Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Sebuah paket perbincangan tentang masalah-masalah keluarga yang dikemas oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen, saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK kali ini telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang masalah bagaimana kita sebagai orang tua itu menumbuhkan rasa hormat anak terhadap orang tuanya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul ada banyak keluhan orang tua pada saat ini yang merasa bahwa anaknya itu kok tidak hormat kepada orang tuanya, mungkin kami orang tua itu merasa bahwa kami dulu dengan orang tua hormat sekali Pak Paul juga terhadap guru, terhadap ayah dan ibu. Anak-anak sekarang ini tidak terlalu seperti kami-kami dulu, apakah keluhan itu memang umum Pak Paul?
PG : Saya kira demikian Pak Gunawan karena kita ini memang memasuki abad yang baru dengan pola pikir dan nilai hidup yang juga bergeser dari yang sebelumnya. Sebelumnya kita hidup dalam zama feodal, baik di negara kita maupun di negara-negara lain.
Dan kita tahu bahwa dalam masa itu seseorang mendapatkan pengakuan, penghormatan dan sebagainya bukan berdasarkan hasil karyanya tapi atas dasar siapa orang tuanya, jadi raja itu dipilih bukan karena dia adalah orang yang bijaksana yang bisa mengatur negara tapi raja itu dipilih karena dia adalah anak dari ayahnya yang adalah penguasa sebelumnya. Nah itu adalah sistem kehidupan pada zaman dulu dan memang terus berdampak hingga mungkin 30-40 tahun yang lalu, tapi setelah itu kita memang memasuki iklim yang baru yaitu iklim demokrasi. Nah iklim ini mewabah dan benar-benar telah mempengaruhi dunia secara keseluruhan sehingga akibatnya kita tidak mudah untuk menghormati seseorang berdasarkan statusnya atau siapa orang tuanya atau karena memang saya seharusnya menghormati dia. Kita cenderung sekarang memberikan penghormatan atas dasar karya atau hasil atau perbuatan. Jadi orang yang kita anggap layak menerima penghormatan adalah orang yang telah menghasilkan sesuatu, telah berbuat sesuatu yang memang sepatutnyalah menerima penghormatan. Kira-kira itulah yang melatarbelakangi Pak Gunawan kenapa ada pergeseran sehingga kalau orang berkata, dulu anak-anak itu jauh lebih hormat kepada guru, kepada orang tua tepat sekali memang demikian. Dan sekarang memang anak-anak tidak terlalu hormat ya memang begitu, sebab penekanannya adalah pada perbuatan bukan pada siapa orang itu.
(2) IR : Nah bagaimana sikap orang tua untuk menumbuhkan respek anak terhadap orang tua, mungkin ada contoh-contoh konkret dari Pak Paul?
PG : Pertama-tama anak-anak kita haruslah anak yang mengenal Tuhan dan takut akan Tuhan, karena menghormati orang tua sebetulnya bukanlah pilihan, bukanlah o.....saya kalau mau menghormati sya menghormati, kalau saya tidak mau ya saya tidak usah menghormati, tidak.
Menghormati orang tua adalah satu dari 10 hukum Tuhan hormatilah ayahmu dan ibumu dan Tuhan juga memberikan janjinya di situ, sebab anak-anak yang menghormati orang tua akan diberikan umur yang panjang. Jadi Tuhan memang sangat memperhatikan aspek penghormatan terhadap orang tua, saya kira alasannya sangat jelas sekali. Anak yang tidak bisa menghormati orang tua sebetulnya akan sulit sekali menghormati Tuhan, jadi anak pertama-tama sebelum bisa menghormati orang lain harus menghormati orang tuanya terlebih dahulu. Sebab orang tualah orang pertama yang dilihatnya, orang tualah orang pertama yang juga merawatnya, orang tualah orang pertama memberikan kebaikan kepadanya. Jadi orang tua adalah orang pertama yang diminta Tuhan untuk dihormati oleh anak-anaknya. Jadi anak-anak kita memang mesti kenal Tuhan dan takut akan Tuhan sehingga terdorong untuk menaati perintah Tuhan, itu yang pertama. Nah secara praktisnya apa yang harus dilakukan oleh orang tua sehingga anak-anak kita itu bisa hormat kepada kita. Secara prinsip orang tua haruslah menjadi orang tua yang konsisten, orang tua yang sama dalam dan luar, orang tua yang tidak berpura-pura. Sebab anak itu adalah orang dalam, anak itu adalah orang yang mengerti sisi lain dari orang tua yang tidak dilihat oleh orang lain di luar, dengan kata lain anak adalah orang yang paling peka dengan kepura-puraan. Nah kalau kita di luar berbuat A di rumah berbuat B yang tahu anak, bukannya orang luar. Nah jadi tatkala anak menyaksikan ketidakkonsistenan, reaksi yang biasanya dirasakan atau ditunjukkannya adalah kemarahan kepada si orang tua. Dan kemarahan yang sebetulnya berakhir pada tidak lagi hormat kepada orang tua, tidak respek karena engkau menampilkan sisi yang sama sekali berbeda dengan keadaan engkau yang sebenarnya di rumah, kira-kira itulah yang akan dilihat oleh anak-anak kita. Jadi kesamaan itu penting sekali, kekonsistenan itu sangat penting sekali.
GS : Mungkin anak menjadi jengkel dengan penampilan kita yang berbeda tadi, dan dari kejengkelan itu lalu tumbuh ketidakhormatan atau tidak respek pada orang tua jadi kalau kita mau anak kita menghormati kita, Pak Paul tadi menyarankan supaya perkataan dan perbuatan kita itu sama. Masalahnya juga adalah pengertian anak terhadap hormat, dia merasa saya itu sudah menghormati orang tua saya, saya sudah hormat pada ayah ibu tapi tuntutannya ini yang melebihi dari apa yang mereka bisa lakukan itu Pak Paul, jadi dia merasa tuntutan kita sudah berlebihan, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Di sini memang diperlukan suatu sinkronisasi ya, penyesuaian sehingga adanya kesamaan definisi, karena adakalanya orang tua menganggap tindakan tertentu tidak hormat, anak menganggap it hormat.
Contoh yang paling klasik adalah anak misalnya tidak senang karena ditegur, kemudian dia mengurung diri di kamar, nah apa yang harus kita lakukan atau apa yang seharusnya menjadi reaksi kita. Apakah tindakan anak ini tidak hormat kepada kita ataukah hormat tapi dia sedang membutuhkan waktu untuk marah, untuk ngambek begitu misalnya. Nah saya kira orang tua juga perlu belajar menerima perspektif yang berbeda bahwa tindakan seperti ini belum tentu menunjukkan ketidakhormatan. Saya cenderung mendefinisikan tidak hormat dengan kata melawan atau membangkang, nah ini saya meminjam dari konsepnya Dr. James Dobson dari Fokus on the Family di Amerika Serikat. Dr. Dobson pernah berkata bahwa kita hanya perlu menghukum anak kalau anak itu membangkang, kalau anak itu berbuat kesalahan sesuai dengan usianya tidak perlu kita hukum sebab anak itu akan berbuat kesalahan. Nah tapi kalau anak membangkang, kita sudah beritahu tapi dia terus membangkang berarti memang anak itu melawan dan sewaktu dia melawan atau membangkang yang terhilang adalah rasa hormat pada diri kita. Nah itu yang perlu kita sambuti atau berikan sanksi kepadanya, jadi saya mendifinisikan tidak hormat secara lebih sempit Pak Gunawan yaitu membangkang dengan sengaja melawan otoritas kita. Nah itu adalah memang tidak hormat, kalau dia hanya ngambek dia marah dan sebagainya saya kira itu belum tentu tidak hormat atau ada anak waktu kita tegur dia juga emosi, dia juga marah berteriak dan sebagainya belum tentu anak itu menunjukkan ketidakhormatannya kepada kita, mungkin saja itu adalah ekspresi ketidaksenangannya yang berlebihan itu saja.
GS : Dan sekaligus kejujuran anak itu Pak ya, jadi kalau tidak puas dia mengekspresikan dalam bentuk seperti itu. Tetapi ada juga kalau diamati rasa hormat atau respek yang semu Pak Paul, yang kelihatannya menghormati orang tuanya pada hal di belakangnya dia tidak mempunyai rasa hormat sama sekali dengan orang tuanya, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Itu dua kemungkinan Pak Gunawan, yang pertama adalah anak memanipulasi orang tuanya guna mendapatkan keinginannya dia tahu dengan dia bertindak seperti yang diinginkan orang tua dia aka aman dan dia akan mendapatkan yang dia butuhkan.
Atau yang kedua dia takut, jadi bukan lagi hormat tetapi takut dia tahu kalau dia melakukan A atau B orang tuanya akan marah dan menghukum dia dengan berat, nah daripada dia mengalami hukuman tersebut ya dia ikuti saja aturan mainnya tapi di luar dia sama sekali tidak mengindahkan.
GS : Ya tapi itu biasanya memang orang tua tidak menyadari hal itu Pak Paul karena pandainya si anak itu bersandiwara dan bagaimana kita mencegah hal itu terjadi dalam diri kita. Kalau saya misalnya anak saya itu hormatnya semu dan saya tidak merasa bahwa itu suatu rasa hormat yang semu yang ditujukan kepada saya, saya mengambil bagian dalam kesalahan ini.
PG : Betul Pak Gunawan, jadi kita sebagai orang tua memang perlu meneropong diri, mengintrospeksi apakah ada hal-hal yang telah kita lakukan yang akhirnya menghilangkan rasa hormat anak terhdap kita.
Contoh yang klasik, misalkan waktu kita bertengkar dengan pasangan kita baik istri maupun suami kita, misalkan kita mengeluarkan kata-kata yang kasar atau membuat pasangan kita itu nangis dan sebagainya. Nah waktu anak menyaksikan ini anak bisa sekali marah namun tidak berdaya untuk mengungkapkan perasaannya itu. Dalam kemarahan melihat misalkan si ayah melecehkan si mama, si anak akan kehilangan respek, akan sulit sekali menghargai si papa seperti dulunya. Nah meskipun tidak dia ungkapkan tapi perasaan tersebut mulailah terakumulasi, tertimbun dalam hatinya dia mulai sulit untuk bisa dekat dengan si papa atau misalkan kebalikannya si mama kalau marah beremosi tinggi, main seenaknya saja pukul, maki semua orang di rumah nah tidak bisa tidak si anak akan juga kesulitan untuk bisa akhirnya menghormati si mama. Jadi tindakan seperti itu juga menjadi bahan yang akan mengurangi rasa respek anak terhadap orang tuanya.
GS : Ya ada juga orang tua yang merasa kalau dia itu bersenda gurau dengan anak-anak mereka itu membuat anak menjadi tidak respek terhadap orang tuanya, pendapat seperti itu betul atau tidak Pak Paul?
PG : Saya kira bergantung pada senda guraunya seperti apa ya, misalkan teman anak-anak kita datang, terus kita bersenda gurau seperti misalkan contohnya anak kita ini pria, kita ini pria jua, anak-anak wanita datang berkunjung ke rumah kita.
Kemudian kita bercanda dengan teman-teman wanita anak-anak kita, bercandanya seperti kita itu anak remaja juga malahan mulai memegang-megang bahu si anak wanita tersebut, nah anak kita mungkin sekali tidak suka dengan tindakan ayahnya seperti itu. Nah akibatnya dia akan tidak respek pada kita, jadi senda gurau yang melewati batas memang itu bisa membuat anak kehilangan respek pada oran tuanya. Senda gurau yang misalnya melecehkan si anak, misalkan anak itu agak pendek ya, pendek kontet, pendek katek misalnya seperti itu terus sampai anak itu marah tapi si ayah atau si ibu terus meledek seperti itu. Nah si anak akan kehilangan respek, namun senda gurau yang sehat yang alamiah bercanda dan sebagainya saya kira itu hal yang justru menyuburkan hubungan antara orang tua dan anak, dan orang tua tidak perlu takut kehilangan respek.
IR : Mungkin atau tidak Pak Paul kalau si anak terlalu didisiplinkan oleh orang tua, sedang anak sekarang juga menuntut kebebasan, respek terhadap orang tuanya berkurang?
PG : Hukuman yang berlebihan atau disiplin yang tidak kena sasaran, semena-mena itu berpotensi besar menghilangkan respek anak terhadap kita. Sebab tatkala anak menyaksikan orang tua semena-ena terhadapnya, memukul terlalu keras, memaki terlalu kasar dan misalkan kalau marah tidak bisa berhenti pada satu topik terus melebar ke mana-mana misalnya, nah itu berpotensi besar untuk menghilangkan respek anak terhadap orang tua.
Jadi pada intinya kalau boleh saya simpulkan apa itu yang dituntut oleh anak atau diharapkan oleh anak sehingga anak bisa menghormati orang tua adalah kita menjadi orang yang benar. Saya ingat satu firman Tuhan yang diambil dari
Mazmur 92:13-16, "Orang benar akan bertunas seperti pohon kurma, akan tumbuh subur seperti pohon ara di Libanon. Mereka yang ditanam di bait Tuhan akan bertunas di pelataran Allah kita, pada masa tuapun mereka masih berbuah menjadi gemuk dan segar untuk memberitakan bahwa Tuhan itu benar bahwa Dia gunung batuku dan tidak ada kecurangan padaNya." Jadi intinya adalah orang yang benar itu akan bertunas seperti pohon kurma dan akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon. Orang tua seharusnyalah menjadi orang yang benar, orang yang benar bukan orang yang sempurna tapi orang yang terus berusaha untuk hidup benar, waktu dia salah, dia berbuat kekeliruan seyogyanya dia minta maaf kepada anak. Waktu dia tahu dia terlalu cepat emosi seyogyanyalah dia belajar untuk mengekang emosi. Misalkan kita emosi marah kepada anak, kita tahu kita salah kita minta maaf kepada anak. Namun minggu depan kita berbuat hal yang sama, dan kalau itu berlangsung berkali-kali si anak tidak akan menghargai permintaan maaf kita, sebab bagi dia percuma engkau minta maaf hari ini, minggu depan engkau mau marah engkau akan marah lagi semaumu. Dan anak akan merasa terhina pada akhirnya, siapa memangnya saya ini bisa diperlakukan seenaknya, engkau lagi merasa salah engkau bisa minta maaf, engkau lagi mau marah engkau akan bisa benar-benar menghina saya seperti itu. Nah hal seperti itu memang harus menjadi pergumulan orang tua, orang tua dituntut Tuhan untuk bertumbuh, sama seperti anak juga dituntut Tuhan untuk bertumbuh. Nah orang tuanya dituntut untuk bertumbuh menjadi orang yang benar begitu.
IR : Mungkin juga kasih dan kesabaran ya Pak Paul, kelemahlembutan itu mungkin juga membuat anak itu respek ya terhadap orangtua?
PG : Betul, betul, saya kira perkataan-perkataan yang menghina atau yang kasar itu akan benar-benar memicu kemarahan anak dan akhirnya menghilangkan respek anak terhadap kita.
IR : Kalau pengaruh dari luar Pak Paul, dari teman-teman luar apa itu juga bisa membuat anak itu kadang-kadang melawan pada orang tua?
PG : Bisa misalkan dia mulai melihat bahwa teman-temannya itu mudah keluar rumah, sedangkan anak kita susah keluar rumah harus minta izin. Waktu kita larang mungkin sekali dia marah, karena embandingkan diri dengan teman-temannya dan dia akan menilai kita yang kolot, yang terlalu mudah khawatir dan sebagainya.
Nah bisa sekali itu memang mempengaruhi anak, tapi bagi kita yang penting adalah rumah tangga kita mempunyai aturannya juga misalkan kita sudah mempunyai aturan, pada hari sekolah anak-anak tidak boleh keluar, hanya boleh keluar untuk kegiatan yang bersifat sangat penting sekali. Misalnya ada persekutuan doa hari Rabu dia mau ikut ya silakan selain itu tidak ada acara ke mall atau main bolling atau apa tidak ada dia harus belajar di rumah. Nah dia harus patuhi hal itu tapi kita juga fleksibel atau luwes hari Sabtu dan hari Minggu misalnya kita izinkan dia keluar. Nah hal seperti itu ya tetap kita pegang jangan kita korbankan gara-gara kita ingin disukai oleh anak, sebab ini adalah bahaya yang satunya. Ada orang tua yang sangat takut sekali dimarahi atau tidak disukai oleh anak sehingga berupaya keras supaya disukai oleh anak, nah ini juga bisa menjerumuskan orang tua pada masalah yang sama beratnya.
GS : Memang sebagai orang tua kita yang berusaha untuk menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak kita antara lain bagaimana anak itu belajar menghormati orang tuanya. Nah apakah kecenderungan saat ini di mana ada banyak orang tua yang betul-betul sudah tua, sudah lanjut usia ditinggalkan oleh anak-anaknya itu merupakan satu bentuk tidak respeknya anak terhadap orang tua Pak Paul?
PG : Bisa jadi, tapi yang lebih pasti menurut perkiraan saya adalah, ini bukti bergesernya nilai hidup manusia. Yakni manusia makin hari makin menghargai yang kita sebut produktifitas sehinga nilai hidup kita makin hari menjadi makin prakmatis.
Yaitu selama berfungsi, selama itu pulalah dia berharga, tidak berfungsi tidak berharga lagi, nah saya khawatir nilai hidup ini makin hari makin merebah ke mana-mana karena apa, karena sering kali nilai hidup seperti ini dikaitkan dengan era modernisasi. Karena masa modern itu sebetulnya didahului oleh yang kita sebut masa industrialisasi. Nah masa industrialisasi adalah masa produktifitas di mana penekanannya benar-benar pada produksi, menghasilkan. Tatkala manusia juga mulai memegang atau mengadopsi nilai hidup seperti itu, saya kira yang tadi Pak Gunawan sebut akan terjadi. Yaitu orang tua akan seolah-olah disingkirkan dari kehidupan karena apa, karena tidak lagi menghasilkan apa-apa.
GS : Bahkan mungkin dirasakan sebagai penghambat produktifitas Pak Paul?
PG : Bisa jadi ini adalah bahaya yang kita mesti memang camkan baik-baik, karena Tuhan benar-benar menekankan hal itu, bahwa hormatilah ayahmu dan ibumu. Jadi menghormati itu berarti juga meelihara mereka, mengasihi mereka, dan tidak mencampakkan mereka tatkala mereka seolah-olah tidak lagi berfungsi untuk kita.
GS : Tapi juga ada firman Tuhan yang mengingatkan khususnya kepada bapak-bapak untuk tidak menyakiti hati anak-anaknya. Jadi saya rasa itu suatu hubungan timbal balik yang Tuhan berikan kepada kita supaya terbentuk suatu keluarga yang harmonis.
PG : Betul, karena kalau tidak si ayah bisa menjadi batu sandungan bagi si anak dengan cara menyakiti anaknya itu.
GS : Jadi demikianlah tadi para pendengar sekalian yang kami kasihi, kami telah persembahkan sebuah perbincangan seputar kehidupan keluarga khususnya tentang bagaimana membangun rasa hormat atau respek anak terhadap orang tuanya. Perbincangan kami tadi bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.