Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, dan kali ini saya bersama penginjil Sindunata Kurniawan M.K., beliau adalah seorang konselor keluarga, kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Kepemimpinan Dalam Keluarga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, pada kesempatan yang lampau sudah diungkapkan ada tiga hal kelemahan pria didalam kepemimpinan di keluarga. Tentu tidak semua pendengar kita sempat mendengarkan pada bagian yang pertama namun supaya para pendengar kali ini bisa memunyai gambaran yang lebih lengkap maka apakah bapak berkenan untuk mengulas secara cepat apa yang sudah kita bicarakan pada kesempatan yang lampau ?
PG : Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa mengenali kelemahannya. Atas dasar asumsi inilah saya ini mengatakan bahwa kita-kita ini yang pria kalau mau menjadi pemimpin atau kepala keluarga yang baik kita juga harus mengenal kelemahan kita. Ada tiga yang kita telah bahas pada kesempatan yang lampau, yang pertama adalah kita harus menyadari bahwa kita suka mengalami masalah dengan keangkuhan atau ego yang besar sehingga akhirnya sulit sekali mendengarkan masukan atau pendapat istri kita. Kita mendominasi semuanya dan mengatakan bahwa "Saya bisa, saya benar" susah sekali mengakui bahwa "Saya juga bisa salah". Yang kedua, kita sebagai laki-laki kesulitan mengembangkan keintiman oleh karena kita sukar untuk mengutarakan pikiran dan perasaan kita dalam hal-hal yang berkaitan dengan kelemahan kita sehingga akhirnya relasi kita dengan istri susah mendalam sebab kita tidak bisa bercerita hal-hal yang lebih membuat kita rawan karena membicarakan tentang kelemahan kita. Sedangkan sebetulnya ini yang penting dalam keluarga, kalau kita mau menjadi seorang pemimpin kita mesti dekat dengan keluarga kita, akrab, menyatu. Bagaimana bisa menyatu dan intim kalau kita tidak bisa dan tidak mau membuka diri. Dan yang ketiga adalah kita laki-laki cenderung pragmatis, memikirkan kegunaannya apa, efisiensinya, sehingga akhirnya mengabaikan perasaan orang, dalam hal ini seringkali mengabaikan perasaan istri kita. Akhirnya dalam memimpin kita ini juga menginjak-injak perasaan orang lain, baik anak atau istri kita. Jadi kita harus menyadari kecenderungan kita mengabaikan perasaan dan malah melukai hati orang gara-gara kita ingin misalnya melakukan hal yang kita anggap baik. Jadi nanti kita akan masuk yang ke empat, tapi mudah-mudahan ketiga hal ini bisa juga kita ingat.
GS : Kalau begitu hal yang keempat itu apa, Pak Paul ?
PG : Oleh karena kesulitan kita laki-laki masuk ke wilayah perasaan dan kecenderungan kita bersikap pragmatis maka kita laki-laki sukar mengembangkan minat terhadap hal rohani. Jadi kita harus mengakui bahwa di dalam gereja kita akan menjumpai lebih banyak wanita daripada laki-laki. Karena kita laki-laki seringkali mengukur segalanya lewat sudut kegunaan, ketika misalnya hal rohani tidak membuahkan hasil yang diharapkan maka kita undur dari hal-hal rohani atau dari kegiatan gereja atau berbakti kepada Tuhan.
SK : Kalau ada laki-laki yang aktif di gereja apakah berarti dia memiliki kondisi perasaan yang lebih baik daripada laki-laki yang tidak ke gereja, apakah sebenarnya sekalipun aktif di gereja tapi dia termasuk kondisi laki-laki yang punya kelemahan dalam segi ini, Pak Paul ?
PG : Saya kira pada umumnya kita laki-laki punya kelemahan, Pak Sindu. Tapi ada di antara kita yang pernah mengalami pengalaman rohani yang khusus, kita lebih menyadari tentang kasih Tuhan mungkin kita pernah jatuh kemudian kita mendapatkan pertolongan Tuhan sehingga kita akhirnya juga tersedot masuk ke dalam hal-hal rohani. Namun kalau kita tidak punya pengalaman khusus seperti itu kecenderungannya pria itu adalah tidak begitu mau terlibat dalam pelayanan. Makanya sering laki-laki baru terlibat di gereja kalau ada tugas-tugas yang lebih bersikap pragmatis misalnya, pembangunan gereja, maka laki-laki baru mau terlibat memikirkan tentang ongkosnya, bangunannya, arsitekturnya, mencari tukang dan sebagainya. Di situlah laki-laki baru terlibat. Seringkali pemikiran atau kecenderungan atau kiblat terhadap yang pragmatis itu menghalangi laki-laki untuk bisa masuk ke dalam hal rohani.
SK : Dari pernyataan Pak Paul saya memahami bahwa aktif di gereja tidak serta merta punya minat rohani yang tinggi ?
PG : Saya kira demikian, ada orang-orang yang bisa saja terlibat aktif tapi kita tidak perlu terkejut kalau kita tahu laki-laki ini hampir tidak pernah menyentuh Alkitab di rumah, tidak pernah baca sama sekali. Jadi hanya datang ke gereja nanti disuruh ini dan itu mengikut saja, tapi di luar itu tidak menyentuh Alkitab sama sekali. Itu cukup banyak karena laki-laki pada umumnya minat pada hal rohani agak lemah.
GS : Tapi sebenarnya panggilan Tuhan baik kepada pria atau wanita, agar kita sebagai anak-anak Tuhan punya minat rohani dan kita lihat seperti Daud mengatakan bahwa Taurat adalah kesukaan dia.
PG : Seharusnya seperti itu namun saya juga mau membicarakan secara lebih realistik yaitu bahwa perempuan secara alamiah lebih mudah tertarik dan menceburkan diri dalam hal-hal rohani ketimbang laki-laki sebab tidak bisa disangkal bahwa ada banyak hal rohani yang melibatkan perasaan misalnya rasa dikuatkan, rasa damai, rasa dijamah Tuhan dan sebagainya, itu adalah perasaan. Karena bagi laki-laki tidak mudah menyelami wilayah perasaan, kadang baginya istilah ini tidak beda dengan istilah asing yang tak dipahaminya. Masalahnya adalah kita kerap mengasosiasikan semua ini dengan kehadiran Tuhan dalam hidup kita, sehingga sewaktu kita tidak bisa mengalaminya kita pun beranggapan bahwa Tuhan jauh dari kita karena buat laki-laki tidak ada rasa apa-apa datang ke gereja, mendengarkan orang bicara, khotbah dia tidak merasakan gunanya. Jadi adakalanya jauh lebih susah untuk terjun dalam hal rohani.
SK : Kalau demikian apa yang bisa dilakukan laki-laki untuk bisa mengembangkan minat rohaninya ini, Pak Paul ?
PG : Saya kira kita laki-laki harus menyadari bahwa kehadiran Tuhan lebih dari sekadar perasaan dan tidak harus melibatkan perasaan. Laki-laki perlu mendasarkan pengalaman rohani pada firman Tuhan. Jadi benar-benar menekuni, membaca, merenungkan firman Tuhan, dan kedua, kita laki-laki harus mendasarkan pengalaman rohani kita pada ketaatan, pada kehendak Tuhan artinya apa yang dikatakan oleh firman Tuhan sedapatnya kita taati. Jadi firman Tuhan dan ketaatan kita pada kehendak Tuhan haruslah menjadi dasar kehidupan rohani kita, perasaan boleh datang dan pergi, namun kehadiran Tuhan senantiasa bersama dengan anak-anak-Nya yang menaati-Nya.
GS : Ini menjadi suatu tantangan bagi para pimpinan gereja, pengkhotbah dan sebagainya untuk bisa memenuhi kebutuhan kaum pria didalam hal kerohanian karena seringkali kita sebagai pria kadang-kadang merasa hanya dibangkit-bangkitkan perasaannya saja, seperti yang tadi Pak Paul katakan tentang disertai Tuhan, rasa damai. Tapi untuk hal-hal yang bersifat pragmatis memang agak jarang diungkapkan, memang lebih mudah untuk menggelitik perasaan orang daripada memenuhi kebutuhan pragmatis itu tadi.
PG : Memang tidak bisa disangkal, Pak Sindu dan Pak Gunawan banyak mendengar orang yang sering mengeluh, "Di gereja saya dengarkan orang khotbah, tidak dapat apa-apa" karena mereka mau mendapatkan sesuatu yang lebih praktis yang mereka bisa lakukan sebab itulah yang akan membuat mereka tertarik. Kalau misalnya terlalu menyinggung-nyinggung hal-hal perasaan dan sebagainya, bagi laki-laki yang duduk mendengarkan khotbah akan merasa asing, kecuali saat itu dia memang dalam keadaan sangat butuh untuk dikuatkan barulah dia merasa ada manfaatnya.
GS : Tapi itu sangat jarang, lebih sering kita lebih siap untuk hal yang bukan hanya dibangkit-bangkitkan perasaan saja.
PG : Betul sekali. Ini masukan yang baik, bagi kami yang melayani mimbar Tuhan dalam menyiapkan firman Tuhan kita harus lebih mengingat bahwa inilah yang menjadi kebutuhan laki-laki.
GS : Pak Paul, apakah ada langkah yang bisa disiapkan atau dilakukan oleh kaum pria agar dia bisa menjadi kepala dan pemimpin di dalam keluarganya ?
PG : Ada empat yang akan saya bagikan. Yang pertama adalah kita laki-laki harus menyadari bahwa kepemimpinan yang dimaksudkan Tuhan adalah melayani, bukan memerintah. Jadi kita harus jelas dengan konsep ini, memimpin itu melayani dan bukan memerintah. Singkat kata, kita laki-laki harus menempatkan kepentingan keluarga di atas kepentingan pribadi, dalam pengambilan keputusan kita laki-laki harus senantiasa memikirkan yang terbaik bagi istri dan anak-anak kita. Kecenderungan yang harus kita akui bahwa dalam pengambilan keputusan yang kita kedepankan adalah kepentingan kita. Kita harus ingat kita memimpin lewat melayani, jadi kita harus pikirkan apa yang baik justru bagi istri dan anak kita terlebih dahulu.
SK : Bentuknya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Misalnya kita mendapatkan tawaran untuk dipromosikan, tapi kita harus pindah ke kota yang lain. Kita tahu bahwa anak-anak kita itu sudah cocok di sini, teman-temannya sudah banyak dan istri kita sudah mendapatkan komunitasnya di sini maka kita tidak boleh hanya memikirkan, "Ini kesempatan saya dipromosikan, kamu harus pikirkan saya" tidak, justru yang pertama kita harus berkata, "Saya memang diberikan kesempatan ini tapi saya melihat kamu sudah cocok di sini, anak-anak sudah cocok di sini maka saya tidak mau menerimanya". Kita menjadi orang pertama yang mengalah dan bukan orang terakhir yang mengalah, jangan sampai istri kita yang berkata, "Baiklah saya mengalah ikut kamu" anak-anak yang berkata, "Baiklah saya mengalah ikut papa" tapi kita harus menjadi orang yang pertama berkata, "Tidak apa-apa saya mengalah dan saya yang mengorbankan diri". Kalau setelah kita berkata seperti itu pada akhirnya istri kita juga berkata, "Pak, baiklah aku bersedia untuk pindah, nanti aku bicara dengan anak-anak siapa tahu mereka juga bersedia" itu lain, tapi kita harus menjadi orang pertama yang mengorbankan kepentingan kita, itu maksudnya.
SK : Dalam hal ini laki-laki dengan cara seperti ini, belajar untuk tidak angkuh ?
PG : Betul sekali. Jadi dengan kita mengedepankan kepentingan istri dan anak-anak kita, kita membelakangkan diri, berarti kita menekan diri kita dan tidak memberikan makan kepada ego untuk bertumbuh besar.
GS : Ini seringkali terkait dengan pekerjaan, kaum laki-laki ini di tempat kerjanya menjadi pemimpin yang punya anak buah yang biasa diperintah, tetapi di rumah bersikap yang sebaliknya, itu kepribadiannya bisa terpecah. Namun kalau seseorang menyadari bahwa di tempat kerjanya pun dia dipanggil untuk melayani dan bukan untuk menjadi bos dalam arti kata mengatasi semua permasalahan saya rasa akan banyak menolong, jadi dia punya konsep yang sama baik di tempat kerja atau di rumah tangga bahwa memimpin itu melayani.
PG : Memang seharusnya demikian, makanya di dalam bahasa Inggris misalkan di Amerika, pegawai pemerintah disebutnya ‘civil servant’ jadi pelayan, tidak disebut staf. Jadi pelayan yang memang melayani masyarakat. Konsep inilah yang harus ada dalam diri kita. Kita dipanggil Tuhan memimpin dan mengepalai keluarga, tapi jalurnya langkahnya adalah lewat melayani dan bukan memerintah, dan konkretnya melayani bukan memerintah adalah kita adalah orang pertama yang mengorbankan kepentingan kita dan mendahulukan kepentingan anak dan istri kita.
GS : Hal lain yang bisa dilakukan laki-laki apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua laki-laki mengepalai keluarganya bukan dengan cara melebihi istri, melainkan melengkapi istri, ini penting sekali. Jadi bukannya memikirkan bagaimana membawa lebih banyak uang daripada istri, melainkan bagaimana mengerjakan hal-hal yang tidak dapat dilakukan istri dengan baik. Singkat kata, kita laki-laki memimpin lewat kerelaan kita menolong istri dalam kelemahannya istri. Maksud saya, kita laki-laki akhirnya terkondisi untuk berpikir, "Jika saya menjadi kepala, saya harus membawa uang lebih banyak kepada istri". Kalau istri menghasilkan uang lebih banyak dari kita, kita merasa tidak berhak untuk memimpin dia, sebab dia mengukurnya dari segi moneter, justru tidak. konsepnya yang benar bukannya melebihi istri tapi melengkapi istri, karena istri kita tidak sempurna dan dia juga memiliki kelemahan. Kita pikirkan bagaimana melengkapi dia dalam hal kelemahannya itu. Kenapa ? Sebab waktu istri merasakan kita laki-laki bersedia melengkapi dimana dia kurang, yang akan terjadi adalah dia makin tunduk dan menghormati kita, dia makin rela untuk mendengarkan kita. Justru kalau si istri melihat kita laki-laki beradu, berkompetisi dan mau mencari uang lebih banyak supaya bisa menundukkan dia, bukannya makin menghormati tapi makin tidak menghormati si suami sebab, "Kamu seperti ini" sedangkan dalam hal kelemahan si istri, dia sama sekali tidak mau menolong atau melengkapinya.
SK : Pak Paul, saya menemukan beberapa pasangan suami istri terutama dalam dunia bisnis, beberapa istri justru lebih punya jiwa bisnis atau kepemimpinan atau jiwa marketing lebih dibanding suami. Dengan cara bagaimana suami melengkapi istri yang kelihatan begitu ‘super power’ ?
PG : Istri juga manusia dan tidak sempurna, bisa jadi dalam hal bisnis si suami mengakui kalau istrinya lebih hebat, penting bagi suami berkata, "Kamu memang lebih baik daripada saya dalam hal mengatur bisnis ini", dan tidak apa-apa serahkan kepada istri untuk mengaturnya dan biarkan dia mengerjakan apa yang dia bisa kerjakan. Namun akan ada hal-hal lain dalam diri istri dimana dia memerlukan si suami, misalnya di dalam rumah tangga kebetulan si suami yang lebih sabar untuk bersama dengan anak-anak mengajarkan kepada anak-anak, ini yang menjadi kelemahan istri, misalnya istri susah duduk bersama anak mengajarkan kalau dia duduk tidak sampai 5 menit sudah marah-marah kepada anak dan si istri mengatakan, "Memang saya tidak sanggup". Si suami berkata, "Tidak apa-apa saya yang melakukan" kalau istri melihat suami saya mau bantu saya dalam hal ini dia justru menghargai sebab, "Dalam hal yang saya tidak bisa, suami sayalah yang maju untuk menolong saya".
GS : Tapi itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran oleh suami karena kalau tidak maka akan diwarnai dengan perasaan rendah diri. "Saya tidak bisa tampil di masyarakat lewat bisnis, istrinya yang menonjol dimana-mana, dia yang menjaga anak-anak di rumah atau hanya mengerjakan pekerjaan di rumah" Kalau itu dikerjakan dengan rasa rendah diri saya rasa itu juga tidak akan menolong.
PG : Saya rasa sebisanya, tidak menganjurkan laki-laki itu sama sekali tidak bekerja, sebab bagaimana pun juga ini bisa berdampak di mata anak-anak, kalau anak melihat, "Papa tidak bekerja dan Mama yang bekerja" maka itu bisa memberikan kesan kurang baik. Jadi papa harus bekerja namun dalam hal misalnya mengurus anak karena si ayah jauh lebih mampu maka tidak apa-apa dia lebih memberikan waktu kepada anak dari pada istrinya. Jadi kita harus berbesar hati untuk berkata pada istri kita, "Memang kamu lebih mampu dan silakan" ini yang sulit untuk saya temukan pada laki-laki untuk dikatakan.
GS : Hal lain yang perlu disiapkan apa, Pak Paul ?
PG : Oleh karena laki-laki hanya dapat memimpin dengan dukungan istri, maka kita laki-laki pun perlu meminta pertolongan istri terutama dalam hal yang merupakan kelemahan diri kita, misalnya kita laki-laki tidak perlu malu atau gengsi mengutarakan kekurangan atau kebutuhan kita, sebab pemimpin yang baik adalah seseorang yang menyadari keterbatasannya dan tahu meminta bantuan orang lain, ini memang tidak gampang bagi laki-laki apalagi yang memang penghargaan dirinya agak ragu. Jadi adakalanya yang terjadi adalah istri berniat baik mau menolong karena istrinya sadar ini memang kurang bisa dilakukan oleh suami dengan baik tapi suaminya justru marah, "Kamu itu menghina saya, kamu tidak menghargai saya". Istrinya berkata, "Sebenarnya saya hanya ingin membantu" tapi suami marah, "Saya tidak butuh bantuanmu", ini keliru sebab pemimpin yang baik mengakui keterbatasan ia tidak mampu melakukan segalanya, kalau dia menyadari istrinya bisa membantu dia silakan tanya dan minta bantuan istri dan istri juga akan senang, karena dia merasa dilibatkan di dalam kehidupan si suami.
SK : Jadi dalam hal ini suami perlu mengembangkan pola pikirnya bahwa meminta bantuan itu tidak identik "Saya ini di bawah istri" atau meminta bantuan ini justru saya sedang mengangkat, melayani istri supaya dia merasa dibutuhkan juga.
PG : Betul. Sekaligus mengangkat si istri, sekaligus mengakui keterbatasan, kalau memang tidak bisa dia akui dan tidak apa-apa. Jadi benar-benar perlu hati yang besar untuk berkat, "Memang saya tidak bisa dan saya perlu bantuanmu". Justru dalam pernikahan kalau ini terjadi benar-benar mereka berdua bisa bertumbuh. Sayang seribu sayang saya harus mengakui sering menjumpai kasus seperti ini, laki-laki sebetulnya kalau saja menerima bantuan si istri dia justru akan melesat dan mengalami perkembangan, tapi gara-gara ego tidak mau dibilangi dan tidak mau menerima bantuan istri akhirnya tambah hari tambah terpuruk, tapi ada orang yang tidak bisa sadar-sadar, dari pada mengakui tidak bisa dan tetap memaksakan dan akhirnya semuanya itu menjadi berantakan.
GS : Kendalanya di meminta, kami kaum pria senang-senang saja dibantu oleh istri tapi suami tidak perlu diminta. Untuk meminta itu yang sulit dan kalau pun istri sudah memberikan pertolongan untuk mengucapkan terima kasih atas pertolongannya ini merupakan beban yang lain.
PG : Ada benarnya. Kita susah meminta karena meminta itu merendahkan diri kita dan kita tidak bisa melihat diri kita lebih rendah dari istri kita.
GS : Hal lain yang bisa dipersiapkan apa, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir untuk kita menjadi seorang pemimpin kita memimpin keluarga kita dengan cara melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan, ini penting. Jadi kita laki-laki harus memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan sehingga apapun yang kita lakukan merupakan pertanggungjawaban kita kepada Tuhan karena kita tahu ini yang Tuhan inginkan dan kita bertanggung jawab melakukannya. Jadi terpenting bukanlah melakukan apa yang kita kehendaki melainkan apa yang dikehendaki Tuhan, sehingga pada akhirnya satu keluarga turut berjalan di belakang Tuhan. Jadi seolah-olah Tuhan berjalan, kita mengikut Tuhan tapi kita harus jelas dan erat dengan Tuhan sehingga kita bisa mengikut Tuhan. Barulah kita bisa membawa istri dan anak-anak kita di belakang sama-sama mengikut Tuhan. Ini yang saya kira kepemimpinan yang dikehendaki oleh Tuhan.
GS : Seringkali hal itu tidak terjadi karena yang tadi Pak Paul katakan, kita kaum pria kurang tertarik dengan hal-hal yang rohani seperti itu, Pak Paul.
PG : Betul sekali. Bagaimana kita bisa mengetahui kehendak Tuhan karena kita jarang baca firman Tuhan dan tidak peka dengan suara Tuhan !
GS : Dan kita lebih condong untuk melakukan kehendak kita sendiri bahkan istri dan anak-anak kita paksa untuk menuruti kita, "Saya sebagai pemimpin dan kamu ikuti saya saja, pasti betul".
PG : Betul.
SK : Akhirnya kembali perlu dukungan gereja untuk memerhatikan kaum laki-laki supaya mereka lebih meminati belajar Alkitab, firman Tuhan dan mengaitkan hidupnya dengan kehendak Tuhan.
PG : Kalau kita jujur saya kira kegagalan kita terbesar sebagai laki-laki Kristen adalah memimpin keluarga kita mengikut Tuhan, kenapa ? Karena kita sendiri pun tidak begitu tahu tentang kehendak Tuhan, itu masalah utamanya.
GS : Perbincangan ini kita akhiri sampai di sini, namun sebelum kita berpisah mungkin Pak Paul ingin menyampaikan firman Tuhan ?
PG : Saya akan bacakan 1 Petrus 5:3, "Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu". Memang ayat ini sebetulnya adalah bagi para gembala, para hamba Tuhan yang dipercayakan Tuhan dengan domba-domba Tuhan tapi saya kira ini bisa kita terapkan juga untuk keluarga kita, kita laki-laki sudah ditetapkan Tuhan menjadi gembala bagi keluarga kita. Tuhan berkata, "Ingat domba ini istri anak-anak kita adalah orang yang Tuhan percayakan kepada kita dan Tuhan meminta kita menjadi teladan". Jadi kita harus menuntun mereka lewat keteladanan kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja menyelesaikan perbincangan kami tentang "Kepemimpinan Dalam Keluarga". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.