Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Konflik Akibat Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Banyak orang mengatakan bahwa anak adalah pemersatu antara suami dan istri tetapi pada faktanya anak juga bisa menjadi sumber perpecahan di antara suami dan istri. Kenyataan seperti ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Itu sangat tepat. Sebetulnya dalam rangking ada 3 besar yang sering menjadi pertengkaran antara suami dan istri, yang pertama adalah masalah keuangan. Yang kedua adalah komunikasi, seringkali terjadi salah pengertian entah itu dari nada suaranya, perkataan yang digunakan, cara yang digunakan maka akhirnya terjadi miskomunikasi dan akhirnya bertengkar. Dan yang ketiga yang menyebabkan pertengkaran adalah masalah anak. Jadi mulai dari perbedaan mendidik anak, sampai tuntutan pada anak yang berlainan, itu semua bisa menjadi sumber atau bahan pertengkaran kita. Pada kesempatan ini kita mau mencoba mengangkat beberapa hal yang sering menjadi pemicu pertengkaran antara kita karena masalah anak. Misalnya yang sering menjadi pemicu adalah, siapa yang harus bangun mengurus anak pada tengah malam sewaktu anak bangun dan meminta makan atau menangis minta untuk dibersihkan. Kalau istri kita tidak bekerja, dan hanya suami yang bekerja purna waktu maka hal itu akan lebih mudah untuk kita saling bagi tugas tapi yang menjadi masalah adalah kalau keduanya harus bekerja dan anak ini sudah berumur satu tahun lebih misalnya. Maka dua-dua harus bekerja dan dua-dua harus bangun pagi, dan yang lebih sering lagi adalah si ibu harus menyiapkan makanan di pagi hari. Jadi siapa yang harus bangun mengurus anak ? Atau kalau kita sedang di rumah dan dua-dua sedang sibuk karena seringkali membawa pekerjaan ke rumah, kemudian anak meminta perhatian kita dan si anak perlu dibantu, perlu diberi makan karena lapar jadi perlu dimasakkan, atau buang air dan kita harus membersihkannya. Jadi siapa yang harus mengurus? Apakah kita dengan mudah berkata, "Itu adalah tugas istri saya." Sekali lagi kalau istrinya memang purna waktu di rumah maka hal ini akan jauh lebih mudah, tapi misalkan kita mengurus anak dan kita dua-dua bekerja maka siapa yang harus mengurusnya? Atau sewaktu anak sakit, misalkan dua-dua juga bekerja dan dua-dua sibuk, jadi siapa yang harus mengorbankan waktu kerjanya membawa anak ke rumah sakit atau ke dokter ? Jadi hal-hal seperti ini yang seringkali menimbulkan pertengkaran di antara suami istri terutama kalau seseorang merasa, "Kamu ini seenaknya saja, kamu ini selalu menyuruh-nyuruh saya, saya juga sibuk bekerja dan bukan hanya kamu." Kalau yang satu terus-menerus menyuruh dan tidak mau memikul beban akhirnya muncullah pertengkaran di antara suami dan istri.
GS : Walaupun pihak istri itu purna waktu di rumah, Pak Paul, tapi kalau si suami acuh tak acuh ketika anaknya bangun malam atau waktu sakit dan kemudian dia masih tidur enak-enakan, ini juga memicu pertengkaran, Pak Paul. Si istri juga akan merasa kurang diperhatikan.
PG : Betul sekali. Sebab meskipun seorang istri tidak bekerja di luar dan dia mengurus anak secara purna waktu di rumah. Namun bangun tengah malam itu adalah hal yang tidak mudah, sekuat-kuatnya tubuh tapi kalau harus bangun tiap tengah malam, itu akan sangat mengganggu dan tidak nyaman. Meskipun dia akan bersedia melakukannya tapi kalau dia melihat suaminya tertidur dengan enak dan sama sekali tidak menawarkan bantuan, ini akan cukup menjengkelkannya sebab yang dia perlu adalah sebuah tenggangrasa. Jadi alangkah baiknya kalau suaminya juga ikut bangun kemudian menawarkan "Kamu bisa tidak bangun, kalau tidak bisa maka saya saja yang bangun," saya kira perkataan yang seperti itu yaitu menawarkan bantuan sudah cukup melegakan dan menghibur hati si ibu dan saya yakin kebanyakan wanita akan berkata, "Tidak mengapa, saya masih bisa mengurus." Atau memang kalau dia sangat letih, kalau suami menawarkan maka dia bisa berkata, "Baiklah malam ini tolong kamu yang bangun karena saya sangat letih. Jadi tenggangrasa seperti ini mesti dipupuk. Dengan kata lain, meskipun yang satu bersedia menunaikan kewajibannya, berkorban mengurus anak tapi mohon pihak yang satunya bangunlah dan selalu tawarkanlah bantuan karena hal ini menunjukkan tenggangrasa dan pengertian terhadap pengorbanan besar yang sedang diberikan oleh istrinya.
GS : Tapi malah ada suami yang pindah kamar kalau malam, jadi membiarkan anaknya bersama dengan ibunya agar dia tidak merasa terganggu. Hal ini juga menimbulkan masalah antara suami dan istri.
PG : Kalau memang ada kesepakatan dan memang istri yang berkata, "Daripada tidurmu terganggu maka lebih baik kamu tidur di sana dan saya saja yang mengurus anak." Sudah tentu ini akan lebih baik namun dalam kondisi seperti itupun saya kira tetap menawarkan bantuan adalah hal yang baik dan positif. Waktu anak-anak kami masih kecil, waktu anak ketiga kami lahir istri saya terpaksa harus tidur dengan anak ketiga kami dan saya tidur dengan anak kedua kami karena anak-anak kami hanya berbeda usia 2 tahun. Jadi memang harus ada tenggangrasa, dan saya harus tidur dengan anak saya yang berusia 2 tahun dan sudah tentu kalau saya tidur tidak pernah pulas dari malam sampai pagi. Jadi tenggangrasa itu membuat saya dan istri bersama-sama memikul beban.
GS : Tapi kuncinya adalah membicarakan hal itu dengan baik-baik dan terbuka kemudian mencari solusinya bersama, begitu Pak Paul?
PG : Jadi ada baiknya untuk bicara secara langsung dari hati ke hati dan saya juga akan tawarkan satu lagi masukan. Misalkan keduanya bekerja, kita bisa tetapkan jadual jaga misalnya hari ini ayah yang menjaga dan besoknya ibu yang menjaga. Jadi dengan kata lain kita saling mengerti kalau dua-dua bekerja maka malam ini saya harus bangun dan besok istri saya yang akan bangun. Tapi sudah tentu diperlukan fleksibilitas, misalkan kalau kita terlalu letih maka kita meminta agar istri kita yang menjaga malam ini dan pihak yang satunya berkata, "Baik, tidak apa-apa." Jadi makin banyak tawaran untuk membantu maka masa-masa ini menjadi lebih mudah, sehingga tidak menimbulkan pertengkaran. Sebaliknya semakin kita kurang tenggangrasa maka makin pelit kita untuk menawarkan bantuan sehingga makin memudahkan kita untuk bertengkar.
GS : Pasti kita terbangun karena satu kamar jadi tidak mungkin kalau kita tidur terus. Tetapi masalahnya adalah setelah kita membantu seringkali kita beranggapan bahwa hal itu sudah selesai dan kemudian kita tidur lagi dengan cepat, hal ini seringkali menimbulkan kejengkelan di pihak istri karena istri dan anak belum tidur tapi kitanya sudah tidur enak.
PG : Jadi dalam hal-hal seperti ini kalau si istri memerlukan kita untuk terus berjaga maka istri juga perlu bicara, "Tolonglah saya masih perlu bantuanmu karena saya juga letih." Jadi istri pun harus berani menyuarakan karena seringkali suami itu tidak selalu mengerti isi hati si istri. Saya masih ingat waktu istri mengurus anak-anak pada masa kecil, 90% istri yang mengurus anak-anak dan dia yang bangun malam untuk mengurus anak dan sebagainya. Tapi selain tadi saya tidur dengan anak saya untuk turut membantu meringankan beban istri saya, kemudian lagi waktu anak sakit saya mencoba untuk membantu misalkan yang saya masih ingat, saya tidak tidur. Apalagi kalau anak panas maka harus dikompres dan saya yang harus terus jaga karena hanya itu yang saya bisa kerjakan secara insidentil, tapi yang rutin memang istri saya. Saya menduga waktu istri saya melihat dalam kasus yang insidentil yaitu saya berkorban tidak tidur semalaman menjaga anak yang sedang sakit, itu mengobati hatinya dan itu juga membuat dia merasa bahwa saya bersama dia dan memikul beban untuk bisa mengurus anak-anak.
GS : Masalah lain yang sering timbul akibat anak ini apa, Pak Paul ?
PG : Biasanya adalah masalah tentang, siapa nanti yang mengurus anak? Atau perbuatan apa yang perlu didisiplin? Dan pertengkaran terjadi karena masalah-masalah seperti ini. Atau seberapa dinikah kita menerapkan disiplin? Atau kapankah mengharuskan anak makan sendiri dan buang air sendiri atau mandi sendiri? Seringkali semua ini menimbulkan kesalahpahaman sebab adakalanya seorang ayah berkata, "Kamu ibu yang mengurus anak berarti kamu juga yang harus mendisiplin anak." Maka seorang istri akan berkata, "Ini bukan hanya anak saya saja tapi ini juga anak kamu maka kamu juga yang harus mendisiplin anak." Atau perbuatan mana yang perlu didisiplin? Dan seringkali tidak ada kecocokan antara suami dan istri akhirnya salah satu orang mengalah dan berkata, "Terserah kamu saja, kamu mau mendisiplin dia seperti apa itu semua terserah kamu," jadi untuk menghindari pertengkaran hal itu yang seringkali dilakukan meskipun bisa jadi dia jengkel kalau anaknya didisiplin dengan hal yang menurut dia tidak semestinya. Atau seberapa dinikah kita menerapkan disiplin? Misalkan istri berkata "Sedini mungkin," tapi suami berkata, "Jangan nanti saja." Atau bahkan ada yang seperti ini, karena dulu dia didisiplin terlalu keras oleh orang tuanya maka dia berjanji tidak akan mendisiplin anak dan istri kebalikannya yaitu ingin mendisiplin anak akhirnya yang terjadi adalah pertengkaran, yang satu merasa terlalu berat kamu memarahi anak tapi yang satu merasa lebih marah karena kamu tidak mau memikul beban mendisiplin anak. Ini adalah masalah-masalah yang mudah timbul, jadi sekarang kita mau melihat bagaimana cara-cara menanggulanginya. Saya hendak menggarisbawahi satu prinsip disini yaitu bahwa disiplin adalah kewajiban kedua orang tua, tidak benar kalau salah satu berkata, "Ini hanya tugasmu," tapi itu adalah anak kita berdua jadi itu adalah tanggung-jawab kita berdua untuk mendisiplinnya. Bagaimana perbedaan dalam mendisiplin? Memang seringkali dibahas agar terjadi saling pengertian dan keselarasan. Saya mengerti hal seperti ini tidak mudah selesai karena kita berbeda tapi yang penting adalah dibicarakan, dijelaskan maksudnya dan yang penting juga adalah sikap mau mendengarkan. Kalau kita memunyai sikap tidak mau mendengarkan pasangan untuk memberikan penjelasannya kepada kita maka kita akan membuat dia merasa percuma bicara dengan kita karena kita pun tidak mau menggubrisnya.
GS : Dalam hal mendisiplin ini seringkali terjadi dualisme, masalahnya adalah salah satu tidak mau terlihat jahat di depan anak. Misalkan kalau ibu terus yang mendisiplin maka anak akan menilai kalau ibu itu jahat dan si ayah baik-baik. Dan hal ini yang mau dihindari oleh salah satu pihak.
PG : Betul sebab hal ini akan memicu kemarahannya karena dia merasa saya mendisiplin untuk kebaikannya, karena anak ini kalau tidak didisiplin maka akan bermasalah. Jika saya mendisiplin dan pasangan saya tidak mendisiplin, memang bagi si anak adalah saya yang jahat. Jadi waktu dia melihat bahwa dia manis-manis dengan pasangannya tapi cemberut-cemberut dengan dia maka dia semakin panas dan nanti dia akan melampiaskan kepada kedua pihak baik kepada pasangannya maupun kepada anaknya. Jadi dengan kata lain, kalau seseorang tidak mau memikul beban mendisiplin anak maka ini seperti hutan yang terbakar dan akan menjalar kemana-mana, maka kita harus menyelesaikan. Dalam pembicaraan tentang apa yang perlu didisiplin? Memang kita harus langsung masuk ke pada tujuan pendisiplinan dan bukan sarananya. Misalnya untuk mengharapkan anak agar bisa makan sendiri, tujuannya adalah melatihnya untuk mandiri. Untuk melatih anak mandiri maka diperlukan proses waktu dan disinilah kita acapkali ada perbedaan pendapat, ada yang mengharapkan hasil dalam waktu yang cepat, tapi ada yang mengharapkan hasil dalam waktu yang lama. Jadi dalam pembicaan kita bisa menekankan bahwa maksud kita sama dan tujuan kita sama namun yang berbeda adalah mulai kapan dan berapa lamanya, ada yang mengharapkan agar anak cepat bisa mandi dan makan sendiri tapi pasangan mengharapkan agar anak tidak terlalu cepat untuk mandiri. Saran saya adalah terus lakukan dengan sabar dan jangan tergesa-gesa dan marah-marah kalau anak tidak bisa melakukan yang kita inginkan. Jadi dengan kata lain pertanyaannya bukanlah perlu atau tidak kita melakukan hal itu? Jawabannya adalah perlu, mendidik anak untuk mandi sendiri apakah perlu? Itu perlu tapi lakukanlah dengan sabar, perlahan-lahan sedikit demi sedikit karena anak perlu proses waktu untuk dapat mengadopsi perilaku yang lebih mandiri.
GS : Contohnya seperti makan tadi, tepatnya kapan untuk kita memberikan disiplin terhadap anak ?
PG : Biasanya anak-anak bisa makan sendiri ketika anak mencapai usia sekitar 4 atau 5 tahun. Jadi dengan kata lain anak harus didorong untuk makan sendiri sekurangnya setahun sebelumnya dan memang ada yang lebih dini. Dengan kata lain, berilah waktu untuk anak berubah atau mengadopsi perilaku tertentu. Kalau ada orang tua berkata, "Baiklah kita mulai mendidik anak untuk makan sendiri dari usia 3 tahun," hal itu tidak mengapa namun kita mesti sabar karena 3 tahun dia mulai diajar untuk makan sendiri, ada anak yang cepat mengadopsi itu dalam waktu beberapa bulan tapi ada yang lebih lama lagi, tapi kita berdua harus memunyai perspektif yang benar yaitu pada akhirnya anak itu akan makan sendiri dan tinggal berapa lamanya dan cepatnya saja. Kesabaran untuk melewati proses itu diperlukan.
GS : Konsekuensinya adalah kalau misalnya anak itu belum bisa makan sendiri dan akhirnya banyak yang tercecer maka harus dibersihkan bersama.
PG : Betul. Kalau makanan masih berceceran dan sebagainya maka kita harus sabar karena anak itu perlu waktu untuk mengadopsi perilaku yang mandiri itu.
GS : Bagaimana untuk mengajar anak membersihkan mainannya, Pak Paul ?
PG : Saya kira kita harus meminta anak untuk menaruh mainan yang telah dimainkannya ke dalam sebuah keranjang sejak anak itu masih kecil atau sejak anak berumur 2 tahun, setelah dia selesai bermain kita ajak dia bersama-sama menaruhnya ke dalam keranjang. Jadi setiap kali selesai, kita mengajak dia bersama-sama menaruh itu di keranjang. Dengan cara itulah lama-kelamaan dia akan terbiasa kalau selesai bermain maka dia akan menaruh mainannya ke dalam keranjang. Disiplin yang bersifat menghukum wajib diberikan tatkala anak membangkang, misalkan anak dengan sengaja berkata, "Tidak mau," kalau disuruh sesuatu berkata, "Tidak mau." Di saat itulah waktunya kita memberikan disiplin yang tegas. Kalau masih bisa dijelaskan dan masih bisa dibujuk dengan kata-kata maka silakan, tapi kalau tidak mau dan tidak mau lagi maka silakan menghukum. Jadi jangan menghukum anak dengan kesalahan yang wajar dilakukan anak seusianya seperti menumpahkan air dan sebagainya tapi hukumlah anak waktu dia membangkang saja.
GS : Atau mengembalikan mainan itu tidak sempurna karena kebiasaan anak adalah mencampur semua mainan. Dan ini yang seringkali menjengkelkan pihak ayah kalau anaknya meminjam barang-barang ayah dan kemudian tidak dikembalikan ditempatnya misalkan alat tulis dan sebagainya dan hal ini sangat menjengkelkan.
PG : Maka kita sebagai orang tua, kita harus menyadari bahwa anak akan senang bermain dengan barang-barang kita, barang-barang yang tidak kita inginkan dimainkan olehnya sebaiknya kita simpan di lemari terkunci, sehingga dia tidak bisa memainkannya. Jadi daripada kita setiap hari pulang dan jengkel maka lebih baik simpanlah agar dia tidak bisa memainkan. Jadi biarkan dia memainkan barang-barang kita yang memang kita perbolehkan untuk dimainkan olehnya.
GS : Tapi menjadi pertengkaran suami istri ketika istri kita yang memberikan barang itu untuk anaknya dengan alasan, "Tadi dia meminta," jadi kemudian diberikan. Akhirnya konfliknya ini antara orang tua.
PG : Maka pasangan kita yang harus diberitahu, "Jangan barang ini karena barang ini saya perlukan dan tolong barang ini ditaruh disini saja dan jangan dikeluarkan."
GS : Hal lain apa yang sering menimbulkan konflik ?
PG : Ini yang seringkali menjadi masalah khususnya kita di sini ialah siapa yang harus membimbing pelajaran si anak? Karena anak tidak hanya belajar di sekolah tapi juga belajar di rumah. Misalnya lagi dimana anak kita bersekolah? Ada yang setuju agar anaknya sekolah di sekolah yang susah, tapi ada yang mau agar anaknya sekolah di sekolah yang biasa-biasa saja. Apakah perlu mengundang guru les? Ada orang tua yang berkata, "Tidak perlu karena saya yang mengajari," tapi setiap malam berteriak-teriak memarahi si anak. Atau perlukah menyediakan les tambahan seperti les musik, olahraga? Ada yang berkata, "Tidak perlu, belajar saja sudah cukup," tapi ada yang berkata, "Tidak apa-apa karena ini akan menambah variasi kegiatannya." Ini adalah bahan-bahan yang seringkali menimbulkan pertengkaran. Saya menyarankan pertama-tama kita harus mengenal anak dengan baik agar dapat mengenal kekuatan dan kelemahannya, jadi ada dua hal yang senantiasa diseimbangkan. Yang pertama kita mesti seyogianya menempatkan anak di sekolah yang memang menantang agar potensinya dapat tergali, namun selayaknya kita menempatkan anak di sekolah di mana dia dapat berkembang agar dia dapat menumbuhkan keyakinan dirinya. Jadi mengembangkan kemampuan dan memperkuat keyakinan diri, hal ini adalah 2 hal yang mesti kita seimbangkan. Kadang kita terlalu menekankan menggali kemampuan, kita lupa kalau nanti dia tidak berhasil dan dia paling rendah di kelasnya, hal itu akan meruntuhkan keyakinan dirinya. Tapi sebaliknya kalau kita menyekolahkan dia di sekolah yang terlalu gampang, keyakinan dirinya memang bertambah tapi kemampuannya tidak tergali dan ini adalah dua hal yang selalu harus diseimbangkan.
GS : Bagaimana dengan pelajaran tambahan, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu boleh diberikan namun ingat jika pelajaran tambahan pada akhirnya menjadi sangat mirip dengan sekolah karena banyaknya pelajaran yang harus dipelajari dan lamanya juga hampir sama seperti sekolah, itu berarti anak menanggung beban yang terlalu berat. Dalam kasus seperti itu sebaiknyalah kita memertimbangkan ulang sekolah yang lebih sesuai dengan kemampuannya dan jangan memberi beban yang terlalu berat sehingga untuk dia harus memenuhinya dia merasa kewalahan dan ini benar-benar tidak sehat buat perkembangan jiwanya.
GS : Biasanya pihak ayah menyarankan agar disekolahkan di sekolah yang bagus dan mendapat les tambahan, tapi untuk lebih tepat melihat masalah ini sebenarnya dari pihak ibu yang mendampingi terus menerus.
PG : Memang adakalanya ayah yang menuntut terlalu tinggi, tapi saya juga melihat ada kasus di mana yang menuntut terlalu tinggi adalah ibu. Di sini perlu untuk melihat anak secara realistis terutama dampaknya pada anak, kalau anak misalkan malam-malam dia ketakutan dan dia menangis berarti beban anak ini sudah terlalu berat. Jadi kita juga harus berhati-hati dan jangan terlalu memberikan kepada dia beban yang seberat itu.
GS : Kalau kita memberikan bimbingan sendiri, itu berarti kita tidak memberikan bimbingan tambahan dari orang lain, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu dalam hal ini kita harus melihat kesanggupan kita dan ketersediaan waktu kita, meskipun kita menguasai bidang pelajarannya namun kita harus mengakui kalau tidak ada waktu yang tersedia maka sebaiknya jangan. Atau walau kita sanggup namun bila bimbingan belajar berubah menjadi ajang kemarahan maka sebaiknyalah jangan kita yang mengajar anak dan berikanlah tugas itu kepada yang lain untuk mengajar anak.
GS : Biasanya untuk menghemat kemudian kita mengurus sendiri, kita pulang kerja merasa lelah kemudian harus mengajari anak belajar dan kemudian anak tidak tanggap, hal itu seringkali menimbulkan kemarahan dan kemudian ditanggapi oleh pasangan kita secara negatif.
PG : Betul sekali. Maka kita harus mencoba melihat masalah dengan lebih utuh dan jangan kita hanya menyoroti satu aspek. Tapi kita harus melihat dampaknya pada relasi kita dengan anak, pada relasi kita dengan satu sama lain, pada suasana rumah, itu semua harus dipertimbangkan jangan sampai karena satu hal yaitu bimbingan belajar anak, akhirnya semua hal lain dikorbankan.
GS : Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan di luar rumah. Jadi misalkan olahraga atau belajar musik dan sebagainya, ini bagaimana Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kita harus melihat minat dan bakat anak setelah mencoba les dan bukan sebelumnya, artinya kita tidak akan tahu sampai anak mencobanya. Jadi saya mengusulkan biarkan anak mencobanya, kalau tidak ada kemajuan barulah kita hentikan, pada prinsipnya kegiatan seni dan olahraga adalah baik untuk pertumbuhan jiwa anak, selain menumbuhkan kreativitas, kegiatan ini juga bisa menjadi sarana pelepas ketegangannya.
GS : Hal ini menunggu anak meminta atau kita yang berinisiatif, Pak Paul ?
PG : Dua-duanya. Jadi adakalanya anak yang meminta kemudian kita pertimbangkan atau adakalanya kita yang berinisiatif. Kalau anak selama 3 atau 4 bulan sekali meminta hal yang baru maka hal itu yang harus kita hentikan, jadi setiap kita meminta dia memulai sesuatu yang baru, kita meminta dia untuk berjanji setidaknya menyelesaikan hal ini misalkan 6 bulan. Kalau 6 bulan kita mengevaluasi ulang dan memang tidak ada kemajuan maka lebih baik kita berkata, "Kalau kamu tidak mau maka tidak mengapa dan saya menerima." Atau misalkan baik itu olahraga atau musik dan dia merasa bahwa dia tidak cocok, maka tetap selama 6 bulan dia harus selesaikan. Dengan cara itu anak dilatih untuk tidak mudah bosan.
GS : Namun hal itu pun juga harus tetap dibicarakan dengan pasangan kita, Pak Paul, karena ini menyangkut biaya dan tenaga dia untuk mengantar jemput dan sebagainya ?
PG : Betul. Jadi kelau memang tidak ada biaya dan tidak ada ketersediaan waktu, maka mungkin hal ini harus ditunda dulu.
GS : Pak Paul, kesimpulan apa yang ingin Pak Paul berikan setelah perbincangan ini?
PG : Di Yesaya 42:3 Firman Tuhan berkata, "Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya," artinya Tuhan bersabar membesarkan kita, mendidik kita dan mengarahkan kita dan Tuhan pun tidak mudah putusasa karena Ia tahu bahwa perubahan menuntut waktu, demikianlah dengan membesarkan anak. Kadang perselisihan timbul karena kita menginginkan perubahan pada anak yang seketika dan kita mesti bersabar sebagaimana Tuhan telah bersabar dengan kita maka kita pun bersabar kepada anak sebab dia membutuhkan waktu untuk berubah.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Konflik Akibat Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.