Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso beserta Ibu Idajanti Rahardjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan juga seorang dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang komunikasi suami dan istri. Kami percaya acara ini pasti akan bermanfaat bagi kita sekalian. Dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
(1) GS : Pak Paul, kita memang menyadari bahwa salah satu bagian di dalam kehidupan suami-istri atau hubungan pernikahan adalah komunikasi. Tetapi juga disadari bahwa itu bukan sesuatu hal yang mudah, karena itu sering kali terjadi benturan-benturan di dalam komunikasi dengan pasangan kita. Nah pada kesempatan ini mungkin yang bisa kami bahas adalah bagaimana sebenarnya suami-istri itu harus membangun komunikasinya sedemikian rupa sehingga betul-betul menumbuhkan kehidupan mereka sebagai suami dan istri, jadi komunikasi itu yang sebenarnya apa Pak Paul?
PG : Pak Gunawan, sebetulnya prinsip komunikasi adalah satu atau satu yang paling penting yaitu kejelasan. Jadi apakah saya berhasil berkomunikasi atau tidak, diukur dari satu yaitu apakah yng saya katakan didengar dan dipahami dengan jelas oleh lawan bicara saya.
Meskipun saya ini pandai berorasi namun kalau yang saya ingin sampaikan tidak diterima persis sama dengan yang saya kehendaki saya telah gagal berkomunikasi. Nah ternyata hal komunikasi bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dikaitkan dalam konteks rumah tangga, suami-istri. Ternyata salah satu ciri keluarga yang bermasalah adalah rusaknya komunikasi di antara suami dan istri. Ada lagi yang malah lebih jauh yakni rusaknya komunikasi antara suami-istri atau orang tua dan anak-anak mereka.
GS : Tapi menurut pengalaman kita, pada waktu pacaran Pak Paul itu 'kan sudah banyak yang kita bicarakan bahkan kita bisa berbicara berjam-jam dengan pacar kita yang sekarang menjadi pasangan hidup kita. Tetapi kenapa tiba-tiba setelah menikah justru menjadi hambatan padahal dulu waktu pacaran ini menjadi sesuatu yang didambakan. Senang mendengar suaranya, bisa berbicara dengan dia.
PG : Ya kita mesti melihat beberapa hal di sini Pak Gunawan, yang pertama adalah sewaktu berpacaran kita ini berbicara pada level yang relatif dangkal, jadi kedalaman komunikasi itu biasanyamemang harus melewati proses waktu dan pengenalan.
Tanpa pengenalan yang dalam, tanpa waktu yang panjang dan tanpa kesempatan mengarungi hidup bersama-sama, komunikasi kita tidak akan bisa dalam. Nah pada masa berpacaran komunikasi memang tidak bisa dalam karena kita belum mengarungi hidup bersama-sama, kita belum melewati proses waktu yang panjang. Dan kita belum berkenalan dan mengenal pasangan kita dengan benar-benar intim, sehingga akhirnya komunikasi kita relatif berkisar pada hal-hal yang cethek atau yang dangkal. Dan yang berikutnya lagi adalah, pada masa berpacaran komunikasi itu memang komunikasi yang saya boleh gunakan istilah sesuai dengan kehendak atau kenyamanan kita yang 'convenient' artinya kita akan berbicara pada waktu kita ingin berbicara, kita menelepon dia tatkala memang berhasrat menelepon dia, kita pergi dengan dia tatkala memang kita berkunjung ke rumah dia ingin bertemu dengan dia. Dengan perkataan lain, atau kontak kita dengan pacar kita dilakukan pada umumnya pada waktu-waktu yang lumayan cocok dengan jadwal kita. Setelah kita menikah, hal itu tidak lagi dikuasai oleh kita, kita harus bertemu dengan pasangan kita di waktu di mana adakalanya kita tidak ingin bertemu dengan siapapun, kita harus berbicara dengan pasangan kita di waktu kita sebetulnya lagi tidak ingin berbicara dengan siapapun. Jadi benar-benar 2 konteks kehidupan yang berbeda, nah pada saat kita tidak ingin bicara, terus diajak bicara dan harus bicara di situlah komunikasi bisa terganggu. Jadi kita cenderung bisa berbicara dengan baik kalau memang kita lagi mau berbicara saat itu dan memang hati kita lagi senang, namun kita tahu setelah menikah hal itu tidak lagi bisa kita miliki.
(2) IR : Jadi jelas Pak Paul bahwa komunikasi itu sangat dipengaruhi dengan emosi, dengan pikiran. Tapi mungkin ada contoh gaya-gaya komunikasi yang mungkin Pak Paul bisa berikan, karena setiap orang itu 'kan belum tentu mengerti cara berkomunikasi dengan gaya-gaya yang positif, mungkin Pak Paul bisa memberi contoh?
PG : Dan sudah pasti gaya komunikasi kita ini akhirnya mempengaruhi komunikasi kita dengan pasangan kita. Nah ada yang mudah memahami gaya komunikasi kita, ada yang kesulitan sebab biasanya aya komunikasi dua orang itu tidak sama.
GS : Walaupun mereka suami-istri Pak Paul?
PG : Walaupun mereka suami-istri.
GS : Itu justru yang menarik.
PG : Ya, salah satu gaya yang umum dan ini biasanya dimiliki oleh pria, yakni gaya yang boleh saya gunakan sebutan si asumsi atau si anggap, si menganggap. Artinya orang ini menganggap bahwaseharusnya engkau sudah tahu apa yang ingin saya katakan, jadi sebelum saya katakan ya engkau sudah mengerti, dan intinya adalah saya tidak usah katakan lagi.
Nah ini salah satu gaya komunikasi yang tidak sehat karena akhirnya lawan bicara akan bingung, apa yang sedang kita pikirkan dia tidak tahu sebab kita tidak mengungkapkan. Tatkala dia tidak memberikan jawaban atau melakukan yang kita harapkan, kita marah dan akhirnya kita merasa orang ini tidak mengerti kita.
GS : Sebaliknya ada juga orang yang mengatakan sesuatu itu berputar dulu tidak to the point tapi penuh dengan kata-kata yang bersayap sehingga kita itu sulit memahaminya.
PG : Betul sekali, dan ini biasanya dipengaruhi oleh budaya Pak Gunawan, jadi memang ini gaya bicara yang bisa kita sebut gaya bicara putar-putar. Yakni sebelum menyampaikan atau tiba pada ssarannya, dia harus keliling kota dulu baru ke sasarannya.
Nah ini memang tidak salah, tergantung budaya tersebut dan apakah pasangan kita bisa memahami gaya bicara kita.
GS : Faktor waktu Pak Paul, saya rasa itu juga menentukan, kadang-kadang kami sebagai suami kalau sedang lelah, lalu diajak bicara padahal istri itu banyak sekali yang dibicarakan mulai pagi sampai sore apa yang dialami dia mau sampaikan itu sering kali dan kami tidak bisa menanggapi dengan sungguh-sungguh begitu, Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, saya masih ingat waktu kami belum lama menikah, saya mengalami gangguan juga dalam hal komunikasi dengan istri saya. Sejak saat itu saya masih ingat istri sayacenderung bicara tentang problem tentang apa yang terjadi di rumah tatkala saya baru pulang, waktu saya makan malam.
Nah saya ini orang yang menikmati makan Pak Gunawan, Pak Gunawan mungkin bisa melihat dari tubuh saya, saya kalau makan ingin menikmati makanan yang saya makan itu, saya orangnya begitu. Nonton televisi ya saya ingin nonton televisi, saya tidak bisa nonton televisi sekaligus berdiskusi tentang isi film itu saya tidak bisa, jadi saya satu ya satu begitu. Nah lagi makan ya saya makan, saya tidak suka lagi makan itu ngobrol tentang hal-hal yang serius, nah yang terjadi adalah istri saya suka cerita tentang masalah yang terjadi hari itu, nah saya tidak bisa mendengar. Dia memang senang menemani saya duduk di meja makan tapi akhirnya menjadi waktu yang tidak saya nikmati, maka saya katakan kepada dia: "Lain kali ya jangan ngomong setelah atau lagi saya makan." Jadi akhirnya kami memutuskan waktu yang paling cocok untuk kami bicara hal yang serius adalah malam hari, setelah semua tidur. Dan saya berikan persiapan yaitu istri saya beritahu saya, "Nanti malam ada waktu tidak, saya mau bicara sesuatu yang penting," saya bilang ada. Nah jadi saya sudah bisa antisipasi kalau saya sudah bilang ada dan saya bersedia, saya harus pegang janji itu, jangan setelah malam saya langsung tidur, nah itu tidak baik ya, tidak etis. Jadi siapkan waktu untuk bicara hal yang serius sebab waktu itu akan menjadi lebih produktif kita gunakan.
GS : Tapi bagaimana kalau hal-hal itu yaitu masalah-masalah yang memang serius itu rutin Pak Paul dari hari ke sehari, masalah-masalah yang dibicarakan di dalam rumah tangga itu sama, mirip yaitu masalah anak-anak, masalah harga barang itu 'kan tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran Pak Paul, nah kalau itu dibicarakan pada jam-jam makan, apakah itu juga mengganggu?
PG : Tergantung orangnya, bagi saya cukup mengganggu, sebab bagi saya kalau saya sedang makan saya ingin menikmati yang saya makan, tidak bisa dicampur dengan memikirkan problem Pak Gunawan.Nah saya percaya ada orang-orang yang saya rasa tidak apa-apa dan dia bisa menikmati makan sembari ngobrol dengan hal-hal yang serius, yang mengganggu, ya sudah tidak apa-apa, jadi tergantung.
IR : Apakah perlu Pak Paul, seseorang itu mengkomunikasikan secara utuh apa yang ada di dalam hatinya?
PG : Maksudnya apakah perlu keterbukaan total begitu?
IR : Ya total.
PG : Apapun yang dia pikirkan dia katakan. Saya kira tidak, jadi kita perlu bijaksana apa yang perlu kita sampaikan saat ini, nah itu saya gunakan. Saya garis bawahi kata saat ini, sebab tidk semua hal cocok disampaikan saat ini, itu satu prinsipnya.
Prinsip kedua adalah kita tidak boleh berbohong untuk menutupi suatu hal yang memang telah terjadi, jadi jangan kita ini menggunakan kebohongan untuk melindungi diri atau untuk menyelamatkan diri atau untuk memecahkan problem kita, jadi itu prinsip yang kedua. Jadi yang saya maksud kalaupun kita tidak menceritakan, itu bukan berarti kita sedang mencoba menutupi suatu fakta dari pasangan kita atau sedang mencoba menyelamatkan diri atau kita berpikir dengan berbohong kita akan memecahkan problem ini. Itu tidak boleh, sebab memang Tuhan melarang kita untuk berbohong. Nah kita tidak menyampaikan yang kita alami atau rasakan atau pikirkan semuanya kepada pasangan kita saat ini artinya adalah kita selalu menimbang apakah memang inilah waktu yang cocok untuk kita membicarakan hal ini. Apakah memang dia ini siap mendengar yang saya ingin katakan, apakah ini hanya untuk memuaskan hasrat saya saja dan saya tidak peduli dampaknya pada pasangan saya. Jadi dalam komunikasi kita perlu mempertimbangkan semua faktor-faktor itu, sebab sekali lagi kita tidak hidup untuk diri kita, jadi Tuhan pun meminta kita selalu menimbang orang lain pula.
IR : Jadi bertahap Pak Paul ya?
PG : Ya jadi bisa bertahap juga tapi ini bukannya kasus di mana misalnya terjadi perselingkuhan dan misalkan seorang istri bertanya meminta pertanggungjawaban suami yang telah berselingkuh. ah di sini sudah pasti yang dituntut dan yang seharusnya dilakukan adalah keterbukaan total.
Jadi tidak boleh si suami berkata saya akan ceritakan satu bagian, mungkin 3 bulan lagi bagian yang lainnya, tidak bisa. Jadi untuk merestorasi atau memulihkan hubungan yang telah putus atau telah retak karena perselingkuhan si suami harus terbuka dengan total apa yang telah dia lakukan dan apa yang istri ingin tanyakan dia mesti ceritakan, sehingga si istri bisa mulai membangun rasa percayanya kembali.
GS : Sebenarnya pokok-pokok pembicaraan apa yang bisa membangun kehidupan pernikahan kita Pak Paul, 'kan ada pembicaraan itu yang sekadar istilahnya basa-basi saja, sambil lalu. Tetapi apakah ada pokok-pokok pembicaraan itu yang memang perlu untuk dibicarakan oleh suami-istri?
PG : Saya kira tidak ada hukumnya atau aturannya, berapa banyak atau hal-hal apa saja yang bisa dibicarakan, saya kira berapa dalam dan berapa luasnya percakapan itu akan dipengaruhi sekali leh berapa dekatnya hubungan itu.
Karena hubungan yang sangat akrab akan juga memperluas topik percakapan, sehingga banyak hal yang bisa dibicarakan. Dan juga pengalaman hidup bersama, itu juga penting dalam pembicaraan kalau si istri terputus dari si suami dalam pengalaman hidupnya sebab suami bekerja dari pagi sampai malam, jarang cerita tentang pekerjaannya dengan si istri, nah si istri tidak membagi hidup dengan si suami, akibatnya tidak bisa berbicara secara luas juga. Jadi berapa banyak yang bisa dibicarakan dan berapa dalam tergantung pula pada dua hal itu, yaitu berapa dekatnya hubungan suami-istri dan berapa seringnya mereka berbagi pengalaman hidup ini.
IR : Nah ini ada contoh Pak Paul seorang suami dan istri itu memang dekat, cuma si suami ini sangat labil emosinya, kemudian si istri itu di dalam mengkomunikasikan suatu masalah tidak semuanya begitu. Apakah sisanya itu dianggap kebohongan Pak Paul?
PG : Tidak, itu hikmat ya Bu Ida, jadi kita tahu berapa banyak yang bisa diserap oleh si suami tanpa dia harus akhirnya goyang, kalau dia memang beremosi tinggi, kita tahu kalau kita berikan10 kilo dia pasti akan marah, meledak dan sebagainya.
Nah jadi kita akan sampaikan 1 kilo, 1 kilo dan 1 kilo, perlahan-lahan. Dan mungkin juga itu adalah hal yang ideal dan diharapkan oleh si suami secara tidak langsung, karena kalau dia serap semuanya diapun akan menderita, diapun tidak bisa menguasai dirinya. Dan mungkin dia akan menyesali juga kenapa tadi saya bereaksi begitu keras, jadi saya kira itu adalah aspek yang baik, itu adalah suatu kebijaksanaan dalam berkomunikasi, jadi saya pikir itu baik, bukannya berbohong.
IR : Soalnya istri itu kadang-kadang mempunyai perasaan aduh....ada sebagian yang saya rahasiakan, dia itu punya kebohongan, tapi pada akhirnya nanti disampaikan karena kalau proses masalahnya itu sudah lama dia bisa menerima begitu Pak Paul, tapi kalau pada waktu itu dia pasti akan marah.
PG : Betul, tapi sekali lagi saya ingin garis bawahi, mungkin ada pendengar yang baru langsung mendengar percakapan ini, jadi jangan sampai salah sangka. Tidak diberitahukan dalam pengertianbukannya sedang menutupi fakta tentang diri kita.
Misalkan kita telah berselingkuh, kita telah melakukan hal yang salah dan kita tidak mau memberitahu pasangan kita, bukan itu sama sekali. Jadi ini adalah pembicaraan tentang hal-hal lain misalnya soal urusan bisnis atau urusan anak dan sebagainya nah kita tidak sampaikan dalam pengertian kita mau melihat waktunya kapan, kesiapan pasangan kita begitu.
GS : Ya sering kali yang menjadi masalah di dalam komunikasi atau salah pengertian itu sebenarnya kadang-kadang justru hal-hal yang sepele Pak Paul, bukan hal-hal yang prinsip. Nah itu kenapa, kalau sudah terjadi lalu kita pikir, sebenarnya itu tadi 'kan sesuatu yang bisa dibicarakan atau diselesaikan dengan baik, cuma hal yang sepele misalnya saja makanan yang terlalu asin atau terjatuh di tanah waktu makan dan sebagainya itu 'kan sepele, tapi itu menjadi masalah besar. Sedangkan hal-hal yang sebenarnya prinsip tidak pernah muncul ke permukaan.
PG : Betul, saya juga katakan bahwa kita jarang bertengkar mempeributkan siapa yang menjadi kepala negara Yugoslavia, kita jarang memikirkan soal-soal itu. Komunikasi kita ini dipengaruhi olh beberapa faktor; yang pertama adalah sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi, sebelum terjalinnya kontak komunikasi itu.
Misalnya saya ini baru saja mengalami tekanan-tekanan di tempat kerja misalnya karena ide-ide saya tidak disambut, saya kesal sekali kemudian saya pulang, terus saya bercerita tentang hal lain kepada istri saya dan saya mengusulkan misalnya bagaimana kita ini merenovasi rumah, sebab rasanya makin kecil rumah ini dengan bertambahnya usia anak-anak. Istri misalnya berkata bagaimana kalau kita tunggu dulu, nanti kita lihat lagi beberapa bulan apakah memang perlu dibuat kamar ini atau apa. Nah tiba-tiba saya marah, kenapa saya marah? Sebab saya ini langsung menggolongkan istri saya sama dengan orang-orang tadi di tempat kerja yang menghalangi saya, saya ini merasa terhalang tadi, diri saya tadi merasa tergunting karena yang saya usulkan tidak diterima, sekarang saya mengusulkan hal lain tidak berkaitan dengan pekerjaan saya, tapi istri saya meminta saya menangguhkan terlebih dahulu, saya marah sekali. Nah di situ kita melihat bahwa komunikasi tergantung atau dipengaruhi oleh apa yang terjadi sebelumnya sebab kita cenderung mengategorikan atau menggolongkan orang berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya, meskipun kasusnya tidak sama. Jadi itulah salah satu contoh kenapa kita adakalanya meledak atas hal-hal yang kecil Pak Gunawan.
GS : Apakah pihak ketiga itu bisa mempengaruhi komunikasi suami-istri, maksud saya misalnya di sana ada mertua atau orang lain, saudara, komunikasi kita sering kali tidak sebebas kalau kita waktu berdua Pak Paul.
PG : Tepat sekali, sangat dipengaruhi Pak Gunawan. Jadi hal kedua yang bisa mempengaruhi komunikasi kita adalah kehadiran orang lain. Bisa positif, bisa negatif, bisa misalnya gara-gara ada ertua kita tidak berani berbicara kasar atau kebalikannya Pak Gunawan, gara-gara ada mertua kita sebetulnya ingin mengekspresikan kedongkolan kita kepada mertua, tidak bisa.
Nah akhirnya yang kita jadikan sasaran adalah pasangan kita, kita marah pada pasangan kita dengan harapan si mertua juga ikut marah, si orang tua juga ikut tertembak, begitu. Jadi sering kali kehadiran orang ketiga memang mempengaruhi komunikasi kita, betul itu.
GS : Apakah ada hal-hal lain Pak Paul, yang bisa diupayakan oleh suami-istri supaya komunikasi itu bertambah baik dari hari ke sehari itu?
PG : Ada Pak Gunawan, jadi komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh rasa percaya kita pada pasangan, apakah kita bisa bicara bahwa waktu pasangan kita mengatakan A memang A-lah yang dia inginsampaikan.
Kalau sudah ada kecurigaan "Engkau bicara A karena engkau ingin mendapatkan B," nah itu berarti masalahnya bukan lagi komunikasi, namun sudah menyangkut masalah kepercayaan dan ini adalah hal yang lebih serius. Berarti kita tidak lagi bisa percaya pada kemurnian, kejujuran atau motivasi pasangan kita, kalau ini terjadi, memang kita harus kembali kepada hal-hal yang lebih mendasar. Apa yang telah terjadi dalam hubungan kita sehingga kita tidak lagi bisa percaya pada pasangan kita ini, apakah kita pernah merasa tertipu. Adakalanya kita akhirnya sangat berjaga-jaga sewaktu pasangan kita berkata-kata karena kita takut terjebak, kita takut mengeluarkan janji sebab janji kita itu bisa dipegang atau kita takut menceritakan kelemahan kita kalau ini adalah kelemahan. Sebabnya adalah kelemahan ini bisa dipegangnya untuk menyerang kita kembali, jadi komunikasi sangat dipengaruhi oleh rasa percaya. Berbahagialah pernikahan yang memiliki rasa percaya yang kuat, kalau itu tidak ada, biasanya hal berikutnya yang akan rontok adalah komunikasi antara dua orang itu.
GS : Saya ingat bahwa firman Tuhan selalu mengingatkan kita agar kita itu kalau berbicara yang lemah lembut Pak Paul ya, menahan amarah dan sebagainya. Itu berkaitan dengan kehidupan kerohanian kita Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, sebab orang cenderung lebih bisa mendengar perkataan lemah lembut daripada perkataan kasar. Perkataan kasar meskipun dikatakan saya jujur bebrbicara apa adanyatapi kalau kasar, tetap akan mengurangi keefektifan komunikasi itu.
GS : Ya jadi dalam hal ini bukan isinya, isinya tetap penting tapi gaya dia menyampaikan itu juga penting, Pak Paul.
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, dan juga komunikasi sangat dipengaruhi oleh pandangan kita tentang orang lain. Jadi kita sebetulnya berkomunikasi sesuai dengan gambar dalam kepala kita, siapaorang itu.
Misalkan, kita berbicara dengan orang yang kita anggap kasar, nah kita tiba-tiba sudah mulai mengubah pola pikir kita. Kita harus berbicara dengan kasar juga kepada dia sebab dengan cara itulah baru dia mengerti. Kalau kita berbicara dengan orang yang kita anggap halus sekali, nah tiba-tiba kita mengubah gaya bicara kita dengan lebih halus agar dia jangan sampai tersinggung. Jadi tergantung pada persepsi atau pandangan atau penilaian kita terhadap lawan bicara itu. Nah dalam konteks suami-istri, siapa istri atau suami kita menurut kita itu akan mempengaruhi bagaimana kita berkomunikasi dengan dia. Salah satu unsurnya adalah yang kita sering bicarakan yaitu respek. Kalau kita menilai dia dengan penuh respek, otomatis komunikasi kita juga akan lebih berhati-hati, kita tidak sembarangan bicara, kita tidak sembarangan mengeluarkan perasaan kita karena kita mau mengindahkan perasaannya. Tapi kalau respek itu sudah hilang otomatis penilaian kita terhadap orang tersebut negatif, nah sewaktu penilaian kita negatif komunikasi kita akan diisi dengan hal-hal negatif pula.
GS : Jadi sesuatu hal yang memang tidak mudah, tetapi saya rasa kita perlu terus-menerus belajar Pak Paul dalam hal berkomunikasi. Apakah ada bagian dalam Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan ambil dari Efesus 4:15,"Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia Kristus yang adalah kepala." ah ini terjemahan bahasa Inggrisnya lebih bagus yaitu "Speak the Truth in love" kita bertumbuh ke arah Kristus, tapi syaratnya adalah bicaralah hal yang benar di dalam Kristus dan dalam kasih.
GS : Ya terima kasih Pak Paul, dan demikianlah tadi telah kami persembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan seputar komunikasi suami-istri bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga) dan kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, silakan Anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.