Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kerapuhan Hidup". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Kita semua tahu bahwa manusia memang rapuh, Pak Paul. Bahkan Pemazmur menyatakan bahwa manusia seperti bunga rumput yang pagi ada dan sore lenyap. Tetapi bagaimana kita mengantisipasi atau mempersiapkan diri walaupun kita tahu kita ini memang rapuh, Pak Paul. Apa yang bisa kerjakan ?
PG : Tahun lalu teman baik istri saya datang mengunjungi kami sekeluarga, Pak Gunawan. Dalam kunjungan itu dia bercerita bahwa pinggangnya sakit dan dokter merencanakan untuk mengoperasi tulang belakangnya sekembalinya dari liburan Natal. Setelah pemeriksaan lebih lanjut ditemukan bahwa penyebab nyeri pada tulang belakang adalah kanker. Dari paru-paru, kanker telah menjalar ke tulang belakang dan setahun kemudian kanker malah menjalar sampai ke ginjal dan ke hati. Dengan kekuatan Tuhan dia terus berjuang sampai hari ini. Inilah contoh yang sering kita lihat, Pak Gunawan. Yang memerlihatkan kepada kita bahwa hidup itu rapuh. Begitu rapuhnya hidup sehingga kapan waktu hidup, sebagaimana kita kenal, dapat berhenti. Tadinya kita dapat berjalan, sekarang tidak. Tadinya kita bisa bekerja, sekarang tidak. Tadinya kita bisa memercayai istri atau suami, sekarang tidak. Maksud saya ada orang yang menyadari atau baru tahu istrinya telah berselingkuh dengan orang lain atau baru sadar suaminya berselingkuh dengan orang lain. Sampai kemarin masih bisa percaya kepada pasangan, hari ini sudah tidak bisa lagi. Tadinya kita bisa melihat orang tua, sekarang tidak, karena sudah dipanggil pulang oleh Tuhan. Itulah hidup. Jadi, yang kita mau angkat adalah apa yang dapat kita lakukan untuk memersiapkan atau menolong kita menghadapi kerapuhan hidup ini.
GS : Tetapi apakah banyak orang yang menyadari bahwa sebenarnya hidup manusia ini rapuh sekali, Pak Paul ? ‘kan ada yang menganggap dirinya sehat bisa sampai berapa puluh tahun lagi.
PG : Saya kira orang kadang tidak mau melihat realitas apa adanya, Pak Gunawan. Bukannya tidak tahu ya sebab seharusnya semua orang tahu. Tapi memang ada yang tidak mau mengakui realitas itu. Saya pikir jauh lebih baik kita mengakuinya dan hidup sedemikian rupa sehingga kita siap menghadapinya ketimbang menutup mata menyangkali realitas dan suatu hari benar-benar terjadi sesuatu yang menghancurkan hidup kita, barulah kita kalang kabut dan mungkin sekali kita tidak siap dan tidak tahu bagaimana menghadapinya.
GS : Jadi apa yang bisa kita lakukan, Pak Paul ?
PG : Pertama, kita harus menyadari bahwa tidak ada yang permanen dalam hidup. Apapun yang kita miliki atau nikmati sekarang pada suatu saat akan berhenti. Salomo di dalam Pengkhotbah 3:1 berkata, "Untuk segala sesuatu ada masanya. Untuk apapun di bawah langit ada waktunya." Jadi, janganlah kita menggenggam erat-erat apa pun itu yang sekarang kita miliki atau nikmati. Sebaliknya, terimalah berkat Tuhan sebagai pemberian-Nya untuk hari ini, bukan selamanya. Hanya satu berkat Tuhan yang bersifat permanen yaitu berkat keselamatan. Selain dari keselamatan, semua berkat akan berlalu. Berkat apa ? Berkat rumah, berkat mobil, berkat kendaraan bermotor, berkat kesehatan, semua berkat akan berlalu. Suatu hari kelak kita harus melepaskannya. Tuhan memberikannya kepada kita memang untuk hari ini, bukan hari esok dan selamanya.
GS : Iya. Apa akibatnya kalau seseorang tidak bisa mengakui bahwa tidak ada yang permanen di dalam hidup ini ?
PG : Dia lebih bisa menghargai apa yang dimilikinya sekarang, Pak Gunawan. Jadi, dia tahu inilah waktunya Tuhan berikan berkat ini kepada saya sekarang, maka saya mensyukuri dan menghargainya. Saya benar-benar menikmatinya sebab suatu hari kelak bisa digantikan atau diambil oleh Tuhan. Tapi tidak apa-apa, Tuhan punya rencana atas hidup kita dan semua yang Dia berikan pasti baik untuk kita. Jadi kita tidak seperti orang yang ketakutan. Orang yang ketakutan dia akan menyimpan-nyimpan berkat karena dia pikir buat cadangan besok, buat besok, buat besok. Ya tidak bisa ya. Berkat Tuhan seperti manna. Tuhan berikan manna untuk satu hari, besoknya ada manna yang baru lagi, besoknya ada manna yang baru lagi. Jadi, kita mesti sadari hampir semua berkat Tuhan bersifat sementara untuk kita pakai hari ini setelah itu kita harus lepaskan. Hanya berkat keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita secara permanen.
GS : Orang itu punya sifat rakus, Pak Paul. Rakus, kuatir dan sebagainya sehingga mau tidak mau dia menggenggam erat-erat apa yang dia terima dari Tuhan. Dia anggap ini ‘kan bagian dari kehidupannya.
PG : Orang yang seperti ini, Pak Gunawan, kalau menghadapi krisis dan harus melepaskan apa yang harus dimilikinya, biasanya reaksinya akan sangat kacau. Dia tidak bisa menerima, dia mungkin bisa mengalami depresi berat, dia bisa saja berpikir untuk mengakhiri hidupnya dan sebagainya. Kita tahu ada orang yang kaya raya kemudian kehilangan atau mengalami kerugian meskipun setelah kerugian pun dia masih hidup lebih layak daripada kebanyakan orang di sekitarnya, tapi tetap saja tidak bisa terima kerugian itu. Kenapa ? Sebab baginya apa yang dia miliki harus selalu ada dalam tangannya, tidak bisa lepas sama sekali dari tangannya. Justru waktu diambil oleh Tuhan, dia sangat tergoncang. Jadi, dalam hidup kalau kita menyadari bahwa apa yang kita miliki, meskipun itu pemberian Tuhan, bukan untuk selama-lamanya tapi untuk sementara, kita lebih siap untuk melepaskannya.
GS : Ini sebenarnya tentang bagaimana hubungan dia dengan Tuhan sehingga dia bisa menyerahkan segala kekuatirannya kepada Tuhan dan tidak perlu menggenggam erat-erat apa yang menjadi miliknya ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Makin kuat imannya, makin bisa bersandar pada pemeliharaan Tuhan, makin mudah dia melepaskan.
GS : Yang lain lagi, Pak Paul ?
PG : Berikutnya adalah kita harus membiasakan hidup dengan prioritas yang benar. Dengan kata lain kita mesti mengutamakan yang penting dan mengesampingkan yang tidak penting. Barangsiapa pernah mencoba untuk hidup dengan prioritas yang benar, pasti tahu betapa tidak mudahnya mengesampingkan yang tidak penting. Secara teori gampang, memang betul mengutamakan yang penting dan kesampingkan yang tidak penting. Tapi barangsiapa pernah mencoba hidup seperti ini pasti tahu ternyata tidak gampang mengesampingkan yang tidak penting. Acapkali yang tidak penting justru lebih keras bersuara dan lebih mendesak untuk diperhatikan. Itu sebab untuk dapat memprioritaskan yang penting, kita harus berusaha keras. Tidak cukup bagi kita untuk sekadar tahu. Yang tertinggi dalam daftar prioritas adalah Tuhan, itu sudah pasti ya. Tidak ada yang lebih penting dari Dia. Jadi, utamakanlah mengenal Tuhan. Utamakanlah melakukan kehendak-Nya, utamakanlah melayani-Nya. Yang kedua dalam daftar prioritas adalah manusia. Jadi, utamakanlah membangun relasi dengan sesama, utamakanlah menolong sesama, utamakanlah kepentingan orang di atas kepentingan sendiri. Saya landasi dengan Matius 22:37-39, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
GS : Yang sulit bagi seseorang adalah menentukan prioritas, Pak Paul. Semuanya tahu memang prioritasnya Tuhan. Tapi biasanya pelaksanaannya tidak seperti itu. Dia hanya mengerti bahwa prioritasnya Tuhan tapi dia tetap memprioritaskan dirinya sendiri. terhadap orang lain juga, dia tidak peduli itu.
PG : Betul, Pak Gunawan. Bagaimana kita menerapkan konsep Tuhan yang terpenting dan manusia itu yang penting memang tidak selalu gampang dan tidak selalu jelas. Kita tahu itu. Tapi setidaknya kita mesti memunyai pedoman bahwa dalam hidup yang mau kita pentingkan adalah Tuhan. Jadi, segala sesuatu atau segala aktifitas yang kita tahu bersifat kekal, untuk melayani Tuhan, itu yang coba kita pikirkan. Bahwa pekerjaan-pekerjaan kita sebetulnya adalah untuk mendukung apa yang nanti Tuhan serahkan kepada kita. Kita perlu mencukupkan kebutuhan keluarga dengan kita bekerja tapi tujuan hidup bukan untuk bekerja, bukan untuk mencari uang tapi untuk bekerja buat Tuhan dan nanti juga untuk mencari jiwa bagi Tuhan. Jadi, konsep pemikiran ini yang mesti ada di dalam diri kita. Kalau kita punya konsep seperti ini, pukulan-pukulan hidup itu tidak terlalu banyak memukul kita. kalau kita salah prioritas - ini penting, itu penting, semua penting - waktu terjadi sesuatu kita kehilangan hal-hal itu, wah hidup kita langsung oleng. Tapi kalau kita jelas Tuhan yang penting dan tidak mungkin kehilangan Tuhan, manusia penting, orang-orang yang kita kasihi dan mereka mengasihi kita itu penting. Itu yang bisa kita pegang waktu badai hidup menerpa kita.
GS : Sebagian orang karena kesulitan menyusun prioritas maka dia tidak punya prioritas. Apa pun yang ada di hadapannya yang dilalui.
PG : Takutnya kalau kita hidup tanpa prioritas, hidup kita gampang sekali terombang-ambingkan oleh ombak kehidupan ini. Saya tambahkan lagi satu kriteria untuk bisa memastikan prioritas kita. mungkin buat sebagian kita kata prioritas itu asing atau terlalu abstrak. Kalau begitu saya gunakan kata "kasih". Apakah yang kita kasihi ? Sebab pada dasarnya apa yang kita pentingkan adalah apa yang kita kasihi. Apa yang kita kasihi adalah apa yang kita pentingkan atau prioritaskan. Jadi, secara berkala kita perlu memeriksa diri dan bertanya apakah yang kita kasihi. Makin tepat prioritas kita, makin tepat dan sehat reaksi kita sewaktu hidup berubah secara drastik. Sebaliknya bila prioritas kita tidak tepat, makin berat dan tidak sehat reaksi kita tatkala mengalami hempasan badai kehidupan. Jika kita telah hidup untuk Tuhan dan mengasihi sesama, seberat apapun kehilangan yang mesti kita derita, kita tahu kita masih punya Tuhan dan masih punya sahabat. Jadi, sekali lagi ini semua bergantung pada apa yang kita pentingkan. Belum lama ini ada seorang jemaat di gereja kami yang kehilangan istrinya secara mendadak, Pak Gunawan. Dalam waktu hitungan beberapa minggu sebetulnya, istrinya meninggal dunia karena penyakit yang tidak disangka sebegitu beratnya oleh dokter. Dia benar-benar terpukul karena dia sangat mencintai istrinya. Mereka sudah menikah puluhan tahun. Dia tidak siap. Tapi dia selalu menekankan dua hal. Dia selalu berkata dia percaya ada Tuhan yang mengatur segalanya dan tidak akan meninggalkan dia. Dia tetap pegang Tuhan dalam hidupnya. Yang kedua dia selalu berkata bahwa kami di gereja adalah saudara-saudaranya, bahwa gereja adalah rumah keduanya. Ternyata inilah yang mendukung dia melewati masa yang sulit ini yang tidak diperkirakan sama sekali. Sekali lagi memang dia sudah menempatkan prioritasnya secara tepat bahwa Tuhan terpenting dan manusia nomor dua setelah Tuhan.
GS : Mengenai mengasihi, memprioritaskan itu apa bisa disamakan dengan apa yang kita pikirkan terus menerus ?
PG : Saya setuju, Pak Gunawan. Apa yang masuk dalam pikiran kita, apa yang terus kita pikirkan, itu adalah hal yang penting.
GS : Itu yang kita prioritaskan. Jadi kalau di dalam hidup ini kita merenungkan firman Tuhan siang dan malam, dan memikirkan apa yang Tuhan mau dari kehidupan kita, berarti itu kita sedang memprioritaskan Tuhan daripada yang lain.
PG : Betul. Sewaktu kita berkata kita memprioritaskan Tuhan, kita juga memprioritaskan mengenal firman-Nya, mengasihi-Nya dan melayani-Nya. Ini hal-hal yang termaktub di dalam memprioritaskan Tuhan.
GS : Iya. Apalagi yang bisa kita lakukan selain dua hal tadi, Pak Paul ?
PG : Kita mesti membiasakan hidup dalam dua realitas, Pak Gunawan, yaitu realitas jasmaniah dan realitas rohaniah. Singkat kata kita mesti memandang hidup bukan saja dari lensa duniawi tetapi juga dari lensa sorgawi. Dari lensa sorgawi setidaknya ada dua hal yang dapat kita terapkan. Pertama, segala sesuatu terjadi dalam pemeliharaan Tuhan dan untuk menggenapi kehendak Tuhan. Yang kedua, kita tengah berjalan ke rumah Tuhan makin hari makin dekat. Saya jelaskan ya. Jika kita percaya bahwa segala sesuatu terjadi dalam pemeliharaan Tuhan dan untuk menggenapi kehendak-Nya, kita tahu dengan pasti bahwa apa yang terjadi ada dalam tangan Tuhan. Seburuk apapun yang terjadi, terjadi karena ada kehendak Tuhan yang mesti digenapi dan tidak dapat digenapi tanpa peristiwa yang kita alami itu. Apabila kita percaya bahwa kita tengah berjalan menuju ke suatu arah yakni rumah Tuhan, maka kita tahu bahwa apa pun yang terjadi hanyalah mendekatkan kita satu langkah lagi dengan rumah Tuhan. Saya berikan contoh yang konkret, Pak Gunawan. Banyak orang takut sekali terkena penyakit dan saya kira ini manusiawi. Sekuat-kuatnya kita, kalau kita mendapat kabar bahwa kita menderita penyakit yang serius, biasanya kita akan ketakutan. Itu normal. Tapi kalau kita berkata, "Saya tahu bahwa hidup ini dalam pemeliharaan Tuhan dan kalaupun saya menderita penyakit, ini adalah untuk menggenapi rencana Tuhan." Kita tenang, karena kita tahu penyakit dan hidup kita dalam tangan Tuhan. Yang kedua, kalau kita juga berkata bahwa, "Oke, sekarang saya menderita penyakit ini berarti saya setahap lebih mendekati rumah Tuhan." Sebab rumah kita bukan di dunia, rumah kita di surga dan kita tengah berjalan ke rumah Tuhan yang di surga itu. Jadi, kalau kita melihat penyakit tadinya takut sekarang kita berkata tidak takut, "Penyakit yang Tuhan ijinkan saya derita sebetulnya adalah cara Tuhan mendekatkan saya satu langkah lagi dengan rumah Tuhan." Tiba-tiba kita lebih tenang, Pak Gunawan, karena sekarang kita melihat realitas bukan saja dari kacamata dunia tapi dari surga.
GS : Jadi, sebenarnya orang yang tabah menghadapi kesulitan, sakit penyakit dan sebagainya itu dipengaruhi oleh kematangan pribadinya atau dipengaruhi oleh kerohaniannya, Pak Paul ?
PG : Dua-duanya, Pak Gunawan. Jadi, orang yang matang pribadi, orang yang memang tidak mudah kocar-kacir, tidak mudah panik, tapi juga orang yang rohani, orang yang memang melihat hidup dari kacamata Tuhan. Beberapa waktu yang lalu mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa penyakit kanker yang pernah dideritanya dulu yang dia kira sudah bersih ternyata kembali. Sekarang tak lagi banyak yang bisa dilakukan. Tapi dia berkata, "Saya siap. Saya siap menghadapi apa pun." Dan dia bicara begitu dengan damai, dia memberikan konperensi pers dengan senyum, dengan biasa. Bukannya dia menutup-nutupi atau menyangkali rasa takutnya, tidak. Memang benar-benar dari wajahnya terlihat dia damai. Kita tahu Jimmy Carter adalah seorang Kristen yang sangat saleh, yang melayani Tuhan sampai di hari tua sebagai guru Sekolah Minggu, yang terus berbuat bagi kebaikan sesama, membangun rumah bagi orang-orang miskin dan sebagainya. Dia tahu jelas hidupnya dalam tangan Tuhan dan apa pun yang terjadi, terjadi untuk menggenapi rencana Tuhan dan Tuhan sedang membawanya satu langkah lebih dekat ke rumah Tuhan.
GS : Tapi apakah dia juga dipengaruhi oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk keluarganya, Pak Paul ? Mungkin awalnya tenang menghadapi sesuatu, tapi karena lingkungan tidak mendukung akhirnya dia mudah terbawa.
PG : Bisa. Saya tidak menutup pintu, kita bisa saja akhirnya goyang. Ada waktu-waktu kita bisa bimbang , ada waktu-waktu kita takut. Saya kira itu normal dari kita sebagai manusia. Tapi kalau kita memunyai pegangan ini, kita akan dapat kembali meneruskan perjalanan kita dan berdamai dengan apa pun yang Tuhan berikan kepada kita. Kerapuhan hidup itu begini, Pak Gunawan. Kita bisa melihatnya sebagai kemalangan, sebagai pekerjaan orang, sebagai kejahatan, sebagai ketidakadilan, atau kita bisa melihatnya sebagai bagian dari pembentukan Tuhan, bagian dari rencana Tuhan. Nah, kalau kita melihatnya sebagai bagian dari pembentukan Tuhan dan bagian dari rencana Tuhan, kita akan memandang kerapuhan hidup itu dengan lensa mata yang berbeda.
GS : Mungkin itu sebabnya Yusuf bisa bertahan melewati berbagai macam persoalan kehidupannya sampai di masa tuanya ya, Pak Paul ?
PG : Betul. Sewaktu dia bertemu dengan saudara-saudaranya setelah ayahnya meninggal dunia, dia berkata dia mengerti mengapa Tuhan mengutusnya ke Mesir, yaitu untuk bisa menyiapkan dan menyediakan kebutuhan bagi bangsa Israel dalam masa kelaparan. Jadi, dia tidak lagi menyebut atau melabelkan hidupnya sebagai kemalangan, sebagai orang yang dijual, sebagai orang yang diambil paksa dari keluarga, sebagai orang yang difitnah dan dipenjara. Tidak. Dia tidak sebut semua itu ! Dia hanya berkata Tuhan mengutusnya untuk dapat menyiapkan, menolong, memelihara bangsanya. Inilah cara kita melihat kerapuhan hidup. Kalau kita tidak punya pandangan seperti ini, kita bisa ketakutan, Pak Gunawan. Ada orang di dunia yang takut sekali kalau-kalau sesuatu yang buruk akan terjadi, takut ditimpa kemalangan. Terus menerus takut jangan-jangan terjadi ini, jangan-jangan terjadi itu. Jadi, dia berusaha membentengi hidup setebal-tebalnya. Akhirnya hidupnya dikuasai bukan oleh damai tapi oleh kecemasan.
GS : Iya. Sebenarnya kalau kita menyadari bahwa kehidupan kita memang rapuh, kita mesti bersandar pada yang kuat yaitu tangan Tuhan sendiri.
PG : Betul. Sayangnya tidak semua orang bersandar pada tangan Tuhan. Banyak yang malah bersandar pada dirinya sendiri. Kita mau lihat apa yang firman Tuhan katakan sebagai pegangan kita. Saya kutip dari 2 Timotius 4:7-8, ini perkataan Rasul Paulus di suratnya yang terakhir sebelum dia meninggal dunia. "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik. Aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang Adil, pada hariNya. Tapi bukan hanya kepadaku melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatanganNya." Sebenarnya kata yang digunakan disini bukan sekadar pertandingan melainkan pertarungan, perjuangan. Hidup mengharuskan kita untuk bertarung dan berjuang sebab hidup itu rapuh. Tapi dengan pertolongan Tuhan kita akan dapat melalui dan mengakhirinya dengan baik, yaitu dengan tetap memelihara iman. Tujuan akhir hidup bukanlah terus hidup di dunia melainkan di surga. Kita hanya berada di dunia untuk sementara untuk menggenapi rencana Tuhan. Itu saja.
GS : Iya. Tetapi itulah yang sulit. Kadang-kadang kita merasa diri kuat sehingga merencanakan yang macam-macam ke depan tetapi Tuhan bilang kalau malam ini nyawamu diambil ya kamu tidak bisa apa-apa.
PG : Betul.
GS : Masalahnya adalah bagaimana kita menyandarkan diri kepada Tuhan. Kelihatannya gampang menyandarkan diri itu. Tetapi ternyata tidak mudah juga untuk dilakukan karena ego kita kuat sekali.
PG : Kita harus bertarung, Pak Gunawan. Memang ini tidak mudah ya. Memelihara iman ini tidak gampang. Kita mesti berjuang, bertarung, dan saya kira Pak Gunawan sudah menyiratkannya bahwa pertarungan terberat adalah dengan diri sendiri. Untuk bisa berserah kepada Tuhan, kita memang harus melawan dorongan diri sendiri, maka dalam hidup kita mesti sering-sering mendisiplin diri untuk mengatakan, "Tuhan sudah atur semua. Tuhan sudah atur semua dan Tuhan punya rencana dalam hidup saya ini. Saya ditempatkan di sini juga untuk rencana Tuhan. Jadi apapun yang terjadi, ada dalam rencana Tuhan. Kalaupun nanti hidup saya mesti berakhir, itu berarti rencana Tuhan yang melibatkan saya ya juga sudah selesai. Ya tidak apa-apa." Sebab sekali lagi, kita semua sedang berjalan menuju ke rumah Tuhan.
GS : Ya. Terima kasih untuk perbincangan yang sangat menguatkan hati kita ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kerapuhan Hidup". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.