu menerima hal itu dan orang tua sendiri perlu mengenali ada atau tidak kemarahan-kemarahan dalam diri orang tua yang mungkin juga belum terselesaikan. Nah itu kadang-kadang bisa jadi penghambat, mungkin misalnya orang tua sendiri masih berjuang dengan perasaan-perasaan marahnya, jadi dia sendiri sedang merasa tidak suka maksudnya masih terus bergumul dengan perasaan marah, lalu melihat orang lain seperti itu jadi maunya tidak usah marah supaya jangan sampai menghalangi seperti apa yang dialami orang tua. Tapi kalau orang tua sendiri bisa memahami kemarahannya, dia dapat juga menerima emosi kemarahan anak.
GS : Memahami dalam hal ini apakah itu berarti mentolerir kemarahan anak?
ET : Mentolerir maksudnya bagaimana, Pak?
GS : Kita setuju dengan kemarahan itu walaupun berkali-kali dia marah atau sampai memecahkan barang dan sebagainya.
ET : Kita menerima bahwa anak itu bisa marah dan memang sedang marah, itu yang pertama, tapi tidak berarti kita membiarkan cara dia mengekspresikan dengan seenaknya. Kadang-kadang anak-anak ang kemarahannya sampai sekian derajat itu memang yang tidak pernah dipenuhi keinginannya, tidak pernah tahu cara mengekspresikan kemarahan dengan tepat biasanya akan menjadi destruktif, akan ada saja barang-barang yang rusak.
Kadang-kadang anak dengan sengaja melakukan hal tersebut misalnya mereka tahu ini barang kesukaan orang tua, sengaja dia rusakkan supaya bisa membalas dendam, bisa mendapatkan yang dia inginkan. Kalau hal-hal seperti itu tentu saja tidak dapat ditolerir, jadi memang kalau ekspresi kemarahannya arahnya sudah destruktif baik dalam diri sendiri ataupun ke orang lain tentunya orang tua perlu mengendalikan situasi tersebut dan tidak membiarkan ekspresi yang seperti itu. Tapi orang tua bisa membantu dengan mencoba mengajak anak mencari penyebabnya, sebenarnya apa yang membuat dia marah.
GS : Tetapi pada saat anak marah memang sulit mengajaknya untuk mencari penyebab kemarahan dan sebagainya, itu biasanya bisa dilakukan nanti setelah kemarahan si anak reda. Tetapi pada saat anak itu sedang marah-marahnya, apa biasanya atau sebaiknya apa yang perlu dilakukan oleh orang tua?
ET : Memang mungkin kita tidak berharap untuk dia menceritakan semuanya sekaligus pada saat itu, tetapi biasanya kalau anak-anak yang merasa orang tuanya bisa menerima kemarahannya, bisa memhami kemarahannya dan ini memang perlu latihan, anak perlu diajar untuk: "Memang kamu marah tidak apa-apa, tetapi kamu marah kepada siapa? Karena apa?" ini memang perlu dilatih kepada anak.
Kadang-kadang latihan ini tidak terjadi karena begitu anak marah, orang tua sudah ikut tegang atau pusing juga, anak marah orang tua ikut marah jadi saling marah berdua, mana lebih kuat akhirnya anak akan semakin marah karena merasa tidak dipahami. Sebaliknya ketika anak merasa papa atau mama atau orang tua atau orang-orang yang lebih dewasa mengerti kemarahannya, menerima kemarahannya, mereka biasanya akan lebih komunikatif, lebih-lebih kalau kemampuan tersebut sudah dilatih.
GS : Biasanya kemarahan itu akan menjadi-jadi kalau ditanggapi, lalu kemarahannya tambah berkobar-kobar tapi kalau didiamkan seolah-olah merasa tidak ditanggapi, tidak mendapat respon, kemudian kemarahan si anak itu reda sendiri.
ET : Ya memang ini tergantung dengan usia juga, kalau anak sudah lebih bisa diajak komunikasi, mungkin kalau memang dia sedang marah-marah, sekali dibiarkan dia akan menenangkan diri dulu suaya orang tua bisa tenang, anak juga bisa tenang, orang tua bisa berpikir juga langkah apa yang bisa diambil.
Dan ketika dia bisa lebih tenang, mungkin sudah bisa diajak komunikasi, apa yang menyebabkan dia marah.
GS : Apakah tanda-tanda kemarahan itu bisa dilihat sejak awal, misalnya pulang dari sekolah wajahnya merengut atau apa, lapar, kadang-kadang membuat dia cepat marah juga, apakah kita bisa kenali hal itu ?
ET : Anak-anak biasanya lumayan ekspresif, apalagi kalau anak-anak yang biasanya ceria suatu saat pulang dengan murung, ditanya tidak mau menjawab ataupun pulang bawaannya dibanting-banting,biasanya sudah bisa kita deteksi ada sesuatu yang terjadi pada anak.
Nah justru ketika kita sebagai orang tua sudah melihat hal ini, orang tua bisa membantu. Kadang-kadang tidak setiap anak bisa dengan spontan bercerita, aku marah atau apa yang dia rasakan. Tapi misalnya kalau memang orang tua bisa menanyakan: sepertinya sedang tidak enak, bertanya dengan cara yang memang memberikan kenyamanan, itu akan membuat anak lebih bisa mengaku, lebih bisa menceritakan, dari pada anak pulang dengan marah-marah terus orang tuanya juga "Kenapa pulang-pulang seperti itu !" Langsung disemprot wah bisa bertambah marah lagi.
GS : Mungkin pola kemarahan kita sebagai orang tua perlu dijaga Bu Esther, khususnya kalau kita marah ada anak-anak di depan kita. Kita menjadi tontonan mereka, kita mesti hati-hati rupanya.
ET : Karena mereka belajar dari apa yang mereka lihat juga. Sebenarnya bukan berarti sebaiknya anak tidak pernah melihat orang tua bertengkar, tidak juga, atau tidak pernah melihat orang tuaya marah itu juga tidak ada contohnya.
Tapi yang perlu adalah mereka melihat bagaimana orang tua mengekspresikan kemarahannya. Bukan berarti ada banyak orang tua yang merasa tidak boleh, kita tidak boleh marah, tidak boleh menunjukkan kejengkelan padahal anak ya tidak belajar. Dan sebaiknya memang anak perlu dibantu untuk bisa mengungkapkan kemarahannya dan kenapa dia marah. Itu bisa dipelajari dari orang tuanya misalnya ibu marah karena kamu pulang terlambat, tidak minta izin, jadi anak juga bisa belajar seperti itu.
PG : Bu Esther, apakah bijaksana bagi orang tua memperlihatkan rapuhnya dia waktu si anak marah, misalnya waktu si anak marah dia ikut menangis, dia memelas pada si anak untuk jangan marah, apakah tindakan itu baik?
ET : Rasanya kalau memang itu menjadi satu cara yang dipakai orang tua supaya anak reda marahnya tidak baik ya. Karena sebaliknya itu orang tua yang memanipulasi anak kalau tadi anak yang meanipulasi orang tua untuk mendapatkan keinginannya; ini orang tua yang sepertinya memanipulasi anak untuk mendapatkan kepentingannya, dalam arti orang tua merasa tidak nyaman dengan kemarahan anak.
Jadi seperti itu tapi kalau misalnya peristiwanya adalah peristiwa yang sangat besar dalam arti memang sungguh-sungguh menyakitkan misalnya anak mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan orang tua mungkin memang tidak apa-apa dalam situasi tertentu orang tua memperlihatkan bahwa orang tua sakit atau sedih. Mungkin dalam situasi-situasi tertentu tapi bukan menjadi pola.
PG : Jadi kita tetap harus mempertahankan wibawa sebagai orang tua, jangan sampai kita ini tunduk pada kemarahan anak. Sebab itu adalah awal dari berkuasanya anak atas orang tua.
ET : Jadi posisinya terbalik, saya setuju karena ada beberapa anak yang akhirnya justru tidak menunjukkan rasa hormat ketika orang tua merasa ini adalah cara pendekatan yang sepertinya mau mngajak anak memikirkan perasaan papa, mama tapi kalau itu terjadi terus-menerus akhirnya anak tidak hormat lagi kepada orang tuanya.
GS : Tapi walaupun anak-anak itu mudah marah, rupanya marahnya lebih cepat reda juga dibandingkan kita yang dewasa. Mengapa seperti itu? Kadang-kadang marah dengan temannya sampai ramai, tetapi mereka cepat bermain lagi. Nah kita sulit untuk seperti itu.
ET : Kalau saya melihat mungkin lebih kepada unsur asam garam ya, maksudnya anak-anak yang seperti itu adalah anak-anak yang memang di rumahnya juga cukup nyaman. Jadi untuk memaafkan juga lbih mudah, sementara kalau kita sudah terlalu banyak pengalaman-pengalaman tidak enak.
Dibohongi, disakiti sehingga lebih susah untuk mengampuni.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan ini yang tentunya suatu pembicaraan yang cukup penting bagi kita yang sudah dewasa, apa firman Tuhan yang bisa kita temukan?
PG : Saya membacakan dari Amsal 14:29 "Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan." Saya kira sekali lagi yang ditekankan Ibu Esther disini adalah bahwa tidak apa-apa marah, yang harus kita ajarkan kepada anak adalah bukan tidak boleh marah, tapi cara marah yang tepat.
Nah ini yang orang tua harus selalu tekankan, orang tua tidak melarang anak marah, orang tua melarang anak marah-marah dengan cara yang tidak sehat misalnya membanting barang atau apa. Tapi marah dalam pengertian menaikkan suara, menunjukkan sikap marah dan misalnya sedikit melawan orang tua itu adalah hal yang memang ekspresi normal dari kemarahan. Nah jadi kita bisa tekankan pada anak, marah tidak apa-apa asal jangan melewati batas, dalam pengertian membuat keributan dan sebagainya. Dan yang kedua adalah kita perlu setelah itu berbicara pada anak, kenapa dia marah dan apakah ada cara lain yang bisa dia gunakan selain tadi menunjukkan kemarahannya. Dengan cara itu anak diajarkan untuk belajar bersabar, nah anak yang diajarkan belajar bersabar, Firman Tuhan berkata akan memperlebar pengertiannya atau hikmatnya atau kebijaksanaannya. Dengan perkataan lain, orang tua yang tidak memberikan waktu mengajar anak untuk bersabar sama juga menyempitkan ruangan untuk dia menjadi bijaksana.
GS : Terima kasih Pak Paul, saudara-saudara pendengar demikian tadi Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Ibu Esther Tjahja, S.Psi. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang membantu anak mengelola kemarahannya. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami ucapkan terima kasih dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.