Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen bersama Ibu Wulan, S.Th., kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Makna Tunduk Istri kepada Suami", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
WL : Pak Paul, di dalam Efesus 5:22-23 disebutkan bahwa "Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat." Pak Paul, ini merupakan ayat yang sangat penting bagi setiap rumah tangga Kristen. Cuma sering kali ayat ini menimbulkan salah paham atau salah dimengerti oleh banyak anak Tuhan. Apakah Pak Paul mungkin bisa menjelaskan mengenai ayat ini, supaya menjadi berkat dan menolong keluarga-keluarga Kristen?
PG : Untuk kita bisa lebih tepat membahasnya, saya akan mengarahkan kita semua ini pada dua pertanyaan. Yang pertama adalah mengapakah Tuhan secara spesifik menetapkan suami sebagai kepala shingga istri harus tunduk kepadanya.
Dengan kata lain apa alasannya pria yang dipilih Tuhan. Kedua apakah artinya tunduk di sini, nah pertanyaan berikutnya adalah sejauh manakah kita tunduk kepada suami. Saya kira ayat ini dapat kita soroti dari dua pertanyaan yang baru saja saya angkat. Nah untuk menjawab saya akan memulai dulu dengan konsep kepemimpinan suami, dengan kata lain ini untuk menjawab pertanyaan pertama mengapakah suami yang Tuhan tetapkan sebagai kepala keluarga. Kita harus melihat keluarga sebagai sebuah unit organisasi, dan semua organisasi harus memiliki pimpinan. Dan tanpa kepemimpinan, organisasi akan mengalami kekacauan. Jadi dengan kata lain keluarga memang harus memiliki seorang pemimpin, jadi kalau ada orang yang berkata: "O......tidak perlu ada pemimpin dalam keluarga." Saya kira itu konsep yang keliru, sebab semua unit organisasi memerlukan pimpinan, tanpa pimpinan maka kita akan melihat kekacauan, jadi demikian pulalah dengan keluarga.
WL : Bagaimana Pak Paul dengan banyak istri yang justru mempunyai kelebihan-kelebihan yang lebih dibandingkan dengan suami, yang maksudnya kepemimpinannya justru lemah?
PG : Nah, dalam kasus seperti itu saya kira tetap akan ada tempat bagi suami untuk menjadi kepala, namun sudah tentu karena istri lebih berbakat, lebih berkarunia, istri akan memegang perana yang lebih besar dibandingkan istri-istri lain yang tidak memiliki bakat atau kemampuan sebesar orang tersebut.
Jadi otomatis memang yang namanya memimpin, berapa memimpinnya, berapa dominan kepemimpinannya itu juga sangat tergantung pada kwalitas si pria itu dan berapa berperan atau tidak berperannya si istri ya juga bergantung pada kemampuan si istri itu pula. Semakin dia mempunyai banyak karunia yang bisa disumbangsihkan sudah tentu semakin berperan dia dalam keluarga tersebut.
GS : Saya setuju dengan yang Pak Paul katakan setiap organisasi pasti ada pemimpin, cuma masalahnya di dalam rumah tangga mengapa suami yang harus ditunjuk sebagai pemimpin dan bukan yang lain?
PG : OK! Coba sekarang kita melihat, penunjukkan pria sebagai pemimpin sebetulnya berkaitan erat dengan konsep Kristus sebagai kepala jemaat. Nah Kristus yang adalah Allah mengambil identita pria sebagai jasad ragawiNya.
Jadi saya kira tidaklah masuk akal jika Tuhan menetapkan istri sebagai kepala rumah tangga dan menyamakannya dengan Kristus, si kepala jemaat. Karena Kristus adalah seorang laki-laki dan itulah yang diidentikkan dengan kepemimpinan rumah tangga. Jadi dalam hal ini jauh lebih konsisten kalau suami yang diidentikkan dengan Kristus, nah ini saya kira alasan yang paling kuat, yang Alkitab juga tuturkan. Yakni kita yang pria diminta menjadi kepala sebab memang kita diidentikkan dengan Kristus yang adalah dalam jasad ragawiNya seorang pria, jadi saya kira pengidentikan dengan Kristus sebagai seorang pria ini adalah salah satu alasannya. Nah berikutnya lagi adalah ini Pak Gunawan, saya kira secara budaya (ini memang tidak ada di Alkitab, ini adalah pandangan pribadi saya) secara budaya pada umumnya, pria menempati posisi sebagai kepala. Ada budaya yang menempatkan wanita sebagai pimpinan atau kepala, tapi lebih banyak budaya yang menempatkan pria sebagai pimpinan. Karena dari segi fisik, pria memang mempunyai kekuatan kasar yang jauh lebih besar daripada wanita. Jadi dalam hal-hal misalkan berperang pada zaman-zaman primitif dahulu, yang harus pergi berperang adalah pria, yang harus melindungi tempat kediaman mereka dari serangan musuh juga adalah pria. Dengan kata lain secara budaya dari awalnya apalagi dalam masa-masa dulu di mana sering kali terjadi perang antar suku dan sebagainya, pria memang berfungsi sebagai pelindung, sebagai panglima perang, sebagai serdadu, sebagai penjaga, sudah tentu dia harus bisa memimpin, dia harus bisa mengatur karena itulah fungsi yang dieembankan kepadanya. Nah saya kira Tuhan juga menetapkan pria sebagai pimpinan karena memang secara budaya itulah yang memang diterima oleh kebanyakan budaya di dunia ini.
WL : Pak Paul, tapi tidak bisa disangkal ada beberapa budaya yang menganut budaya maternalistik bukan paternalistik. Wanita lebih banyak dominan, bahkan pria kalau menikah pun seolah-olah wanita yang memberikan banyak pemberian ke pihak pria, bagaimana itu Pak Paul?
PG : Saya kira itu ada, dan memang budaya tersebut diterima oleh kelompok tersebut dan tidak apa-apa, ya berjalan dengan baik. Nah, apakah budaya tersebut akan harus mengubah budayanya jikalu mereka menjadi orang Kristen.
Saya kira tidak serta-merta harus berubah dengan langsung, secara radikal. Yang penting memang pada akhirnya adalah sebuah kepemimpinan dan adanya sebuah keharmonisan dalam rumah tangga tersebut. Kalau itu tercapai dan memang itulah cara yang diterima oleh budaya setempat, saya kira lebih baik dipertahankan seperti itu dulu, biarkan secara alamiah kalau memang budaya itu harus berubah biarlah budaya itu berubah. Sebab sekali lagi kita harus melihat yang lebih jelas lagi tentang kepemimpinan pria, ini yang sering kali disalahpahami. Pria diberikan kuasa bukan untuk menundukkan, bukan untuk menguasai, dan kuasa tersebut diperoleh bukan dari pemaksaan karena dia lebih bertenaga, dia lebih mempunyai uang, sama sekali bukan. Tapi kuasa yang lahir dari pengorbanan, nah itulah yang memang Tuhan inginkan, kuasa yang lahir dari pengorbanan. Dan karena dia berani mengorbankan dirinya, dia lebih mempunyai kuasa dalam rumah tangganya. Jadi saya kira untuk menjawab pertanyaan Ibu Wulan tadi, kalau kelanggengan bisa dipelihara dengan cara tersebut misalkan wanitanya yang kebetulan secara budaya diterima untuk menjadi pemimpin, saya kira tidak apa-apa.
WL : Menyambung penjelasan Pak Paul tadi tentang kekuasaan pria yang idealnya lahir dari pengorbanan, tapi pada realita di dunia ini kita sering melihat tidak sedikit pria-pria itu yang justru "menjajah", menekan wanita, memukul, sehingga pada akhirnya muncul gerakan feminisme. Walaupun saya pun tidak setuju dengan gerakan itu, tapi bisa dimaklumi karena itu muncul dari tekanan yang memang sering kali juga berlebihan. Dari pria menginjak-injak wanita, Pak Paul?
PG : Sudah tentu itu konsep yang sangat salah. Jadi kadang kala sebagian kita pria dengan senang hati mengadopsi ayat ini, istri tunduklah kepada suamimu. Itu seolah-olah membenarkan segala indakannya yang ingin menjajah wanita, sangat salah.
Sebab sekali lagi tugas yang nanti akan kita bahas dalam pertemuan kita berikutnya adalah tentang suami harus mengasihi istri, nah ini adalah sebuah perintah yang terkait bukan terlepas dari perintah hai istri tunduklah kepada suamimu. Jadi sekali lagi pengorbananlah yang menjadi dasar kepemimpinan seorang suami dalam rumah tangganya bukan pemaksaan atau penjajahan.
GS : Kalau begitu Pak Paul, ayat yang tadi Bu Wulan bacakan tentang istri yang diminta tunduk kepada suaminya, pengertian tunduk itu bagaimana, Pak Paul?
PG : OK! Saya akan memberikan sedikit latar belakang, tunduk adalah syarat keanggotaan dalam suatu organisasi atau ikatan, tanpa ketundukan mustahil tercipta kerukunan. Kalau seorang mempunyi pendiriannya dan tidak harus tunduk kepada seorang pimpinan pasti tidak akan ada kerukunan, yang lebih sering terjadi pasti gontok-gontokan.
Nah, tunduk adalah pedoman yang Tuhan berikan kepada istri agar dapat melanggengkan hidup bersama. Bukan perintah yang Tuhan sampaikan kepada wanita karena seolah-olah ini adalah masalah atau kelemahan wanita. Sebab menurut saya, tanpa kecuali kita semua sulit untuk tunduk, secara kodrati kita bukanlah makhluk yang mudah tunduk kepada orang. Nah, waktu Tuhan menyampaikan itu kepada wanita, bukan karena wanita mempunyai problem yang terlebih besar dengan hal kepatuhan, saya kira tidak. Baik pria maupun wanita sama-sama pada dasarnya sulit untuk tunduk pada kemauan orang lain. Jadi waktu Tuhan berikan kepada wanita, sekali lagi saya ingin tekankan bukan karena wanita mempunyai problem dalam hal kepatuhan, sama sekali bukan. Justru yang kita lihat pada umumnya wanita jauh lebih mudah patuh dibandingkan dengan pria. Jadi tujuannya adalah dalam konteks kelanggengan, kerukunan, sebab tanpa ada yang tunduk tidak mungkin tercapai ketundukan itu sendiri. Tapi sekarang kita mau melihat dengan lebih jelas lagi, seberapa jauhnyakah istri itu tunduk kepada suami. Tunduk dibatasi oleh Tuhan sendiri, dalam pengertian istri tidak boleh melanggar kehendak Tuhan gara-gara ingin tunduk kepada suami. Jadi kalau misalkan si istri diminta untuk berbuat sesuatu yang berdosa, karena suaminya meminta dengan dasar ini kita tidak boleh tunduk kepada manusia melebih tunduk kepada Allah. Jadi kalau gara-gara kita tunduk kepada manusia, harus berdosa kepada Allah, kita akan tidak tunduk kepada manusia demi tunduk kepada perintah Allah. Nah, ini batasnya tunduk dalam rumah tangga. Jadi sejauh manakah tunduk? Sejauh tidak bersinggungan dengan dosa.
GS : Di dalam hal ini Pak Paul, tunduknya itu kadang-kadang karena terpaksa. Kalau tadi kita umpamakan rumah tangga sebagai organisasi, biasanya kepemimpinan organisasi memang dipilih atas kesepakatan, nah ini berdasarkan penunjukkan. Tuhan itu langsung menunjuk suami yang menjadi kepala, mau tidak mau si istri merasa terpaksa tunduk, Pak Paul?
PG : Saya kira secara alamiah kita akan merasa begitu, sebab kalau kita putar situasinya misalkan kitalah pria yang tiba-tiba diminta Tuhan tunduk kepada istri, saya kira secara manusiawi kia juga akan berontak, kita tidak mudah untuk tunduk begitu saja.
Nah, apalagi kalau misalkan ada keputusan yang dibuat oleh suami kita yang tidak kita setujui atau keliru. Nah sudah tentu tunduk dalam pengertian yang alkitabiah, tunduk yang mau memahami kehendak si istri, menghargai masukan dari si istri dan mempertimbangkan kepentingan si istri (bukan saja si istri tapi juga satu keluarga). Jadi seperti itulah diharapkan si pria itu memimpin bukan mementingkan dirinya tapi mementingkan keluarganya istri dan anak-anaknya. Dan segala hal yang diputuskannya harus melibatkan istri dan anak-anaknya. Nah, tapi apakah terbuka kemungkinan misalkan dua-dua baik istri maupun suami berpikir ini demi kepentingan bersama, nah waktu dua-dua berkata ini demi kepentingan bersama tapi dua-duanya tidak setuju, tidak sama, tidak sehati. Misalkan si istri akhirnya berkata saya lebih benar, tapi suami berkata saya lebih benar, tapi setelah mereka kumpulkan memang tidak bisa ada titik temu, salah satu harus tunduk. Nah yang tunduk di sini menurut saya adalah si istri, karena inilah perintah Tuhan; istri tunduklah kepada suamimu. Tapi mungkin pertanyaan yang langsung muncul adalah bagaimana kalau keliru, bukankah terbuka kemungkinan si suami mengambil keputusan yang keliru. Nah, menurut saya begini, selama kita sudah memberikan masukan kepada suami, tetapi suami tetap melakukan suatu keputusan yang keliru, biarkan. Jadi bahkan kita akan tunduk pada keputusan yang akhirnya kita tahu keliru, meskipun kita tidak setuju tapi memang ketundukan itu diperlukan. Namun sekali lagi saya tekankan di sini bukan berarti suami bisa bertindak semena-mena, pokoknya saya pikirkan apa, saya inginkan apa, itu yang harus terjadi. Kalau suami masih berpikir seperti itu berarti dia belum mempunyai pikiran Kristus, sebab yang Kristus maksudkan adalah dia sebagai suami memikirkan kepentingan istri dan anak-anaknya. Maka di
Filipi 2:5-11, dituliskan bahwa Kristus itu sebagai Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, rela mengosongkan diriNya (diri diterjemahkan ego), rela mengosongkan egoNya menjadi seorang hamba. Jadi benar-benar Kristus rela mengosongkan diri demi jemaat yang dikasihiNya, nah suami dituntut sama rela mengosongkan dirinya, egonya, demi istrinya dan demi anak-anaknya. Jadi dalam pemahaman kristiani yang seperti ini, sesungguhnya tidak ada tempat bagi kesemena-menaan, sehingga kalaupun terjadi kekeliruan, ini pun kekeliruan yang jujur, yang mungkin sekali manusiawi. Dan tetap istri di sini di minta untuk tunduk.
WL : Pak Paul, saya mau bertanya kekeliruan yang katakanlah memang bukan bermaksud jahat, bagi dia, menurut pemikiran dia keputusan ini memang yang terbaik, tapi bagi istri tetap itu keliru. Nah waktu dijelaskan ini saya teringat suatu kisah nyata yang saya pernah baca di suatu majalah, seorang penyanyi yang prianya atau suami memberikan kebebasan kepada anak ketika anak lulus dari SD dia katakan kepada bapaknya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, OK diberikan kebebasan dengan pemikiran bahwa kelak engkau yang menuai apa yang engkau tabur ini. Lalu istri tidak setuju, sangat tidak setuju karena memang usia masih sangat dini. Lalu kalau tidak salah setahun atau dua tahun kemudian, ditemukan meninggal dengan bibirnya berbusa karena over dosis, kena narkoba dari teman-teman sepergaulannya. Nah dari awal sudah jelas di sini, kalau kita mau menengok lagi ke belakang jelas konsepsi istri yang lebih benar, tetapi karena dia tunduk kepada suaminya karena suaminya adalah pemimpin rumah tangga ya itu yang terjadi, bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Hal-hal seperti itu memang terjadi, dan apakah bisa langsung kita katakan ini bisa dicegah. Kadang-kadang ada hal yang bisa dicegah, ada hal yang tidak bisa dicegah karena tidak diketahi dengan pasti apa yang akan terjadi nantinya.
Misalkan contoh yang mungkin lebih sering terjadi dalam kehidupan kita. Anak sudah berumur 16 tahun ingin keluar rumah malam-malam, si ayah memberikan izin, istrinya tidak memberikan izin. Misalkan hari agak gelap, baru saja hujan, si istri berkata: "Kamu diam di rumah, jangan pergi ke mana-mana." Nah si anak tetap mau pergi, misalkan dia mengendarai motor, akhirnya si ayah berkata tidak apa-apalah asal hati-hati. Si anak akhirnya benar-benar pergi naik motor dan tertabrak, dan misalkan sampai harus di rumah sakit, perawatannya sangat mahal. Nah, mudah sekali memang istri akan berkata: "Kamu sih yang kasih." Tapi dalam hal ini sebetulnya tidak mungkin seseorang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi, sebab 50% kemungkinan yang satunya lagi adalah anak itu pulang dengan tubuh sehat tanpa ada apa-apa. Jadi ada hal-hal yang memang tidak bisa diketahui dengan pasti dan si istri juga harus bisa menerima kemungkinan tersebut. Tapi yang penting adalah memang di dalam rumah tangga, suami memberi ruang bagi istri untuk memberikan pendapatnya, untuk berbeda pendapat dengan dia, dan juga untuk mengajukan masukan-masukan yang berharga. Di sinilah si istri berperan sebagai seorang penolong, tapi setelah memberikan masukan itu hendaklah nantinya suami yang mengambil keputusan, sudah tentu konsultasikan dengan istri. Bahkan nanti anak-anak sudah mulai besar harus juga melibatkan anak-anak, karena keputusan si suami misalkan pindah kota atau apa, itu juga akan berkaitan dan berimbas pada anak-anak. Jadi si suami pun diminta untuk bisa mengutarakan ini kepada anak-anak dan meminta pendapat mereka. Namun tetap setelah itu dilakukan, saya kira keputusan akhir tetap diberikan kepada suami. Kenapa harus begini? Karena sekali lagi saya ingin mengingatkan bahwa konteksnya, latar belakangnya kenapa Tuhan memberikan ayat-ayat ini adalah Tuhan sudah memberikan resep kepada kita bagaimana hidup harmonis. Harmonis itu tidak selalu dibuktikan dengan keputusan yang tepat, tapi yang Tuhan minta adalah keharmonisan. Dan untuk menjaga keharmonisan memang harus ada yang menjadi pemimpin dan harus ada yang menjadi anggota, dan itu saya kira mutlak harus ada. Bukankah kita pun kalau kita bekerja di luar, tidak selalu setuju dengan atasan kita. Dan meskipun atasan kita melakukan kekeliruan tetap kita memang harus mengikutinya, karena kalau tidak, tidak akan ada lagi suatu keharmonisan dalam suasana kerja kita, jadi mesti harus ada itu.
WL : Mungkin lebih sulit Pak kalau dibandingkan dengan suasana kerja ya. Suasana kerja OK-lah kita tunduk-tunduk menerima karena memang menerima gaji. Kalau tidak suka, batas pertahanan kita tidak bisa ya sudah berhenti, pindah kerja. Kalau dengan suami tidak bisa begitu Pak.
PG : Betul, pressure-nya jauh lebih besar, lebih intens, betul sekali itu.
GS : Tapi sering kali begini Pak Paul, istri pada awal pernikahan memang tunduk tapi lama-lama menanduk. Jadi kadang-kadang suami tidak merasakan perubahan itu. Nah dalam hal ini sebenarnya ada banyak dalam kasus-kasus keluarga, istri secara formal memang tunduk, dia tetap mengakui suaminya sebagai kepala keluarga. Tetapi dia katakan: "Kamu boleh kepala, tetapi saya lehernya." Jadi tetap dia yang memagang peranan, itu bagaimana Pak Paul?
PG : Yang penting adalah bukan pengakuan tapi perbuatan, bahwa dalam perbedaan pendapat, setelah dia mengutarakan pendapatnya memang sebaiknya dia serahkan kembali kepada suami. Juga ada sat cara lagi, istri tetap bisa berpengaruh, tetap bersumbang sih, namun dengan cara yang dapat diterima oleh suami.
Hampir semua suami bersedia mendengarkan masukan istri, namun adakalanya disampaikan dengan cara yang tidak disukai oleh si suami. Nah cara itulah yang bisa dipelajari oleh istri, cara-cara yang mungkin lebih bijak. Salah satu cara yang bisa saya sarankan adalah memberikan pilihan. Kadang-kadang kalau kita berkata langsung kamu salah, harusnya begini, itu susah untuk orang berbelok arah dan mengakui saya salah dan harus ke jalan yang disarankan oleh istri sendiri. Nah, lebih baik bagaimana kalau kita sarankan, ini bisa tapi ada pilihan-pilihan yang lainnya, pilihan yang A ini, ini kerugian dan keuntungannya, pilihan B ini, ini kekurangan dan kelebihannya, menurut kamu bagaimana. Atau kita bisa berkata: "Saya ada pendapat, boleh atau tidak saya berikan, ada masukan mau atau tidak kamu dengarkan." Nah setelah kita sampaikan kita katakan kepada suami: "Ya terserah kamu apa yang baik, saya hanya memberikan masukan saja." Nah dengan cara-cara seperti itu saya kira istri bisa mengefektifkan pemberian, sumbang sih atau masukan kepada suaminnya sehingga akhirnya bisa diterima.
WL : Pak Paul, saya ada satu pertanyaan tentang konsepnya tunduk ini, itu sebetulnya dipengaruhi atau tidak dari kepribadian si wanita. Misalnya ada wanita yang memang dependen, bergantung, ya dia memang sudah terbiasa begitu jadi lebih mudah atau bahkan menikmati suaminya mengatur segala sesuatu.
PG : Pengamatan yang baik Bu Wulan, jadi memang ada perbedaan. Kepribadian yang lebih mudah nurut ya lebih gampang untuk menyesuaikan diri dengan konteks kehidupan seperti ini, jadi betul seali itu.
GS : Dalam pembicaraan ini kita baru bisa berbicara dari sisi istri yang diminta untuk tunduk, tetapi firman Tuhan itu memang akan berkelanjutan di pihak suami dan ini akan kita bahas pada kesempatan yang akan datang bersama Pak Paul. Kami mengucapkan banyak terima kasih Pak Paul bisa berbincang-bincang bersama kami dan juga Ibu Wulan. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah dengan setia mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Makna Tunduk Istri kepada Suami". Kami menyarankan Anda untuk mengikuti kelanjutan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Namun bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan email dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan dan akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.