T 214 A
Lengkap
"Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan" oleh Pdt.Dr. Paul Gunadi
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, memang sebagai suami-istri sebaiknya saling mempercayai; suami mempercayai istri dan sebaliknya. Tetapi ternyata itu tidak mudah dilakukan, ada orang yang berkata, 'saya tidak percaya dengan istri saya karena istri saya tidak bisa dipercaya.' Atau justru sebaliknya keluhan istri yang mengatakan 'suami saya tidak bisa dipercaya.' Ini sebenarnya bagaimana?
PG : Percaya memang tidak bisa diberikan secara gratis, percaya itu muncul sebagai akibat. Yaitu akibat perbuatan yang kita terima dari pihak yang lain. Kalau kita melihat dan menerima perlakan perbuatan-perbuatan yang baik dan layak dipercaya, otomatis percaya itu akan muncul juga.
Saya kira kita penting untuk pertama memahami bahwa kita tidak serta merta mendapatkan kepercayaan, kita harus mendapatkannya dengan membuktikan diri bahwa kita layak dipercaya.
GS : Itu sebabnya kadang-kadang ada orang yang lebih percaya kepada orang lain daripada kepada pasangannya?
PG : Betul sekali, biasanya kalau itu terjadi berarti ada hal-hal yang memang sudah terjadi dalam hidup mereka sebelumnya.
GS : Bagaimana supaya pasangan kita itu percaya kepada kita, karena tentu tidak enak sebagai pasangan kita tidak dipercaya?
PG : Pertama kita mau melihat, saya mengkategorikan 3 jenis orang yang telah menikah. Ada orang yang menikah itu membawa kepercayaan yang sedikit sekali. Kenapa sedikit, karena memang pernikaan mereka penuh dengan gelombang, awal-awal berpacaran penuh konflik; mungkin itu yang akhirnya menghilangkan kepercayaan.
Tapi dengan kepercayaan yang masih tersisa mereka menikah. Terus membuktikan diri bahwa mereka layak dipercaya, akhirnya kepercayaan itu bertambah, bertambah dan bertambah. Ini hal yang positif. Kebalikannya yang terjadi yaitu ada orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya yang tinggi, karena memang masa berpacaran dibuktikan dengan kepercayaan yang baik. Setelah itu mereka mengalami banyak masalah, ada hal-hal yang dilakukan oleh seseorang yang tidak lagi layak dipuji, tidak lagi positif, sehingga si pasangan tidak bisa percaya kepada dia, karena itu hilanglah kepercayaan. Itu berarti masalah. Dan yang ketiga, ada orang-orang yang memasuki pernikahan justru dengan rasa berjaga-jaga, dua-dua mempunyai rasa berjaga-jaga yaitu tidak mau memberikan kepercayaan. Mungkin dua-dua dari latar belakang yang kurang positif, sehingga dua-dua takut mempercayakan diri kepada orang, mereka takut kalau mereka mempercayakan diri maka nanti akan dikecewakan. Jadi ada orang yang masuk ke dalam pernikahan sudah membawa ketidakpercayaan, ini juga tidak sehat. Jadi hal-hal inilah yang kita mau lihat dalam pernikahan, mudah-mudahan kita tidak masuk dalam kategori yang ketiga atau yang kedua. Kalau kita masuk dalam kategori yang kedua dan ketiga, ini yang kita lakukan, kita akan coba untuk membereskannya.
GS : Kalau kita pada awalnya tidak percaya kepada pasangan, itu sering kali juga karena pengenalan kita yang terbatas pada saat kita berpacaran. Mungkin waktunya kurang atau juga ada orang yang mengabaikan hal ini; dipikir nanti setelah menikah saya bisa percaya dengan dia.
PG : Dan ternyata hal-hal itu tidak bisa hilang begitu saja, kita perlu fokuskan untuk bisa bereskan. Ada dua hal yang ingin saya angkat, yang pertama adalah kepercayaan itu sebetulnya dibangu di atas kompetensi dan karakter, dua hal yang perlu kita camkan.
Apa yang saya maksud dengan kompetensi; kompetensi adalah kemampuan atau kesanggupan. Jadi kalau kita menikah dengan seseorang yang memiliki banyak ketidakbisaan, akan sukar bagi kita untuk membangun rasa percaya. Kita minta dia membantu ini, mengurus itu, tapi tidak bisa, semuanya berantakan. Tidak bisa tidak hal ini akan mengganggu. Biasanya kalau relasi dibangun di atas kebergantungan ini akan menjadi buahnya. Apa yang saya maksud dengan kebergantungan, ada orang yang menikah dengan orang yang tidak memiliki kepercayaan diri dan banyak tidak bisanya, akhirnya dia bersandar pada kita untuk melakukan hal itu baginya. Dalam suasana kebergantungan itu sudah tentu kita jadinya terpaksa melakukan banyak hal bagi pasangan kita. Namun pada akhirnya adalah kita memang tidak memiliki kepercayaan terhadap kompetensinya, terhadap kebisaannya. Sudah tentu itu nantinya berpengaruh, kalau ada apa-apa kita cenderung mengambil alih karena kita tidak percaya bahwa dia bisa melakukannya. Dan daripada kita percayakan kemudian dia melakukannya dan tidak beres, berantakan dan tambah kacau lagi, ya sudah kita ambil alih. Sehingga pada akhirnya relasi nikah kita menjadi relasi tidak seimbang, di mana kita cenderung harus mengurus lebih banyak, bertanggung jawab banyak hal, supaya keluarga tetap bisa berjalan dengan baik.
GS : Sering kali dalam kaitan kompetensi, orang berdalih bahwa, "bukan saya tidak bisa melakukan itu tetapi saya percaya kepada kamu, kamu saja yang selesaikan." Itu bagaimana Pak Paul?
PG : Kalau itu didasari ketulusan memang tidak bisa, tidak apa-apa kita menolongnya namun kalau orang itu mengelak untuk melakukannya, saya kira kita mesti ngomong apa adanya kepada dia dan berata, "Saya rasa kamu bisa kok, coba kamu lakukan sebisa kamu.
Kalau nanti dalam perjalanannya kamu mengalami kesulitan, silakan cari saya sebab saya akan membantu." Tapi sekali lagi penting bagi suami-istri itu untuk masing-masing mengerjakan bagiannya, kalau masing-masing tidak mengerjakan bagiannya, yang satu sudah mengangkat tangan dan berkata, "Kamu saja, kamu saja," kalau kita tahan dan kita tidak berkeberatan ya tidak apa-apa. Tapi lama-lama saya kira ada orang yang tidak tahan dan merasa kok saya semua yang memikul beban ini. Namun dampak yang lebih serius adalah yang berkaitan dengan kepercayaan, kepercayaan kita memang tidak begitu tinggi kepadanya, sebab kita khawatir kalau kita percayakan hal-hal penting ini nanti tidak beres.
GS : Dalam hal itu orang tidak meragukan kemampuan dari pasangannya itu, apakah itu bersangkut paut langsung dengan menaruh percaya itu tadi?
PG : Ya, kita memang cenderung percaya kepada orang yang mampu, kita kurang percaya kepada orang yang kita anggap kurang mampu. Sudah tentu kita harus introspeksi diri, apakah kita terlalu idelis.
Ada orang yang mempunyai standar terlalu tinggi, semua harus dikerjakan sebaik dia mengerjakannya. Itu juga tidak bisa, jadi kesiapan atau kesediaan untuk memeriksa diri sendiri. Kalau kita tahu kita memang terlalu idealis, harapannya terlalu tinggi, kita harus turunkan dan sesuaikan. Sehingga pasangan kita bisa mencapai yang kita harapkan itu, jadi saya kira penting untuk kita menurunkan standar. Sudah tentu yang lebih penting kita lakukan adalah membangun pasangan kita supaya bisa mengembangkan kompetensi ini. Bagaimana caranya? Saya anjurkan yang pertama adalah kita sering-seringlah memuji pasangan, makin sering memuji, orang akan makin termotivasi untuk mencoba. Sebaliknya makin mengkritik, mencela, makin kecil semangatnya untuk mencoba karena takut nanti belum apa-apa sudah dimarahi, dicela sehingga akhirnya dia menyerah sebelum dia memulainya. Jadi kita mesti memberikan pujian-pujian, dorongan-dorongan kepada pasangan kita. Waktu kita bisa melakukan sesuatu, pujilah; waktu dia melakukan hal-hal yang sekecil apa pun sorotilah dan katakan, "Bagus, kamu bisa mengerjakan itu." Pujian-pujian itu akan membangkitkan semangatnya. Di pihak yang memang merasa dirinya kurang, saya minta jangan ragu untuk mohon pertolongan. Kadang-kadang ini masalahnya, kita tidak mau mengaku bahwa kita tidak bisa, kita memerintah pasangan untuk melakukan ini dan itu tapi kita tidak mau mengakui bahwa sebetulnya kita tidak bisa. Saya kira pasangan akan lebih bersedia menolong kita kalau kita rendah hati dan berkata, "Saya butuh bantuanmu, bisa tidak kamu menolong saya." Sehingga walaupun pasangan tahu kita kurang bisa, kompetensi kita kurang, tapi kita rendah hati mau meminta bantuannya, ini akan bisa menyelesaikan banyak masalah. Masalah sering muncul karena pihak yang membutuhkan tidak mau mengakui bahwa dia tidak bisa tapi malah menyalahkan pasangannya. "Kamu kok kurang memperhatikan, kamu kok tidak mau ini, tidak mau itu." Nah yang disalahkan tambah defensif, tambah tidak mau membantu akhirnya relasi makin merenggang.
GS : Itu tentu hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga mereka Pak Paul, jadi kompetensi di sini adalah apa yang bisa dilakukan untuk rumah tangganya, jadi tidak terkait dengan prestasi dia di kantor, di masyarakat dan sebagainya?
PG : Betul, ini semua berkaitan dengan hal-hal atau tugas-tugas yang dilakukan oleh suami-istri atau ayah dan ibu. Misalkan contoh yang konkrit adalah kita mengharapkan istri kita menjadi mamabagi anak-anak, artinya bisa mendengarkan anak, bisa mengayomi, mengasuh, memberikan petunjuk pada anak, menyayangi, anak lagi sakit dirawat.
Nah itu bagian dari membangun kepercayaan, kalau si suami melihat, "Istri saya kok bisa mengayomi, memperhatikan si anak, merawatnya waktu sakit, si anak ada masalah juga bisa diberikan nasihat dengan baik." Nah itu bisa membangun rasa percaya, kebalikannya juga sama waktu si istri melihat suami bisa mengurus anak-anak waktu dia tidak ada, waktu dia butuh bisa meminta bantuan dan suaminya melakukannya. Itu yang membangkitkan rasa percaya di dalam rumah tangga.
GS : Bahwa istri bisa melakukan fungsinya dengan baik dan suami pun demikian pula. Faktor yang lain untuk membangun kepercayaan selain kompetensi apa Pak Paul?
PG : Karakter. Karakter berarti sesuatu yang sangat pribadi, suatu kualitas dalam diri seseorang. Kita susah mempercayai orang yang kita anggap berkarakter buruk. Misalnya kalau kita sudah branggapan, bahwa pasangan kita itu tidak tulus atau pembohong.
Itu akan langsung mengurangi nilai kepercayaan, kita tidak bisa lagi percaya kepadanya. Jadi karakter ini sangat-sangat penting sekali. Saya berikan contoh, kalau pasangan kita terus berkata saya mengasihimu tapi dia jarang memberikan waktu untuk kita, kalau kita meminta waktu dia tidak berikan, namun kalau temannya mau mengajak dia pergi, dia selalu ada waktu untuk teman-temannya. Kita lama-lama akan berkata, "Dia orangnya tidak begitu baik, kalau sama istri sendiri tidak bisa berikan waktu tapi untuk teman-temannya bisa berikan waktu." Begitu kita mempertanyakan karakternya, kita tidak bisa mempercayainya.
GS : Ini lebih sulit dari kompetensi Pak Paul, kalau kompetensi, orang masih bisa belajar asal mau belajar sedangkan karakter ini terbawa sejak masa mudanya bahkan ketika masih anak-anak. Bukankah mengubah karakter ini akan lebih sulit?
PG : Sulit sekali, dan apalagi pada akhirnya kita menyimpulkan karakter seseorang berdasarkan pengamatan kita. Misalkan, setiap kali kita meminta bantuannya dia tidak menolong kita, tapi kalauorang lain dia mau menolongnya.
Tapi ini terjadi bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Mungkin dia berkata saya lupa dan sebagainya, namun kalau ini terjadi berulang kali, tidak bisa tidak kita mulai menarik kesimpulan. Ini titik yang berbahaya, begitu kita menarik kesimpulan berarti kita sudah mulai melabelkannya, mencapnya bahwa dia bukan orang yang baik. Sebab kalau dia orang yang baik, dia akan memberikan waktu yang cukup untuk saya, memberikan pertolongannya waktu saya memintanya, tapi dia tidak melakukannya dia hanya melakukannya untuk orang lain supaya dilihat baik. Pengamatan demi pengamatan melahirkan kesimpulan, kalau kita sudah sampai pada kesimpulan kita susah sekali mengubahnya. Kita akhirnya berkata, "Dia memang seperti ini, karakternya seperti ini." Nah untuk kita mengubah kembali kesimpulan, itu yang susah. Karena kesimpulan biasanya didasari atas beberapa pengalaman.
GS : Memang ada orang yang terlalu gampang untuk menjadi tidak percaya terhadap pasangannya. Ini sebaliknya, jadi bukan karakter pada pasangannya tapi karakter pada orang ini sendiri yang bermasalah, Pak Paul?
PG : Ini masuk dalam kategori yang tadi kita sudah bicarakan, yaitu ada orang yang memasuki pernikahan dengan rasa percaya yang minim karena menganggap bahwa dia hidup di dalam dunia yang penuhdengan ancaman, penuh dengan ketidakbaikan, keburukan, jadi dia harus selalu berjaga-jaga.
Kenapa sampai ada orang yang mempunyai pemikiran seperti itu? Misalnya, dia memang dibesarkan di rumah di mana orangtua terlalu sering konflik, tidak ada relasi yang baik antara orangtua dan anak-anak setiap hari disuguhi ketegangan demi ketegangan. Tidak bisa tidak si anak ini akan melihat dunianya yaitu rumah tangganya saat itu sebagai dunia yang tidak aman, dunia yang setiap waktu bisa meledak. Sehingga dia selalu berjaga-jaga, tidak bisa merasa tenteram dengan mudah, atau dia melihat langsung peristiwa di mana, misalkan orangtuanya menjadi korban perbuatan orang yang merugikannya. Misalkan, karena ditipu mereka harus pindah rumah, jual harta sehingga harus hidup susah. Nah kalau ini terjadi bisa akhirnya menanamkan benih ketidakpercayaan pada diri si anak. "Hati-hati dengan orang itu, dia jahat, orang itu mau mengambil kesempatan, mau memanfaatkan kita." Apalagi kalau orangtuanya terus-menerus mengingat dan membangkit-bangkitkan masalah itu. "Kalian jangan sampai ditipu lagi, belajar dari kami; kami dulu terlalu percaya sama orang, lihat hasilnya akhirnya kami kehilangan semuanya, harta habis semuanya. Jangan kamu seperti itu lagi." Kita akhirnya disuguhi dengan nasihat-nasihat seperti itu, akhirnya setelah kita besar kita memang benar-benar mengembangkan sikap manusia itu jahat dan akan mengambil kesempatan, jadi kita harus berjaga-jaga." Dalam kasus yang lain lagi yang khusus adalah kita menjadi korban akibat perbuatan salah satu orangtua kita. Misalnya ibu kita jatuh dalam dosa, mengkhianati ayah, berhubungan dengan pria lain. Apa yang akan menjadi akibatnya? Kita kehilangan kepercayaan, kalau ibu bisa berkhianat-orang lain pun bisa berkhianat. Kita akhirnya berketetapan hati tidak mau lagi percaya pada orang. Hal-hal seperti inilah yang berpotensi untuk membuat kita menjadi orang yang tidak mudah percaya.
GS : Kalau ada orang yang tidak bisa dipercaya karena sesuatu hal atau dalam suatu bidang, misalkan janji-janjinya tidak bisa tepat; apakah kemudian orang mengambil kesimpulan sendiri bahwa dalam semua hal dia tidak bisa dipercaya?
PG : Seharusnya memang tidak begitu, tapi kita harus menyadari bahwa kita manusia yang merindukan ketenteraman dan keamanan, kita tidak mau dirugikan. Jadi kita cenderung kalau kita sudah pernh dilukai atau diciderai, kita akan cenderung berhati-hati.
Nah itulah sebabnya waktu kita menjadi korban janjinya yang tidak ditepati berkali-kali, kita tidak mau lagi diperlakukan seperti itu dan dikecewakan. Jadi kita mengembangkan sebuah opini, sebuah kesimpulan bahwa orang ini memang tidak bisa dipercaya. Jadi memang opini atau kesimpulan itu kita bentuk untuk melindungi diri supaya jangan sampai kita dikecewakan lagi misalnya untuk ketiga kalinya. Itu sebabnya kita mesti berjaga, mesti berhati-hati dengan apa yang telah kita janjikan. Karena ini akan langsung mencederai kepercayaan. Kita tidak boleh beranggapan bahwa orang akan selalu memahami kita dan tidak akan mengembangkan rasa curiga atau tidak percaya kepada kita. Kalau kita berbuat seperti itu, orang nantinya tidak akan percaya lagi kepada kita dan kita harus menuai hasil dari perbuatan kita.
GS : Apakah mungkin seseorang yang tidak mempercayai kita di dalam satu bidang itu lalu selalu mengungkit-ungkit, "Kamu tidak bisa dipercaya," dan orang itu makin tidak dipercaya. Dia makin menunjukkan perbuatannya yang memang dia tidak bisa dipercaya, itu sulitnya Pak Paul?
PG : Saya memahami kenapa orang akhirnya kehilangan kepercayaan. Tapi memang seyogianyalah kita tidak sampai membabi buta, menyamaratakan semua hal. Sebab ada orang-orang dalam soal ketepatanwaktu, itu lemah.
Jadi kalau janji jam 02.00, munculnya jam 02.30. Namun dalam hal lainnya misalkan, "Saya akan tolong kamu ya." Dia benar-benar menolong, jadi kalau dia berkata saya mau bantu, dia akan bantu. Nah kita seharusnya mesti spesifik melihat kekurangan orang. Orang yang memang rasa percayanya sudah tipis, begitu melihat orang ini gagal memenuhi janjinya; langsung dicoret dari daftar kepercayaannya. Dalam segala hal orang ini tidak akan lagi dipercaya. Ini masalahnya terletak pada diri kita, bukan pada diri orang yang tidak bisa memenuhi kepercayaannya. Jadi kita mesti periksa diri kita sendiri. Karena ada di antara kita orang-orang yang sudah begitu dipenuhi dengan rasa curiga; dengan kepercayaan yang tipis seperti itu susah untuk kita mempercayai orang.
GS : Di sisi yang lain, dipercayai pasangan itu merupakan suatu tanggung jawab atau beban tersendiri bagi pasangan yang satunya. Apakah memang begitu Pak Paul?
PG : Dipercaya sudah tentu mempunyai harganya. Kita harus membuktikan diri bahwa kita layak dipercaya. Dengan cara apakah kita membuktikan diri, yaitu dengan melakukannya, mengerjakannya. Ap yang akan kita sodorkan sebagai harga? Integritas, kalau tidak mempunyai integritas, kepercayaan itu akan hilang.
Jadi berintegritaslah bahwa kita itu layak dipercaya; yang kita ucapkan itulah yang kita lakukan. Kalau kita berkata 'tidak', ya benar-benar 'tidak', konsisten. Jadi itulah kuncinya untuk mendapatkan kepercayaan kembali.
GS : Ada pasangan yang selalu menunjukkan berapa besarnya uang yang dia bawa, atau kalau dia pergi dia menjelaskan sedetail-detailnya. Seolah-olah dia khawatir pasangannya itu tidak percaya kepada dia, padahal sebenarnya tidak apa-apa hanya dia sendiri yang merasa daripada saya tidak dipercaya lebih baik ditunjukkan terlebih dahulu.
PG : Kalau memang masalah kepercayaan sudah seburuk itu, sebaiknya kita berinisiatif membuktikan diri seperti itu, jangan sampai memberikan kesempatan kepada pasangan kita mengembangkan kecurigan.
Itu tanggung jawab kita jadi perjelaslah apa yang akan kita lakukan, apa yang sudah kita lakukan, sehingga kita tidak memberi kesempatan kepada pasangan mencurigai kita.
GS : Tapi dilain pihak pasangan juga merasa tidak enak, "Sudahlah saya percaya sama kamu." Tapi mungkin karena pernah bersalah.
PG : Betul, kadang-kadang ada orang yang karena pernah bersalah dan tidak mau lagi dituduh yang sama jadi terus-menerus membuktikan dirinya.
GS : Tapi ada juga pasangan yang selalu curiga, jadi sementara pasangannya baru datang dari luar kota, diperiksa semua isi tasnya, isi kantongnya dan sebagainya. Nah ini membuat orang merasa tidak dipercayai.
PG : Dan tidak sehat sekali, karena pada akhirnya tindakan seperti itu menciptakan pikiran ketidakpercayaan dan mendorong pasangan akhirnya untuk bersembunyi dan mulai berbohong. Sebab dia bernggapan, kalau saya cerita dia akan marah meskipun kita tidak melakukan yang salah.
Tapi karena pasangannya mempunyai tuntutan yang begitu tinggi, harus begini dan harus begitu maka mulailah dia menyembunyikan perbuatannya. Ini tidak sehat, karena dari mulai menyembunyikan maka mulailah dia berbohong; dia mulai berbohong berarti dia akan makin tergoda melakukan hal-hal yang salah.
GS : Pak Paul, apakah dalam hal ini Pak Paul mau menyampaikan firman Tuhan?
PG : Galatia 5:22-23, menjabarkan buah Roh Kudus yang seyogianya ada dalam diri setiap orang kristen. Yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahembutan, penguasaan diri.
Rasa percaya bertumbuh, tatkala kita melihat suami sebagai suami yang penuh kasih dan sabar. Kita melihat istri sebagai istri yang penuh sukacita dan penguasaan diri. Jadi kembangkanlah buah Roh Kudus, ikutilah firman Tuhan, jadilah orang yang sabar, jadilah orang yang murah hati, jadilah orang yang menguasai diri. Untuk kita menjadi orang yang seperti itu, karakter kita menjadi karakter yang indah dan terpuji, pasangan pun akan lebih mempercayai kita. Sehingga masalah bisa selesai. Ingat, pernikahan dibangun di atas kepercayaan dan pernikahan dihancurkan dengan ketidakpercayaan. Jadi bangunlah kepercayaan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Membangun Kepercayaan Dalam Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.