oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi.
Kata kunci: Dunia karier sangat kompetitif; melihat kemampuan anak secara jelas dan menerimanya apa adanya; mengisi dengan interaksi santai; memberi yang terbaik bukan menjadi yang terbaik; utamakan usaha bukan nilai yang dihasilkan.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Memacu Bukan Memacul Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, salah satu tugas orangtua adalah memersiapkan anak untuk masa depannya. Ini tentunya bagi pasangan-pasangan yang baru menikah menjadi suatu persoalan sendiri, Pak Paul, karena banyak harapan yang terlalu tinggi, biasanya yang dibebankan kepada anaknya ini. Bagaimana seharusnya orangtua itu bisa menyeimbangkan antara harapan-harapan dan kenyataan yang dihadapinya sehari-hari?
PG : Memang tidak bisa disangkal, Pak Gunawan, harapan-harapan itu sedikit banyak berdasar pada kenyataan hidup. Memang sekarang kita sering mendengar kata-kata ‘tuntutan zaman’. Memang banyak hal yang mesti kita persiapkan untuk memenuhi tuntutan zaman, kalau kita tidak bersedia beradaptasi akhirnya kita seperti gerbong yang terlepas dari kereta; kita akan tertinggal. Nah, salah satu tuntutan zaman adalah tuntutan akademik. Kita atau Saudara-Saudara yang mendengarkan yang memunyai anak usia sekolah mungkin setuju dengan pengamatan saya bahwa sekolah di zaman sekarang jauh lebih berat daripada zaman kita dulu. Tugas menjadi begitu banyak sehingga tidak jarang anak harus lembur sampai pagi. Belum lagi materi pelajaran yang makin hari makin tinggi makin susah, dan makin mendekati jenjang SMA makin berat tuntutannya sebab pada akhirnya nilai ujian akhir menentukan dimana anak itu akan berkuliah kelak. Nah, jadi saya mengerti sebagai orangtua seringkali kita merasa terjepit, Pak Gunawan. Di pihak yang satu kita kasihan melihat anak kita menderita namun di pihak lain kita juga memaklumi bahwa inilah kenyataan hidup. Jika anak tidak bekerja keras sekarang dia akan menuai kesulitan untuk masuk ke dunia karier yang sekarang ini telah menjadi begitu kompetitif. Jadi walau hati tidak tega tetap terpaksalah orangtua mengeraskan hati untuk memacu anak dan saat ini kita akan membahas beberapa masukan untuk orangtua supaya tidak sampai melakukan kesalahan sewaktu memacu anak, yaitu "Bukan Memacu Malah Memacul (Mencangkul) Anak".
GS : Memang sehubungan dengan sekolah itu, Pak Paul, kita lihat kurikulum itu mudah berubah-ubah. Seolah-olah memang tidak ada suatu konsep yang jelas untuk pendidikan anak-anak dan ini selamanya yang akan menjadi korban ialah anak-anak kita. Ini bagaimana, Pak Paul, itu di luar kemampuan kita sebagai orangtua?
PG : Maka kita memang tidak bisa tidak, harus menerima itulah kenyataannya. Kita tahu memang anak kita tidak bisa atau tidak mampu untuk bersekolah di sekolah tersebut maka lebih baik jangan. Lebih baik anak kita itu kita tempatkan di sekolah yang lain yang tidak setenar atau yang tidak sebagus sekolah itu, tapi tidak apa-apa. Asal dia bisa bersekolah dengan baik. Jadi memang disini penting sekali peranan orangtua untuk melindungi anak. Jangan sampai tuntutan akademik itu membuat anak tertekan. Dan apalagi kalau kita di rumah, karena kita juga mau anak kita bisa sukses, akhirnya juga menekan anak, memacu anak dengan "harus, harus, harus". Nah, akhirnya seperti tadi Pak Gunawan mengatakan, anak yang menjadi korban; di sekolah menjadi korban karena tidak bisa mengikuti pelajaran, dia tertekan. Di rumah menjadi korban karena juga ditekan-tekan. Jadi kasihan si anak memang.
GS : Kalau tadi Pak Paul bandingkan dengan jaman dulu waktu kita sekolah, memang waktu kita sekolah ‘kan mata pelajaran itu tidak sebanyak sekarang dan tugas-tugas ini tidak sebanyak sekarang.
PG : Betul, betul. Sekarang memang sudah sangat berbeda, Pak Gunawan. Jadi sangat-sangat umum anak-anak itu belajar sampai tengah malam.
GS : Dan apakah prestasi akademik ini akan menentukan keberhasilan seseorang di masa depannya, Pak Paul ?
PG : Memang kalau ditanya begitu jawabannya adalah tidak, Pak Gunawan. Karena ada banyak hal yang akan terlibat di dalam penentuan apakah seseorang itu akan menuai sukses atau tidak. Misalnya, satu hal yang penting juga adalah kemampuan bergaul, bersosialisasi. Seorang anak yang pandai tapi tidak bisa bergaul dengan orang akhirnya susah untuk bisa bekerjasama dengan orang. Jadi ada banyak faktor lain. Tapi tidak bisa disangkal juga bahwa anak yang memang cerdas, anak yang juga prestasinya bagus apalagi lulus dari sekolah yang bagus, lebih besar kemungkinannya untuk diterima bekerja di perusahaan yang juga bagus. Ini kenyataan hidup.
GS : Iya. Tetapi juga ada anak yang nantinya itu akan menjadi wirausahawan, jadi berusaha sendiri tanpa harus bekerja dengan orang lain dan dia cukup sukses, Pak Paul.
PG : Betul, betul. Karena itu kalau anak itu mau berwirausaha, maka ceritanya lain. Tentu tidak apa-apa. Sekolah yang biasa pun tidak apa-apa, yang penting ada kejelian melihat peluang, bisa mengatur keuangan dengan baik, bisa menjual dengan tepat ini menjadi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan.
GS : Jadi bagaimana Pak Paul yang harus dilakukan orangtua supaya mereka bukan hanya memacu tapi jangan sampai ‘memacul’ itu tadi; jangan sampai mencangkul anak itu, merugikan anak itu. Nah, apa yang harus kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Pertama, kita sebagai orangtua mesti melihat kemampuan anak secara jelas dan menerima dirinya apa adanya. Sebetulnya sejak kecil kita mulai dapat melihat kemampuan dan minat anak, misalkan ada anak yang sejak kecil sudah menunjukkan minat terhadap musik. Begitu mendengar suara musik, alat musik ataupun nyanyian dia akan mendengarkan dan tidak jarang akan mendekati sumber musik itu. Seiring dengan perkembangan usianya dia mulai menabuh-nabuhkan alat musik. Ada anak yang sejak kecil sudah memerlihatkan minat terhadap benda seperti mobil-mobilan atau robot. Dan semua mainan yang kita belikan dia akan terus kembali ke mobil atau robot, dia akan bisa bermain dengan benda kesayangannya selama berjam-jam tanpa jenuh. Ada pula anak yang sejak kecil menunjukkan minat yang tinggi terhadap menggambar. Dia dapat duduk berjam-jam menghabiskan puluhan kertas untuk menggambar. Semua contoh ini mengingatkan kita bahwa sebenarnya sejak kecil anak sudah memerlihatkan minatnya. Nah, tatkala anak bersekolah, anak akan mulai menunjukkan minatnya secara lebih spesifik. Akan ada mata pelajaran yang disukainya dan dikerjakannya dengan baik, tapi ada pula mata pelajaran yang tidak disukainya dan hasilnya tidak begitu memuaskan. Sudah tentu sebagai orangtua kita mesti mendorong anak untuk menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Kita tidak seharusnya mengikuti kata hatinya dan membiarkannya tidak mengerjakan tugas yang tidak diminatinya. Namun jika kita mengetahui dengan jelas minatnya, kita dapat lebih fleksibel dan menerima, kita bisa berkata apa adanya bahwa kita mengerti dia tidak menyukai pelajaran itu tapi dia harus tetap menyelesaikannya dan memersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Nah, jadi penting kita sebagai orang tua sejak dari anak-anak kecil sudah mulai melihat kemampuannya dan minatnya.
GS : Untuk bisa mengenal anak ini sedemikian rupa, Pak Paul, itu dibutuhkan perhatian dan waktu dari orangtua. Padahal orangtuanya sendiri ketika anak berusia dini, mereka sudah sibuk, Pak Paul.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi kita mengerti bahwa tidak selalu bisa orangtua itu menghabiskan waktu melihat, tapi sedapat-dapatnya meskipun sibuk sewaktu pulang kerja berilah waktu untuk anak. Lihatlah apa yang anak lakukan, mudah-mudahan lewat waktu yang dihabiskan itu orangtua akan lebih dapat melihat dengan jelas apa kemampuan anak, apa minat anak.
GS : Nah, biasanya ‘kan justru orangtua itu mendikte anak ini. Kalau laki-laki dibelikan mainan mobil-mobilan atau robot, dan perempuan dibelikan boneka. Itu ‘kan seolah-olah orangtua telah mendikte anak, membentuk anak itu, "Kamu senang tidak senang harus mainan dengan mainan ini!". Ini sulit, Pak Paul.
PG : Betul. Memang tidak semua orangtua bisa memberikan pilihan-pilihan yang banyak pada anak untuk bermain sehingga akhirnya kita ini bisa menemukan apa yang diminati oleh anak, betul ya. Jadi ada kalanya kita akhirnya pilihkan satu atau dua yang bisa kita belikan. Kalau kita bisa belikan beberapa jenis saja, sebetulnya cukup untuk anak mulai menunjukkan minatnya. Kita tidak perlu membelikan barang yang bagus dan mahal, tapi kalau kita mulai belikan berbagai jenis mainan kita akan mulai bisa melihat dari semua mainan itu yang mana yang akan dia terus mainkan. Jadi ada anak-anak yang begitu dapat barang, dia mainkan. Tapi setelah sehari dua hari dia lupakan. Tapi kalau memang itu dia minati maka dia akan terus main sampai berminggu-minggu atau bahkan sampai berbulan-bulan.
GS : Tetapi itu tidak ada jaminan bahwa minat anak terhadap sesuatu itu bisa berumur panjang, Pak Paul. Kadang-kadang anak itu di tengah-tengah berubah-ubah minatnya, ini ‘kan juga sulit.
PG : Betul, betul. Tapi biasanya begini. Kalau memang itu adalah minatnya, misalkan mobil-mobilan. Nomor satu dia akan meminatinya untuk waktu yang lama. Nomor dua walaupun nantinya akan "hilang tidak main mobil-mobilan" apalagi kalau usianya sudah mulai besar. Tapi umumnya nanti itu, dia akan kembali saat dimana dia mulai menunjukkan minat lagi kepada itu, kepada mobil-mobilan. Dan mungkin kalau sudah lebih besar, bukan pada mainan mobil tapi mobil yang nyata. Atau dia mulai menunjukkan minat untuk memereteli mobil, memasang kembali maka hal-hal ini menunjukkan memang itulah minatnya. Tetapi sebagai orangtua selain menemukan minat anak, kita juga mesti melihat atau mengukur kemampuannya. Kita menggunakan jendela untuk melihat kemampuan anak yaitu menilai seberapa cepatnya anak menangkap atau mengerti penjelasan yang diberikan. Bila kita harus berulang kali menjelaskan pelajaran tertentu kepadanya, besar kemungkinan kemampuannya untuk memahami itu memang terbatas. Pada kenyataannya kebanyakan anak tidak memiliki kemampuan yang sama pada semua bidang, kebanyakan anak kuat dalam bidang tertentu, biasa-biasa saja dalam banyak bidang dan lemah dalam bidang tertentu. Jadi saya kira itulah kondisi anak secara umum. Nah, sekali lagi kunci untuk mengetahui semua ini adalah terlibat dalam hidup anak. Jika kita tidak terlibat dalam hidupnya kita tidak akan bisa mengetahui semua ini. Jadi penting bagi kita turun tangan dalam membesarkan anak sejak kecil, jangan sampai kita mendelegasikan semua urusan membesarkan anak kepada pengasuh dan guru les. Kita mesti terlibat supaya dapat mengenal anak apa adanya dan terpenting menerima diri apa adanya. Pada akhirnya kita mesti bersedia mengesampingkan keinginan pribadi dan mengedepankan kepentingan anak. Jadi jika kita sudah tahu minatnya anak apa, bakatnya apa serta menerimanya apa adanya sejak dia kecil maka kita akan mulai dapat mengarahkannya untuk mengembangkan diri dan kemampuannya secara tepat. Sebaliknya bila tidak, besar kemungkinan kita malah memaksanya untuk memerlihatkan minat dan prestasi pada bidang tertentu dan sudah tentu ini akan menambah besarnya tekanan yang dihadapinya. Apalagi kita ini terus memarahinya. Akhirnya relasi kita dengannya terganggu sebab dia akan berusaha menjauh dari kita, atau malah melawan kita dan tidak jarang dia pun akan mengembangkan reaksi tidak suka terhadap sekolah secara umum, bukan hanya pada mata pelajaran tertentu saja. Tidak bisa tidak bila ini terjadi maka performa akademiknya secara umum akan merosot, bukannya terpacu malah terpacul.
GS : Hal ini merepotkan orangtua yaitu untuk mengalahkan keinginan dirinya sendiri Pak Paul, karena kadang-kadang kalau itu sejalan dengan apa yang dicita-citakan oleh orangtua bisa berjalan dengan baik. Tetapi misalnya anak ini anak laki-laki yang punya minat yang besar dan punya kemampuan yang cukup pada bidang tertentu yang orangtua tidak sukai, misalnya anak ini suka dengan boneka-boneka terutama baju-baju boneka. Sebenarnya anak ini akan bisa menjadi desainer untuk yang akan datang pada umumnya seperti itu. Tapi orangtua belum tentu setuju dengan cara anak laki-laki yang menyukai pakaian-pakaian perempuan dan sebagainya. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya mengerti. Kadang-kadang orangtua itu takut kalau sampai anaknya laki-laki itu suka dengan baju perempuan. Akhirnya nantinya akan lebih feminin anak ini, dan maunya lebih maskulin. Tapi kita memang harus juga melihat minat anak itu. Kalau memang itu minatnya dia suka kesana, kalau misalnya kita mau berusaha mengalihkan sebentar mungkin bisa kita alihkan dengan dia menggambar apa yang dia lihat. Mungkin kita bisa arahkan dia menjadi seorang arsitek dan sebagainya. Tapi pada umumnya menurut saya akan sukar untuk melawan bakat alamiah itu, kalau memang dia dari kecil menunjukkan bakat yang kuat dalam bidang desain maka kemungkinan besar dia akan menekuni bidang itu.
GS : Dan biasanya anak ini dalam posisi yang lemah; yang membiayai sekolah orang tuanya, yang mengantar dan sebagainya, yang mengasuh ialah orangtua. Jadi orangtua memiliki otoritas yang lebih besar terhadap anaknya. "Sudah kamu menurut saja". Semua orangtua berkata, "Kami tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk buat kamu. Sudah jalani saja". Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Saya mengerti kemauan orangtua seperti itu dan bisa jadi apa yang diingatkan orangtua juga hal yang baik. Tapi kalau memang bukanlah bidang si anak, bukanlah minat si anak biasanya itu dia akan bertahan tidak lama. Sesudah begitu dia akan nanti kembali lagi ke bidang utamanya. Saya memunyai kenalan seseorang, lalu dia punya teman baik yang dulu seorang sama-sama mahasiswa akhirnya lulus kedokteran. Tapi memang yang mau dia jadi dokter adalah orang tuanya, kemudian karena dia mampu makanya dia bisa lulus kedokteran. Dan setahu saya yang saya dengar mungkin saja dia tidak pernah praktek. Setelah dia lulus akhirnya dia buka bisnis, dia berdagang. Jadi saya kira orangtua bisa mengusahakan tapi memang susah sekali melawan bakat alamiah. Kebanyakan anak itu, untuk memenuhi permintaan orangtua dia akan lakukan, tapi kalau memang bukan minatnya maka tidak akan bertahan lama dan dia akan kembali ke bidang aslinya.
GS : Tapi itu juga sangat dipengaruhi kepribadian anak itu sendiri. Kalau dia adalah seorang anak yang selalu menurut terhadap orangtuanya, dia akan tetap menjadi dokter walaupun kemungkinan besar tidak sukses menjadi dokter karena bidang dia di bisnis.
PG : Iya. Dia memang sekolah kedokteran untuk memenuhi permohonan atau permintaan orangtuanya. Dia menyenangkan hati mereka tapi setelah itu sudah; dia tinggalkan dan kembali ke dunia dagangnya lagi.
GS : Dan itu berpengaruh pada masa depannya juga, Pak Paul ya, selain itu apa, Pak Paul ?
PG : Hal kedua yang dapat kita lakukan dalam memacu anak agar tidak memaculnya adalah mengisi hari-harinya dengan interaksi yang santai. Oleh karena sekolah itu menduduki tempat teratas dalam hal penggunaan waktu, akhirnya kegiatan sekolah menjadi kegiatan utama anak. Dari pagi sampai sore, anak menghabiskan waktunya di sekolah. Dan dari sore sampai malam anak menghabiskan waktunya mengerjakan tugas sekolah di rumah. Sekolah menjadi bagian terbesar dari aktifitas anak dan relasi kita dengan anak berubah menjadi seperti guru les dan murid. Berapa banyak orangtua kalau berbicara dengan anak membicarakan hal apa selain sekolah. Anak memerlukan orangtua bukan guru les, ini penting untuk kita camkan. Jadi janganlah sampai kita lengah dan akhirnya mengubah peran kita dari orangtua menjadi guru les atau guru pengawas. Kita mesti mengisi waktunya dengan banyak interaksi yang santai dan melibatkan berbagai topik, tidak hanya sekolah. Bermainlah dengannya, bercandalah, menyanyilah dengannya, pergilah dengannya, ketawalah bersamanya. Sewaktu kita tengah bermain atau bersantai dengannya jangan kita menanyakan soal-soal ujianlah. Jika kita sering melakukan hal ini, anak akan menjauh dan menolak untuk bersantai dengan kita sebab dia sudah mengantisipasi bahwa nanti di tengah suasana santai kita akan menanyainya soal ujian atau PR-nya. Jadi sebaiknya sewaktu kita bersantai ya sudah bersantai. Jika memang sudah waktunya dia belajar kita dapat memberinya peringatan bahwa dalam waktu 15 menit atau pada jam tertentu kita akan berhenti bermain dan dia harus kembali belajar. Nah, kedekatan dan hubungan yang baik dengan anak dibangun di atas semua ini, Pak Gunawan. Semakin banyak waktu santai dihabiskan bersama makin dekat anak dengan kita dan makin positif dia memandang relasinya dengan kita dan semakin dia mendengar dan menerima usaha kita untuk memacunya. Kedekatan dan hubungan yang baik dengan anak akan menjadi modal besar tatkala ia masuk ke masa remaja yang sarat pergolakan. Sebaliknya tanpa kedekatan dan hubungan yang baik, anak sanggup melakukan perbuatan yang buruk.
GS : Iya. Sebenarnya sebagai orangtua juga ingin dapat bersantai dengan anak. Tetapi selain tugas-tugas orangtua, anak itu pun juga banyak kegiatannya di luar jam sekolah begitu, dengan teman-temannya, dengan anggota klub sekolah, olahraga atau kesenian atau apa. Sehingga waktu interaksi orangtua dan anak itu sangat kurang sekali.
PG : Iya. Memang itu juga hal yang positif bahwa anak itu bisa memunyai sosialisasi dengan teman-teman itu hal yang baik, tapi di rumah kitalah yang harus bertanggung jawab dan berinisiatif untuk berinteraksi dengan anak dan membicarakan hal-hal yang lain, bukan hanya hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Di atas interaksi seperti itulah kita membangun relasi yang kuat dengan anak.
GS : Tapi di lain pihak kita mau tahu bagaimana perkembangan anak kita di sekolah, Pak Paul. Apa masalah-masalah yang dihadapinya di sekolah, kita juga ingin tahu sebagai orangtua, Pak Paul.
PG : Betul. Sudah tentu boleh kita bertanya, tapi kalau bisa memang tidak setiap hari. Dan kalau bisa kita tanya bukan ketika kita lagi enak-enak, sedang santai karena kalau kita bertanya saat kita sedang bersantai maka anak akan berpikir, "Tidak mau ah, berbicara santai-santai dengan mama dengan papa karena pasti ditanyai lagi soal ujian" jadi dia akan kehilangan kesempatan untuk santai.
GS : Iya. Selanjutnya apa, Pak Paul ?
PG : Ketiga dan terakhir untuk memacu anak bukan memacul anak, kita mesti membedakan antara memberi yang terbaik dan menjadi yang terbaik. Tidak seharusnya kita menuntut anak menjadi yang terbaik di kelasnya. Menjadi yang terbaik bukan sasaran kita dan tidak seyogyanya menjadi sasaran hidupnya pula. Memberi yang terbaik seharusnya menjadi sasaran kita bersama. Singkat kata, tolok ukurnya bukanlah orang lain melainkan diri sendiri. Dia bisa menjadi yang terbaik di kelasnya tapi tidak mesti dia telah memberi yang terbaik. Sebaliknya mungkin saja dia menempati urutan terbelakang, tapi dia telah memberi yang terbaik. Jadi kita mau menekankan pada memberi yang terbaik, bukan menjadi yang terbaik. Sudah tentu kita hanya bisa mengetahui dengan pasti bahwa ia telah memberi yang terbaik bila kita melihatnya belajar atau mengeluarkan usaha. Ingat, sama seperti kita anak pun juga orang berdosa. Jadi jika anak tahu bahwa kita hanya menuntutnya memberi yang terbaik dia akan menggunakan alasan itu untuk mengelak dari tanggung jawab, sebenarnya dia tidak memberi yang terbaik tapi dia berkata bahwa dia telah memberi yang terbaik. Jika kita tahu dengan jelas minat dan kemampuannya maka kita akan tahu kebenaran perkataannya itu, hanya alasan atau memang benar-benar.
GS : Memang sulit bagi kita untuk melihat dia sudah melakukan yang terbaik atau tidak. Karena biasanya anak-anak yang berprestasi di sekolah, itu justru di rumah agak malas untuk belajar. Padahal kita menuntut dia pada jam-jam tertentu belajar. Namun hasilnya memang dari pelajaran di sekolah itu bagus. Dia selalu mendapat ranking dan sebagainya sehingga orangtua juga merasa sulit untuk menekan anak ini, kalau ditekan anak pun berkata, "Buat apa ? Saya sudah dapat angka seperti ini, masih disuruh belajar lagi, belajar lagi". Padahal maksud kita adalah mendisiplin anak pada jam belajar itu harus belajar. Ini bagaimana sebenarnya, Pak Paul ?
PG : Jadi memang kalau anak itu cerdas, dia memang tidak perlu waktu untuk terlalu lama belajar. Jadi yang kita mau tekankan adalah apakah dia waktu belajar telah benar-benar belajar memberikan yang terbaik. Lamanya waktu kita tidak persoalkan, jadi yang penting kita tanyakan dia apakah dia telah memberikan yang terbaik. Kalau memang sudah tapi dia belajar dalam waktu yang cepat, tidak apa-apa.
GS : Tapi sisa waktunya ini dipakai untuk bermain oleh dia, misalnya main dengan gadgetnya (gawainya) dan sebagainya begitu.
PG : Selama dia sudah menyelesaikan tugasnya, saya akan memberikan dia kesempatan itu. Jadi itu adalah imbalannya. Tapi yang terpenting adalah dia sudah menyelesaikan tugasnya, kalau setelah itu dia main-main maka saya ijinkan.
GS : Pak Paul, sehubungan dengan hal ini yang memang agak sulit bagi orangtua, apakah ada panduan dari firman Tuhan, Pak Paul ?
PG : Dalam Injil Markus 12:41-44 terdapat kisah Yesus Tuhan kita berkomentar tatkala Ia melihat seorang janda miskin memasukkan 2 peser ke dalam kotak persembahan. Sebagaimana kita ketahui 1 peser adalah hitungan mata uang yang terkecil. Yesus berkata, "Aku berkata kepadamu sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang kedalam peti persembahan", perkataan itu keluar dari mulut Yesus Tuhan kita setelah Ia melihat orang kaya memasukkan uang dalam jumlah yang besar. Nah, satu pelajaran yang bisa kita petik yaitu Tuhan mengukur nilai persembahan bukan dari besaran jumlahnya melainkan dari besaran pengorbanan atau usahanya. Jumlah pemberian orang kaya jauh melampaui yang diberikan si janda miskin, tapi tidak keluar dari pengorbanan yang besar sedangkan jumlah yang kecil yang berasal dari usaha atau pengorbanan yang besar dari si janda miskin, seperti kata Tuhan Yesus, "Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tapi janda itu memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya". Jadi ini yang mesti kita tanamkan kepada anak, Tuhan tidak mengukur dirinya berdasarkan nilai yang dihasilkannya tapi berdasarkan usaha yang dikeluarkannya. Karena itulah kriteria Tuhan maka seyogyanya itu menjadi kriteria kita pula. Jika kita lebih menekankan untuk menjadi yang terbaik di kelasnya maka dasar prestasinya adalah kelasnya, alias orang lain. Selama dia merasa tertantang selama ada orang yang mesti dikalahkannya maka dia akan berprestasi. Ini yang mesti dihindarkan sebab ini menandakan jiwa yang terpacul.
GS : Akibatnya dari jiwa yang terpacul apa, Pak Paul ?
PG : Jiwa yang terpacul akhirnya itu sangat bergantung pada yang di luar dirinya. Kalau dia merasa ada orang yang mesti dia taklukkan, dia mesti lebih baik atau apa, dia mesti tunjukkan dirinya bisa akhirnya semua dari luar dirinya. Kalau tidak ada itu semua maka tidak ada motivasi sama sekali. Dia akan biasa-biasa saja, tidak berpikir apa-apa, dia akan semangat kalau ada yang dia mau kalahkan. Jadi kita mau membangun anak yang bisa berinisiatif dari dirinya tanpa harus membanding-bandingkan diri terhadap orang lain.
GS : Ini apakah tidak menimbulkan sikap ambisius yang negatif, Pak Paul ?
PG : Betul. Kalau anak-anak itu terlalu bergantung kepada lingkungan, ada tidak yang bisa dia saingi, dia bisa kalahkan. Akhirnya memang ambisius, sebabnya dia mau menang terus. Tapi kita mau justru anak itu kita pacu bukan menjadi seperti itu, tapi menjadi anak yang mantap yang tahu kemampuannya dan bisa memotivasi diri untuk mencapai standar yang memang dia idamkan itu.
GS : Tetapi standar ini ‘kan biasanya ditentukan oleh orang lain, bukan oleh dirinya sendiri ?
PG : Betul. Awalnya memang dari orang lain. Tapi lama-kelamaan dia sudah mengerti dia bisa seperti apa, nah itu yang menjadi standarnya dia.
GS : Iya, oke. Terima kasih banyak, Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Memacu Bukan Memacul Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.