Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Masa Tua tidak Selalu Indah". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kalau Tuhan berkehendak, Pak Paul, tentunya kita bisa berumur panjang, mungkin sampai 80 atau 90 tahun, bahkan lebih dari itu, tetapi sekali pun itu patut disyukuri, usia yang lanjut ini membawa persoalan tersendiri, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Dengan mengangkat topik "Masa Tua tidak Selalu Indah", Pak Paul, padahal itu di satu sisi diharapkan, tapi di lain sisi mesti diantisipasi. Ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu ini adalah impian kita bersama, ya Pak Gunawan, bahwa di hari tua kita akan bisa menikmati hidup dengan lebih baik, bahkan mungkin sekarang sudah lebih ingin beristirahat, ingin bisa mencicipi keindahan hidup. Tapi saya mau mengatakan bahwa tidak semua akan bisa mencicipi keindahan hidup di hari tua, ada yang justru harus bergumul dengan lebih berat lagi di hari tua. Inilah bagian dari kehidupan yang tidak selalu berada dalam kendali kita, Pak Gunawan. Saya kira kita perlu mengangkat topik ini supaya kita bisa mulai memikirkan dan melihat hal-hal apakah yang mungkin nanti bisa mengganggu kita kehidupan kita di hari tua.
GS : Ada sebagian orang yang memang tidak mempersiapkan masa tuanya karena dia berpikir bahwa dia tidak akan sampai berumur setua itu, tapi nyatanya ia sampai umur 80 tahun dan seterusnya.
PG : Betul, Pak Gunawan, kita memang tidak memunyai kendali atas hidup kita. Semua di tangan Tuhan. Kalau kita berkata, "Tidak usah pusing-pusing tentang masa tua, saya tidak akan mencapai usia 70 tahun, saya akan meninggal lebih muda lagi". Siapa yang mengetahui karena semua ini kehendak Tuhan. Kita harus memikirkannya dan menyiapkan diri.
GS : Pak Paul,sebenarnya masalah-masalah apa yang sering timbul pada masa kita tua?
PG : Ada beberapa, Pak Gunawan. Pertama, yang akan saya angkat adalah anak yang bermasalah. Ada masalah anak yang sudah timbul jauh sebelumnya, waktu anak masih muda, tapi ada pula masalah anak baru mengemuka belakangan, apabila anak sudah memunculkan masalah sejak muda dan tidak pernah berubah. Nah, besar kemungkinan problem ini akan terus berlanjut. Misalnya, ia tidak bisa bekerja sama, sebagai akibatnya terus berpindah-pindah kerja. Tidak bisa tidak besar kemungkinan pada akhirnya ia tidak bisa bekerja, itu berarti apa? Ia kehilangan mata pencahariannya, kita orang tua tidak bisa tidak harus memikirkan dan akan berusaha membantunya pula. Ada masalah-masalah seperti ini yang mesti kita hadapi. Ada juga masalah yang baru muncul pada saat kita sudah tua, misalkan anak kita menikah dengan pasangan yang tidak cocok. Sering konflik dan berakhir dengan perceraian, atau ada anak pada masa dewasa terjerumus dalam perbuatan kriminal sehingga akhirnya harus berurusan dengan hukum. Tidak bisa tidak, kita sebagai orang tua akan merasa sedih dan terganggu, Pak Gunawan.
GS : Memang serba salah orang tua itu, Pak Paul, dalam menghadapi anak. Sebagai orang tua kadang-kadang di satu sisi kita ingin anak kita menikah. Dalam perjalanan pernikahan, baru saja menikah lalu timbul masalah, mereka cekcok terus sehingga larinya ke orang tua dan ini menjadi beban pikiran orang tua. Atau ada yang mengharapkan punya cucu dari pasangan ini ternyata anak dan menantunya tidak terlalu perhatian untuk hal itu. Kami tidak mau punya anak, atau baru nanti beberapa tahun lagi. Nah, ini menjadi beban pikiran orang tua juga.
PG : Sering kali demikian, akhirnya ada yang terkena bebannya secara pasif, tapi ada yang terkena bebannya secara aktif, artinya orang tua ini harus berbuat sesuatu. Ada yang hanya harus mengurut dada, merasa kesal, kecewa tapi ada yang harus merogoh koceknya, membantu secara tidak langsung, ada yang harus membuka pintu menanggung mereka. Kadang-kadang dilakukan oleh orang tua justru di usia tuanya, bukan di usia yang lebih muda.
GS : Ada orang tua yang mau membantu anaknya, tetapi menantunya menolak karena merasa gengsi. Ini juga menjadi bahan pemikiran bagi orang tua.
PG : Sudah tentu sebagai orang tua yang bijak, kita tidak akan memaksakan anak karena kita mengetahui dari pada ia nanti susah, bertengkar dengan pasangannya, ya sudah janganlah tidak apa-apa. Tapi sebagai orang tua hati kita merasa berat, kok anak kita menikah dengan orang yang begitu terhadap kita. Atau akhirnya jaraknya jadi jauh, tidak bisa dekat lagi dengan kita, gara-gara menantunya. Ini bagian dari derita yang kadang-kadang harus kita tanggung sebagai orang yang berusia lanjut.
GS : Itu bagi orang yang memunyai anak, bagaimana dengan orang yang tidak memunyai anak, apakah ada masalah, Pak Paul?
PG : Banyak, Pak Gunawan. Misalnya, kalau orang ini tidak memunyai anak, dia sendiri mengalami konflik rumah tangga. Kadang-kadang begini, ada orang pada masa muda tidak menyelesaikan konflik dengan baik, akhirnya konflik bertumpuk-tumpuk. Di hari tua, meskipun tidak ada masalah dengan anak, tapi mereka berdua yang mengalami masalah karena konflik itu akhirnya menggunung di masa tua. Mesti dihadapi, tapi sudah sulit untuk dihadapi karena sudah terlalu banyak. Akhirnya masing-masing menjaga teritori, tidak lagi banyak berhubungan. Bukankah kalau demikian di hari tua justru hidup kita jadi menderita.
GS : Ada juga yang memunyai anak, hubungan mereka baik tapi jarang ketemu karena jarak memisahkan mereka. Entah karena tuntutan pekerjaan atau karena tugas-tugas yang lain, ini bagaimana Pak Paul?
PG : Ada yang begitu juga, kadang-kadang kita merasa anak kita tidak dekat dengan kita, memang ada yang tidak dekat dengan kita karena jarak, tapi ada juga yang tidak dekat karena kurang begitu memerhatikan kita. Kita harus mengerti 1 hal, pada saat tua kita menjadi makin butuh bantuan dan kehadiran anak. Hidup tidak lagi seramai dulu, kebutuhan kita untuk bersosialisasi, bertemu dengan banyak orang juga menurun. Justru di saat tua kita lebih menikmati dan membutuhkan kehadiran dan perhatian anak. Masalahnya kadang anak-anak tinggal jauh, atau yang lebih menyakitkan ada anak yang tidak begitu memerhatikan kita, mungkin kehidupannya sudah banyak tantangan sehingga akhirnya tidak begitu mau mendengar keluh kesah kita, tidak begitu mau menanyakan kebutuhan kita apa. Tidak bisa tidak kita akan merasa sedih, anak kita tidak bisa dekat dengan kita.
GS : Repotnya pada masa tua, orang tua banyak yang enggan atau segan untuk menegur anaknya, misalnya "kamu kok jarang telepon, kamu kok jarang pulang?" Itu segan sekali orang tua mengatakan hal itu kepada anak, begitu Pak Paul.
PG : Karena kita tidak mau mengganggu anak, tidak mau menyusahkan anak. Kita mencoba mengerti bahwa anak itu sibuk, banyak urusannya, kita juga mau berhati-hati. Tapi di pihak lain, kita juga merasa sepi, kita butuh anak kita datang mengunjungi kita. Setidak-tidaknya kalau tidak datang, telepon dan bertanya, "Apa kabar, apakah ada kebutuhan tertentu". Jadi ini kadang-kadang menjadi dilema.
GS : Anak juga kadang-kadang mengatakan, "Saya tidak pernah ditelepon oleh orang tua", misalnya oleh papanya, "disuruh datang kami memunyai kesibukan sendiri, jadi tidak datang". Kami hanya setahun sekali baru datang ke rumah orang tuanya.
PG : Memang dalam hal ini, kitalah sebagai anak yang harus menelepon orang tua kita atau mengunjungi orang tua kita. Jangan kita berkata, "Papaku juga tidak telepon, mamaku tidak telepon". Kita sebagai anak yang menunjukkan hormat dan menunjukkan perhatian kepada mereka.
GS : Biasanya orang tua mengharapkan anak mengerti sendiri, tapi kenyataannya tidak dan anak mengatakan, "Kalau memang ada keperluan, papa atau mama boleh bicara". Tapi mau bicara itu tidak bisa keluar perkataannya.
PG : Betul, jadi kita seringkali bersikap pasif karena kita tidak mau nanti membuat suasana menjadi tidak enak. Kita harap anak bisa mengerti sendiri. Masalahnya ada anak yang tidak mengerti, sebab kita harus menerima fakta tidak semua anak berkarakter sangat baik. Manusia semua ada kelemahannya, ada anak yang egois hanya memikirkan dirinya, bisa rekreasi ke mana-mana, rela berkorban uang besar untuk kepentingannya, tapi begitu menyangkut keperluan orang tua, susah sekali mengeluarkan uang membantu orang tua. Ada juga yang seperti itu.
GS : Kadang-kadang kalau sudah begitu orang tua menyalahkan dirinya sendiri dan berkata, "Ini saya dulu salah mendidik anak saya", begitu Pak Paul.
PG : Kadang-kadang memang ada yang harus kita akui, kita mungkin salah, kurang mendidik anak, atau kurang dekat dengan anak sehingga anak begini terhadap kita. Sudah tentu tidak apa-apa, kita melihat mungkin kita ada andil. Kalau memang kita akui ada andil ya sudah kita terima, tapi kadang-kadang tidak demikian, bukan karena kita berbuat sesuatu terhadap anak kita. Memang anak kita yang tidak begitu perhatian atau anak kita agak egois, hanya memikirkan dirinya. Itupun akhirnya harus kita telan.
GS : Selain hubungan kita dengan anak, apa ada masalah yang timbul di hari tua kita dengan pasangan, Pak Paul?
PG : Ada, Pak Gunawan. Orang kadang-kadang berkata, "Oh, sudah tua, sudah pensiun jadi sekarang sering beradu, sebab dua-duanya ada di rumah. Sebetulnya masalahnya bukan itu, karena sudah tentu ada benarnya. Jadwal kehidupan yang berbeda, sekarang menjadi bersama-sama membuka peluang konflik yang lebih besar, namun akar masalah bukanlah karena kita sekarang terus bersama pasangan di masa pensiun. Setiap perubahan menuntut penyesuaian, kita di masa lampau kita berhasil menyesuaikan diri, besar kemungkinan di masa tua kita bisa menyesuaikan diri. Sebaliknya bila di masa lampau kita tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada, besar kemungkinan di masa tua kita pun tidak bisa menyesuaikan diri dengan pasangan. Di hari tua kita akhirnya menuai konflik bukan saja konflik yang bersumber dari perubahan jadwal kehidupan di hari tua, tapi juga konflik yang belum terselesaikan di masa lalu. Sekali lagi saya mau tekankan kuncinya adalah apakah kita memang bisa saling menyesuaikan, kalau bisa saling menyesuaikan meskipun kita seringnya berduaan, tidak apa-apa karena kalau ada masalah pun kita bisa lebih saling menyesuaikan. Kalau memang hubungan kita dari awalnya baik, justru kita akan merasa senang juga bisa terus bersama-sama dengan pasangan kita di rumah.
GS : Tapi kalau awalnya atau pada waktu masih aktif di pekerjaan sudah sulit untuk bersama-sama akan bertambah sulit lagi, Pak Paul.
PG : Biasanya begitu maka kadang-kadang kita lihat ada mama yang seringnya menginap di rumah anak, karena tidak cocok dengan papa. Ini menjadi beban tersendiri, yang ada keluarga muda yang merasa susah untuk bisa mengembangkan kehidupan mereka karena apa? Mama mertua atau papa mertua sering-sering datang, sering-sering menginap. Ia mengerti bahwa kalau di rumah tidak cocok dengan papa mertua misalnya, ia harus menginap di rumah tapi masalahnya mereka juga mungkin pasangan muda, ada tantangannya, perlu juga privasi, jadi akhirnya terganggu. Itulah situasi yang harus dihadapi oleh semua.
GS : Sebenarnya dengan banyaknya waktu mereka bersama-sama, ‘kan itu lebih mudah untuk saling menyesuaikan diri, Pak Paul?
PG : Seharusnya dengan mereka lebih ada waktu, tidak dikejar-kejar oleh tugas, seharusnya bisa lebih sabar, tetapi kenyataannya kalau dari awal hubungan mereka tidak begitu bagus, di hari tua keinginan untuk menyelesaikan masalah bukannya bertambah besar tapi bertambah kecil. Muncullah pemikiran seperti, "Ah, kamu memang orangnya begini, dari dulu begini, sampai sekarang sudah berapa puluh tahun menikah tetap begini". Keinginannya bukan bertambah kuat untuk menyelesaikan, tapi sebaliknya yaitu "Sudahlah tidak mau lagi, percuma, sudah bicara tidak tahu berapa kali tetap begini sampai di hari tua". Akhirnya didiamkan artinya apa? Jaraknya makin menjauh, hubungannya juga makin renggang.
GS : Atau karena mereka memang tidak terbiasa untuk memecahkan masalah bersama-sama sehingga pada masa tua mereka lebih memilih lari masing-masing, tidak menghadapi masalah tapi mengabaikan masalah.
PG : Sudah tentu kalau kita bicara dengan mereka, saya yakin mereka akan berkata, "Sudah dicoba, dari dulu sudah diajak bicara, susah diberitahu orang itu. Kalau maunya tidak bisa lagi diberitahu". Kebanyakan itulah yang terjadi, Pak Gunawan, sehingga pada akhirnya semua sudah angkat tangan, tidak mau lagi mencoba untuk menyelesaikan masalah.
GS : Kalau masalah-masalah finansial/keuangan apakah itu juga menjadi masalah di dalam keluarga itu ketika orang menjadi tua, Pak Paul ?
PG : Seringkali ya, Pak Gunawan, karena begini ya, walaupun kebutuhan sehari-hari di masa tua berkurang, kita tidak lagi perlu membeli baju atau sepatu baru sesering dulu, tapi kebutuhan uang untuk kesehatan biasanya bertambah. Kita lebih sering ke dokter, kadang-kadang justru harus dirawat di Rumah Sakit, kalau kita tidak memunyai simpanan yang memadai sudah tentu beban keuangan akan menjadi berat. Kadang-kadang ada anak yang bisa membantu, kadang-kadang anak pun bergumul sehingga tidak bisa membantu kita. Kalau itu kondisinya, akan menjadi tekanan yang besar sekali pada kita orang tua sehingga benar-benar kita merasakan di hari tua ini hidup kita sangat sengsara.
GS : Bagaimana kalau orang tua ingin menyatakan kepada anaknya bahwa mereka perlu bantuan, Pak Paul?
PG : Memang sudah tentu kalau seperti ini seharusnya anak mengerti sendiri memberikan kepada orang tuanya, tapi ada anak yang tidak begitu memerhatikan orang tua atau memang tidak mampu untuk membantu orang tuanya, akhirnya orang tuanya merasa sungkan untuk meminta. Kalau memang seperti itu, tidak bisa tidak memang harus dihadapi berobatlah sedapatnya, kalau tidak mampu terima saja.
GS : Tapi ada orang tua yang semacam mentargetkan atau menentukan anaknya harus membantu tidak peduli anaknya kesulitan, ada Pak Paul yang begitu.
PG : Saya tahu memang ada yang begitu. Sudah tentu seharusnya tidak begitu, karena kita orang tua harus juga mengerti kondisi anak, tapi memang kita tidak memunyai solusi untuk semua kasus. Di sini diperlukan saling pengertian dari kedua belah pihak, baik dari anak maupun dari orang tua, bahwa anak juga kadang-kadang bergumul tapi anak juga harus memikirkan kesehatan orang tua. Bagaimana kalau bisa menyisihkan uang untuk bisa menolong orang tua ?
GS : Alasan orang tua adalah dulu dia sudah memberikan/mengeluarkan banyak uang untuk anak ini sampai dewasa, sekarang sudah dewasa sudah bekerja, seharusnya anak itu membalas dia, begitu Pak Paul.
PG : Ada yang memang mewajibkan seperti itu, kita tidak usahlah mewajibkan. Kalau anak tidak mau memberi ya kita terima, kita jangan memaksa karena alasan itu.
GS : Tapi menjadi beban untuk orang tua karena kesulitan keuangan.
PG : Betul, tapi sekali lagi kita tidak bisa memaksa orang untuk memberi kalau orang tidak rela atau tidak ikhlas, kita biarkan.
GS : Kalau pun anak itu memberi dengan terpaksa atau menimbulkan pertengkaran itu juga menjadi beban lagi untuk kita, orang tua.
PG : Betul, memang ada anak yang akhirnya menuduh orang tuanya tidak berpengertian, memaksakan kehendak, tidak peduli dengan kondisi mereka, bukankah itu juga menjadi tidak enak.
GS : Bagaimana dengan masalah kesehatan, Pak Paul?
PG : Berkaitan dengan yang tadi telah kita bicarakan, tidak bisa tidak makin tua makin bertambah penyakit yang mendera tubuh kita. Kita akan bertambah terbatas dan dalam kasus tertentu bukan saja fisik tetapi pikiran kita pun makin terganggu. Ada yang terkena dementia, alzheimer, kita harus bergantung pada orang lain, baik pada pasangan atau perawat untuk membantu kita melakukan fungsi sehari-hari. Sudah tentu ini adalah tantangan yang berat, Pak Gunawan.
GS : Dan kesehatan ini bukan hanya secara fisik, jasmani tapi seringkali kesehatan secara psikis, Pak Paul. Ini juga menimbulkan beban tersendiri, dia ‘kan tidak mau sebetulnya sakit seperti itu.
PG : Yang psikis itu ada yang secara pasif, diam, depresi tapi ada yang cukup mengganggu yaitu mereka menjadi paranoid, artinya mencurigai menantunya mengambil uangnya. Mencurigai pembantu mencuri uang, akhirnya sering ribut sana sini, karena memang ada gangguan dalam pikirannya, secara mental sehingga akhirnya timbul kecurigaan yang berlebihan. Itu juga akhirnya bisa menimbulkan konflik di antara suami dan istri.
GS : Kalau masih ada pasangan mungkin pasangan itu masih bisa membantu kalau waktu sakit, tapi kalau tidak ada pasangan makin berat lagi, dia harus menghadapi sakit itu sendirian, Pak Paul.
PG : Dan dengan bertambah majunya ilmu kedokteran dan kita juga hidup lebih sehat dibandingkan dulu, usia kita akan bertambah, artinya kita bisa mencapai usia yang jauh lebih lanjut tapi masalahnya adalah memang kita usianya bertambah namun banyak penyakit yang diderita oleh orang tua, misalnya yang bisa saya sebutkan seperti dementia, alzheimer, parkinson. Itu adalah gangguan yang sangat membutuhkan perawatan khusus dan kalau kita memunyai uang bisa memanggil suster, tapi kalau tidak ada itu akan bisa sangat merepotkan orang.
GS : Ada lagi orang tua yang susah tidur, Pak Paul. Dia sendiri sebenarnya merasa sangat tidak enak tinggal di rumah, tapi dia sulit sekali tidur. Tidur hanya sebentar lalu bangun lagi, dia merasa terbeban dengan hal itu.
PG : Ya itu salah satu keluhan, kadang-kadang ada orang tua yang susah tidur dan anak-anak cukup terganggu oleh orang tua, dia sendiri juga terganggu tidak bisa tidur. Jadi ini adalah bagian-bagian kehidupan yang kadang harus dialami oleh orang tua.
GS : Apakah masih ada tantangan atau masalah lain yang dihadapi oleh orang-orang yang berusia lanjut ini, Pak Paul?
PG : Terakhir adalah hilangnya jati diri atau identitas diri. Setelah bertahun-tahun bekerja, membangun jati diri kita pada karier akhirnya kita harus melepaskannya, sewaktu kita terlepas karier kita akan terlepas dari lingkup sosial dimana kita menghabiskan banyak waktu di sana. Singkat kata, kita terlepas dari kehidupan kita, ini tidak mudah, kita seolah-olah menghilang dari kehidupan. Sebagai orang tua akhirnya kita merasa terkurung dan tidak ada lagi yang memerhatikan kita, tidak ada lagi yang menghormati kita. Ini juga sebuah pergumulan yang berat sebagai orang tua.
GS : Apalagi kalau dia di dalam pekerjaannya berhasil, artinya dia mempunyai posisi yang baik, tapi sudah waktunya dia tidak bekerja lagi akhirnya dia merasa sangat menderita.
PG : Karena makin penting, berarti ia makin dibutuhkan. Banyak orang akan mencari dia, meminta bantuannya, tiba-tiba sekarang sepi tidak ada lagi yang datang, tidak ada lagi yang mencari. Sudah tentu ini tidak mudah untuk dia menerimanya.
GS : Identitas diri yang hilang itu identitas diri seperti apa, Pak Paul ?
PG : Biasanya adalah perasaan bahwa kita berharga, kita berguna, kita dibutuhkan, karena kita bisa berbuat ini dan itu. Pada hari-hari tua, biasanya makin terbataslah kita bisa berbuat ini itu untuk orang sehingga akhirnya kita merasa tidak begitu berguna. Belum lagi ketika kita melihat, sekarang kita tidak bisa jalan, tidak bisa membaca, tidak bisa ini dan itu. Makin merasa kita tidak berguna, seringkali itulah perasaan yang muncul. Kita kehilangan diri kita, kita tidak lagi berguna, perasaan yang cukup menyiksa.
GS : Biasanya orang-orang seperti itu justru tidak mau bergaul atau bersosialisasi dengan orang lain lagi. Ia menyibukkan diri dengan kegiatannya sendiri dan akibatnya ia makin terpisah saja dari kumpulan orang ini.
PG : Betul dan memang tidak bisa disangkal pada usia-usia tua, kebutuhan kita untuk bertemu dengan orang-orang, bertemu yang seumur dengan kita sebetulnya tidak begitu besar. Jadi kita kadang-kadang malas keluar, maunya di rumah saja. Makin hilang jati diri kita, makin sendirian kita.
GS : Dengan dia tidak bersosialisasi sebenarnya malah makin merugikan juga. Pak Paul, dalam kondisi yang sulit seperti itu pada masa tua menghadapi banyak tantangan, apa ada ayat Firman Tuhan yang bisa dijadikan pegangan ?
PG : Yesaya 46:4 berkata, "Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu, Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus. Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu". Sekali lagi dari Yesaya 46:4 dari Firman Tuhan ini kita belajar bahwa Tuhan setia, Dia tidak akan meninggalkan kita, Dia akan memelihara hidup kita pada saat kita tidak lagi dapat memelihara hidup kita sendiri.
GS : Ini suatu janji yang Tuhan Allah sendiri sampaikan kepada kita dan apa yang dijanjikan-Nya pasti digenapi karena Dia adalah Allah yang setia pada janji-Nya.
PG : Betul.
GS : Pak Paul, sebenarnya kita mau membicarakan lebih lanjut tentang bagaimana kita menghadapi tantangan-tantangan yang tadi sudah kita bicarakan tapi karena waktu kita terbatas, kita akan perbincangkan itu pada kesempatan yang akan datang. Karenanya kami mengharapkan para pendengar kita bisa mengikuti program ini pada kesempatan yang akan datang.
Terima kasih sekali Pak Paul, untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Masa Tua Tidak Selalu Indah" bagian yang pertama. Kami akan melanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.