Ketika Tuhan Memanggil Pasangan Hidup Kita

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T568A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kematian pasangan hidup adalah yang terberat, bisa secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, beberapa faktor yang memengaruhi proses berduka adalah kualitas hubungan kita dengan pasangan, kesiapan kita untuk hidup sendiri, dukungan keluarga dan kerabat serta hubungan kita dengan Tuhan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Salah satu ketakutan terbesar kita adalah kematian orang yang kita kasihi; dan di antara semua orang yang kita kasihi, mungkin kematian pasangan hidup adalah yang terberat. Tidak bisa tidak, kematiannya membuat kita bersedih dan sering kali, membuat kita pincang. Walau ada banyak penyebab kematian, ternyata hanya ada dua waktu atau timing kematian:

  1. secara tiba-tiba dan
  2. secara perlahan-lahan.

Marilah kita melihat dampak keduanya pada yang ditinggal dan apa yang dapat dilakukan untuk menghadapinya.

Kematian Secara Tiba-Tiba

Pada umumnya reaksi awal kita adalah terkejut dan tidak percaya. Bahkan di dalam kasus kematian yang didahului sakit selama beberapa bulan, kita masih tetap dapat merasa terkejut dan tidak percaya. Kita berkata, bahwa baru beberapa waktu yang lalu ia begitu sehat dan tidak ada gejala apa-apa, tetapi sekarang ia telah tiada. Walau kita menyaksikan kematiannya dan sudah menguburnya, kita masih sulit percaya bahwa ia telah pergi. Kematian secara tiba-tiba tidak memberikan kepada kita kesempatan untuk berduka sebelum kematian. Bahkan di dalam kasus kematian yang hanya didahului sakit selama beberapa bulan kita tidak memunyai waktu yang cukup untuk berduka sebab biasanya kita terlalu sibuk mengurus kesehatannya dan mendampinginya secara intens. Itu sebab dalam kasus kasus seperti ini, kita mulai menjalani proses berduka setelah kematian. Singkat kata, setelah kematiannya barulah dapat memersiapkan diri untuk hidup sendiri.

Kematian Secara Perlahan-Lahan

Pada umumnya reaksi awal kita sewaktu mendengar diagnosis yang diberikan kepada orang yang kita kasihi adalah terkejut tetapi tetap optimis. Kita berharap perawatan yang diberikan akan dapat menyembuhkannya dan kita percaya bahwa Tuhan pasti mengabulkan doa kita yang meminta kesembuhannya. Namun, sebenarnya di lubuk hati terdalam kita tetap merasa cemas; di samping berdoa dan berharap, kita pun merasa takut kehilangan dia. Di dalam perjalanannya, sewaktu kita melihat bahwa pasangan tidak membaik tetapi malah melemah, kita mulai menerima kemungkinan bahwa ia akan pergi meninggalkan kita. Untuk membesarkan hatinya, biasanya kita memilih untuk tidak memerlihatkan kesedihan, apalagi ketakutan. Sedapatnya kita menghiburnya dan membicarakan perawatan yang masih tersedia. Di dalam kasus kematian yang terjadi secara perlahan-lahan, kita memulai proses berduka sebelum kematian. Kita mulai membayangkan kematiannya dan perasaan kita ditinggal olehnya. Proses berduka akan terus berlanjut setelah kematian, bisa beberapa bulan, bisa beberapa tahun, sampai kita siap untuk berkata selamat tinggal kepadanya.

Beberapa Faktor Yang Memengaruhi Proses Berduka
  • Kualitas hubungan kita dengan pasangan. Pada umumnya hubungan yang sehat dan intim akan membuat kita merasakan kehilangan yang besar dan panjang. Kepergiannya meninggalkan lubang yang besar di dalam hidup kita, lubang yang tidak pernah bisa diisi oleh apa pun dan siapa pun. Hubungan yang tidak sehat dan tidak intim akan bisa membuat kita lega karena kita sekarang sudah lepas dari relasi yang buruk dan dapat menutup lembar kelam di dalam hidup kita serta memulai yang baru. Tetapi sebaliknya, hubungan yang tidak baik juga dapat menimbulkan pelbagai perasaan yang terus berkecamuk setelah kematian pasangan, seperti rasa marah dan rasa bersalah. Kita marah karena diperlakukan tidak baik olehnya dan kita merasa bersalah sebab kita pun memperlakukannya secara tidak baik. Jadi, di sini kita dapat melihat perbedaannya: Di dalam relasi yang sehat dan baik, kedukaan dan pemulihan berjalan perlahan tetapi lurus sedang di dalam relasi yang tidak sehat dan tidak baik, kedukaan dan pemulihan berjalan singkat tetapi meliuk-liuk dan penuh kebingungan serta tidak tuntas.
  • Kesiapan kita untuk hidup sendiri. Apabila kita sangat bergantung pada pasangan, tidak bisa tidak, kepergiannya menyisakan pekerjaan rumah yang berat. Kita harus belajar dan menguasai begitu banyak hal baru yang tadinya dikerjakan oleh pasangan. Jika sebelumnya kita tidak harus menguras tenaga untuk berpikir dan memutuskan sesuatu, sekarang kita harus melakukannya. Sudah tentu semua ini akan memakan waktu yang tidak singkat tetapi itu tidak berarti kita tidak akan pernah dapat melakukannya. Kita pasti dapat, asal kita mau belajar dan tidak ragu untuk bertanya. Kecenderungan kita adalah meminta anak atau kerabat untuk melakukannya, alias menjadi pengganti pasangan. Tidak apa bila memang kita tidak sanggup tetapi sedapatnya kita tidak membebani anak atau kerabat sebab itu dapat mengganggu relasi kita dengan mereka dan mengganggu keluarga mereka sendiri.
  • Dukungan keluarga dan kerabat. Makin kuat dukungan keluarga dan kerabat, makin sanggup kita melalui masa kedukaan. Pada umumnya hal terberat yang mesti dihadapi adalah kesendirian. Jadi, kehadiran mereka sangat berarti untuk meyakinkan kita bahwa mereka tetap mengasihi kita dan mengisi kekosongan yang kita rasakan.
  • Hubungan dengan Tuhan. Apabila kita berjalan erat dengan Tuhan semasa sebelum kepergian pasangan dan terbiasa memandang hidup dari lensa Tuhan, kita akan lebih tegar menerima penetapan Tuhan ini—membawa pulang pasangan ke rumah-Nya yang kekal. Kita akan mengamini ucapan Tuhan Kita Yesus, "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati." (Yoh.11:25)