Ketika Pasangan Mengancam Cerai

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T512B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Ternyata ada beberapa penyebab mengapa pasangan mengancam bercerai dan setiap penyebab menuntut reaksi yang tepat. Pada dasarnya kita tidak bisa memastikan masa depan pernikahan sebab ibarat dua kaki, pernikahan pun menuntut kerja sama dua kaki untuk berjalan. Kita perlu senantiasa menyandarkan pernikahan kita pada Tuhan.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu perkataan yang paling menakutkan untuk didengar adalah kata cerai. Setelah menikah beberapa lama—apalagi setelah dikaruniakan anak oleh Tuhan—kita tidak siap mendengar kata cerai dari mulut pasangan. Sudah tentu ada pelbagai penyebab mengapa kata cerai sampai keluar dari mulut pasangan. Berikut akan dipaparkan beberapa penyebab mengapa pasangan mengancam untuk bercerai dan apa yang dapat kita lakukan.

  1. Karena IA SUDAH MERASA LEPAS KENDALI.
    Ia merasa tidak berdaya dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi untuk membuat pernikahan ini menjadi lebih baik. Atau, ia merasa letih karena sudah terlalu lama ia menderita di dalam pernikahan. Singkat kata, ia mengancam cerai karena ia merasa tidak lagi mampu mengendalikan kita. Perceraian adalah pertanda ia menyerah. Bila inilah penyebabnya, kita mesti memeriksa diri sendiri. Kita harus melihat apakah memang benar kesimpulannya bahwa baginya, kita sudah tak terkendalikan. Kita perlu mengintrospeksi diri apakah benar bahwa kita hanya berubah atau melakukan apa yang diharapkannya bila kita pun setuju dengan pendapatnya. Jika kita tidak setuju, maka kita tidak bersedia mengubah diri atau melakukan apa yang diharapkannya. Salah satu kunci keberhasilan pernikahan adalah penyesuaian diri. Makin bersedia dan sanggup kita menyesuaikan diri, makin harmonis dan kuat pernikahan. Penyesuaian terjadi bukan karena kita setuju dan menganggap diri salah dan pasangan benar. Tidak! Penyesuaian terjadi tatkala kita memutuskan bahwa demi menjaga kerukunan, kita mengalah. Kita melakukan apa yang diharapkan pasangan; selama itu tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan—alias tidak berdosa—kita bersedia memertimbangkannya. Apabila kita hanya bersedia berubah atau menyesuaikan diri sewaktu kita mengakui dia benar dan kita salah, pada akhirnya tidak akan terjadi terlalu banyak penyesuaian diri. Jika pola ini menandai corak relasi kita dengan pasangan, maka dalam hitungan waktu pasangan akan merasa frustrasi. Ia kesal karena ibarat bermain tenis, setiap bola yang dipukul ke lapangan lawan tidak kembali. Ia bermain sendirian; itu sebab akhirnya ia mengancam cerai. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya ancaman cerai merupakan teriakannya meminta perhatian dan kerja sama yang lebih baik dari pihak kita. Pada dasarnya ia tidak menghendaki perceraian; sebaliknya, ia menginginkan PERBAIKAN. Ia berharap lewat ancaman kita disadarkan bahwa selama ini kita tidak bekerja sama, melainkan bekerja sendiri. Jadi, ancaman cerai adalah jalan akhir untuk menyelamatkan pernikahan, bukan jalan pintas keluar dari masalah. Bila inilah yang terjadi, seyogianyalah kita memerhatikan permohonannya dan belajar menyesuaikan diri. Kebanyakan masalah dalam pernikahan bukanlah masalah benar-salah, melainkan masalah perbedaan. Jadi, kita perlu bersikap fleksibel dan tidak kaku.
  2. Karena memang IA SUDAH TIDAK MENCINTAI KITA LAGI DAN MUNGKIN SEKALI, IA SUDAH MENCINTAI ORANG LAIN.
    Untuk beberapa waktu ia sudah menjalin relasi dengan pihak ketiga dan makin hari, makin ia yakin bahwa ia tidak mau hidup bersama kita lagi. Itu sebab pada akhirnya ia mengancam cerai. Ia tidak mengharapkan perbaikan, sebaliknya, ia mengharapkan perpisahan supaya ia bisa hidup bersama kekasihnya yang baru. Bila inilah yang terjadi, sudah tentu tidak terlalu banyak pilihan yang tersedia. Sesungguhnya ancaman cerai lebih merupakan pemberitahuan akan niatnya menceraikan kita. Ia tidak berharap kita berbuat apa-apa untuk menghentikan hasratnya, sebaliknya, ia berharap kita menyetujui keputusannya. Jadi, apa pun yang kita lakukan untuk menghentikan langkahnya, tidak akan terlalu berpengaruh banyak pada keputusannya. Tindakan yang dapat kita ambil hanyalah mengingatkannya bahwa keputusannya tidak hanya berdampak sementara tetapi selamanya. Pertama, ia berdosa kepada Tuhan dan ia harus siap menanggung hukuman Tuhan. Berikut, ia pun akan harus menanggung risiko bahwa anak akan marah kepadanya dan tidak akan menghormatinya lagi. Luka yang ditimbulkannya tidak sembuh dengan mudah dan akan memisahkan dirinya dari anak-anak. Dan, terakhir, orang sekitarnya, terutama keluarganya, belum tentu menerima dirinya dan pasangan barunya. Itu berarti ia akan terkucil dari lingkungan. Ingatkanlah akan konsekuensi-konsekuensi ini dan tanyakanlah, apakah pasangan yang barunya memang layak untuk menerima pembayaran yang begitu mahal. Ya, dia akan bahagia tapi itu tidak berlangsung lama; sebaliknya, ia akan menanggung begitu banyak kehilangan. Minta dia untuk memertimbangkan kembali keputusannya supaya ia tidak menyesal di kemudian hari.

  3. Karena IA INGIN MENGUASAI KITA.
    Mungkin, ia tidak puas dan tidak merasa nyaman dengan corak relasi nikah yang mengharuskannya untuk bernegosiasi. Atau, mungkin ia merasa kalah atau di bawah kita tetapi merasa tidak berdaya. Untuk kembali "menang" ia pun menggunakan senjata ancaman cerai. Ia tahu bahwa sebagai orang Kristen kita tidak mau bercerai, jadi, perceraianlah yang digunakannya sebagai alat untuk menguasai kita. Atau, mungkin ia ingin menguasai kita sepenuhnya agar ia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya—dan ia tidak mau mendengar keberatan kita. Itu sebab untuk membungkam mulut kita, ia pun mengeluarkan ancaman cerai. Orang seperti ini tidak ingin terikat, itu sebab ia berupaya menaklukkan kita lewat ancaman cerai. Bila inilah yang terjadi, kita harus menunjukkan kepadanya bahwa kita tidak takut diceraikan. Kita tidak berkeberatan memeriksa diri dan mengalah namun kita tidak akan membiarkannya memanipulasi dan menguasai diri kita dengan cara yang kotor, yakni ancaman cerai. Namun, kita pun harus siap menanggung akibatnya bila ia benar-benar menggugat cerai. Lebih baik kita mengambil risiko diceraikan daripada hidup di bawah kuasanya yang semena-mena. Relasi nikah harus didasari oleh kasih, bukan oleh rasa takut. Tindakannya menakut-nakuti tidak dapat kita toleransi; itu sebab kita harus bersikap tegas kepadanya.

  4. Karena IA MENYIMPAN KETAKUTAN DICERAIKAN,
    jadi, hampir dalam setiap pertengkaran, ia selalu mengeluarkan ancaman cerai terlebih dahulu. Pada umumnya ketakutan seperti ini berasal dari luka dari pengalaman masa lampau yang buruk dimana ia ditinggal oleh orang yang dikasihinya, mungkin itu ayah atau ibunya, atau kekasihnya yang lama. Pengalaman itu meninggalkan trauma atau ketakutan pada dirinya, jadi, untuk melindungi diri supaya tidak terluka, ia pun mengeluarkan ancaman cerai. Jika itulah penyebabnya, kita mesti sabar dan berusaha menahan diri agar tidak terpancing dan terbawa emosi. Ingatlah bahwa pada dasarnya ia tidak ingin berpisah dengan kita; ia hanya takut ditinggal, jadi, sebelum ditinggal, ia mau meninggalkan kita terlebih dahulu. Itu sebab reaksi yang tepat adalah meyakinkannya bahwa kita tidak mau bercerai dengannya dan bahwa kita mencintainya dan tidak akan meninggalkannya. Ia perlu mendengar peneguhan seperti ini berulang kali, jadi, tidak apa, kita terus mengulangnya. Namun, dalam situasi yang tenang, sebaiknya kita menasihatinya bahwa ia tidak perlu menggunakan ancaman cerai untuk memastikan komitmen kita kepadanya. Ia hanya perlu menanyakannya; itu sudah cukup sebab kita pasti akan menjawabnya. Dan, bahwa jawaban kita akan sama yaitu bahwa kita mengasihinya dan tidak akan meninggalkannya.

Kesimpulan

Ada banyak penyebab mengapa pasangan mengeluarkan ancaman cerai dan setiap penyebab menuntut reaksi yang tepat. Namun dari pembahasan tidak bisa tidak kita disadarkan bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mengendalikan perilaku dan perasaan orang. Pada dasarnya kita tidak bisa memastikan masa depan pernikahan sebab ibarat dua kaki, pernikahan pun menuntut kerja sama dua kaki untuk berjalan. Apabila satu kaki menolak untuk melangkah, perjalanan kita pun terhenti. Tuhan adalah andalan kita satu-satunya; jadi, kepada Dialah kita datang dan menyerahkan pernikahan kita. Kita tidak mau bersandar pada manusia. Mazmur 56:4-5 mengingatkan, "Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu; kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia kepadaku?"