Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kali ini akan kami beri judul Korban melahirkan Korban. Judul ini merupakan perbincangan yang menjadi kelanjutan perbincangan kami beberapa waktu yang lalu yaitu pengaruh pertengkaran orang tua terhadap pertumbuhan anak, namun kami akan berbicara secara lebih spesifik lagi bahwa korban itu melahirkan korban berikutnya. Kami percaya acara ini pasti akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami ucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Perbincangan ini akan diawali dengan sebuah kisah nyata yang akan disampaikan oleh Ibu Idajanti Raharjo.
IR : Pak Paul dan Pak Gunawan, saya pernah menemui sebuah keluarga di mana sang suami suka bertengkar dengan istrinya dan jika bertengkar dia suka menghakimi istrinya dan itu dilakukan di hadapan anak-anaknya. Kemudian setelah anak ini dewasa dia mulai mencontoh sikap dari ayahnya dan dia juga suka marah. Yang saya heran si anak ini kalau marah terhadap ibunya, suka menghakimi persis seperti ayahnya menghakimi ibunya. Jadi si ibu ini seolah-olah sudah kehilangan wibawa di hadapan anak-anaknya, seperti jadi korban, menurut Pak Paul bagaimana?
PG : Tepat sekali seperti ungkapan lingkaran setan ya Bu Ida, sebab lingkaran setan sebetulnya mengandung arti suatu kesinambungan yang jahat. Yang tadi Ibu Ida katakan seringkali terjadi daam keluarga-keluarga yang tidak harmonis yang penuh dengan kekerasan atau pertengkaran.
Anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti itu sebetulnya dalam hati berjanji tidak mau menjadi seperti orang tua mereka, tapi yang acapkali terjadi adalah mereka menjadi seperti orang tua yang tidak mereka sukai itu. Mereka mengulang perbuatan dan tindakan yang ketika mereka masih kecil sangat membencinya, tapi seolah-olah cengkeraman itu sudah masuk ke dalam hidup mereka sehingga waktu mereka sudah dewasa akhirnya menjadi tiruan langsung dari orang tua mereka.
GS : Apakah anak itu adalah anak laki-laki, Bu?
IR : Perempuan, justru anak laki-lakinya sayang kepada ibunya.
GS : Usianya kira-kira? Sepertinya remaja.
IR : Anaknya itu remaja, tapi sekarang sudah menikah.
GS : Kenapa bisa mencontoh ayahnya Pak? Tadi saya pikir anak perempuan cenderung mencontoh ibunya tetapi anak perempuan kenapa bisa mencontoh sikap ayahnya yang begitu keras terhadap istrinya?
PG : Dalam hal ini memang bergantung pada proses identifikasi. Siapa yang diidentifikasi oleh si anak itu, yang saya maksud dengan identifikasi adalah si anak menempatkan dirinya di pihak sipa.
Dalam contoh tadi si anak wanita menempatkan dirinya di pihak si papa, mungkin yang terjadi adalah si anak wanita memiliki cukup banyak kesamaan dengan si papa. Contoh kalau si anak itu cukup rasional dan si papa juga cenderung orang yang sangat rasional, sedangkan si mama orang yang lumayan emosional kurang rasional. Otomatis kesamaan ini mendekatkan mereka dan si anak lebih bisa mengerti si papa. Papa marah karena mama tidak mudah mengerti misalnya, papa marah karena mama itu lemah, terlalu mudah dipengaruhi oleh emosinya, jadi yang lebih bisa mengerti adalah si anak wanita sehingga dia seolah-olah membenarkan tindakan si papa kepada si mama. Dan ini yang sebetulnya lebih berbahaya, si anak akhirnya mengakui kelemahan si mama, bahwa si mama itu seharusnya tidak demikian. Karena si mama itu lemah, seolah-olah sudah selayaknyalah menerima ganjaran-ganjaran itu. Akhirnya si anak mengikuti jejak si papa, karena apa? Karena sama-sama tidak tahan juga dengan sikap si mama yang misalnya emosional, lama-kelamaan si anak yang lebih mirip dengan si papa juga merasa tidak tahan dengan mamanya, jadi akhirnya kebenciannya mulai tumbuh juga terhadap si mama.
GS : Dalam hal ini yang jadi korban mama tadi ya?
IR : Ini bagaimana Pak Paul, untuk memperbaiki hubungan ini, karena saya tahu rasanya kalau komunikasi kedua orang antara anak dan ibu tidak pernah cocok, setiap ibunya punya ide selalu ditolak.
PG : Jadi si ibu itu, dulu harus menghadapi si ayah, sekarang harus menghadapi si anak, jadi diteruskan satu generasi selanjutnya.
GS : Tapi kalau tadi kita bicara, Pak Paul bahwa korban melahirkan korban, apakah tidak mungkin bahwa ibu itu yang sekarang kita lihat menjadi korban. Apakah tidak mungkin bahwa orang tuanya, orang tua si ibu ini dulu juga mengalami hal yang sama, Pak?
PG : Sangat mungkin, sebab si anak wanita ini nanti kalau jadi ibu dia akan cenderung juga seperti itu, misalkan dengan suaminya atau dengan anaknya dia cenderung sangat reaktif sekali dan mdah sekali marah terhadap hal-hal yang tidak bisa dia toleransi.
(1) GS : Berarti pertengkaran orang tua itu akan punya pengaruh pada hubungan atau relasi seseorang?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang sarat dengan pertengkaran akan mengalami gangguan dalam hubungannya dengan orang lain. Pada kesempatan yang lal kita bicara tentang kurangnya rasa percaya diri, was-was terhadap orang lain.
Ada dua kecenderungan, Bu Ida dan Pak Gunawan, yang pertama adalah si anak ini menjadi anak yang berusaha menguasai keadaan, jadi mengontrol semuanya. Yang kedua kebalikannya anak ini menjadi anak yang bergantung pada orang lain, seolah-olah ini dua sifat yang bertolak belakang tapi sesungguhnya muncul dari satu sumber yang sama yaitu dia adalah anak yang penuh ketakutan karena pertengkaran orang tua itu membuat dia tegang dan takut. Nah orang tidak bisa hidup dalam ketakutan terus-menerus, akhirnya yang dia lakukan adalah mencoba untuk menguasai ketakutannya itu. Ada dua cara untuk menguasai ketakutan, yang pertama tadi saya singgung menguasai keadaan sehingga keadaan itu selalu bisa dia kendalikan, karena dalam keadaan yang tidak terkendali kita merasa lebih tegang, lebih takut. Orang seperti ini sukar sekali berelasi dengan orang lain karena kecenderungannya menguasai orang lain sehingga reaksi orang akan seperti yang dia inginkan, kalau tidak seperti yang dia inginkan maka dia bisa marah dan sebagainya. Atau kebalikannya dia menjadi orang yang luar biasa lemahnya, selalu menyajikan diri yang lemah yang perlu dilindungi, akhirnya dia menjadi seperti lintah, dia hanya bisa menempel pada orang lain, yang diharapkan bisa melindunginya. Supaya apa? Supaya dia tenang, jadi sekali lagi sumbernya sama yaitu dia takut, tegang dan sangat membutuhkan keamanan.
(2) GS : Tadi Pak Paul katakan memang itu seperti lingkaran setan Pak Paul ya, tapi dengan pertolongan Tuhan pasti ia mau mencoba untuk memutuskan lingkaran itu supaya proses ini berhenti, supaya tidak berkelanjutan. Tentunya dalam hal ini kita akan lebih condong untuk menolong si anak, kalau katakan orang tuanya mungkin lebih susah. Seandainya kita mau menolong si anak yang mengalami kondisi keluarga seperti itu, hal-hal apa yang bisa kita lakukan terhadap anak itu, Pak Paul?
PG : Pertama-tama si anak perlu diberikan wadah atau kesempatan agar dia bisa mengekspresikan perasaan-perasaannya. Biasanya dilakukan melalui proses terapi yang lebih terkendali dan juga bekesinambungan.
Jadi maksudnya si anak menyimpan banyak perasaan, baik itu kebencian, kemarahan, ketakutan, ketegangan. Masalahnya adalah dalam rumah tangga dia tidak berkesempatan mengutarakannya, karena apa? Tidak ada yang mau mendengar, orang tua sudah sibuk dengan problem mereka sendiri jadi si anak akhirnya terpaksa menyimpan, memendam semuanya. Oleh sebab itulah kalau memang dia mempunyai karakter yang agak keras, sewaktu anak ini remaja, akhirnya dia melampiaskannya di luar dengan berkelahi, memukul misalnya.
GS : Tapi tadi Pak Paul juga katakan bahwa anak yang mengalami problem seperti ini sulit sekali untuk mengekspresikan emosinya, lalu bagaimana cara kita menolong anak ini, Pak Paul?
PG : Yang bisa dilakukan misalnya dalam terapi kita mengajak dia berbicara, kalau usianya masih relatif kecil bisa digunakan terapi permainan misalnya kreatifitas menggambar. Dari gambar, kaya tangannya si anak mulai mencetuskan perasaannya, misalkan dia menggambar ibu yang besar, ayah yang kecil.
Terus ditanya oleh si terapis, kenapa menggambar ibumu begitu besar, mungkin dia berkata sebab mama itu menakutkan misalnya, si papa misalnya pendiam jadi tidak menakutkan bagi dia. Dengan cara itulah si anak mulai mengekspresikan dirinya.
IR : Mungkin ada hal-hal lain yang bisa kita lakukan, Pak Paul?
GS : Selain memberikan saluran supaya anak itu mengutarakan emosinya?
PG : Yang berikutnya adalah kita harus mulai mencari tahu kebutuhannya, apa kebutuhan spesifik yang dimiliki oleh si anak. Pada umumnya dia memerlukan atau membutuhkan ketenangan, tapi salahsatu hal yang juga sering dibutuhkan si anak adalah dia membutuhkan kepermanenan.
Sebab dia hidup dalam ketidakpermanenan artinya ketidakmenentuan, begitu sering orang tuanya meledak tanpa bisa diduga maka dia perlu hidup dalam rumah yang bisa dia duga. Jadi kita tahu kalau anak ini membutuhkan kepermanenan. Misalkan kita adalah penolong bagi si anak itu. Kita bisa memperhatikan kata-kata kita misalnya kalau kita berjanji kita tepati, kalau kita berkata minggu depan jam berapa kita ketemu maka kita datang pada jam yang sudah kita janjikan. Jadi kekonsistenan kita itu membawa dia masuk ke dalam alam yang dia inginkan yaitu adanya kepermanenan, keteraturan sesuatu yang bisa diduga, itu menolong dia untuk hidup dalam dunia atau alam yang berbeda, sehingga dia belajar untuk menyesuaikan diri dengan hidup seperti itu. Kebutuhan lainnya yang biasanya dimiliki oleh anak yang seperti ini adalah dia sebetulnya sangat membutuhkan untuk melihat figur orang tua, hubungan suami-istri yang baik. Karena kalau tidak, nanti setelah menikah dia akan mempunyai suatu bayang-bayang bahwa dia akan seperti orang tuanya. Pasti bayang-bayang itu akan menghantuinya, berpuluhan tahun dia hidup dengan ayah-ibu yang terus tidak rukun, harapan bahwa dia nanti akan hidup rukun dengan istri itu mudah sekali pupus tatkala mereka misalkan mulai bertengkar. Bagi pasangannya pertengkaran itu biasa, tapi tidak bagi dia yang tidak mau bertengkar karena ingin mempunyai hidup yang berbeda dari hidup orang tuanya. Dia kaget sewaktu dia bertengkar dengan si istri, misalnya dia tidak bisa lagi menoleransi kenapa saya bisa bertengkar, tidak seharusnya saya bertengkar. Anak ini perlu melihat hubungan yang baik itu seperti apa, hubungan yang baik itu tidak berarti bebas dari konflik, tapi pencetusan konfliknya adalah yang baik. Dengan kata lain si anak akhirnya perlu belajar untuk mengutarakan amarahnya dengan baik dan menerima reaksi marahnya itu juga dengan lebih wajar, kebutuhan tentang kasih sayang juga merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan. Orang tua yang sibuk berkelahi pasti kurang memperhatikan kepentingan anak, kurang melihat perasaan anak karena mereka pun sudah dirundung oleh masalah.
IR : Bahkan mungkin juga mudah marah terhadap anak-anak ya Pak Paul?
PG : Betul sekali, mudah sekali marah karena sudah banyak kekesalan dalam hidupnya, jadi tidak bisa lagi diganggu oleh si anak.
GS : Kalau begitu langkah yang berikut tadi yang Pak Paul katakan itu lebih sulit dari yang pertama, kalau yang pertama tadi mungkin dia bisa diasingkan sejenak untuk mengutarakan emosinya. Tapi yang berikutnya Pak Paul, itu bersangkutan langsung dengan orang tuanya. Maksudnya sekalipun dia sudah dibekali dan sebagainya, sudah diminta untuk mengutarakan emosi, sampai di rumah dia menjumpai orang tuanya bertengkar lagi. Apakah anak ini harus diasingkan Pak Paul?
PG : Kalau diasingkan, kita harus memastikan ada rumah tangga yang memang bisa menyediakan suasana yang sangat baik ya. Tapi ini yang paling sering saya temukan Pak Gunawan, Ibu Ida, bahwa aak-anak seperti ini yang terus-menerus melihat pertengkaran orang tua mereka, tidak mau dipisah dari orang tua.
Jadi tetap ikatan batiniah antara anak dan orang tua itu begitu kuat. Akibatnya meskipun hidup tidak bahagia di rumah, tapi tetap di rumah lebih bahagia daripada di luar rumah.
GS : Berarti sebenarnya kalau memang kita mau menolong anak itu, tidak bisa terlepas dari orang tuanya juga, jadi orangtuanya harus ditolong juga untuk mengurangi frekwensi pertengkaran mereka?
PG : Betul, dan ini yang sulit karena seringkali orang tua menolak untuk ditolong. Kita juga perlu melihat ya Pak Gunawan dan Ibu Ida dalam relasinya dia sekarang dengan orang-orang lain siaa yang berfungsi menjadi pemenuh kebutuhannya.
Si anak yang sudah dewasa ini sekarang misalkan dari anak wanita itu. Waktu dia sudah menikah dia sebetulnya mempunyai suatu kebutuhan, kebutuhan yang diharapkan dipenuhi oleh orang-orang yang dekat dengan dia sekarang, baik itu suaminya maupun anaknya. Jadi dalam kasus tadi misalkan dia tidak bisa menoleransi kehidupan mamanya yang terlalu emosional. Nah waktu dia sudah menikah, dia akan menuntut orang di rumahnya baik suami maupun anak-anaknya menjadi orang-orang yang relatif tidak beremosi. Jadi artinya apa? Dia sukar menoleransi kenaikan emosi atau turun naiknya emosi baik itu dari pihak suami maupun anak, itu yang ke satu. Kedua, dia juga akan menuntut supaya orang-orang di rumahnya bersumbangsih menenangkan dia ketika dia sendiri tidak harus beremosi turun naik. Jadi bukan saja dia mau melihat orang-orang di rumahnya itu relatif tenang tidak beremosi, dia pun menuntut orang di rumahnya menyediakan itu untuk dia. Sebab sebetulnya dia sendiri juga karena lahir dari rumah tangga yang penuh pertengkaran, seharusnya dia itu mudah tegang, mudah beremosi jadi dia akan menuntut supaya orang di rumahnya menjadi orang-orang yang menenangkan dia. Ini yang harus dilihat oleh orang tersebut, siapa yang sekarang berfungsi sebagai pemenuh objek atau pemenuh kebutuhannya. Karena apa? Tidak ada yang bisa memenuhi kebutuhannya, itu intinya.
GS : Apa tidak menimbulkan masalah baru lagi?
GS : Tidak mungkin karena orang serumah harus memenuhi semuanya, itu korban melahirkan korban lagi.
PG : Tepat sekali, itu sebabnya cukup banyak terjadi contoh misalnya anak wanita melihat papanya tidak setia pada mamanya. Dan sering melihat orang tuanya bertengkar karena urusan wanita lai misalnya, setelah dia dewasa menikah tiba-tiba dia mempunyai ketakutan yang sama bahwa suaminya nanti akan mempunyai wanita lain.
Yang dia tuntut adalah nomor satu si suami tidak boleh dekat sedikit pun dengan wanita lain. Jadi dia sangat menjaga hubungan si suami dengan wanita lain, itu ke satu. Kedua dia akan menuntut si suami membuat dia tenang, jangan sampai dia itu harus merasa was-was, contoh konkretnya dia meminta si suami atau menuntut si suami untuk melimpahkan cinta kasih yang membuat dia merasa sangat tenang karena sangat dicintai. Kita semua tahu ini tugas yang mustahil bisa dilakukan oleh siapapun.
GS : Tapi kalau si suami itu sebenarnya tahu latar belakang istrinya atau calon istrinya, itu akan banyak menolong ya, Pak Paul?
PG : Betul, tapi memang harus ada kesadaran dari orang yang bersangkutan, jadi dia harus sadar "Sebetulnya inilah yang terjadi. Saya menuntut jangan sampai saya seperti orang tua saya yang tdak saya sukai dan yang kedua saya menuntut supaya orang-orang membuat saya menjadi orang yang berbeda."
IR : Orang yang seperti itu tentu bagi Tuhan tidak ada yang mustahil Pak Paul. Pak Paul mungkin bisa memberikan saran yang terkait dengan firman Tuhan bagaimana mengatasi orang yang mempunyai sifat seperti itu?
PG : Saya akan bacakan dari 2 Korintus 5:19, "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan dirinya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka." Waktu saya membaca bagin belakang dari ayat ini hati saya penuh dengan pengucapan syukur Bu Ida, yaitu Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita.
Setiap kita yang dirundung oleh masalah yang tadi kita bicarakan, kita tahu bahwa kita ini penuh dengan pelanggaran. Biarlah firman Tuhan mendamaikan, menenangkan kita bahwa Allah tidak memperhitungkan pelanggaran kita, jadi artinya apa yang sudah biarlah dan kita coba hidup yang baru.
GS : Tapi mungkin langkah awal yang bisa kita lakukan adalah berdamai dulu dengan Allah ya Pak (PG : Tepat sekali) kita akan berdamai dengan diri kita sendiri dan berdamai dengan orang lain.
PG : Betul, dan memang Alkitab menegaskan kita hanya bisa didamaikan dengan Allah melalui Kristus Yesus. Ia adalah penebus semua hukuman dosa kita sehingga melalui Tuhan Yesus kita didamaika dan kalau kita sudah damai dengan Allah, kita memang lebih mudah damai dengan diri sendiri dan dengan orang lain pula.
GS : Hanya dengan cara itu yang tadi kita sebut sebagai lingkaran setan itu akan berhenti ya, Pak Paul.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi bahwa sekalipun pada umumnya korban melahirkan korban, tapi kita tahu bahwa di dalam Tuhan, di dalam kita percaya kepada Tuhan Yesus ada sesuatu pengharapan yang memungkinkan kita keluar dari lingkaran setan itu dan tidak perlu menjadi korban-korban berikutnya. Itulah sebuah perbincangan tentang pengaruh pertengkaran orang tua terhadap pertumbuhan anak dan juga kehidupan kita selanjutnya bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk No. 58 Malang. Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan banyak terima kasih untuk semua surat-surat yang ditujukan kepada kami. Namun saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda masih sangat kami nantikan. Dan dari studio kami sampaikan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.END_DATA