Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Kemuliaan Ibu Rumah Tangga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, saya rasa topik ini perlu kita angkat karena ada banyak ibu rumah tangga yang merasa bahwa tugas sebagai ibu rumah tangga biasa-biasa saja, mereka akan lebih merasa tersanjung, mulia, kalau sebagai wanita karier, tetapi dari sisi mana kita bisa mengangkat predikat sebagai ibu rumah tangga itu mulia ?
PG : Jadi kita mau melihat bahwa peranannya dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga mengandung unsur-unsur yang mulia di mata Tuhan, sudah tentu kalau kita bicara tentang mulia bergantung dari mana kita melihatnya atau siapa yang melihatnya. Jadi kita nanti mau membahasnya dari sudut Tuhan dan mudah-mudahan kita bisa menyetujui bahwa memang tugas dan peranan sebagai ibu rumah tangga memunyai nilai-nilai yang mulia.
GS : Sekarang banyak ibu rumah tangga tetapi juga sebagai wanita karier atau kedua-duanya bahkan mungkin juga dia sebagai kepala keluarga karena suaminya sudah meninggalkan dia atau meninggal dan sebagainya. Dalam hal ini mana yang harus didahulukan, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu bergantung pada kondisi, saya mengerti hidup itu tidak ideal adakalanya ada ibu yang tidak mau bekerja di luar rumah tapi terpaksa untuk bisa mencukupi kebutuhan, itu salah satu contohnya. Contoh kedua adalah misalkan suaminya tidak lagi ada, tidak bertanggungjawab sehingga si ibu yang juga harus merangkap peran sebagai ibu rumah tangga purna waktu dan sekaligus juga sebagai pekerja di luar rumah. Jadi kita mau melihat secara khusus pada hari ini peranan dan tugas ibu rumah tangga secara purna waktu. Memang sengaja kita mengangkat hal ini sebab saya mengerti kadang ada rasa bahwa saya tidak berbuat apa-apa dan hidup saya tidak berguna begini-begini saja. Jadi saya mau angkat bahwa sebetulnya ini adalah sebuah tugas dan peran yang mulia.
GS : Kadang ada yang memandang kalau dia bekerja orang lebih menghargai dia karena dia memegang uang sendiri, sehingga dia merasa sebagai ibu rumah tangga dia tidak mendapat penghasilan seperti kalau dia berkarier sehingga dia berusaha bekerja di luar rumah.
PG : Dan ini bukannya sebuah ketakutan yang tak berdasar sebab kadang memang ada suami yang tidak sensitif dengan istri sehingga dia sepertinya memperkaryakan istri dengan memberikan gaji, sehingga perasaan bahwa dia
itu adalah mitra dalam keluarga ini akhirnya terhilang, hal-hal seperti itu juga bisa mendorong ibu rumah tangga untuk mencari pekerjaan di luar sebab dia mau setara dengan suaminya dan dia tidak mau menjadi orang bawahan di rumah.
GS : Apalagi pendidikan yang terbuka lebar bagi ibu atau calon ibu karena kebanyakan sekarang sudah sarjana ketika mereka menikah, sehingga mereka merasa, Kenapa saya sekolah tinggi-tinggi hanya untuk menjadi ibu rumah tangga itu yang dipikirkan.
PG : Jadi sekali lagi banyak alasan yang lain. Ada waktu-waktu memang kita harus mengerti juga bahwa kadang buat istri kita dia akan menjadi ibu rumah tangga yang lebih optimal justru setelah dia bekerja di luar, ada yang begitu. Jadi kita memang tidak bisa menentukan seorang wanita hanya boleh pilihannya satu saja, tidak! Tapi kita mau terbuka dengan pilihan yang lain. Namun kita mau mengingatkan kalau mereka memilih untuk purna waktu di rumah, mengurus rumah itu tidak lebih rendah daripada yang memilih untuk bekerja di luar rumah.
GS : Dari segi apa Pak Paul seorang ibu rumah tangga bisa kita katakan mulia ?
PG : Yang pertama adanya kemuliaan dalam melayani, saya kira ini adalah kemuliaan yang pertama. Tuhan Yesus berkata di Matius 20:26-27 Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Nah panggilan Tuhan kepada kita orang percaya adalah panggilan untuk melayani dan mungkin di antara semua pekerjaan melayani tidak ada yang lebih mulia daripada tugas melayani sebagai ibu rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui kemuliaan pelayanan terletak pada seberapa sedikitnya pamrih dan seberapa besarnya pengorbanan, makin sedikit pamrih dan semakin besar pengorbanan maka makin bertambah kemuliaan pelayanan sebagaimana dicontohkan oleh Yesus Anak Allah. Menjadi ibu rumah tangga menuntut banyak pengorbanan, begitu banyak yang harus dikerjakan namun hampir semuanya bukan untuk kepentingan sendiri melainkan untuk kepentingan suami dan anak-anak, begitu besar pengorbanan yang seringkali dibayar oleh ibu rumah tangga namun begitu sedikit pamrih yang diterimanya. Sebaliknya tidak jarang dan kritikan dan kemarahanlah yang diterima baik dari suami maupun anak. Namun disinilah letak kemuliaan ibu rumah tangga dan saya yakin berdasarkan pengorbanan inilah Tuhan memandang mulia.
GS : Yang sulit adalah mengasosiasikan bahwa melayani itu sesuatu yang mulia karena kita sering menyebut pembantu rumah tangga adalah pelayan kita, dan dia merasa pekerjaanku itu sama dengan pelayan-pelayan.
PG : Jadi sebetulnya kalau kita tidak melihatnya dari kacamata Tuhan yang kita kenal dalam firman Tuhan ini, saya setuju dengan Pak Gunawan kita akan berkata, Dimana nilai kemuliaan dalam melayani tidak ada, tapi di mata Tuhan justru pekerjaan melayani adalah pekerjaan yang sangat mulia. Jadi
kalau kita bisa memegang konsep ini kita bisa terapkan di dalam setiap level pekerjaan yang kita lakukan, bahkan di level yang tinggi sekalipun kalau kita menganggapnya ini sebuah pelayanan saya melayani orang, tetap ini adalah yang Tuhan lihat. Jadi sekali lagi nilainya tergantung kesiapan hati untuk melayani. Menjadi ibu rumah tangga tidak bisa tidak tugasnya dari bangun tidur sampai malam adalah melayani, baik suami atau anak-anak, jadi saya bisa berkata ini adalah sebuah pekerjaan yang mulia. Di mata Tuhan ini mulia sekali.
GS : Tapi juga perlu baik suami atau anak-anak bisa mengapresiasi apa yang dilakukan oleh istri atau ibu mereka sehingga ibu rumah tangga ini merasa bahwa pekerjaannya memang dibutuhkan dan dihargai.
PG : Dan harus kita akui ini yang kurang, seringkali kita saja waktu masih muda
saya kira kita juga kurang menghargai ibu kita, menghargai dalam pengertian mengatakannya kepada dia, Saya menghargai karena kita menganggap bahwa inilah yang sewajarnya dilakukan. Tapi sebetulnya ini adalah sebuah pengorbanan, jadi jangan ragu untuk berkata, Terimakasih waktu dimasakkan jangan berkata, Memang sewajarnya mama masak buat saya jangan seperti itu ! Tapi sekali-sekali berkata, Terima kasih sudah masak jadi mama atau ibu rumah tangga merasakan bahwa dia dihargai baik oleh suami atau oleh anak- anaknya.
GS : Tapi sebaliknya ada ibu rumah tangga yang seringkali mengeluh karena merasa pekerjaannya terlalu berat atau membosankan di rumah, ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Memang saya juga mengerti bahwa menjadi ibu rumah tangga tidak mudah, jadi banyak sekali yang harus dikerjakan dan masalahnya sama. Jadi itu tidak mudah dan bisa sangat jenuh, kalau misalkan kita sampai jenuh maka sekali- kali katakan, Kita jenuh dan itu normal dan jangan sungkan meminta bantuan misalnya dari suami kita atau anak kita dan mintalah pengertian dari suami untuk sekali-sekali membiarkan kita pergi supaya kita bisa sedikit menyegarkan jiwa kita, biarkan suami yang menjaga anak-anak atau mengurus rumah. Jangan ragu juga untuk meminta pertolongan dan kerjasama dari suami.
GS : Soal pamrih itu memang sulit, dia merasakan berhak untuk mendapatkan sesuatu dari apa yang dia kerjakan di rumah sehari-hari dan ini bisa disebut pamrih tetapi pengorbanan itu jelas ada di dalam dirinya, hanya dia sendiri yang merasakan bahwa pekerjaan ibu rumah tangga ini membosankan dan tidak mulia.
PG : Memang tidak bisa kita hindari bahwa pekerjaan yang lain kita langsung akan melihat imbalannya, jadi kita bisa melihat kemuliaannya. Menjadi ibu rumah tangga itu melayani dan terus melayani dan kita tidak bisa melihat imbalannya. Apakah tiba-tiba penghasilan kita menjadi dua kali lipat ? Tidak juga. Jadi memang bisa dimengerti kenapa adakalanya sebagian ibu rumah tangga tidak begitu bahagia. Jadi kita harus sekali lagi lebih berusaha memberikan penghargaan kepada istri kita.
GS : Juga di dalam hal ini mungkin penjelasan dengan dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebenarnya keuangan keluarga bisa dihemat artinya kita tidak perlu membayar pembantu dan sebagainya.
PG : Betul sekali, misalnya anak harus dititipkan dimana kita juga harus bayar. Jadi sebetulnya dengan dia menjadi ibu rumah tangga memang secara langsung dia tidak menyumbangkan tambahan penghasilan, tapi dia sebetulnya mengurangi pengeluaran dan itu sama saja dengan menambahkan penghasilan.
GS : Jadi ini memang perlu penjelasan dan kita betul-betul harus tulus memberikan penghargaan kepadanya.
PG : Betul sekali. Saya kira inilah kesempatan untuk kita saling mengingatkan, saling lebih menghargai ibu dan istri kita.
GS : Kemuliaan yang lain dari sisi apa, Pak Paul ?
PG : Kemuliaan yang lain adalah kemuliaan menanam dan menumbuhkan, kita tahu bahwa menanam dan menumbuhkan adalah tugas yang memakan waktu jauh lebih lama daripada menuai. Kita pun juga mahfum bahwa menanam dan menumbuhkan jauh lebih sukar ketimbang menuai, kita harus terus memerhatikan tanaman yang mulai bertunas dan merawatnya sehingga harus bertumbuh dan berbuah. Jadi dapat dikatakan menuai dan memetik membawa sukacita, sedangkan menanam dan menumbuhkan membawa peluh. Saya kira menjadi ibu rumah tangga dapat disamakan dengan pekerjaan menanam dan menumbuhkan. Setiap hari ibu harus memerhatikan keperluan baik suami maupun anak, setiap hari ibu harus memastikan bahwa anak bertumbuh sehat dan menjauhkannya dari bahaya dan sama seperti menanam dan menumbuhkan, ibu tidak dapat melihat hasil pekerjaannya dengan segera, hari ini sama seperti kemarin dan hari esok akan sama seperti hari ini, sama seperti petani yang menanam pohon sampai berbuah kebanyakan ibu rumah tangga tidak dapat mencicipi hasil pelayanannya. Orang lainlah yang lebih sering mencicipi buah pekerjaan yang dihasilkannya, baik oleh suami atau anaknya, namun disinilah letak kemuliaan ibu rumah tangga apa yang dilakukannya di belakang layar menjadi berkat bagi banyak orang, dia sendiri memang tidak mencicipi tapi lewat pengorbanannya banyak orang menerima berkat melalui anak dan suami yang telah dilayani dan dipeliharanya.
GS : Dan itu yang membuat dia kadang-kadang bosan melakukan sesuatu setiap hari rutin, tapi hasilnya tidak nampak dengan jelas. Misalnya saja membersihkan rumah, dia merasa tidak ada orang yang memerhatikan tetap sama seperti itu padahal dia sudah bekerja berjam-jam untuk melakukan pembersihan rumah itu.
PG : Betul. Dan itu berbeda dengan kita yang bekerja di luar, waktu kita melakukan pekerjaan dengan baik, kita akan mendapatkan penghargaan, komentar dari orang kalau pekerjaan kita baik atau mungkin kenaikan posisi atau mungkin kenaikan penghasilan. Jadi kita langsung mendapatkan perhatian dan penghargaan itu dan ini yang terhilang, apalagi sewaktu anak-anak kecil anak- anak tidak bisa memberikan respons apa-apa kepada mamanya, tapi mama terus mengurus dan memberikan kepada anak-anak. Jadi betul-betul pekerjaan yang sepi dan sepi dari perhatian serta penghargaan.
GS : Dan sebenarnya apa yang bisa kita lakukan sebagai suami atau anak, Pak Paul ? PG : Kalau kita memang menyadari bahwa inilah yang harus kita perbuat, kita harus memberikan tanggapan kepada pasangan dan mama kita bahwa apa yang dilakukan dilihat dan dihargai. Jadi kita tidak membiarkan hari lepas hari begitu
saja, tapi secara berkala mengatakan bahwa apa yang dilakukan ini adalah hal yang telah menolong kita. Pada waktu kita melakukan hal seperti itu, tidak bisa tidak, ibu rumah tangga dalam hal ini istri atau mama kita tahu bahwa pengorbanannya itu tidak sia-sia.
GS : Sebaliknya apa yang bisa dilakukan oleh seorang istri atau ibu rumah tangga ini ketika dia mulai jenuh dengan pekerjaan rutinnya, Pak Paul ?
PG : Saya kira dia bisa bicara terus terang dengan suaminya kalau dia capek dan bisa tidak dia ambil waktu seminggu sekali keluar tanpa anak-anak atau suami, yang penting keluar dengan teman dan sebagainya sehingga dia bisa benar- benar relaks karena dia membutuhkan itu. Yang paling penting adalah respons dari pihak suami untuk memberikan penghargaan itu karena kadang-kadang meskipun kita letih, tapi kalau kita tahu pengorbanan kita dihargai itu memberikan kepada kita kekuatan untuk melanjutkan tugas kita.
GS : Didalam hal kemuliaan yang lain apa yang bisa kita lihat sebagai ibu rumah tangga, Pak Paul ?
PG : Ada lagi satu yaitu kemuliaan dari kehormatan membentuk anak, kita tidak bisa mencetak anak, kita hanya bisa membentuk anak. Jika kita bisa mencetak anak pastilah anak bertumbuh besar sesuai cetakan kita, kita hanya bisa membentuk anak artinya memengaruhi anak untuk bertumbuh sesuai dengan harapan. Pada akhirnya apakah anak akan menjadi sesuai bentukan ? Itu diluar kendali kita dan kita tidak bisa memastikannya. Namun di dalam keterbatasan ini Tuhan memercayakan pengasuhan anak kepada ibu rumah tangga terutama waktu anak masih kecil makin banyak waktu yang diberikan kepada anak, makin tersedia kesempatan bagi ibu untuk memengaruhi anak. Apa yang dilihat dan didengar oleh anak akan tercatat dalam memori anak. Sewaktu anak bertindak materi yang tersimpan itu akan keluar dan memengaruhi tindakannya. Menurut saya inilah letak kemuliaan ibu rumah tangga. Jadi Tuhan telah memercayakan anak kepadanya dan memberikan kesempatan langka dan berharga untuk membentuknya menjadi seorang anak Tuhan dan tidak semua orang mendapatkan kehormatan ini, jadi terimalah kehormatan ini sebagai hal yang mulia, membentuk anak menjadi seseorang yang nantinya bisa juga memuliakan Tuhan.
GS : Apakah dalam hal ini berarti bahwa ibu harus mengasuh anaknya sendiri, begitu Pak Paul ?
PG : Saya sekali lagi mau bersikap fleksibel dalam hal ini karena saya tahu juga yang ideal tidak bisa selalu dilakukan, menurut saya yang ideal adalah kalau sebisa- bisanya ibulah yang mengurus dan mengasuh anak-anak sehingga nanti ada kelekatan dengan ibu dan hubungan dengan ibu jauh lebih akrab dan kuat. Tapi saya juga mengerti tidak selalu ini bisa diterapkan, ada ibu yang memang tidak begitu bisa untuk tahan diam di rumah, daripada dia di rumah akhirnya dia tidak bisa mengurus anak dengan baik, dia lebih baik meminta bantuan
untuk mengurus anaknya dan dia pulang sore atau malam baru bersama anak- anaknya. Jadi saya terbuka terhadap pilihan itu.
GS : Tapi kalau dia tidak memilih bekerja di suatu tempat, hanya dia itu kurang suka untuk merawat anak, ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Sekali lagi karena manusia itu beragam termasuk juga ibu rumah tangga juga beragam, ada yang memang sangat menikmati perannya sebagai mama menikmati anak-anak tapi ada juga yang kurang, kita tidak bisa memaksakan kalau memang dia kurang dan sudah tentu akan ada dampaknya dan ini tidak bisa dihindari, kedekatan dengan anak tidak terlalu tercapai, tapi kalau ibu itu menikmati anak maka dia akan mencicipi kedekatan dengan anak. Jadi apa yang bisa kita lakukan ? Sedapatnya waktu yang kita berikan kepada anak menjadi waktu yang positif dan memang terbatas tidak terlalu banyak karena kita tidak bisa dekat dengan anak seperti itu tapi setidaknya waktu yang diberikan positif dan jangan diisi dengan memarah-marahi anak, mengeluh- ngeluhkan kepada anak dan sebagainya, jadi isi dengan hal-hal yang positif.
GS : Terutama kalau anaknya lebih dari tiga sehingga ibu ini untuk merawat dirinya saja tidak ada waktu dan dia merasa bosan untuk terus-menerus beruntun dia harus merawat anak terus-menerus.
PG : Ini reaksi yang sangat manusiawi, kalau kita pun pria disuruh untuk mengurus anak satu dan satu dan satu lagi sehingga apa yang kita pikirkan untuk kita lakukan tertunda lagi dan tertunda lagi, memang ini suatu pengorbanan yang sangat besar namun sebagaimana telah kita katakan di awal bahwa kemuliaan itu terletak dari besarnya pengorbanan dan sedikitnya pamrih. Sedikit apa yang diperoleh oleh ibu sangat sedikit tapi pengorbanan yang dia berikan kepada keluarganya itu sangatlah besar.
GS : Itupun kalau sampai anak nakal seringkali dia mendapat celaan dari suami atau bahkan dari orang tua atau mertuanya sekaligus.
PG : Benar, tadi saya sudah singgung seharusnya yang diperolehnya adalah pujian, penghargaan tapi justru yang sering didapat justru celaan bahkan anak pun karena anak juga tidak begitu mengerti seringkali nanti mencela mamanya, terlalu mencampuri, terlalu ini dan itu, jadi pekerjaan ini yang luar biasa beratnya karena jarang pujian, jarang penghargaan tapi lebih sering keluhan dan kemarahan.
GS : Dengan cara apa ibu membentuk anaknya, Pak Paul ?
PG : Yang pertama ibu membentuk anak lewat kehidupannya, jadi anak itu cenderung akan meniru perilaku orang tua yang dilihatnya. Misalnya anak melihat ibu pagi berdoa, ibu pagi membaca firman Tuhan, ibu misalnya menyanyi memuji Tuhan, ibu memberikan nasehat yang berasal dari firman Tuhan, ibu bersikap sabar, ibu bersikap mengasihi, ibu mengampuni. Semua ini sebetulnya pengaruh yang sedang ditransmisikan atau disampaikan kepada anak-anak sehingga hal-hal ini nanti akan membentuk anak dan karakternya lebih menyerupai apa yang ibunya tunjukkan.
GS : Tapi pembentukan anak tidak 100% adalah tanggung jawab ibu, ayah juga punya porsi untuk membentuk anaknya.
PG : Tepat sekali, seyogianya ayah jika pulang sore atau malam memberikan waktu kepada anaknya untuk bisa bercengkrama dengan dia untuk memberikan ajarannya-ajarannya, instruksi-instruksinya, jadi tidak tepat kalau ayah 100% pokoknya berkata ini tugas mengasuh anak adalah tugas ibu rumah tangga bukan tugas saya, itu tidak benar karena Tuhan juga meminta ayah untuk mendisiplin atau mendidik anak. Nanti apalagi anak sudah mulai besar remaja, figur ayah akan lebih berperan lagi sebagai figur otoritas yang memberikan arah, yang memberikan batas sehingga anak tidak boleh berbuat semaunya.
GS : Ini seringkali di masyarakat kita, kalau ada anak yang santun atau baik, yang dipuji justru ayahnya. Ini anak....(yang disebut nama ayahnya, bukan ibunya). Jadi seolah-olah ayahnyalah yang paling berperan untuk membentuk anak itu.
PG : Ini memang kurang tepat pada dasarnya kita tahu yang lebih berperan dalam
rumah tangga membentuk anak adalah ibu, ayah berperan tapi tidak sebanyak itu. Dan saya juga tidak mau membuat para ayah merasa bersalah karena memang inilah fakta kehidupan, laki-laki harus bekerja dan harus mencari nafkah dan pulang sudah sore atau malam, sudah tentu waktu yang dapat diberikan kepada anak sangat terbatas tidak sama dengan ibu. Tapi memang itulah yang diperlukan oleh anak, anak memerlukan kehangatan kasih sayang dari ibu, itu yang anak-anak perlukan terutama dalam masa-masa pertumbuhan, itu akan jauh lebih tepat diterima oleh anak dari ibu ketimbang dari ayahnya.
GS : Setelah sudah remaja apalagi sudah lebih dewasa dari remaja, jadi pemuda dan sebagainya anak ini bisa berbalik melawan ibunya.
PG : Bisa, karena kadang-kadang misalnya ibunya terlalu membatasi dia, mengatur- ngatur dia, hal-hal yang biasa dilakukan sewaktu anak itu masih kecil biasanya memang setelah usia remaja kadang lebih banyak bicara dengan ayahnya karena mereka melihat ayahnya punya hikmat, bisa diajak bicara, bisa menahan emosi dan bicaranya bisa terbuka. Akhirnya anak-anak nantinya mulai berkonsultasi dengan ayahnya dan disinilah ayah berperan lebih aktif lagi dalam kehidupan anak-anak.
GS : Memang kemuliaan seorang ibu rumah tangga lebih banyak dilihat dari sisi
Tuhan, kalau kita sebagai sesama kadang kurang memberikan kemuliaan atau rasa hormat kepada ibu atau istri kita, dalam hal ini apa firman Tuhan yang mau Pak Paul sampaikan ?
PG : Di 1 Timotius 4:14, Paulus berpesan pada Timotius yang saat itu adalah gembala sidang di Efesus Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu. Saya kira pesan yang sama dapat diterapkan kepada para ibu rumah tangga yaitu jangan lalai dalam memergunakan karunia yang ada padamu. Jadi gunakanlah kesempatan dan kepercayaan yang berharga ini untuk membentuk anak Tuhan. Dan kesempatan ini tidak terulang, seperti kereta api berjalan ke depan dan tidak bisa lagi nanti kita ulang, jadi kalau kita sudah lewati maka kita tidak bisa kembali ke belakang. Selama masih ada waktu Tuhan percayakan anak kepada ibu rumah tangga maka gunakan karunia dan jangan lalai sebab ini adalah kesempatan yang benar-benar indah dan mulia.
GS : Apakah semua wanita mendapat karunia itu, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu tidak, ada ibu rumah tangga yang tidak memunyai anak dan itu tidak apa-apa dan dia bisa merawat misalkan suaminya dan misalkan seorang perempuan tidak juga menikah hidup sendiri, tetap dia bisa melayani orang lain misalkan anak-anak lain atau orang tua yang lain. Jadi sekali lagi letak dari kemuliaan sebuah tugas adalah pada aspek melayaninya itu.
GS : Jadi menjadi ibu rumah tangga itu bukan pekerjaan yang hina tapi mulia, begitu Pak Paul ?
PG : Tepat sekali. Saya yakin sangat mulia di mata Tuhan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kemuliaan Ibu Rumah Tangga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Pada masa lampau hampir dapat dipastikan seorang wanita akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai ibu rumah tangga. Pada masa sekarang hanya sebagian yang akan berperan sebagai ibu rumah tangga purnawaktu. Sebagian lainnya akan memikul peran ganda--sebagai ibu rumah tangga dan pekerja di luar rumah. Selain dari tuntutan ekonomi, pada umumnya perubahan ini disebabkan oleh makin terbukanya pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi perempuan.
Salah satu akibat dari pergeseran peran ini adalah timbulnya anggapan bahwa peran sebagai ibu rumah tangga bukanlah sebuah pilihan yang mulia. Bahkan ada sebagian wanita yang merasa tidak berguna dan tidak berharga bila harus berperan sebagai ibu rumah tangga tanpa berkarier lain di luar rumah.
Kemuliaan pertama menjadi seorang ibu rumah tangga adalah KEMULIAAN MELAYANI. Tuhan Yesus berkata (Matius 20:26-27), Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. Panggilan Tuhan kepada kita orang percaya adalah panggilan untuk melayani dan mungkin, di antara semua pekerjaan melayani, tidak ada yang lebih mulia daripada tugas melayani sebagai ibu rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui kemuliaan pelayanan terletak pada seberapa sedikitnya pamrih dan seberapa besarnya pengorbanan. Menjadi ibu rumah tangga menuntut banyak pengorbanan. Begitu banyak yang mesti dikerjakan namun hampir semuanya bukan untuk kepentingan diri sendiri melainkan untuk kepentingan suami dan anak-anak. Begitu besar pengorbanan yang sering kali dibayar oleh ibu rumah tangga namun begitu sedikit pamrih yang diterimanya. Sebaliknya tidak jarang, kritikan dan kemarahanlah yang diterima, baik dari suami maupun anak. Namun di sinilah letak kemuliaan ibu rumah tangga.
Kemuliaan kedua ibu rumah tangga adalah KEMULIAAN MENANAM DAN MENUMBUHKAN. Kita tahu bahwa menanam dan menumbuhkan adalah tugas yang memakan waktu jauh lebih lama daripada menuai. Kita harus terus memperhatikan tanaman yang mulai bertunas dan merawatnya sehingga dapat bertumbuh dan berbuah. Dapat dikatakan, menuai dan memetik membawa sukacita sedangkan menanam dan menumbuhkan membawa peluh. Menjadi ibu rumah tangga dapat disamakan dengan pekerjaan menanam dan menumbuhkan. Setiap hari ibu mesti memperhatikan keperluan, baik suami maupun anak. Sama seperti menanam dan menumbuhkan, ibu tidak dapat melihat hasil pekerjaannya dengan segera. Hari ini sama seperti kemarin dan hari esok akan sama seperti hari ini. Dan, sama seperti petani yang menanam pohon sampai berbuah, kebanyakan ibu rumah tangga tidak dapat mencicipi hasil pelayanannya. Orang lainlah yang lebih sering mencicipi buah pekerjaan yang dihasilkan, baik oleh suami maupun anaknya. Namun di sinilah letak kemuliaan ibu rumah tangga. Apa yang dilakukannya di belakang layar menjadi berkat buat banyak orang.
Kemuliaan ketiga ibu rumah tangga adalah kemuliaan yang berasal dari KEHORMATAN MEMBENTUK ANAK. Kita tidak bisa mencetak anak; kita hanya bisa membentuk anak -- memengaruhi anak untuk bertumbuh sesuai dengan harapan. Pada akhirnya apakah anak akan menjadi sesuai bentukan, itu di luar kendali kita. Namun di dalam keterbatasan ini, Tuhan memercayakan pengasuhan anak kepada ibu rumah tangga, terutama pada masa anak kecil. Makin banyak waktu yang diberikan kepada anak, makin tersedia kesempatan bagi ibu untuk memengaruhi anak. Apa yang dilihat dan didengar anak, akan tercatat dalam memori anak. Sewaktu anak bertindak, materi yang tersimpan itu akan keluar dan mempengaruhi tindakannya.
Inilah letak kemuliaan ibu rumah tangga. Tuhan memercayakan anak kepadanya dan memberikannya kesempatan langka dan berharga untuk membentuknya menjadi seorang anak Tuhan. Kepada Timotius (4:14),
gembala sidang di Efesus, Paulus berpesan, Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada
padamu . . . . Pesan yang sama dapat diterapkan kepada para ibu rumah tangga. Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu. Gunakan kesempatan dan kepercayaan yang berharga ini untuk
membentuk anak menjadi anak Tuhan.
2
Mencari Pasangan Hidup|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T423B|T423B|Remaja/Pemuda|Audio|Anak-anak menyerap banyak hal dari orang tua ketika mereka memilih jodoh. Kalau seorang pria menyukai sikap-sikap mamanya dia akan cenderung mencari wanita yang menyerupai mamanya. Demikian juga dengan wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya. Namun lebih dari semua itu ada prinsip-prinsip yang perlu dijadikan pedoman dalam memilih pasangan hidup, dan materi ini akan menyajikan prinsip-prinsip tersebut.|3.6MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T423B.MP3|Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi di manapun Anda berada, Anda bersama kami pada acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, selama ± 30 menit akan menemani Anda dalam acara perbincangan seputar kehidupan keluarga. Telah hadir bersama saya Bp. Dr. Paul Gunadi seorang pakar dalam bidang bimbingan dan konseling yang kini juga aktif mengajar di Sekolah Alkitab Asia Tenggara di Malang. Dan juga telah hadir pula bersama kami Ibu Idajanti Raharjo salah seorang pengurus di Lembaga Bina Keluarga Kristen. Ikutilah perbincangan kami karena kami percaya acara Telaga ini pasti sangat menarik dan bermanfaat bagi kita semua.
GS : Kali ini kami ingin mengajak Pak Paul berbincang-bincang seputar kehidupan remaja khususnya di dalam mereka menentukan pilihan hidupnya atau perjodohan, itu yang sering kali kita dengar. Pembicaraan ini memang sudah sering kali dilakukan tapi selalu menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas, bukan begitu Pak Paul?
PG : Sangat betul Pak Gunawan, bahwa topik berpacaran atau memilih jodoh adalah topik yang selalu enak untuk dibicarakan dan memang sangat penting sekali.
GS : Jadi kami akan memulai mempersoalkan akan apa yang mereka bingungkan. Apakah ada semacam pedoman Pak Paul khususnya bagi remaja-remaja Kristen di dalam menentukan pilihan teman hidupnya?
PG : Ada Pak Gunawan jadi memang secara jelas Alkitab memberikan kita beberapa petunjuk. Namun sebelum kita masuk ke situ Pak Gunawan, saya pikir ini penting sekali agar kita menyadari bahwa anak memilih jodoh tidak begitu jauh atau berkisar dari kita sebagai orang tua. Maksudnya begini, anak-anak itu sebetulnya melihat dan menyerap banyak sekali dari kita sebagai orang tua. Dati kecil mereka melihat misalnya interaksi kita, hal-hal yang mereka sukai atau tidak sukai pada diri kita sebagai seorang pria atau sebagai seorang wanita. Kalau seorang anak pria menyukai sifat-sifat mamanya, dia akan cenderung mencari seorang wanita yang menyerupai mamanya. Sama juga dengan seorang anak wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya. Jadi lingkungan hidup anak itu sendiri sebetulnya merupakan pengajaran langsung kepada anak akan jodoh seperti apa yang akan mereka pilih nantinya. Nah saya melihat kadang kala kita mulai mau memberikan petunjuk kepada anak kita setelah anak itu menginjak usia remaja, namun sesungguhnya anak sudah harus belajar tentang pemilihan jodoh itu jauh sebelum usia remaja. Jadi misalkan anak waktu berumur 8, 9 tahun, anak itu sebetulnya sudah mulai belajar dari kita secara informal. Dia mulai sebetulnya diarahkan ke orang- orang tertentu dalam hidupnya yang akan membuat dia tertarik. Contoh yang lain yang negatif misalkan ada seorang ayah yang tidak begitu peka dengan mamanya atau ibunya, nah si anak ini kalau misalkan melihat ketidakpekaan ayah sebagai sesuatu hal yang negatif misalkan dia anak wanita, dia akan cenderung mencari seorang teman hidup yang tidak seperti ayahnya. Jadi sekali lagi memang seseorang itu memilih jodoh sebetulnya berputar-putar pada apa yang dia lihat dalam keluarganya sendiri.
IR : Selaku orang tua Pak Paul, apakah kita perlu mendoakan anak-anak kita supaya dia itu memperoleh jodoh yang seiman, dan itu mulai anak-anak masih kecil atau pada waktu remaja?
PG : Sudah tentu kita perlu mendoakan, jadi baik sekali usulan ibu Ida dan sejak kecil ya kita boleh mendoakan, namun saya kira kita akan lebih intensif mendoakan anak setelah mereka menginjak usia dewasa, usia remaja dan seterusnya. Sebab di saat itulah anak- anak remaja mulai bereksperimen dalam pergaulan dengan lawan jenisnya. Nah di situ kita memang lebih harus menghabiskan waktu berdoa untuk mereka. Namun sejak kecil sekali lagi anak-anak itu sebetulnya perlu menerima pengarahan dari kita tentang suami atau istri yang seharusnya mereka pilih. Karena hal-hal ini adalah hal yang akan menjadi prinsip mereka di kemudian hari, apalagi kalau pengajaran kita ini didukung oleh kehidupan keluarga yang baik, yang positif baginya. Nah dia akan lebih terdorong untuk hanya mencari jodoh yang seperti itu karena dia melihat ini adalah figur yang positif.
GS : Selain menemukan figur yang positif di dalam diri orang tua, apakah ada pedoman yang lain yang bisa dijadikan semacam pegangan untuk anak-anak itu?
PG : Ada, bagaimana kalau saya langsung berbicara kepada para remaja yang misalkan mendengarkan siaran radio kita ini Pak Gunawan. Jadi anak remaja kalau engkau ingin mencari jodoh, nah ini saya membahasnya sudah tentu dari sudut Kristiani, yakni engkau harus menyadari bahwa Tuhan meminta engkau hanya memilih yang seiman denganmu. Saya akan membacakan dari Firman Tuhan di I Korintus 7:30, Istri terikat selama suaminya hidup, kalau suaminya telah meninggal dia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. Nah ini adalah nasihat rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, memang secara khusus nasihat ini ditujukan kepada para istri di mana mereka telah menjanda karena kematian suami mereka. Jadi Paulus berkata kalau hendak menikah lagi silakan, namun hanya boleh menikah dengan yang seiman atau orang percaya. Jadi yang dimaksud orang percaya di sini adalah sesama orang Kristen. Jadi saudara-saudara yang usianya masih remaja atau dewasa awal, kita sebagai orang Kristen memang diminta Tuhan untuk memilih jodoh yang seiman, ini prinsip yang pertama yang jelas sekali. Jadi kalau engkau misalkan melihat seseorang, tertarik kepada dia dan memang dia bukan sesama orang percaya, saya akan minta untuk Anda tidak memulai hubungan apapun yang serius dengannya. Kecuali kalau memang orang itu akhirnya tergerak dan menjadi sesama orang Kristen, nah itu baru Anda bisa mulai hubungan yang lebih serius dengannya. Kalau belum jangan Anda terlalu dekat, karena nanti kalau sudah terlanjur cinta susah sekali untuk bisa dijauhkan.
IR : Pak Paul, anak-anak muda sekarang ini banyak yang mengeluh katanya, mereka itu ingin
sekali mencari yang seiman, tapi kenyataannya di kalangan di mana dia itu ikut pelayanan mereka sulit untuk mencari yang sesuai dengan seleranya. Karena kadang- kadang mereka tertarik karena kecantikan Pak Paul, dan mereka itu tidak mengutamakan yang seiman.
PG : Betul sekali Bu Ida, maka Firman Tuhan ini sebetulnya yang tadi telah kita baca telah memberikan kita dua prinsip sekaligus yang perlu kita seimbangkan. Jadi Paulus berkata kepada para janda yang suaminya sudah meninggal, engkau bebas menikah dengan siapa saja yang dikehendakinya. Jadi di sini Paulus memang memberikan kebebasan kita menikah dengan orang yang sesuai dengan selera kita, dan ini penting sekali yaitu nikahilah orang yang kita sukai, tidak bisa kita menikah dengan orang yang tidak kita sukai, tidak sesuai dengan selera kita itu tidak lazim dilakukan dan tidak terlalu baik. Namun di pihak yang lain Paulus memberikan langsung syaratnya, boleh menikah dengan siapa saja sesuai dengan seleramu, ada yang suka tinggi, ada yang suka orang yang agak gemuk, ada yang suka kurus, tergantung orang itu, terserah. Namun langsung Paulus
menambahkan asal orang itu adalah seseorang yang percaya. Jadi memang keduanya langsung digabungkan dan saya bisa memahami bahwa adakalanya mencari seseorang yang bisa merupakan gabungan dari keduanya bukan perkara mudah.
GS : Saya melihat peringatan itu sebagai suatu yang perlu artinya sebenarnya itu bukan
malah menghalangi seseorang, tapi demi kepentingan orang itu sendiri. Jadi untuk kepentingan dia karena kalau kita berbeda iman itu pasti akan menimbulkan masalah di kemudian hari begitu Pak Paul.
PG : Betul sekali, belum tentu sebetulnya menimbulkan masalah, jadi dalam pengertian begini Pak Gunawan, saya harus terbuka untuk melihat masalah pernikahan secara luas. Apakah mungkin ada orang yang menikah dengan yang tidak seiman dan hidup bahagia, hidup harmonis? Sangat mungkin, sangat mungkin sebab pernikahan itu terdiri dari banyak faktor, persamaan iman adalah salah satu di antaranya namun bukan semuanya. Jadi kita tidak bisa berkata kebalikannya wah dia sama seiman dengan kita, dia mencintai Tuhan Yesus, melayani Tuhan dan sebagainya sama dengan saya langsung cocok, langsung menikah. Nah itu juga adalah pertimbangan yang tidak dewasa, tidak matang karena banyak faktor lain yang harus dinilai. Jadi kenapa tidak memilih yang bukan seiman, bagi saya alasan terkuatnya bukan untuk menghindari masalah tapi itu adalah perintah Tuhan. Jadi kita dituntut untuk taat, nah pilihan kita di situ hanya dua, taat atau tidak taat. Sebab kalau kita berargumentasi dengan anak-anak kita, nanti hidupmu tidak bahagia, nanti banyak problem dan sebagainya mereka yang sudah pikirannya kritis mungkin sekali akan berkata: Tidak harus begitu Pa, banyak orang yang menikah sesama Kristen tapi hidupnya kacau-balau, sering bertengkar, nah kenapa saya harus yakin bahwa Papa betul! Misalnya dia berkata begitu, saya pikir anak itu mempunyai alasan yang tepat, jadi memang tidak menjamin menikah dengan yang seiman berarti pasti harmonis. Tapi ini adalah masalah ketaatan kepada kehendak Tuhan.
GS : Ada banyak yang mengatakan itu setengah memaksakan . Walaupun pasangan saya atau
calon pasangan saya tidak seiman, nanti kalau menikah dengan saya bakal jadi seiman dengan saya, begitu Pak Paul. Jadi dia katakan ini ada harapan untuk jadi seiman dengan saya, bagaimana itu Pak Paul?
PG : Ini sebetulnya membuka dua pintu ya, memang ada harapan pasangan saya akan menjadi seiman dengan saya, namun sebetulnya pintu yang satunya juga terbuka, saya pun akan tersedot oleh dia menjadi seiman dengan pasangan saya, alias saya meninggalkan iman saya, itu pun juga mungkin.
GS : Jadi resikonya hampir sama Pak Paul ya?
PG : Sebetulnya resikonya persis 50:50, 50:50. Jadi kita berkata kepadanya, Engkau menaati perintah Tuhan, ini bukan masalah apakah engkau akan berhasil membawa dia mengenal Tuhan Yesus dan sebagainya, itu bukan masalahnya sebab kalau dia mengatakan: ya mungkin saja. Jawaban kita pasti adalah mungkin dan memang mungkin. Jadi kalau kita berargumentasi dari sudut ini ya tidak ada jalan keluarnya sebab memang tidak ada yang bisa memastikan masa depan kita. Namun ini adalah masalah ketaatan kepada yang Tuhan sudah minta.
IR : Bagaimana kalau anak ini sudah terlanjur cinta dengan yang tidak seiman Pak Paul, orang tua apa harus kompromi untuk menerima dia?
PG : Ini masalah yang sulit sekali Ibu Ida, sudah tentu kita akan berdoa dengan lebih serius memohon Tuhan untuk campur tangan, sehingga anak kita ini akhirnya bisa mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun di pihak lain saya juga harus mengakui bahwa kalau kita bersikeras dan anak kita sudah kadung cinta, sering kali kita
akhirnya tidak bisa memaksakan kehendak kita. Sering kali kita akhirnya harus mundur, kita harus mundur dan berkata kepadanya: Engkau bertanggung jawab langsung kepada Tuhan, dan ini adalah hidupmu silakan engkau mengambil keputusan. Kami sebagai orang tua hanya bisa memberitahukan hal yang benar, tapi setelah itu engkau yang harus menimbangnya dan menerimanya. Jadi saya pikir ini hal yang sulit sekali Bu Ida, karena sebagai orang tua sudah pasti mau menantu kita itu seiman dengan kita. Namun kalau misalkan dia tidak seiman dan anak kita sudah terlanjur cinta kepadanya dan mau menikahinya ya kita akan berkata terserah dia. Dan hanya bisa meminta kemurahan Tuhan agar suatu hari nanti mereka berdua akhirnya bisa menyembah kepada Tuhan dalam iman yang sama.
GS : Apakah ada pedoman yang lain Pak Paul, di dalam hal memilih pasangan hidup itu?
PG : Ada Pak Gunawan, di kitab Kejadian 2 : 18, Tuhan Allah berfirman : Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia. Nah prinsip yang diberikan oleh Tuhan di sini adalah, kita ini menikah dengan yang sepadan, maksudnya sepadan adalah cocok dengan kita. Nah dalam hal kecocokan ini kita bisa uraikan dalam banyak faktor. Cocok artinya bukan sama, adakalanya orang suka bertanya apakah baik saya menikah dengan yang sama dengan saya? Nah saya suka berkata: kalau engkau ingin menikah dengan yang sama
denganmu, engkau menikah dengan dirimu sendiri, sebab sebetulnya tidak ada yang sama dengan kita. Jadi memang sekilas orang ini mungkin sama mempunyai minat yang sama dengan kita, cara berpikir yang sama dengan kita. Namun setelah menikah saya yakin mereka akan menemukan bahwa dibalik kesamaan-kesamaan yang ada juga ada banyak keunikan masing-masing. Jadi kecocokan adalah hal yang penting, tidak harus sama tapi bisa mengimbangi dan bisa menerima perbedaan masing-masing. Nah kecocokan dalam hal apa yang kita perlu pertimbangkan. Nomor satu yang penting adalah kecocokan secara emosional, kecocokan secara sifat atau karakteristik, tabiat, perangai. Jangan sampai kita menikah dengan orang yang sifatnya tidak kita sukai, misalkan kita tahu bahwa pasangan kita ini, pacar kita ini cepat marah, kurang sabar orangnya. Nah kita mesti tanya apakah kita siap hidup dengan dia selama 50 tahun mendatang dan harus diperhadapkan dengan perangainya yang tidak sabar itu. Nah apakah kita bisa mengimbangi ketidaksabarannya itu. Jangan kita langsung berharap, nanti setelah menikah perangainya akan berubah, dia akan lebih sabar, saya kira itu tidak realistik. Jadi waktu kita mau menikah, kita harus bertanya akan pertanyaan ini apakah saya siap hidup dengan perangai-perangainya yang seperti ini?
IR : Jadi harus memakai logika Pak Paul, sering kali orang selalu memakai perasaan Pak Paul? PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi jangan sampai kita meninggalkan hikmat yang memang Tuhan telah karuniakan kepada kita. Nah kecocokan itu adakalanya ya secara emosional adakalanya tidak mudah kita temukan. Karena begini atau maksud saya perbedaan- perbedaannya tidak mudah kita lihat adakalanya kita dibutakan. Nah dibutakannya oleh beberapa faktor tadi saya sudah singgung bahwa adakalanya kita dibutakannya oleh
impian kita, o.....dia nanti akan berubah, dia tidak akan seperti sekarang, dia akan menjadi lebih sabar atau saya akan membuatnya lebih sabar. Nah ini saya kira adalah ilusi, belum tentu akan terjadi seperti yang kita harapkan. Berikutnya adakalanya kita ini menyangkali perbedaan kita atau ketidakcocokan kita dengan berdalih pada diri kita sendiri bahwa ketidakcocokan itu adalah kita katakan bumbu dalam pernikahan, bumbu yang bisa menambah sedapnya makanan pernikahan, saya kira hati-hati ya dengan pemikiran seperti ini. Sebab perbedaan yang tidak bisa dicocokan, bukannya perbedaan
keunikan masing-masing tapi yang tidak bisa dicocokan itu tidak menjadi bumbu, itu menjadi bumbu yang berlebihan pada makanan, bukan melezatkan tapi akan justru merusakkan rasa makanan itu.
GS : Tapi itu mungkin lebih banyak didasari bahwa anak-anak remaja itu bekeksperimen Pak
Paul, juga dalam hidup pernikahan mereka mau dieksperimenkan. PG : Maksudnya Pak Gunawan bagaimana ini?
GS : Sekalipun tidak cocok, tapi mau dicoba Pak Paul.
PG : OK! Saya kira kalau mereka tetap ingin bersatu menikah dengan pasangannya meski telah melihat ketidacocokan, dugaan saya adalah karena mereka itu nomor satu karena sudah terlanjur cinta, dan biasanya ketertarikan fisik lebih kuat. Karena sudah begitu
suka dengan penampilan fisik pacarnya jadi akhirnya cenderung meminimalkan hal-hal yang serius, yang sebetulnya perlu dipertimbangkan dengan saksama.
GS : Mungkin salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan itu adalah faktor usia Pak Paul.
Menurut Pak Paul kira-kira pada usia berapa remaja pria atau remaja putri itu sudah mulai memasuki tahapan untuk berpacaran bukan lagi berteman?
PG : Saya anjurkan para remaja baru mulai berpacaran setelah lulus SMA, jadi setelah usia
18 tahun. Alasan saya adalah begini, di bawah usia 18 tahun, anak-anak sebetulnya sedang berada pada tahap di mana mereka membentuk atau sedang dalam proses
membentuk identitas diri. Mereka mulai mencari tahu siapa diri mereka nah masalahnya adalah kalau pada usia 14, 15 mereka sudah dekat dengan seseorang, tidak bisa tidak kondisi tersebut akan membatasinya bergaul dengan lebih banyak orang, akhirnya bahan-bahan yang seharusnya dia terima dari banyak orang untuk membentuk dirinya akan berkurang karena waktu harus dihabiskan hanya dengan satu orang itu saja. Jadi saya kira kalau berpacaran di bawah usia 18 tidak begitu sehat bagi pertumbuhan jiwa si anak itu. Setelah usia 18 tahun anak-anak remaja mulai memasuki tahap di mana mereka ini membutuhkan keintiman yang lebih pribadi. Jadi setelah SMA, waktu masa berkuliah silakanlah anda mulai mencari pasangan hidup, jangan sebelumnya.
GS : Apakah ini juga berlaku untuk yang putri Pak?
PG : Sama, saya pikir itu berlaku buat putra dan putri.
IR : Tapi kenyataannya yang sekarang Pak Paul, banyak anak yang SMP itu sudah mulai berpacaran, apakah itu namanya cinta monyet Pak Paul?
PG : Saya takut itu memang cinta monyet, namun saya khawatir sekali ini akan menjadi trend yang lebih banyak terjadi di masa yang akan datang. Karena kita harus mengakui bahwa kesibukan kita-kita ini sebagai orang tua memberikan atau menciptakan kekosongan- kekosongan tertentu pada diri anak-anak kita. Mereka butuh sekali keintiman dengan orang tua, namun anak-anak remaja akhirnya bertumbuh besar sendirian. Banyak yang tidak begitu dekat dengan orang tua akibat kesibukan orang tua. Akibatnya kekosongan-kekosongan ini menjadi kekosongan yang perlu diisi pada usia yang terlalu dini. Seharusnya mereka mulai membutuhkan keintiman pribadi satu orang, bukannya dari kelompok yaitu pada dewasa awal yaitu usia 19, 20 tahun dsb. Namun saya takut karena masalah-masalah ini anak-anak akan lebih butuh adanya teman yang intim pada usia yang lebih dini. Mereka lebih butuh ada teman ngobrol yang bisa dijadikan tempat pencurahan isi hati. Kalau kita-kita dulu mungkin yang hidup di generasi sebelumnya tidak memerlukan itu sampai kita usia sudah agak lanjut 19 tahun, 20 tahun sebelumnya kita senang-senang saja bergaul dalam kelompok besar. Jadi saya takut itulah yang akan menjadi trend di masa yang akan datang.
GS : Bagaimana pandangan Pak Paul dengan remaja yang suka berganti-ganti pasangan Pak
Paul?
PG : Saya kira kalau dia berganti pasangan dalam konteks dia berteman saja secara ramai- ramai ya tidak apa-apa, tapi kalau kemudian dia berpacaran kemudian ganti lagi pacaran, ganti lagi, saya kira ini menunjukkan kekurangstabilannya dia. Sehingga dia kurang mengerti apa yang dia mau dan yang paling serius lagi adalah kalau memang dia bergonta-ganti pacar karena kehendak pribadinya, bukan karena dia diputuskan oleh pacarnya saya kira dia kurang memiliki penghargaan terhadap pasangan orang. Bahwa waktu dia memutuskan hubungan pacaran, itu berarti dia melukai hati orang lain. Jadi saya takut orang ini tidak dewasa hanya memikirkan kesenangannya saja, itu yang saya takuti.
GS : Apakah ada faktor dari latar belakang rumah tangganya itu Pak Paul?
PG : Bisa sekali Pak Gunawan, jadi anak-anak yang tidak mendapatkan bimbingan dan pengarahan dari orang tua, cenderung menganggap gonta-ganti pacar adalah hal yang menyenangkan, menghibur dirinya. Jadi tidak ada pengarahan bahwa pacaran bukanlah untuk menyenangkan hati tapi untuk mempersiapkan diri menuju ke pernikahan.
IR : Bagaimana sikap orang tua menghadapi anak-anak remaja sekarang Pak Paul, yang suka berpacaran, yang suka main-main, bagaimana langkah kita sebagai orang tua?
PG : Kita mesti berbicara dengan mereka dari hati ke hati bahwa yang penting dalam hidup ini bukannya engkau mendapatkan kepuasan karena gonta-ganti pacar, jadi ajar mereka takut kepada Tuhan bahwa tindakan mereka itu harus mereka pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
GS : Jadi seperti tadi kami katakan ini tentu suatu perbincangan yang sangat menarik dan kami berterima kasih perhatian anda sekalian dalam mengikuti perbincangan kami pada acara Telaga kali ini. Apabila anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan anda menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) dengan alamat Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran- saran, pertanyaan dan dukungan anda sangat kami nantikan. Terima kasih atas perhatian anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.
|Seorang anak memilih jodoh sesungguhnya tidak begitu jauh berkisar dari orang tua. Maksudnya anak- anak menyerap banyak hal dari orang tua. Misalnya interaksi orang tua, hal-hal yang mereka sukai atau tidak sukai dari seorang pria atau seorang wanita. Kalau seorang pria menyukai sikap-sikap mamanya dia akan cenderung mencari wanita yang menyerupai mamanya. Demikian juga dengan wanita, kalau dia menghormati sifat-sifat ayahnya dia juga cenderung untuk mencari pria atau mendekati pria yang menyerupai ayahnya.
Pedoman-pedoman atau prinsip yang dapat digunakan untuk mencari pasangan hidup, dipandang dari sudut kristiani adalah sebagai berikut :
1. Seiman
I Korintus pasal 7:39, Istri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. Di sini ditekankan hanya boleh menikah dengan yang seiman atau orang percaya/sesama orang Kristen.
2. Nikahilah orang yang sesuai dengan selera kita. Orang yang kita sukai.
3. Kejadian Pasal 2 : 18, Tuhan Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Nah prinsip selanjutnya menikahlah dengan yang sepadan, maksudnya sepadan adalah cocok dengan kita. Kecocokan adalah hal yang penting, tidak harus sama tapi bisa mengimbangi dan bisa menerima perbedaan masing-masing.
Kecocokan yang perlu kita pertimbangkan adalah :
* Kecocokan secara emosional, kecocokan secara sifat atau karakteristik, tabiat, perangai.
Jangan menikah dengan orang yang sifatnya tidak kita sukai. Memang tidak mudah kita menemukannya karena perbedaan-perbedaannya tidak mudah kita lihat. Adakalanya kita dibutakan oleh beberapa faktor yaitu:
- Dibutakan oleh impian kita, bahwa nanti akan berubah
- Menyangkali perbedaan kita atau ketidakcocokan kita dengan dalih bahwa ketidakcocokan itu adalah bumbu dalam pernikahan, bumbu yang bisa menambah sedapnya makanan pernikahan. Hati-hati dengan pemikiran ini.
Seorang remaja dianjurkan berpacaran setelah lulus SMA, jadi setelah usia 18 tahun. Anak-anak di bawah usia 18 tahun sebetulnya sedang berada pada tahap proses membentuk identitas diri, mereka mulai mencari tahu siapa diri mereka. Kalau dalam usia di bawah 18 tahun anak-anak sudah mulai berpacaran, maka akhirnya bahan-bahan yang seharusnya dia terima dari banyak orang untuk membentuk dirinya itu akan berkurang, karena waktu harus dihabiskannya hanya dengan satu orang saja. Jadi berpacaran di bawah usia 18 tahun tidak begitu sehat bagi pertumbuhan jiwa si anak.
2
Kepribadian Dominan|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T424A|T424A|Karakter/Kepribadian|Audio|Pada umumnya tatkala mendengar kata, dominan, kita membayangkan sebuah gambar manusia yang berbuat seenaknya tanpa memerhatikan perasaan dan kepentingan sesama. Sebetulnya kata dominan tidak harus berkonotasi seburuk itu. Apakah Anda termasuk orang dalam abstrak dominan? Jika ya, di sini akan dijelaskan mengenai kelamahan dan kelebihannya sehingga Anda bisa menempatkan diri dengan benar.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T424A.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang Kepribadian Dominan. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, mendengar istilah dominan, pikiran kita atau asosiasi kita dengan sesuatu yang menguasai, sesuatu yang hebat, begitu Pak Paul. Kalau ini dikaitkan dengan kepribadian, bukankah ini sesuatu yang sangat membahayakan bagi orang lain atau pun dirinya sendiri, Pak Paul ?
PG : Justru yang ingin saya angkat pada diskusi kali ini adalah bahwa dominan itu tidak selalu berkonotasi buruk. Dominan itu hanyalah menunjukkan sebuah kepribadian yang memang kuat, tapi tidak perlu kita menyorotinya dari sisi buruknya. Nanti akan kita bahas justru kepribadian yang dominan ini memunyai 2 sisi, sisi kekuatan dan sisi kelemahannya. Ini yang harus diwaspadai dan nanti saya akan memberi masukan pula bagaimana kita bisa hidup dengan orang berkepribadian dominan.
GS : Tetapi kalau kita berbicara tentang dominan tentu lebih dahulu kekuatannya, karena yang lebih menonjol untuk bisa dominan, tentu kelebihan atau kekuatan orang itu.
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Nah, jadi yang pertama, kekuatan dari ciri kepribadian yang dominan adalah adanya sebuah kepribadian yang kuat. Artinya di dalam kepribadian orang yang dominan terdapat pendirian yang teguh dan kemampuan berpikir yang waras, yang sangat rasional. Dengan kata lain, orang dengan kepribadian dominan tidak mudah mengubah pendiriannya hanya karena adanya tekanan dari luar. Jadi sekali dia sudah pikirkan, inilah yang dia yakini sebagai hal yang baik atau yang benar, maka orang ini akan cenderung bertahan, dia mendasari pertimbangannya atas dialog nalar dalam dirinya sehingga dia tidak terlalu bergantung pada pendapat orang lain. Kebalikan dari orang yang lemah, yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dia sangat bergantung pada penilaian atau pendapat orang lain. Kepribadian yang dominan kebalikannya, dia tidak akan gampang-gampang mengubah pikiran, sebab segala sesuatu yang telah dipikirkannya berdasarkan pertimbangan rasional akan dia yakini sebagai hal yang baik.
GS : Orang yang memiliki kepribadian dominan merupakan hasil pembelajaran atau memang dibawa sejak lahir, Pak Paul ?
PG : Biasanya anak-anak yang pada akhirnya mengembangkan kepribadian yang dominan sudah mulai menunjukkan sifat-sifat ini sejak kecil, Pak Gunawan, yaitu misalnya anak ini tidak gampang disuruh. Jadi kita mesti menyuruhnya
berkali-kali sebelum ia melakukan yang kita minta. Kadang kita mesti menggunakan ancaman, kalau dia tidak melakukan kita akan menghukumnya. Baru dia melaksanakannya, kenapa ? Sebab dia memunyai pendapatnya sendiri, dia tidak serta merta menyetujui apa yang kita katakan. Jadi pada umumnya kita akan berkata, Kepribadian ini hasil bawaan dari lahir.
GS : Tetapi proses kehidupan umumnya justru akan membuat lebih kuat atau malah melemahkan hal yang sudah dimiliki sejak kecil ini, seperti itu Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi kita sebagai orang tua jika tidak bijaksana membesarkan anak, maka kita justru meremukkan kepribadian yang dominan ini. Karena kita tidak suka maka kita akan menggunakan ancaman kekerasan dan menakut- nakutinya sehingga kepribadian yang tadinya harus berkembang malahan akhirnya menjadi kuncup dan runtuh dan tidak bisa digunakan. Tapi sebaliknya ada juga yang bisa jadi dikembangkan secara berlebihan, Pak Gunawan. Jadi ada orang tua yang terlalu mengagung-agungkan anak yang seperti ini dan memberi kepada dia kebebasan untuk berbuat apa saja, sehingga pada akhirnya kecenderungannya bukan saja kuat tapi justru mendominasi orang lain.
GS : Seperti secara fisik, kalau orang itu kuat maka dia juga bisa berdampak.
Artinya misalkan dia bisa mengangkat barang yang berat dan dia juga tidak mudah sakit dan sebagainya, tapi dia memiliki sisi negatif yaitu bisa membuat orang lain takut, cedera dan sebagainya. Saya kira dengan kepribadian dominan ini, selain ada sisi positif juga ada negatifnya atau kelemahan- kelemahan yang dimiliki kepribadian ini, apakah ada kelemahannya, Pak Paul ?
PG : Ternyata ada, Pak Gunawan. Jadi di dalam kepribadian yang kuat itu, dia memang akan berdiri teguh pada pendiriannya dan dia akan bergantung penuh pada pendiriannya sendiri dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh pandangan orang yang di luar darinya. Kecenderungannya adalah dia juga susah mendengarkan pandangan orang yang diperlukannya. Jadi begitu dia sudah mengambil keputusan, dia menganggap ini benar maka sukar bagi dia memertimbangkan kemungkinan bahwa mungkin saja dia salah. Jadi akhirnya kalau tidak hati-hati, orang dengan kepribadian dominan bisa menyeruduk, akhirnya tergelincir dan jatuh. Justru dia membuat kesalahan yang fatal, karena dia kurang menghargai pendapat orang. Orang-orang dengan kepribadian yang dominan cenderung hanya akan mau mendengar pendapatnya orang yang dia anggap di atasnya, yang lebih bijaksana, yang lebih pintar dari dia dan sebagainya, sedangkan kriteria dia tentang orang yang seperti itu memang kriteria yang agak sempit, akibatnya dia tidak dengan mudah menerima pandangan orang lain apalagi yang dianggapnya di bawah dia, yang sejajar dengan dia saja tidak mudah untuk diterima apalagi yang di bawah dia, hal ini yang menjadi kelemahannya pula. Kekuatannya adalah berpendirian teguh, tidak mudah goyah tapi kelemahannya menjadi orang yang keras kepala dan akhirnya sukar untuk mendengar pandangan orang lain.
GS : Selain keras kepala, ini justru memerlihatkan kesombongan orang ini, kesan kita kepada orang-orang yang seperti ini adalah orang-orang yang sombong dan tinggi hati.
PG : Ini adalah salah satu konsekuensinya yaitu karena dia bergantung pada pendapatnya sendiri, dia cenderung meremehkan pendapat orang lain dan akhirnya bisa jatuh ke dalam dosa kesombongan itu dan dia menganggap kalau dialah yang paling hebat, dialah yang paling pintar dan dia tidak perlu pendapat orang lain dan dia meremehkan orang lain. Ini salah satu kelemahan fatal orang yang berkepribadian dominan.
GS : Apakah itu tidak membuat kita susah untuk bersosialisasi, Pak Paul, berhubungan dengan orang lain.
PG : Sudah tentu kalau kita bekerjasama dengan orang yang seperti ini memang tidak mudah karena di dalam kerjasama dibutuhkan saling pengertian, negosiasi, saling mengalah, tenggang rasa. Jadi orang-orang seperti ini memang kuat menjadi seorang pemimpin. Tapi kadang-kadang sulit juga hidup dengan dia, apalagi kalau kita kebetulan suami atau istri dia. Jadi kalau kita memang kebetulan suami atau istrinya, kita sering merasa frustrasi sebab berkomunikasi dengannya kadang sama halnya berhadapan dengan tembok, kita mau bicara apa, memberitahu apa, kalau dia sudah memutuskan sesuatu dia sudah tidak bisa memertimbangkan masukan kita. Jadi jalan keluar satu- satunya adalah kita harus berkomunikasi dengannya, sejelas dan selogis mungkin. Dua kata ini yang mau saya garis bawahi karena penting sekali, kalau kita berteman dengan orang yang berkepribadian dominan maka kita harus berkomunikasi dengan jelas artinya apa pendapat kita maka kita harus nyatakan sejelas mungkin. Dan kalau kita tidak setuju, maka kita harus katakan sejelas mungkin bahwa saya tidak setuju, sebab orang-orang dengan kepribadian dominan kalau melihat bahwa kita ini ragu atau samar, maka dia akan merasa kalau dia harus makin tegas karena dia makin merasa bahwa dia harus makin memberikan kejelasan, supaya jangan sampai orang itu nanti tersesat. Jadi kalau kita itu bersikap terlalu samar, ragu-ragu, tidak berani menyatakan pendapat maka kita akan makin tergilas oleh dia. Maka kalau kita tidak setuju atau punya pandangan yang lain, kita harus katakan bahwa saya tidak setuju atau memunyai pandangan yang berbeda, Apakah boleh untuk saya ungkapkan sesuatu sebab saya mau berdialog dengan kamu. Dan saya tadi katakan bahwa kita harus selogis mungkin kalau berbicara dengan dia, bukan hanya jelas tapi selogis mungkin. Artinya kita harus pandai-pandai mengemukakan alasan atau argumentasi kita supaya dia pun dapat memertimbangkannya secara objektif. Jadi kalau dia merasa bahwa kita itu tidak logis dan alur kita itu tidak berkesinambungan, dasar argumen kita lemah dan sebagainya maka kita akan malah tidak dihiraukan. Makanya kita harus mendasari argumen kita dengan alasan-alasan yang logis.
GS : Tapi untuk berkomunikasi atau berbicara dengan logis dan jelas, ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, Pak Paul, dan orang kalau tidak terlalu terikat dengan dia, misalkan bukan bawahannya dan sebagainya atau istrinya, maka dia akan cenderung untuk melarikan diri saja. Kalau orang ini melarikan diri, lama-lama orang yang berkepribadian dominan ini akan kesulitan mencari teman, Pak Paul.
PG : Dan ini adalah salah satu konsekuensinya, Pak Gunawan. Jadi orang yang berkepribadian dominan terus bersikukuh, tidak mau memberikan kesempatan kepada orang untuk berbagi pandang dengan dia akhirnya cenderung ditinggalkan oleh orang atau didiamkan atau dihindarkan, karena orang akan berpikir, Percuma berbicara dengan dia, kalau dia inginnya seperti apa yang dia inginkan maka itu yang harus terjadi dan dia tidak mau melihat pendapat kami lagi. Jadi sekali lagi kita bisa melihat betapa sayangnya kalau kekuatan yang begitu baik akhirnya itu justru menjadi sebuah kelemahan yang begitu fatal.
GS : Seandainya Pak Paul, orang yang dengan kepribadian dominan ini harus bekerja, bermasyarakat, melayani dan sebagainya. Kira-kira bidang apa atau di bagian mana dia ini tepat untuk menempatkan diri, Pak Paul ?
PG : Justru awalnya orang yang menyadari bahwa dirinya ini seperti ini, dia justru
tidak boleh mendapatkan posisi tinggi atau sebagai pemimpin. Kalau misalnya kebetulan dia adalah anak seorang pengusaha, Papanya adalah seorang pengusaha dan mudah bagi dia masuk menjadi seorang direksi dan sebagainya, justru saya akan anjurkan kepada anak ini, Meskipun ayahmu memberikan kemudahan-kemudahan atau fasilitas-fasilitas kepada kamu untuk menjadi pimpinan, justru sebaiknya jangan kamu terima pada awal- awalnya. Kamu justru harus mendisiplin diri untuk meniti tangga dari bawah dan jangan langsung ke atas. Karena orang yang berkepribadian dominan, kalau langsung menempati pucuk pimpinan di atas, maka dia akan makin tidak sadar dengan kenyataan di lapangan, dengan kenyataan orang, dengan pergumulan orang, dengan sudut pandang orang yang lain-lainnya. Karena sebagai pimpinan memang kehendaknya lebih cenderung untuk dituruti dan itu adalah posisi yang memberikan kepada kita keuntungan atau manfaat untuk memberikan pendapat lebih bebas. Tapi kalau orang ini masih muda maka dia perlu pengalaman dan dia perlu mendengarkan orang dengan lebih baik. Jadi apa pun yang dia kerjakan, itu tidak menjadi masalah dan yang penting adalah dia memulai dari bawah. Jadi apapun pekerjaannya dan memang tergantung talentanya. Tapi memang dia harus meniti dari bawah, mengikuti, merendah, mendengarkan orang, mengikuti perintah orang, sampai pada waktu yang agak panjang dan sampai dia terbuka untuk menjadi pimpinan, maka barulah dia naik menjadi pimpinan.
GS : Jadi sekali lagi kuncinya justru ada di dalam diri dia sendiri, kemauan dia untuk mendisiplin diri supaya tidak terlalu dominan, Pak Paul ?
PG : Jangan sampai dominannya itu menjadi dominan yang buta, yang tidak ada arahnya dan tidak ada hikmatnya. Justru kalau dia harus dominan karena dia memang orang yang dominan, itu tidak mengapa, tapi hendaknya dominan itu yang memang berhikmat yang memunyai kasih dan yang juga memunyai kerendahan hati sehingga bisa mendengarkan masukan orang.
GS : Pak Paul, mungkin ada sisi yang lain dari kepribadian yang dominan ini ?
PG : Sisi yang lain atau kekuatan yang lain adalah orang-orang dengan kepribadian yang dominan cenderung memunyai kemauan yang kuat, kemauan inilah yang terus mendorongnya untuk maju mencapai sasaran kendati jalan harus
mendaki. Kita tahu bahwa ada orang-orang yang ketika jalan sudah mulai mendaki, mereka seringkali menyerah dan berhenti di tengah jalan dan tidak mau lagi meneruskan. Tapi justru orang-orang dengan kepribadian yang dominan, waktu harus mengalami tantangan, gelombang dan sebagainya, dia tidak mudah untuk menyerah dan dia akan jalan terus. Itu sebabnya tidak jarang orang yang berkepribadian yang kuat ini cenderung menikmati keberhasilan dalam pekerjaannya karena orang-orang ini memang tidak mudah menyerah dan seringkali ini adalah kualitas dan karakteristik yang dihargai oleh atasannya.
GS : Kelebihan yang pertama dibandingkan dengan kelebihan yang kedua ini apa, Pak Paul ?
PG : Saya kira sama. Kemauan yang kuat ini bagaimana pun juga menunjukkan
kepribadian yang kuat itu, dia itu percaya kepada pertimbangannya sendiri dan bukan hanya percaya tapi dia akan memunyai motor untuk menggerakkannya supaya sampai di tujuan dan motor itu adalah kemauannya, jadi kemauannya, pendiriannya yang kuat serta kemauannya yang bertahan di dalam terpaan badai, itu memang perpaduan kombinasi yang penting.
GS : Orang-orang seperti ini memang seringkali menemukan ide-ide yang baru, yang bagus, yang inovatif, yang bisa berguna bagi orang lain.
PG : Betul. Dan memang ini adalah kekuatan dari dia apalagi kalau memang didukung dan diberikan tanggapan positif dari orang lain. Tapi kadang-kadang juga kalau dia tidak mendengarkan orang, adakalanya inilah justru yang menjerumuskan, orang dan baik perusahaan atau pelayanan yang dipimpinnya masuk ke jurang. Dan kadang-kadang itulah yang terjadi, gara-gara terlalu bernafsu mau ini dan pasti bisa, pertimbangannya begitu kuat, kita yakini keyakinannya begitu kuat juga dan susah dibendung, maka akhirnya orang mengikutinya, padahalnya dia membawa semua orang ke jurang dan itu pun terjadi.
GS : Jadi sisi lemahnya ciri yang kedua ini apa, Pak Paul ?
PG : Ini, Pak Gunawan, tadi saya sudah singgung bahwa orang yang berkepribadian dominan karena kemauannya yang kuat itu cenderung mencapai sasarannya alias dia bisa mencicipi, menikmati keberhasilan. Keberhasilan biasanya melahirkan keyakinan diri, makin sering berhasil maka makin yakin diri, dengan bertambahnya keyakinan diri maka bertambah kuat pulalah keinginan untuk mencapai sasaran. Jadi dia merasa berhasil, rekan kerjanya mengatakan bahwa dia selalu berhasil, makin kuat keinginannya untuk sampai sasaran. Jadi ini adalah kekuatan sekaligus kelemahan pribadi yang dominan, kenapa ? Keinginannya yang kuat membuat dia untuk sulit mundur dari keinginannya sendiri yang belum tentu selalu baik dan benar. Jadi dengan kata lain, musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri sebab kalau dirinya sudah berkeinginan maka dia sendiri tidak bisa membendung keinginannya itu. Adakalanya ini justru yang menghancurkan hidupnya.
GS : Pak Paul, kalau kita memerhatikan tokoh Alkitab, apakah orang-orang seperti
Musa, seperti Paulus mereka juga memunyai kepribadian yang dominan itu ?
PG : Saya kira demikian, mereka adalah orang-orang yang dominan makanya seperti Musa, dia bisa menggembalakan atau memerintah jutaan orang Israel, meskipun 600.000 yang dicatat, itu adalah 600.000 pemuda yang sanggup berperang, tidak termasuk anak-anak dan orang-orang tua. Jadi kalau dijumlahkan semuanya maka lebih dari 1.000.000 orang dan mungkin juga bisa 2.000.000 orang yang dipimpin oleh Musa dan hidup di padang gurun, itu bukan hal yang mudah. Jadi jelas kita melihat kepemimpinan yang kuat dari Musa.
GS : Bagaimana kalau kita hidup dengan orang yang memunyai ciri yang kedua itu yaitu memunyai kemauan yang kuat ini, Pak Paul ?
PG : Ini merupakan salah satu hal yang menakutkan hidup bersamanya, kalau dia hidup seperti ini yaitu kemauannya kuat, kadang-kadang dia akan mengeluarkan pendapat atau menunjukkan sebuah keinginan yang benar- benar menunjukkan kalau ini adalah sesuatu yang keliru dan kita merasa takut waktu dia mengatakan sesuatu yang dia ingin lakukan. Takut kenapa ? Sebab kita tahu, sekali dia mau maka sukar baginya untuk menerima penolakan. Jadi kecenderungannya adalah terus mengejar kemauannya sampai dia mendapatkannya, kalau itu adalah hal yang baik maka tidak mengapa, tapi kalau kita lihat bahwa itu benar-benar salah dan benar-benar ini bisa menghancurkannya maka ini akan sangat mengerikan bagi kita. Jadi jika itulah yang terjadi, saya bisa sarankan dua hal ini. Pertama, waktu dia berkata mau ini dan itu dan sebagainya, kita tidak memberikan kepadanya reaksi tidak setuju, seketika itu juga. Jangan! Sebab orang-orang yang dominan itu juga langsung dengan keras berkata, Tidak setuju dan sebagainya maka justru dia akan tambah marah dan dia tidak bisa dibendung lagi. Justru kita harus tegas, namun tidak dengan reaksi keras. Tegas itu dengan pengertian kita berkata tidak setuju, namun tidak dengan reaksi keras. Salah satu cara yang bisa saya sarankan adalah kita mengajukan pertanyaan untuk menimba informasi sebanyak-banyaknya tentang apa yang diinginkannya itu, jadi kita bertanya terus kepadanya dan apakah dia itu bisa menjawabnya, apakah dia mengerti apa yang menjadi konsekuensinya, baik buruknya apa yang dia inginkan itu. Pertanyaan harus berwujud dari keingintahuan dan bukan upaya untuk memerlihatkan kesalahan atau kekurangannya, sebab kalau belum apa-apa kita sudah bertanya-tanya dan sengaja untuk merintangi dia, maka dia akan defensif, tidak suka dan melawan. Jadi memang kita tanya karena kita ingin tahu bahwa apakah dia tahu tentang semuanya, baik buruknya dan sebagainya. Setelah kita mendengarkan apa yang dia ucapkan, maka selalu kita katakan untuk memertimbangkan keinginannya itu, kalau kita memang tidak setuju, dengan tenang barulah kita ajukan keberatan kita. Jadi kita meminta kembali untuk dia berpikir ulang apa yang telah dia putuskan itu.
GS : Tapi biasanya orang dengan kemauan yang keras seperti ini justru menyukai tantangan dan berani mengambil resiko, dan kita yang memiliki kepribadian yang tidak sama dengan dia, sulit untuk mengikutinya, Pak Paul.
PG : Tapi memang hidup dengan orang yang seperti ini, kadang-kadang kalau ini sudah benar-benar terlalu mengerikan, keputusan ini sudah sangat salah. Kita
memang harus bijaksana setelah minta dia untuk menjelaskan dan kita bilang kalau kita akan memertimbangkan dan kemudian kita mengajukan keberatan kita dan mungkin kita mengajak dia untuk berdoa dulu, Mari kita berdoa dulu, sebelum kamu memutuskan. Jadi terus meminta waktunya untuk berdoa, misalkan setelah kita melakukan hal itu dan dia tetap pada rencana yang semula maka kita bisa membiarkannya jika hal itu tidak berdampak luas pada kehidupan keluarga. Tapi bila akan berdampak luas dan berdampak buruk dengan keluarga, maka dengan teguh kita harus berdiri tegas mengatakan ketidak setujuan kita karena sekali lagi kalau sampai titik akhir, dia masih mau seperti itu dan ini sangat berbahaya maka harus ada orang yang tegas berkata, tidak. Jadi sekali lagi untuk orang yang berkepribadian dominan, kalau kita samar atau ragu maka nanti dia akan terus menerobos. Jadi pada akhirnya kita harus berdiri tegak dan berkata, Kalau tidak, maka tidak.
GS : Itu berarti kita akan menjadi dominan di atas dia yang dominan ?
PG : Pada titik itu kita memang harus berani melawannya atau tegas kepadanya, seolah-olah kita memang dominan, tapi sebetulnya kita tidak dominan, besar kemungkinan kita lebih mudah untuk bernegosiasi dan sebagainya. Kalau dia melihat bahwa kita bukanlah orang yang mudah untuk merintanginya, dia itu melihat 9 dari 10 akan mendukung dia, tapi yang satu ini yakni kita tidak mendukung dia, maka seharusnya dia itu sadar, Benar juga ya, pasangan saya ini 9 dari 10 setuju ikut saya, tapi untuk yang kali ini dia tidak bisa ikut, mungkin ada yang dia pikirkan yang saya tidak lihat dan mungkin ada sesuatu yang tidak baik yang saya tidak hiraukan sekarang. Mudah-mudahan kita ini tidak mudah-mudah bilang tidak setuju, jadi kalau kita berkata bahwa kita ini tidak setuju, bobot ketidaksetujuan itu menjadi lebih berat atau menjadi lebih besar.
GS : Susahnya juga seperti yang Pak Paul katakan, orang-orang yang dominan ini terlalu percaya kepada dirinya sendiri. Sehingga ketergantungannya dengan Tuhan itu kecil sekali, Pak Paul dan dia merasa bisa, bahkan mungkin dia merasa dia bisa memaksa Tuhan untuk memenuhi keinginannya ini.
PG : Makanya ini salah satu kepribadian yang bisa menjadi berkat besar, tapi juga
bisa menjadi kemalangan besar. Sebab betul, orang-orang seperti ini seringkali tidak menghiraukan Tuhan, mereka tidak peduli apakah Tuhan setuju atau tidak. Jadi orang-orang seperti ini menempatkan diri di atas Tuhan. Maka kalau pendengar kita kebetulan mengakui Anda berkepribadian seperti ini, harus bisa mengerem, Anda harus ingat bahwa tidak boleh kalau tidak menghiraukan Tuhan dan harus tunduk kepada-Nya.
GS : Kesimpulan apa yang ingin Pak Paul bagikan kepada para pendengar, Pak Paul? PG : Kepribadian yang dominan umumnya melahirkan kepemimpinan yang kuat, seperti lokomotif bisa menghela gerbong kereta di belakangnya untuk mengikuti jejaknya dan tidak bisa disangkal yang di belakangnya, orang akan merasa aman karena mengetahui dengan jelas arah yang ditempuh. Tapi sebaliknya, dia pun akan dapat menarik gerbong kereta untuk masuk ke dalam jurang. Itu sebabnya kalau kita sebagai pendampingnya, baik istri maupun suaminya, kita harus berfungsi sebagai penolong baginya, selama ia percaya
dengan niat baik kita, pada umumnya dia akan bersedia mendengarkan kita. Jadi kita harus menjalin relasi dengan baik, sehingga dia tahu kalau kita sungguh-sungguh percaya kepadanya bahwa kita hanya mau melihat hal yang terbaik yang terjadi di dalam dirinya dan keluarga kita. Dan kita tidak gampang-gampang berkata, tidak terhadap ide-idenya, kalau semua kita lakukan dan waktu dia harus mengambil keputusan yang kita tahu sangat salah maka kita harus bersikap tegas. Namun terlepas dari berkomunikasi dengannya secara efektif, kita harus memerlihatkan kehidupan yang berintegritas agar dia dapat respek kepada kita. Firman Tuhan di Mazmur 18:24-25 mengingatkan Aku berlaku tidak bercela dihadapannya dan menjaga diri terhadap kesalahan karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku di depan matanya. Jadi hidup benar dan hidup berhikmat adalah kunci untuk hidup bersama orang yang dominan.
GS : Justru di situlah kuncinya, banyak orang benar tapi hidupnya tidak berhikmat atau sebaliknya berhikmat tapi hidup tidak benar. Hal ini menjadi sesuatu yang kompleks sehingga masih banyak orang yang cukup dominan yang sebenarnya bisa menggunakan kelebihannya untuk hal-hal yang positif, tapi justru melakukan hal-hal yang negatif yang merugikan banyak orang.
PG : Betul sekali. Dan kita sebagai pendampingnya harus mengutamakan dan memerlihatkan kehidupan yang baik di hadapan Tuhan, kehidupan yang berkenan kepada Tuhan sehingga pasangan yang dominan itu menaruh respek sehingga mudah-mudahan meskipun dia kurang berhikmat atau kurang benar dalam sikapnya yang dominan, melihat kita hidup berkenan kepada Tuhan maka akhirnya dia akan menaruh respek dan lebih bersedia untuk mendengarkan masukan kita.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Kepribadian Dominan. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran- saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.
|Pada umumnya tatkala mendengar kata dominan, kita membayangkan sebuah gambar manusia yang berbuat seenaknya tanpa memerhatikan perasaan dan kepentingan sesama. Sebetulnya kata dominan tidak harus berkonotasi seburuk itu. Dominan, dengan kata lain, tidak mesti berwujud dalam dominasi. Berikut akan diuraikan lebih lanjut tentang kepribadian dominan--baik dari sisi kekuatan maupun kelemahannya.
• Kekuatan 1. Ciri utama kepribadian yang dominan adalah adanya sebuah kepribadian yang kuat. Di dalam kepribadian yang kuat terdapat pendirian yang teguh dan kemampuan berpikir yang waras. Dengan kata lain, orang dengan kepribadian yang dominan tidak mengubah pendirian hanya karena tekanan dari luar. Ia mendasari pertimbangannya atas dialog nalar dalam dirinya dan tidak bergantung pada pendapat orang.
• Kelemahan. Oleh karena ia berpendirian teguh dan bergantung penuh pada pertimbangan sendiri, ada kecenderungan ia tidak mudah mendengarkan masukan orang.
• Kunci hidup bersamanya. Itu sebabnya tidak bisa tidak, bila kita hidup bersamanya kita sering merasa frustrasi sebab berkomunikasi dengannya kadang sama dengan berhadapan dengan tembok. Jalan keluar satu-satunya adalah, kita harus berkomunikasi dengannya sejelas dan selogis mungkin. Kita harus pandai-pandai mengemukakan alasan atau argumentasi kita supaya ia dapat memertimbangkannya dengan obyektif.
• Kekuatan 2. Ciri berikut dari kepribadian yang dominan adalah adanya kemauan yang kuat.
Kemauan inilah yang mendorongnya untuk terus maju mencapai sasaran kendati jalan harus mendaki. Itu sebabnya, tidak jarang, orang dengan kepribadian kuat ini cenderung menikmati
keberhasilan dalam pekerjaannya.
• Kelemahan. Keberhasilan biasanya melahirkan keyakinan diri. Dengan bertambahnya keyakinan diri, bertambah kuat pulalah keinginan untuk mencapai sasaran. Inilah kekuatan sekaligus kelemahan pribadi yang dominan. Kemauannya yang kuat menjadikannya sulit untuk mundur dari keinginannya sendiri--yang belum tentu selalu baik dan benar.
• Hidup bersamanya. Salah satu hal yang menakutkan hidup bersamanya adalah sewaktu kita harus mendengar keinginannya. Kita merasa takut sebab kita tahu, sekali mau, sukar baginya untuk menerima penolakan. Jika itulah yang terjadi, kita mesti melakukan dua hal. Pertama, kita tidak memberinya reaksi tidak setuju seketika itu juga. Sebaliknya, ajukanlah pertanyaan untuk menimba informasi sebanyak-banyak tentang apa yang diinginkannya itu. Pertanyaan haruslah berwujud keingin-tahuan, bukan upaya untuk memerlihatkan kesalahan atau kekurangannya. Kedua, setelah itu mintalah waktu kepadanya untuk memertimbangkan keinginannya itu. Di saat yang tenang, dengan lembut ajukanlah keberatan kita. Setelah itu ajaklah dia untuk kembali mendoakan rencananya sekali lagi sebelum mengambil keputusan. Apabila setelah melakukan semua itu ia tetap pada rencana semula, kita dapat membiarkannya jika hal itu tidak berdampak luas pada kehidupan keluarga. Jika akan berdampak luas, dengan teguh berdirilah dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan kita.
Kesimpulan :
Kepribadian dominan umumnya melahirkan kepemimpinan yang kuat. Bak lokomotif, ia dapat menghela gerbong kereta di belakangnya untuk mengikuti jejaknya. Di belakangnya orang merasa aman karena mengetahui dengan jelas arah yang ditempuh. Sebaliknya, ia pun dapat menarik gerbong kereta masuk ke dalam jurang. Itu sebabnya sebagai pendampingnya, kita mesti berfungsi sebagai penolong
baginya. Selama ia percaya akan niat baik kita, ia akan bersedia mendengarkan kita.
Namun terlepas dari bagaimana berkomunikasi dengannya secara efektif, kita harus memerlihatkan kehidupan yang berintegritas agar ia respek kepada kita. Firman Tuhan di Mazmur 18:24-25 mengingatkan, Aku berlaku tidak bercela di hadapan-Nya dan menjaga diri terhadap kesalahan. Karena itu Tuhan membalas kepadaku sesuai dengan kebenaranku, sesuai dengan kesucian tanganku di depan
mata-Nya. Hidup benar dan berhikmat adalah kunci untuk hidup bersama orang yang dominan.
Sikap Dominan Dalam Keluarga|Pdt. Dr. Paul Gunadi|Pdt. Dr. Paul Gunadi|T424B|T424B|Karakter/Kepribadian|Audio|Seringkali orang mengaitkan sifat dominan dengan salah satu jenis kepribadian, namun faktanya sifat dominan bisa menghinggapi semua jenis kepribadian, entah itu kepribadian kolerik, melankolik, sanguin, dan flegmatik. Sifat dominan tidaklah salah, yang membuat salah adalah jika sifat dominan itu sendiri melemahkan sifat orang lain sehingga orang lain menjadi bergantung kepadanya dan yang yang di dekatnya tidak bisa mandiri. Jika sifat dominan itu ada pada kita, apa yang harus dilakukan? Agar sifat dominan itu bisa menjadi berkat bagi orang lain dan diri kita sendiri, disini akan diulas secara jelas.|3.4MB|http://media.sabda.org/telaga/mp3/T424B.MP3|Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK akan berbincang- bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang Sikap Dominan Dalam Keluarga. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, apakah salah kalau ada di dalam sebuah keluarga, yang salah satunya menonjol atau bersikap dominan, kadang ada keluarga yang suaminya terlihat dominan tetapi di keluarga yang lain ada yang istrinya, atau di keluarga ada yang bahkan anak-anaknya bisa mengatur orang tuanya. Dan yang berbagai seperti ini bagaimana, Pak Paul ?
PG : Yang perlu kita sadari adalah sikap dominan itu sendiri bukanlah sebuah masalah. Jadi ini bukanlah problem yang harus dihilangkan, tapi ini adalah sebuah keunikan dalam diri. Jadi yang perlu kita lakukan adalah lebih menyadari kalau kita memunyai sikap dominan dan orang juga kadang-kadang memberikan tanggapan, Kamu terlalu dominan dan sebagainya, kita harus lebih sadar supaya sikap kita ini akhirnya tidak menimbulkan dampak buruk pada orang lain.
GS : Berarti satu keluarga tidak perlu mencontoh keluarga lain di dalam hal mengatur keluarganya, Pak Paul ?
PG : Tepat. Jadi setiap keluarga memang akan memunyai keunikannya masing- masing. Misalnya orang tua memunyai kepribadian yang berbeda-beda dan kemudian gaya hidup yang berbeda-beda, kebiasaan hidup yang berbeda-beda dan tidak mesti semuanya sama seragam, tidak. Jadi yang penting adalah kita mengetahui bagaimana masing-masing memberi dampak kepada anak atau kepada pasangannya.
GS : Sebenarnya pengertian dominan itu sendiri apa, Pak Paul ?
PG : Sebenarnya sikap dominan itu merupakan unsur memengaruhi satu sama lain.
Jadi kalau kita bicara tentang sikap dominan sebetulnya kita sedang membicarakan hal-hal yang memengaruhi orang-orang lain. Kita semua sudah tentu ingin dapat memengaruhi orang lain, baik itu untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan yang lebih luas. Pada umumnya kita akan disebut dominan apabila kita cenderung bukan saja memengaruhi secara halus, tapi kita ini cenderung memaksakan kehendak demi memengaruhi orang untuk melakukan yang kita harapkan. Jadi seringkali masalah kadarnya, semua orang ingin memengaruhi satu sama lain, tapi sikap yang dominan itu biasanya lebih ke arah memaksakan sehingga orang itu kurang begitu nyaman, Kok kamu memaksakan kehendakmu.
GS : Tapi kalau kita menanyakan Kamu begitu memaksakan maka orang seringkali menyangkali, Pak Paul.
PG : Dan salah satu alasan yang seringkali diucapkan adalah kita berkata, Saya tidak memaksakan sebab sebetulnya yang saya lakukan hanyalah memberitahukanmu kenapa dianggap memaksakan padahal ini hanya memberitahukanmu. Yang kedua, seringkali kita itu membicarakan tentang motivasi sebagai dasar kenapa kita mau memengaruhi orang untuk berbuat sesuatu dan biasanya kita berkata, Motivasi saya baik, saya bicara seperti ini untuk kepentinganmu, jadi coba dengarkan tapi sekali lagi kita harus peka kalau mungkin hanya mendengar ini sekali atau dua kali, mungkin kita masih bisa berkata, Siapa tahu orang lainlah yang terlalu peka sehingga saya dituduh dominan, tapi kalau berkali-kali kita mendengar komentar yang sama maka saya kira itu komentar yang tepat, Baiklah saya memang dianggap dominan dalam memengaruhi orang kita cenderung memaksakan orang untuk melakukan yang seperti kita kehendaki. Itu sebabnya perlu kita lebih menyadari hal ini.
GS : Biasanya ini di tahun awal-awal pernikahan, itu seringkali terjadi semacam perebutan kekuasaan di dalam sebuah rumah tangga, Pak Paul.
PG : Itu hal yang wajar karena pada awal pernikahan dua orang itu belum sungguh- sungguh mengerti posisinya dalam rumah tangga sehingga belum bisa menempatkan diri dengan tepat pula, jadi adakalanya yang satu merasa saya ini kepala keluarga maka apa yang saya katakan seharusnya dituruti, yang satunya berkata, Betul engkau kepala keluarga, tapi kita harus merundingkan segala sesuatu dan kalau aku tidak setuju tidak berarti engkau bebas melakukan apapun yang engkau kehendaki. Maka timbullah suatu pertengkaran, karena akhirnya kita harus menemukan titik tengah pada akhirnya, Baiklah, inilah yang kita rasa kita pernah terima dari satu sama lain.
GS : Dominan sendiri merupakan suatu sikap, itu bagaimana, Pak Paul ?
PG : Begini, jadi dominan itu adalah sebuah sikap dan yang kita perlu sadari adalah sikap dominan tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan salah satu jenis kepribadian. Jika kita membagi kepribadian dalam 4 tipe, yaitu : kolerik, melankolik, sanguin dan plegmatik. Sesungguhnya sifat dominan itu bisa berada pada semua tipe, memang kita cenderung mengaitkan sikap dominan dengan kepribadian kolerik, tapi pada kenyataannya orang dengan tipe melankolik atau plegmatik sekalipun dapat memunyai sikap dominan pula. Jadi sekali lagi kita mau menyadari bahwa sikap dominan ini bisa ada pada setiap atau semua tipe kepribadian.
GS : Jadi ada orang-orang tertentu yang menggunakan kelemahannya untuk menguasai orang yang lain, begitu Pak Paul ?
PG : Ada orang yang seperti itu, jadi karena dia tahu orang ini lemah maka dia manfaatkan dengan sifat dominannya, dia menyuruh akhirnya menjadikan orang itu seperti objeknya. Ada orang yang sampai begitu. Jadi sekali lagi sifat dominan tidak mesti menjadi masalah, tapi kalau kita tidak hati-hati bisa menjadi masalah.
GS : Itu tidak mungkin di dalam sebuah rumah itu, ada dua orang atau lebih yang bersikap dominan, Pak Paul ?
PG : Tidak bisa. Kalau dua-dua memunyai sikap dominan, susah sekali mengalah cenderung memaksakan kehendak, tidak bisa tidak rumah tangganya akan sarat dengan pertentangan.
GS : Berarti salah satunya harus mengalah, begitu Pak Paul ?
PG : Pada akhirnya ya, yang penting dalam keluarga jangan sampai satu orang selalu mengalah dan yang satunya lagi selalu mendapatkan yang dia inginkan, itu tidak benar. Jadi dalam pernikahan seyogianyalah ada waktunya kita mendapatkan yang kita inginkan adakalanya kita mengalah, dan dua-dua harus berkata seperti itu bahwa adakalanya saya mendapatkan yang saya inginkan tapi adakalanya tidak. Tapi kalau hanya satu yang mendapatkan yang dia inginkan dan satunya mengalah maka tidak benar. Kalau dua-duanya tidak bisa mengalah sudah pasti akan seperti kapal perang.
GS : Kalau begitu sikap dominan tidak harus tertuju kepada seseorang misalnya
pada ayah atau ibu saja.
PG : Tidak, jadi bisa pada siapa saja karena kenyataannya ada ayah yang tidak dominan, ibunya dominan ada yang kebalikannya, ayahnya dominan ibunya tidak dominan. Jadi tidak mesti satu orang itu atau jenis kelamin itu dikaitkan dengan sikap dominan.
GS : Apakah itu akan semacam permanen di dalam keluarga itu, misalnya sang ayah yang dominan pada suatu saat, tadi Pak Paul katakan tidak boleh kalau ayahnya dominan, tapi istrinya juga harus memunyai kesempatan untuk menjadi yang dominan.
PG : Artinya yang ideal adalah kalau memang kita tahu kita punya kecenderungan sikap yang dominan itu karena kita terbiasa sejak kecil pendapat kita didengarkan dan misalkan kita sejak kecil dipercayakan tanggung jawab sehingga akhirnya kita agak cenderung dominan. Kita penting sensitif terutama dalam berumah tangga atau bekerjasama dengan orang, sehingga kita akhirnya tidak memaksakan kehendak kita.
GS : Berarti ada latar belakang yang menyebabkan seseorang bisa menjadi dominan,
Pak Paul ?
PG : Benar sekali. Acapkali sikap dominan terkait dengan pengalaman tertentu, atau latar belakang keluarga kita sendiri. Secara khusus dengan bagaimanakah kita dibesarkan. Memang ada beberapa pengalaman dan latar belakang yang berpotensi mengembangkan sikap dominan. Jadi kita mau melihat hal-hal ini.
GS : Ini misalnya seperti apa, Pak Paul ?
PG : Misalnya anak yang dipercayakan dengan banyak tanggung jawab terutama untuk mengawasi adik-adiknya. Anak-anak seperti ini setelah besar cenderung dominan dan dia biasa mengatur dan adik-adiknya cenderung mendengarkan apa yang dikatakannya. Yang berikut misalnya adalah anak yang terpaksa dinaikkan pangkat, menjadi pengganti ayah atau ibu karena ayah atau ibunya tidak ada. Anak ini juga cenderung mengembangkan sikap dominan, karena dia dianggap sebagai ayah atau ibu dan kalau ada apa-apa dia yang diajak konsultasi, diajak bicara, dimintai pendapat. Maka cenderung dia
mengembangkan sikap dominan. Yang lainnya lagi anak yang menunjukkan kecerdasan atau keterampilan yang di atas rata-rata. Anak ini akhirnya sering mendapat penghargaan, kepercayaan untuk memimpin, di kelas seringkali dijadikan ketua kelas dan ini juga berpotensi mengembangkan sikap dominan. Yang lainnya lagi adalah anak yang mengalami perlakuan buruk atau penghinaan dari kecilnya, dilecehkan, dianggap anak bawang. Kemudian anak ini berhasil keluar dari kondisi tersebut dan dia tidak lagi menjadi anak bawang atau anak yang dihina, kepercayaan dirinya bertumbuh dan dia tidak mau menjadi anak yang dihina atau dianak bawangkan kemudian dia menggunakan sikap yang berkebalikan yaitu sikap dominan untuk memertahankan pendapatnya atau dirinya. Yang berikut adalah apabila kita memiliki rasa tidak aman dan kita ini sarat dengan kecemasan, kita juga cenderung mengembangkan sikap dominan untuk memastikan semua berjalan sesuai dengan harapan. Jadi kalau kita penuh dengan ketakutan kita akan tuntut pasangan kita untuk membuat kita tenang untuk jangan begini dan begitu akhirnya kita jadi dominan. Dan yang terakhir sebagai kepala keluarga yang diharapkan untuk memimpin, kadang kita berlaku berlebihan guna memeroleh respek dan kepatuhan. Jadi sebagai suami misalnya kita tuntut istri kita harus begini dan begitu, kalau tidak maka kita marah dan kita katakan kita kepala keluarga, akhirnya sikap dominanlah yang lahir dari diri kita.
GS : Biasanya anak sulunglah yang memunyai sikap dominan, Pak Paul.
PG : Karena biasanya anak sulung adalah anak yang diserahi tanggung jawab. Jadi akhirnya mengembangkan sikap dominan namun ada juga dalam keluarga dimana anak sulung itu dianggap kurang bisa dan adiknya lebih mampu. Akhirnya orang tua lebih memberikan tanggung jawab kepada adiknya dan si adik yang lebih dominan dan justru memerintah kakaknya.
GS : Berarti sikap dominan itu sudah bisa dilihat sejak anak-anak, Pak Paul ?
PG : Ada yang bisa. Tapi ada juga yang justru kebalikannya sewaktu kecil dianak bawangkan kemudian dia berhasil keluar misalkan dia bisa sesuatu, dihargai pendapatnya maka bisa jadi kebablasan, dia tidak mau lagi menjadi anak yang dianak bawangkan sehingga akhirnya mengembangkan sikap dominan dan sedikit-sedikit mengikuti kehendak saya karena rasanya dia seolah-olah jera menjadi anak bawang dan sekarang tidak mau lagi dihina orang. Jadi kebablasan menjadi orang yang dominan.
GS : Dan biasanya mereka ini akan memilih pasangan yang bisa dikuasai, begitu Pak
Paul ?
PG : Cenderungnya begitu, Pak Gunawan. Jadi orang dengan sikap dominan tidak begitu nyaman dengan orang lain yang seperti dia. Akhirnya dia cenderung menikah dengan orang yang kebalikannya dari dia.
GS : Kalau karier seseorang apakah itu bisa membentuk seseorang menjadi orang yang bersikap dominan di dalam rumahnya, Pak Paul ?
PG : Bisa. Jadi kita sudah singgung misalkan dia ini di tempat pekerjaan dipercaya, diberikan tanggung jawab dan kepemimpinannya teruji, dari memimpin 5 orang menjadi pemimpin 50 orang dan akhirnya pemimpin 500 orang dan dia terbiasa memerintah dan memaksakan kehendak, semuanya mengikuti dia. Di
rumah akhirnya dia membawa kebiasaan yang sama itu. Jadi memang betul lingkungan pekerjaan yang kita lakukan juga dapat turut membentuk sikap dominan itu.
GS : Kalau kita sudah berkeluarga pengaruhnya apa, Pak Paul ?
PG : Bisa positif dan bisa negatif, yang positif adalah sikap dominan bisa memberikan rasa aman, sebab di bawah kepemimpinan yang dominan anak dan pasangan tidak perlu repot-repot memikirkan apa-apa, sebab semua telah dipersiapkan dan ditentukan. Jadi kita ini yang dominan akhirnya mengatur semuanya dan pasangan kita atau anak-anak hanya tinggal mengikuti saja. Justru kalau mereka memberi pendapat, kita merasa direpotkan, jadi kita tidak suka, Yang penting tahu beres saya akan memberikan yang terbaik. Kadang- kadang anak, istri atau suami kita, mereka akan merasa aman karena tahu semua akan beres.
GS : Walaupun tidak bisa dikerjakan akan tetap dikerjakan sendiri oleh orang yang dominan ini.
PG : Biasanya begitu. Yang berikut secara positif sikap dominan memberikan kejelasan kepada orang di sekitar kita oleh karena kita tidak memiliki masalah dalam mengutarakan pendapat dan kehendak, kita tidak suka maka kita katakan tidak suka, kita tidak suka begini dan kita katakan begini, akhirnya orang di sekitar kita misalnya pasangan kita atau anak-anak kita tahu jelas apa yang kita inginkan dan harapkan. Singkat kata, orang tidak harus bingung menebak-nebak apa yang kita pikirkan. Jadi ini salah satu hal positif hidup dengan orang yang bersikap dominan dan jelas tidak ada pertanyaan. Memang bisa jadi kita tidak suka dengan apa yang dia katakana, tapi setidak-tidaknya jelas.
GS : Dan ini kadang-kadang membuat keluarga lain menjadi apatis karena tidak dilibatkan di dalam perencanaan atau masa depan. Apakah ada juga hal-hal yang negatif selain yang positif yang tadi Pak Paul katakana ?
PG : Ada, Pak Gunawan, sekurang-kurangnya ada tiga, yang pertama sikap dominan dapat memadamkan kreatifitas dan spontanitas. Orang-orang yang mau berbuat sesuatu, mau memunculkan ide tertentu secara kreatif dan spontan, tidak bisa sebab semua sudah diatur. Jadi anak-anak atau pasangan kita akhirnya berkata, Sudah tidak usah kenapa ? Sebab apapun yang kami munculkan tidak akan dituruti. Akhirnya lingkungan atau anak-anak atau pasangan kita tidak lagi kreatif, spontan sebab mereka akan merasa percuma dan tidak akan didengarkan oleh kita. Yang berikut adalah sikap dominan dapat melemahkan kemandirian dan malah mengokohkan kebergantungan. Memang orang jelas tidak usah memikir apa-apa semua sudah diatur, masalahnya adalah kita malahan bisa justru menyuburkan kebergantungan, akhirnya pasangan dan anak merasa nyaman diatur sehingga tidak lagi berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang baru, mereka kurang bertanggung jawab dan akhirnya berharap kita melakukan semua bagi mereka. Jadi kita harus mengawasi sifat dominan yang bisa berdampak buruk. Yang terakhir secara negatif, sikap dominan dapat melahirkan pemberontakan, pasangan dan anak yang tidak nyaman dengan sikap kita yang dominan akhirnya melawan
dengan keras sebab mereka tahu mereka tidak dapat meyakinkan kita untuk mengubah pendapat dengan kita. Jadi daripada bicara tidak didengarkan akhirnya mereka gempur melawan dan berontak, bertengkar sebab mereka berkata, Percuma bicara baik-baik karena tidak akan didengarkan. Jadi ada dampak negatifnya dari sikap dominan bisa-bisa kita mengundang lahirnya pemberontakan.
GS : Di dalam sebuah keluarga yang dominan misalnya ayah, kemudian sang ayah ini tiba-tiba sakit lalu tidak bisa berfungsi lagi, apakah ini tidak mengacaukan kehidupan rumah tangga itu yang selama itu sangat bergantung kepada si ayah itu tadi, Pak Paul ?
PG : Bisa. Dan ini bukannya jarang terjadi tapi cukup sering terjadi karena semua biasanya ditangani oleh si ayah dan sewaktu ayah sakit dan yang terburuk terjadi si ayah meninggal dunia maka akan berantakan, karena pasangannya tidak mengerti apa-apa bahkan anak-anak yang mulai besar juga tidak mengerti apa-apa, karena semua biasa bergantung pada si ayah, memang orang bisa menyalahkan, Kenapa istrinya tidak bisa apa-apa, kenapa anaknya juga tidak bisa apa-apa mungkin harus dilihat apakah memang diberikan kesempatan untuk mengatur atau berpendapat, kalau tidak maka mereka menjadi orang-orang yang cenderung pasif.
GS : Biasanya kalau ayah yang dominan, istri atau anak itu melakukan dengan cara seperti yang ayahnya lakukan dan ini yang sulit, istrinya berkata, Saya bisa melakukan itu sebenarnya tapi dengan cara saya dan ini dilarang oleh si ayah ini tadi.
PG : Tepat. Jadi seringkali orang yang bersikap dominan bukan hanya memaksakan kehendaknya tapi juga memaksakan caranya, harus sesuai dengan cara dia akhirnya waktu si istri memunculkan cara yang berbeda tidak diterima, jadi harus dengan caranya sebab anggapannya, caranya adalah cara yang terbaik.
GS : Dan ini lebih banyak negatifnya, sebenarnya Pak Paul ?
PG : Saya kira lebih banyak negatifnya maka kita lebih bisa lebih berhati-hati.
GS : Kalau kita bisa menyadari dampak positif dan negatif dari sikap dominan ini, apa yang bisa kita kerjakan, Pak Paul ?
PG : Ada tiga saran yang bisa saya berikan. Yang pertama, kita harus lebih bersedia mendengarkan dan lebih terbuka untuk belajar atau berubah, jadi setelah kita akui kita cenderung dominan dan memang kita tidak bisa mengubahnya dengan cepat dan tidak apa-apa, tapi ingat nasehat yang pertama yaitu kalau orang bicara memberikan pendapat jangan buru-buru menyetop dan berkata, Ya saya sudah tahu, saya mengurus semuanya tapi dengarkan dulu dan tahan diri. Juga belajar terbuka, Baiklah saya harus mendengarkan ini dan mungkin saya harus ubah di sana dan di sini. Paksa diri untuk mendengarkan dan untuk belajar berubah.
GS : Tapi akan sulit Pak Paul, karena orang itu menikmati dengan kedominannya itu.
Kalau dia menyangkali hal itu berarti dia menyangkali dirinya sendiri.
PG : Benar dan tidak gampang. Apalagi tidak gampangnya sebab di tahap-tahap awal sewaktu dia mulai mau menyerahkan tanggung jawab kepada pasangannya atau anak-anaknya, sudah tentu karena dia lebih berpengalaman
maka pengaturannya akan lebih baik dan seringkali dia lebih berhikmat dan lebih tahu dengan lebih tepat apa yang harus dikerjakan dan caranya juga lebih efisien. Dia bisa jengkel dan dia serahkan kepada anaknya dan pasangannya tapi tidak efisien dan tidak mencapai target, jadi kecenderungannya adalah mengambil alih. Namun saya sarankan di tahap awal ini jangan, tapi coba berikan kesempatan, dengar pendapat apa yang bisa kita ubah maka kita ubah. Yang kedua adalah kalau kita sadar kita ini dominan, kendati kita beranggapan bahwa pendapat kita lebih baik daripada pendapat pasangan atau anak, kadang-kadang kita harus berkata, Ya sudah tidak apa-apa dan tidak selalu pendapat kita harus didengarkan. Ini penting kita harus mengingatkan diri sendiri. Kadang kita kebalikannya, kita justru berkata, Tidak, pendapat saya layak dan seharusnya didengarkan justru tidak. Tidak apa-apa orang tidak mau terima meskipun kita yakin pendapat kita jauh lebih baik. Yang ketiga yang terakhir adalah kalau kita sadar kita cenderung dominan maka mintalah maaf jika selama ini kita telah menggilas pendapat mereka. Jadi ingat mengarahkan tidak sama dengan memaksakan, boleh mengarahkan, Kenapa ini rasanya lebih baik, beritahukan faktor positif dan negatifnya kalau memilih yang lain. Boleh mengarahkan, tapi jangan memaksakan kecuali ini masalah yang berkaitan dengan bahaya dan kita bicara dengan anak yang masih kecil itu lain perkara. Tapi kalau bicara dengan anak yang sudah besar, dengan istri atau suami kalau bisa terapkan prinsip ini, jangan sampai kita menggilas pendapat mereka dan kita arahkan saja tapi jangan paksakan.
GS : Pak Paul, ada beberapa etnis tertentu dimana memang laki-laki itu ditempatkan harus dominan di dalam keluarga itu, ini bagaimana ? Karena dari dulunya mereka seperti itu.
PG : Saya mau menukar kata dominan dengan kata mengarahkan, kita ini sebagai kepala keluarga, laki-laki harus berfungsi sebagai pemimpin, pemimpin adalah orang yang memberikan arahan, kita sepatutnya juga bertugas memberikan arahan kepada keluarga kita, namun kita tidak harus menjadi pemimpin yang dominan sehingga menimbulkan dampak negatif memaksakan kehendak dan sebagainya. Jadi arahkan saja, setelah itu biarkan mereka juga memikirkannya dan beri mereka kebebasan juga untuk bersilang pendapat dengan kita.
GS : Untuk suatu keluarga dimana suami atau ayah itu sering melakukan perjalanan
keluar kota, mungkin itu lebih baik dia tidak perlu dominan di keluarga itu, Pak
Paul ?
PG : Jadi kalau ayahnya atau kepala keluarga sering absen, ini tidak perlu dominan tapi masih bisa juga dari jauh dia mengatur, semua dilaporkan kepadanya dan kalau tidak dituruti dia pulang bisa marah dan sebagainya, bisa juga dia bersikap dominan.
GS : Di dalam hal ini kadang-kadang orang salah menafsirkan ayat Alkitab yang mengatakan bahwa suami itu kepala keluarga sehingga dia mengatur segalanya, kalau hal ini agak dinetralisir apakah ada ayat firman Tuhan yang lain, Pak Paul ?
PG : Kolose 3:12 firman Tuhan berkata, Karena itu, sebagai orang-orang pilihan
Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan,
kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Jelas disini firman Tuhan sangat mementingkan belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan dan kesabaran. Bayangkan seorang pemimpin atau kepala rumah tangga memunyai belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah lembutan dan kesabaran. Bukankah dia akan menjadi kepala keluarga yang justru lebih baik lagi maka kita harus berhati-hati jangan sampai terlalu memaksakan kehendak.
GS : Kadang-kadang orang mengatakan, Itu adalah sifatnya orang perempuan dan bukan orang laki-laki, orang laki-laki sebaliknya dari ini.
PG : Saya mengerti dalam budaya kita cenderungnya ada anggapan laki-laki harus lebih keras, tidak harus terlalu sabar, laki-laki harus bisa marah dan sebagainya, tapi kenyataannya tidak harus seperti itu orang yang tegas tetap bisa dihormati tapi dia tidak harus menjadi orang yang ganas atau brutal. Dengan kesabaran dia tetap bisa memimpin juga.
GS : Jadi seseorang harus menggunakan dominasinya itu untuk membangun
keluarganya dan bukan malah menghancurkan keluarganya, begitu Pak Paul. PG : Betul sekali.
GS : Baik suami atau istri yang dominan di dalam keluarga itu sebenarnya tidak ada masalah kalau masing-masing menyadari Kolose 3:12 tadi.
PG : Tepat sekali, Pak Gunawan.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan saat ini, dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang Sikap Dominan Dalam Keluarga. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56
Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.