Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Memanfaatkan Teknologi Informasi dalam Membesarkan Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada beberapa waktu yang lalu kita sudah membicarakan tentang pengaruh teknologi informasi ini pada relasi pernikahan. Di dalam hal ini, pernikahan bukan hanya antara hubungan suami-isteri tetapi juga menyangkut anak. Seberapa besar pengaruh atau manfaat teknologi informasi ini bisa dimanfaatkan untuk membesarkan anak ?
PG : Pada masa lampau bila kita ingin menonton film layar lebar, kita pergi ke bioskop ya, Pak Gunawan. Jika kita ingin mendengar siaran berita maka kita menyalakan televisi. Dan mana kala kita ingin menghubungi seseorang dengan segera kita memutar nomor telepon. Tiga benda dan 3 tempat yang berlainan untuk 3 keperluan berbeda. Sekarang semua itu dapat kita lakukan pada dan melalui 1 obyek yang sama, yang dapat kita bawa kemana-mana. Maka lewat 1 benda itu kita bisa melakukan lebih banyak hal lagi dan benda itu adalah smartphone. Selain smartphone masih tersedia alat lain yang dapat digunakan baik untuk keperluan komunikasi, sosialisasi, hiburan ataupun informasi. Kita akan membahas sekarang ini beberapa pedoman yang berkenaan dengan penggunaan alat teknologi informasi ini dalam membesarkan anak.
GS : Iya. Kalau menyinggung smartphone ini memang anak-anak sejak sedini mungkin sudah diajar atau belajar untuk menggunakan smartphone, Pak Paul. Ini ada pengaruhnya terhadap pola kita membesarkan anak nanti.
PG : Nah, nanti kita akan melihat bahwa tidak semua tentang smartphone ini negatif. Tidak. Ada hal-hal yang nanti kita bisa manfaatkan untuk membesarkan anak kita. Maka pedoman pertama yang ingin saya bagikan kepada kita semua adalah tidak semua penemuan baru itu buruk atau merusak. Ratusan tahun lalu opera dianggap sesuatu yang buruk. Orang yang baik tidak seharusnya pergi menonton opera. Sampai beberapa puluh tahun yang lalu pergi ke bioskop dinilai buruk. Itu sebab ada orang yang tidak pergi dan melarang anaknya untuk pergi ke bioskop. Sekarang orang yang pergi menonton opera dianggap berselera seni tinggi dan menonton film di bioskop sebagai hiburan belaka. Tidak semua penemuan baru itu buruk atau merusak. Jadi jangan tergesa-gesa melarang anak menggunakan barang-barang elektronik itu. Kita mesti memilih dan menilainya satu per satu. Terpenting adalah kita sebagai orangtua tahu apa yang ditonton atau apa yang dilakukan anak dengan benda-benda canggih di tangannya itu.
GS : Iya. Kita sebagai orangtua, saya rasa, bukan hanya saja perlu sekadar tahu apa yang ditonton oleh anak-anak kita dan dilakukan oleh anak-anak kita, Pak Paul, tetapi kita terpanggil untuk memberikan teladan kepada mereka tentang bagaimana menggunakan smartphone ini. Karena mereka butuh teladan. Kalau misalnya kita sendiri sebagai orangtua begitu meluangkan banyak waktu untuk menggunakan smartphone maka anak-anak kita juga pasti akan bertindak seperti itu.
PG : Betul sekali. Tidak bisa tidak kita sebagai orangtua mesti menjadi teladan buat anak-anak karena anak-anak belajar dari kita. Dan kalau kita sendiri tidak melakukan apa yang kita katakan, maka anak-anak tidak akan mendengarkan apa yang kita katakan. Kita boleh melarang anak menggunakan smartphone tapi kalau anak-anak melihat kita terus menghadap smartphone dan menggunakannya maka anak-anak akan berkata bahwa papa atau mama tidak konsisten. Jadi betul, Pak Gunawan, kita sebagai orangtua harus memberikan contoh yang baik terlebih dahulu.
GS : Iya. Dan juga menghindarkan anak-anak ini ‘alergi’ terhadap smartphone, seolah-olah karena smartphone lalu semuanya menjadi buruk atau menjadi rusak. Tidak selamanya seperti itu, seperti yang Pak Paul katakan bahwa tidak semua penemuan baru itu buruk atau merusak. Jadi ini pun harus diajarkan. Jadi mereka tidak merasa ketakutan menggunakan smartphone kalau ada cara dengan bijak bagaimana menggunakan smartphone ini. Yang penting mereka bijak menggunakan smartphone ini.
PG : Betul, Pak Gunawan. Nah, saya akan membahas sekarang pedoman yang kedua yaitu silakan gunakan alat-alat canggih itu untuk meringankan tugas, baik kita sebagai orangtua ataupun anak itu sendiri. Saya menyadari bahwa tugas menjaga anak itu meletihkan. Kadang kita perlu beristirahat atau mengalihkan perhatian anak supaya tidak terus merengek. Dalam masa seperti itu, betapa bermanfaatnya alat-alat canggih itu. Bila di rumah kita bisa menggunakan televisi atau komputer untuk memutarkan film kartun kesukaannya atau jika kita berada di luar rumah kita bisa menggunakan smartphone agar anak-anak bisa menonton. Tatkala anak sudah mulai besar, kita pun dapat mengajarkan anak untuk membuka peti harta karun pengetahuan melalui komputer atau smartphone. Ada begitu banyak program anak yang bersifat mendidik dan menebarkan nilai-nilai yang luhur. Jadi carikanlah dan putarkan anak hal-hal yang baik itu untuk dipelajari.
GS : Memang untuk mencari dan memutarkan program-program tertentu buat anak, ini mau tidak mau orangtua juga harus bisa menggunakan fitur-fitur yang ada di dalam smartphone ini. Kalau tidak, bagaimana kita bisa mencari jika kita sendiri tidak tahu cara untuk menggunakannya. Jadi hal ini saya rasa perlu untuk dipelajari oleh orangtua.
PG : Betul.
GS : Mengenai tugas, sekarang ini banyak sekolah yang melibatkan anak, melakukan tugas sekolahnya dengan menggunakan smartphone, misalnya untuk mencari data-data tertentu. Guru hanya menugaskan untuk mencoba mencari materi-materi pelajaran di internet. Nah, ini orangtua perlu tahu juga. Kalau anak tidak bisa mencari sendiri tentu harus dibantu oleh orangtua.
PG : Jadi betul sekali. Kalau kita memang mau menolong anak, kita juga harus menguasai penggunaannya sehingga kita bisa mengajarkan kepada anak bagaimana membuka peti harta karun itu dan menggali banyak sekali pengetahuan lewat komputer atau smartphone.
GS : Yang penting memberikan bimbingan kepada mereka bagaimana mereka harus cerdas menggunakan alat ini supaya jangan diperalat oleh alat yang namanya smartphone ini.
PG : Betul, Pak Gunawan.
GS : Hal yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Jangan sama ratakan anak. Sebaliknya perlakukan anak sebagai individu yang unik. Ada orangtua yang tidak memunyai televisi di rumah. Bukan karena orangtua melarang anak menonton televisi melainkan karena sejak kecil anak-anaknya senang membaca buku. Nah, sudah tentu ketika kita mendengar ini senang sekali, begitu baik anak-anak ini tidak mau menonton televisi namun membaca buku. Kita tidak harus mengikuti itu, sebab ada pula orangtua yang menyediakan televisi atau smartphone kepada anak karena mereka menyukainya. Jadi poin saya adalah, jangan meniru orangtua lain sebab apa yang dilakukan di keluarga lain belum tentu cocok diterapkan di dalam keluarga kita sendiri. Jangan kita menjadi berkata, "Lihat si itu. Tidak ada televisi sama sekali. Tidak ada smartphone sama sekali. Kamu juga harus begitu!" Tentu tidak harus sama, karena memang setiap keluarga lain-lain. Juga jangan samaratakan anak dengan diri kita. Jangan sampai karena kita tidak suka menonton televisi maka kita melarang anak menonton televisi. Atau karena kita tidak suka bersosialisasi maka kita melarang anak untuk memanfaatkan jaringan sosial. Sudah tentu adalah baik bila kita menjelaskan alasan mengapa kita misalnya tidak memunyai akun di Facebook atau yang lainnya. Penjelasan ini memberikan kepada anak pilihan atau pertimbangan lain sehingga dia tidak meniru temannya mengikuti tren. Sebab kadang-kadang anak-anak mengikuti tren saja. Teman-teman berbuat apa atau pakai apa maka dia juga harus mau. Nah, dengan kita memberikan penjelasan bahwa kami, saya, atau suami istri saya tidak mau menggunakan ini atau itu karena kami punya alasan kami. Nah, anak perlu mendengar alasan-alasan itu. Tapi kita tidak harus memaksakan karena anak memang tidak mesti sama seperti kita. Yang penting adalah dia memunyai pertimbangan lain, sehingga tidak hanya ikut arus dari teman-temannya.
GS : Iya. Kadang-kadang agak sulit itu menghadapi anak-anak seperti kakak beradik. Dimana si kakak senang sekali menggunakan smartphone. Jadi hal ini diperhatikan terus oleh si adik. Tapi adiknya lebih senang bermain dengan mainan yang tradisional, Pak Paul. Tapi lama-kelamaan si adik terpengaruh sehingga si adik ingin juga seperti kakaknya. Ini sebagai orangtua harus bagaiamna, Pak Paul?
PG : Nah, sudah tentu kalau memang si adik mau belajar juga maka kita ijinkan. Tapi memang kalau bisa pada masa anak kecil kita membagi anak-anak itu tidak hanya menggunakan smartphone atau menonton televisi tapi juga kita sediakan mainan lainnya seperti Lego untuk membangun rumah, atau nanti juga mengajaknya ke pelataran di luar rumah untuk main-main di lapangan. Jadi sedapat-dapatnya memang kita membagi ruang main anak. Jangan sampai anak itu hanya tahu satu benda kecil itu, perangkat-perangkat elektronik. Jadi ada baiknya memang juga menyediakan tempat main. Ada banyak mainan-mainan yang dengannya mereka bisa dan di luar rumah juga ada sehingga mereka bisa membagi waktu juga dengan yang di luar.
GS : Iya. Tapi bagaimana dengan sikap kita terhadap kakaknya ini tadi, Pak Paul, yang walaupun tidak berlebihan tetapi sering menggunakan smartphone di depan adik-adiknya?
PG : Nah, kita memang bisa berkata kepada si kakak bahwa kita tidak mau dia terlalu lama memakai itu jadi kita membatasi pemakaiannya.Sehingga lewat itu si kakak tahu menggunakan waktu untuk bermain smartphone tapi juga tahu bahwa ada batasannya.
GS : Iya. Karena kadang-kadang yang namanya anak ini juga ingin pamer bahwa dia punya hal-hal yang menarik untuk dilihat. Ini dipamerkan kepada adiknya sehingga adiknya pun tergoda untuk mulai menggunakan smartphone. Tadinya tidak. Tadinya hanya senang dengan mobil-mobilan atau Lego. Tapi karena pengaruh dari kakaknya, sekarang mulai sering menggunakan smartphone.
PG : Tentu anak akan meniru dan itu tidak bisa dihindari, Pak Gunawan. Kami seminggu sekali menjaga cucu. Saat di rumah ketika bertemu cucu, cucu kami akan langsung mencari-cari telepon dan merogoh telepon lalu menaruh di telinganya walaupun umur setahun. Jadi anak-anak itu selalu melihat dan mencontoh.
GS : Hal yang lain apa, Pak Paul?
PG : Pedoman yang keempat ialah kita harus memastikan kesiapan anak. Kita tidak melarang anak untuk naik kendaraan bermotor jika dia sudah akil balig dan dapat memanfaatkan kegunaan kendaraan bermotor dengan baik. Namun seyogyanya kita melarang anak untuk naik kendaraan bermotor jika usia terlalu muda atau ia belum dapat mengendarainya secara bijak misalnya dia gemar mengebut. Begitu pula dengan alat-alat teknologi informasi yang canggih ini. Kita mesti menilik kesiapan anak untuk menggunakannya secara bijak. Jadi jangan belikan anak smartphone terbaru hanya karena teman-temannya sudah punya. Sedangkan dia sendiri tidak tahu bagaimana memanfaatkan fasilitas yang ditawarkan oleh benda yang canggih itu. Ini penting sekali karena anak-anak akan ikut teman-temannya dan teman-temannya nanti juga akan pamer. Jadi penting untuk kita bisa mendisiplin anak sehingga anak tidak ikut-ikutan akan apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Dan kita pun juga memastikan anak-anak itu tahu dan memaksimalkan fitur-fitur yang ada dalam smartphone. Jangan pokoknya karena teman-temannya beli yang baru, dia juga harus beli yang baru. Dan satu lagi yang berkaitan dengan kesiapan anak, jagalah agar anak tidak dimanfaatkan oleh orang yang dijumpainya di dunia maya. Kita tahu ada orang yang bertopeng sebagai teman kemudian meminta uang padahal dia bukan teman itu. Atau ada orang yang meminta teman untuk membuka baju atau melakukan aksi seksual sementara dia merekamnya. Hal seperti itu perlu kita sampaikan kepada anak agar dia tidak terjerumus ke dalam perangkap orang jahat.
GS : Iya. Bagaimana kita bisa tahu bahwa anak itu sebenarnya sudah siap atau belum siap untuk menggunakan smartphone ?
PG : Misalnya anak itu dengan mudah mau minta membeli yang baru lagi karena teman-temannya juga beli yang baru dan kita tahu dia belum bisa memakainya dengan benar dan optimal. Nah, itu berarti memang dia belum siap. Jadi kita mau dia untuk lebih fokus kepada apa yang dia punya untuk memaksimalkan pemakaiannya. Dan hal yang lain juga yang kita bisa tahu kalau dia belum siap adalah kalau dia gemar sekali memamerkan barang-barang itu kepada orang lain atau teman-temannya. Semakin sering dia memamerkan semakin kita tahu kalau dia belum siap. Dan yang terpenting lain adalah dia tidak mudah percaya. Kalau anak kita terlalu mudah percaya akan apa yang dibaca maka itu bahaya sekali karena memang banyak orang-orang jahat. Jadi kita mesti menjaga jangan sampai anak kita menjadi korban orang-orang jahat ini.
GS : Di samping itu kita perlu melihat apakah anak ini punya daya antisipasi jika ada orang lain yang mau merugikan dia dan jangan sampai dia merugikan orang lain. Karena misalnya dia menyebarkan berita bohong atau menyiarkan hal-hal yang tidak sebenarnya seperti itu. Jadi kematangan emosinya yang lebih banyak perlu dilihat dan dipantau dalam diri si anak.
PG : Betul sekali. Kita juga bisa menilainya dari kemampuannya untuk menimbang dan memutuskan apakah ini layak disampaikan kepada orang lain atau ini tinggal dihapus saja. Bertanya berita seperti ini untuk apa. Nah, itu memang hanya bisa diketahui lewat percakapan dengan dia. Semakin dia bercerita tadi ada ini tapi saya lakukan ini, maka kita tahu anak kita sudah siap atau tidak.
GS : Ada orangtua yang memang mendidik anaknya dengan mengatakan bahwa sekarang ada Undang-undang ITE jadi jangan sembarangan posting berita. Sehingga anak ini seringkali tanya kepada orangtuanya, "Ini boleh di-posting? Ini boleh tidak diteruskan ke temanku?" Hal ini membina relasi yang cukup baik.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi memang dengan adanya kesempatan untuk bisa memberi masukan kepada anak maka anak juga akhirnya semakin bijaksana dalam menghadapi apa yang muncul di smartphone-nya itu.
GS : Iya. Pedoman yang lainnya apa, Pak Paul?
PG : Pedoman yang kelima adalah batasi akses anak sehingga dia tidak semaunya menonton atau bermain games atau bergaul lewat media sosial. Bila anak tidak dapat mengerem diri maka kita perlu membatasinya. Tugas kita adalah mengendalikannya sehingga dia tidak keranjingan dan melalaikan tugasnya. Jadi misalnya sebelum kita memutarkan film, sebaiknya beritahukan lamanya waktu yang disediakan. Sekitar 5 atau 10 menit sebelum waktu berakhir kita ingatkan anak sehingga dia tahu televisi atau smartphoneakan dimatikan. Juga ada satu masukan yang saya mau bagikan adalah biasakan dia sendiri yang mematikannya supaya dia belajar untuk bertanggungjawab, mematikannya. Jadi kita berkata "Tolong matikan."Ini berbeda dengan kita sendiri yang matikan. Kalau kita terus saja yang mematikan maka dia akan bersikap pasif dan terus menggunakan kesempatan untuk nonton sepuas-puasnya samapi kita matikan. Tapi kalau kita berkata "Sekarang kamu matikan." Ini berarti dia yang mematikan sendiri, dia memikul tanggung jawabnya sendiri.
GS : Memang sekarang ada aplikasi-aplikasi tertentu yang bisa menolong berapa lama smartphone ini bisa berfungsi atau melihat suatu program tertentu begitu. Setelah jam tertentu dia akan mati sendiri. Tetapi mungkin yang lebih baik yang aktif ialah anak itu sendiri yang mematikan untuk kesadarannya terhadap diri sendiri.
PG : Betul. Jadi dia itu tidak hanya menjadi orang yang hanya memberikan reaksi secara pasif tetapi dia sendiri secara aktif mematikannya, sebab dia tahu waktunya sudah habis dan dia harus matikan.
GS : Iya. Mungkin masih ada lainnya, Pak Paul?
PG : Yang keenam adalah sejak anak kecil duduklah bersama anak sewaktu dia tengah menonton atau memakai perangkat canggih itu. Berdialoglah dengannya pada saat menonton program kesukaannya. Berilah komentar dan bertanyalah kepadanya tentang apa yang sedang ditontonnya. Sudah tentu kita tidak mesti untuk bersamanya di sepanjang program.Singkat kata, gunakan kesempatan itu untuk bercengkerama dan menikmati kebersamaan dengannya. Anak-anak rata-rata sewaktu menonton akan senang bercerita. Kita yang sudah tua kalau menonton lalu ditanya-tanya kita akan menjadi tidak senang. Tapi anak kecil biasanya senang. Jadi kita bisa tanya "Oh ini kenapa? Kenapa dia menangis?Apa yang terjadi?" Biasanya anak-anak akan mau bercerita. Dengan dia cerita kita bisa menanggapi dan terjadilah sebuah dialog sehingga kita bisa menggunakan media itu untuk justru membuat akrab dengan anak.
GS : Tapi tidak semua seperti itu, Pak Paul. Ada anak-anak yang justru sewaktu menonton sesuatu tidak mau diintervensi atau diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan. Kita bisa diusir oleh mereka. Mereka ingin melihat sampai tuntas dan baru akan bercerita. Dia mau konsentrasi melihat itu sehingga dia tidak mau ditanya-tanya. Kalau dia yang menawarkan, maka kita bisa masuk ke dalam percakapan. Bagaimana dengan hal ini?
PG : Oke. Kalau memang anak seperti itu tidak apa-apa. Jadi kita selesaikan saja program atau film itu sampai selesai kemudian baru kita tanya dan ajak bicara. Jadi kita gunakan media itu untuk membuat kita akrab.
GS : Tapi dari sini kita perlu melihat juga apa yang anak lihat, sehingga kita tahu jalan cerita dan ketika dia menanyakan sesuatu atau menyampaikan sesuatu maka kita bisa menanggapi dan bisa terjadi dialog.
PG : Betul.
GS : Tapi memang ini butuh waktu dan kreatifitas juga pengorbanan orangtua. Kalau tidak, memang sulit. Kalau kita tidak menyediakan waktu khusus untuk berbincang dengan mereka maka tentu tidak akan ada dialog.
PG : Betul. Ini tidak idealis, saya mengerti. Ada kalanya orangtua memang sengaja meminta anak nonton karena dia mesti melakukan hal-hal yang lain. Saya mengerti hal ini juga.Jadi tidak selalu orangtua itu duduk di sebelah anak.Tapi sedapat-dapatnya gunakanlah kesempatan itu justru untuk bercengkerama dengan anak.
GS : Iya. Apakah masih ada pedoman yang lain?
PG : Yang ketujuh dan terakhir adalah ajarkan anak untuk menghargai barang bukan melayani barang. Apapun yang digunakannya, mintalah agar dia menyimpan dan merawatnya baik-baik. Jangan biarkan dia membuangnya begitu saja walau waktu dia sudah mulai bosan. Kita ingin dia belajar dan menghargai barang kepunyaannya. Namun kita pun tidak ingin dia melayani barang, dalam pengertian terikat dengan smartphone sehingga kemanapun dia pergi harus membawanya bahkan ketika makan. Nah, singkat kata, didiklah anak untuk tidak memerlakukan benda sebagai harta karunnya.
GS : Iya. Memang kalau anak sudah mulai bosan dengan smartphone-nya biasanya bukan dibuang atau diapakan tetapi minta baru kepada orangtua. Minta yang baru seperti milik temannya dan fitur-fiturnya ditambah lagi. Ini memang orangtua harus berdisiplin untuk menyesuaikan anggaran dan kemampuan beli. Jika tidak maka anak terlalu gampang untuk meminta sering ganti.
PG : Betul. Kita tentu tidak mau anak kita memang tertinggal jauh dari teman-temannya karena dia mungkin bisa minder dan malu. Tapi kita juga tidak mau anak kita menjadi orang pertama yang mendapatkan semua yang baru-baru ini.Tidak mau. Kita mau dia memang bisa menyeimbangkan kedua ini.
GS : Dan minimal mereka itu minta sistem smartphone di-upgrade supaya fitur bisa bertambah atau memori bertambah sehingga memuaskan keinginannya. Akhirnya mereka minta baru saja karena smartphone lama bisa sering mati atau terlalu lama proses sistemnya.
PG : Iya.
GS : Nah Pak Paul, sehubungan dengan apa yang kita perbincangkan apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin disampaikan?
PG : Sebagai penutup saya ingin membagikan Amsal 13:24 kepada kita semua, "Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya." Dalam hal mendidik anak Tuhan tidak memberikan kepada kita 2 pilihan; boleh mendidik dan boleh tidak. Tidak. Tuhan hanya memberikan 1 pilihan yaitu kita harus mendidik. Di era teknologi yang begitu berkembang ini, kita perlu mendidik anak agar dia dapat memakai barang-barang yang canggih ini secara bijak. Dan sudah tentu sama dengan pengajaran yang lain, kita harus memulai dengan diri sendiri. Kita harus bijak memakai barang-barang elektronik ini sehingga pada akhirnya barang ini melayani bukan dilayani.
GS : Iya. Ini sesuatu hal yang penting sekali saya rasa. Dan ini kiranya bisa menjadi pedoman bagi orangtua dan kita semua di dalam memanfaatkan alat-alat canggih ini. Terima kasih, Pak Paul, untuk perbincangan kali ini.Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memanfaatkan Teknologi Informasi dalam Membesarkan Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.