Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini saya bersama Ibu Ester Tjahja, kami akan berbincang-bincang dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Keluarga dan Pelayanan." Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, pembicaraan tentang keluarga dan pelayanan ini cukup luas, jadi kita akan melakukan perbincangan ini dalam dua sesi atau dua tahap. Pada kali yang pertama ini, pada waktu saya atau orang Kristen, sebelum menikah sudah terlibat di dalam banyak pelayanan; di gereja-ikut paduan suara, ikut Sekolah Minggu, ikut kegiatan-kegiatan yang lain dan tidak ada masalah apa-apa. Masalahnya hanya badan lelah dan sebagainya. Setelah menikah kita mempunyai keinginan, seluruh keluarga ini ikut berpartisipasi di dalam pelayanan, tapi faktanya tidak semudah itu. Sering kali banyak hambatan-hambatan yang terjadi di dalam pelayanan ini. Saya pikir bukankah ini suatu niat baik, tetapi kemudian timbul hambatan-hambatan ini. Sebenarnya pengertian keluarga yang melayani itu seperti apa, Pak?
PG : Apa yang Pak Gunawan katakan itu sering kali juga dialami oleh banyak orang, yaitu ada niat dari sebagian anak-anak Tuhan untuk terlibat dalam pelayanan dan juga melibatkan anggota keluargnya dalam pelayanan.
Namun jalannya tidak selalu mulus, kadangkala ada masalah-masalah yang muncul sehingga keinginan tersebut akhirnya tidak bisa diwujudkan. Ini adalah topik yang perlu kita bahas dengan saksama, untuk itu kita harus pertama-tama mengerti apa yang disebut dengan pelayanan. Kata pelayanan itu sendiri akhir-akhir ini memang telah menjadi sebuah trend, sebuah kata yang populer. Dan rasanya orang Kristen itu kalau ada panggilan, dia melayani, dia merasa senang dan itu memang suatu hal yang positif. Tapi saya kira kita mesti juga memiliki persepsi atau konsep yang tepat tentang pelayanan itu sendiri. Sebetulnya kalau kita melihat konteks di Alkitab Pak Gunawan, seorang pelayan yang kita kenal sekarang ini, sebenarnya di zaman Alkitab bukanlah pelayan yang digunakan atau suatu konsep yang digunakan pada zaman dulu itu. Karena pada masa-masa Alkitab ini ditulis, apalagi di Perjanjian Lama, konsep pelayan sebetulnya identik dengan budak, hamba, jadi benar-benar konsep yang Tuhan gunakan di Alkitab sebetulnya adalah konsep menjadi seorang hamba. Jadi kita ini memperhamba diri kepada Tuhan. Itulah sebenarnya konsep yang mendasari kata pelayanan atau pelayan, maka waktu Tuhan dalam perjamuan malam, duduk kemudian berinisiatif mengambil kain, membasuh kaki para murid, itu adalah sebuah demonstrasi sikap yang menghamba. Bahwa Dia merendahkan diri serendah itu, mencuci kaki para murid-Nya sendiri. Nah konsep seperti inilah yang seharusnya melatarbelakangi pemahaman kita tentang pelayanan itu sendiri. Saya khawatir kalau banyak anak-anak Tuhan tidak menyadari sebetulnya pelayanan adalah perhambaan, lebih luas dan lebih dalam dari sekadar melakukan aktifitas tertentu. Jadi konsep memperhambakan diri kepada Kristus, itu seharusnya menjadi dasar pelayanan kita sekarang ini.
ET : Jadi kalau selama ini, orang-orang merasa sudah terlibat dalam pelayanan, sebenarnya itu belum tentu melayani Pak, kalau dipandang dengan konsep itu?
PG : Betul, jadi kita harus membedakan antara kita melakukan aktifitas yang dikaitkan dengan pelayanan dan sungguh-sungguh melayani Tuhan. Saya kira itu dua hal yang tidak sama, dengan kata lai akan ada orang-orang yang terlibat dalam aktifitas yang dipanggil pelayanan, namun sesungguhnya tidak melayani Tuhan.
Bisa jadi yang sedang dia lakukan adalah menyalurkan hobbynya atau menyalurkan interestnya, minatnya, kemampuannya, menyalurkan karunianya atau talentanya. Dia senang menyanyi, jadi dia menyanyi. Saya masih ingat percakapan saya dengan seorang teman saya yang pada masa remaja bersama-sama dengan saya bernyanyi di sebuah paduan suara. Bertahun-tahun baru bertemu dengan saya dan dia sudah meninggalkan Tuhan pada saat itu, dia berkata begini kepada saya, "Saya tidak tahu, saya orang Kristen atau bukan, saya tidak tahu saya percaya kepada Yesus Kristus atau tidak." Jadi saya tanya, "Mengapakah kamu ikut paduan suara dan sebagainya?" Dia berkata, "Saya senang bernyanyi." Dan dia menikmati kumpul-kumpul dengan teman, dan itulah yang dia lakukan. Saya kira cukup banyak orang yang terlibat dalam aktifitas pelayanan namun tidak mengerti sebetulnya apa yang dia lakukan itu, yang namanya pelayanan itu apa. Saya kira kita mesti kembali pada definisi yang tepat ini dulu sebelum kita membawa konsep ini ke dalam keluarga dan apa artinya keluarga yang melayani.
GS : Yang saya tahu seorang hamba itu kehilangan haknya, jadi dia tidak mempunyai hak untuk dirinya sendiri. Dan tentu banyak orang yang tidak senang menjadi hamba.
PG : Betul sekali, jadi yang saya khawatirkan sebenarnya pemahaman pelayanan sebagaimana kita mengerti sekarang memang sebuah konsep yang trendy dan populer, namun lebih mencerminkan aktifitas emata, aktifitas yang menyenangkan.
Ramai-ramai pergi mission trip, ramai-ramai ikut dengan paduan suara, bernyanyi ke kota-kota lain, itu sesuatu yang seru. Tapi sebetulnya kalau lirik-lirik Kristennya dikeluarkan dari puji-pujian itu, sebetulnya memang tersisa dan menjadi substansi terbesar dari kegiatan itu adalah seru, ramai-ramai pergi, bernyanyi. Dan apakah bedanya itu dengan suatu band yang mengunjungi kota-kota dalam turnya bernyanyi. Sebetulnya ada mirip-miripnya, jadi penting kita kembali pada definisi pelayanan. Dan latar belakang pelayanan sebagaimana kita dapatkan di Alkitab sebetulnya adalah perhambaan. Benar-benar seorang pelayan adalah seorang hamba, hamba adalah seorang budak yang tadi Pak Gunawan sudah tekankan, budak tidak mempunyai hak atas dirinya lagi. Dia adalah benar-benar seseorang yang mengikuti instruksi tuannya, tanpa ragu dan tanpa mempertanyakan. Jadi semua yang diminta itulah yang harus dilakukannya.
ET : Kalau kita memahami konsep ini, semestinya perasaan tersinggung karena diperlakukan kurang sesuai dengan posisinya, mestinya tidak terjadi?
PG : Betul, jadi sesungguhnya kalau kita benar-benar hidup dengan konsep ini, benar-benar kita memperhambakan diri pada Kristus, memang seharusnya akan ada banyak konflik yang terselesaikan. Daam pengertian, tidak jadi muncul, sebab dengan rendah hati kita berkata, "Apa yang saya kerjakan adalah hal yang harus saya kerjakan, karena saya hanyalah seorang hamba."
Saya masih ingat, di suatu kesempatan saya mendengarkan ceramah dari seorang pendeta namanya Phillip Teng, dia dulu bermukim di Hongkong. Nah dalam tanya jawab saya menanyakan ini, "Apakah Pdt. Phillip Teng pernah mengalami kekecewaan dalam pelayanan?" Dan dia mengatakan sesuatu yang sangat indah, beliau berkata, "Saya tidak pernah kecewa, sebab bagaimanakah saya bisa kecewa, sebab bukankah yang saya lakukan semuanya adalah anugerah, dan saya hanyalah seorang hamba. Jadi kalau saya bisa terlibat dalam pelayanan, itu adalah anugerah, apakah ada tempat untuk kecewa?" Jadi saya kira ini konsep yang sangat tepat sekali, tidak berarti kita tidak pernah jengkel melihat misalkan keengganan orang untuk terlibat, untuk berkorban, sebagai manusia kita pun kadang-kadang jengkel melihat hal-hal seperti itu. Namun benar-benar menolong kita menempatkan masalah pelayanan dalam perspektif yang benar. Ini semuanya anugerah dan kita dipanggil sebagai hamba, ya tidak ada tempat untuk tersinggung; kenapa saya dilangkahi, kenapa saya tidak dihargai. Nah orang yang mudah berbicara seperti itu sebetulnya menunjukkan ketidaktahuannya tentang pelayanan.
GS : Kalaupun kita sudah mempunyai konsep yang benar Pak Paul tentang pelayanan ini, kemudian kita berkeluarga, dampaknya seperti apa Pak?
PG : Artinya, penekanan utama kita bukanlah pada melibatkan keluarga dalam aktifitas tertentu. Itu buah, itu adalah sesuatu yang nantinya akan muncul dengan alamiah, asalkan yang pertama ini haus ada dulu yakni seluruh anggota keluarga baik istri, suami dan anak-anak memahami konsep melayani.
Bahwa ini bukan penyaluran hobby, penyaluran interest atau mengaktualisasikan diri atau mewujudkan talenta, bukan itu, benar-benar pelayanan adalah sebuah perhambaan. Jadi penekanan utama bukan pada kegiatan-kegiatan. Kadang-kadang orangtua terjebak pada konsep ini, harus ikut koor, harus ikut ini, kamu harus ikut ini, ikut ini, nah waktu dia melihat anaknya ikut-ikut, dia berbangga hati, dia bersukacita, "O........anak saya sudah terlibat dalam pelayanan." Tapi apakah anak itu mengerti sebetulnya apa yang dilakukannya, inilah yang harus ditekankan. Jadi penekanannya bukanlah keluarga yang melayani, penekanannya adalah keluarga Kristen, ini harus menjadi penekanan pertama. Keluarga Kristen, artinya keluarga yang benar-benar hidup di bawah pimpinan, kuasa, kedaulatan atau perintah Kristus. Benar-benar keluarga yang menundukkan diri pada Kristus, di mana Kristus menjadi pusat kehidupan. Nah ini yang terlebih penting daripada mengharuskan anak terlibat ini, itu; itu nomor dua, memaksakan istri atau suami harus ikut ini, itu, itu juga nomor dua. Yang nomor satu adalah apakah seseorang itu sudah menjadi seorang Kristen sebagaimana yang Tuhan kehendaki, yakni menempatkan Kristus sebagai pusat di dalam kehidupannya.
ET : Dan kalau itu memang sudah terjadi, secara otomatis itu akan mempengaruhi relasi dengan sesama anggota keluarga.
PG : Tepat sekali, jadi di dalam keluarga itu sendiri masing-masing anggota akan berelasi dengan satu sama lain, menggunakan standar Kristus. Satu sama lain sudah mengerti bahwa mereka dipanggi untuk saling mengasihi, mereka dipanggil untuk saling menolong, mereka dipanggil untuk saling menanggung beban masing-masing.
Kalau atmosfir seperti itu sudah ada dalam keluarga kita, Puji Tuhan, ini fondasinya, ini dasarnya, jadi Kristus menjadi pusat dalam kehidupan kita, kita tunduk 100% pada Kristus karena kita adalah hamba-Nya dan cara kita berelasi dengan anggota keluarga yang lain juga sebagaimana Kristus kehendaki-mengasihi, menolong dan sebagainya. Dan yang berikutnya barulah masing-masing anggota keluarga hidup dengan Tuhan dan merespons dengan tepat terhadap pimpinan Tuhan padanya. Jadi kalau dasar itu sudah ada-menempatkan Kristus sebagai pusat dalam hidupnya, berelasi secara kristiani dengan sesama, barulah nanti si anak, si suami atau si istri akan dapat merespons secara tepat pada pimpinan Tuhan. Dia akan mendengar bisikan Tuhan, ikutlah, terlibatlah, lakukanlah, nah melakukannya itu menjadi buah dari ikatan yang begitu akrab dengan Tuhan Yesus.
GS : Tapi bukankah itu tidak secara otomatis keluarga itu terwujud seperti itu, karena latar belakang yang dibawa juga berbeda-beda. Dari tingkat kematangan imannya juga berbeda-beda, nah ini bagaimana mengaplikasikannya secara nyata?
PG : Yang mengerti, yang lebih dewasa, yang sudah mencicipi anugerah Tuhan, seharusnya menjadi contoh, dia menjadi teladan dalam keluarga itu. Dia mencontohkan kehidupan rohani yang benar-benarakrab dengan Kristus, dia berjalan dengan Kristus, dia bersaat teduh, dia berdoa, tutur katanya, perbuatannya benar-benar mencerminkan kepribadian Kristus yang penuh dengan kasih.
Nah di dalam rumah, jika ada seorang anggota keluarga yang seperti itu, dia akan akhirnya menebarkan aroma rohani di rumahnya, dia akan mempengaruhi anggota keluarga yang lainnya. Nah lama-kelamaan dia bisa juga meminta, mengajak, "Ayo membaca Alkitab sama-sama, Ayo kita mengerti tentang firman Tuhan, atau dalam percakapan dia mulai menjelaskan sebetulnya apa itu yang sedang Tuhan katakan, yang sedang Tuhan lakukan, yang Tuhan sedang ajarkan dalam hidupnya, nah akhirnya dia menjadi penyalur kehendak dan berkat Tuhan dalam keluarga itu. Sehingga perlahan-lahan anggota keluarga yang lain bisa mulai mengikuti jejaknya, memperhambakan diri pada Kristus. Sudah tentu seyogianya yang memulai itu sebetulnya suami, karena suami adalah kepala keluarga. Setelah suami mulai, istri nanti baru ikut, nanti setelah istri ikut, anak-anak nantinya ikut pula. Jadi memang seharusnya si suami yang menjadi wakil Kristus dalam keluarga, imam dalam keluarga yang memberi contoh pertama itu.
GS : Ya biasanya si suami yang seperti Pak Paul harapkan itu malah sering terlibat aktifitas di luar dan dilabeli dengan pelayanan, ini malah keluarganya yang menjadi masalah.
PG : Sekali lagi ini memang bersumber dari konsep yang keliru Pak Gunawan. Dan kita juga harus akui saya sebagai hamba Tuhan harus menyadari ini, kami-kami ini hamba Tuhan kadang-kadang memang erpaku pada kegiatan dan kehadiran.
Pokoknya selama anggota keluarga terlibat dalam kegiatan, selama jemaat terlibat dalam kegiatan, kami-kami hamba Tuhan rasanya sudah senang luar biasa, atau selama mereka hadir kami sudah merasa senang luar biasa. Itu memang pertanda baik, terlibat dalam kegiatan, kehadiran, itu semua pertanda baik. Tapi jangan sampai kita itu akhirnya mengidentikkan kehadiran serta kegiatan dengan kerohanian, dengan sikap hati yang memperhambakan diri pada Kristus, ini yang terus-menerus haruslah menjadi target kita, mengajarkan jemaat memperhambakan diri kepada Kristus. Kalau ini tidak tercapai, kita keburu senang melihat jemaat terlibat kegiatan dan hadir, saya kira sayang, akhirnya yang seharusnya kita ajarkan tidak kita ajarkan.
ET : Saya menjadi ingat ada beberapa orangtua yang pernah membagikan pergumulannya yang mengatakan kalau anak-anaknya semasa kecil sampai remaja aktif di gereja dan selalu hadir di gereja. Tetai begitu masuk ke Perguruan Tinggi ke kota lain, langsung berubah.
Rasanya tidak mau lagi terlibat dalam pelayanan, jadi ukurannya hanya di kehadiran atau kegiatan itu.
PG : Betul sekali, yang akhirnya kegiatan serta kehadiran itu menciptakan kerutinan, kerutinan yang kalau berubah kondisi hidupnya, kerutinan itu akan tanggal atau copot. Maka begitu mereka pinah ke luar rumah, pindah ke kota lain atau apa, tiba-tiba kerutinannya berubah, berubah semua.
Ini pun saya lihat dulu, ada anak-anak yang saya dengar di Indonesianya rajin pelayanan, terlibat dalam komisi ini, komisi itu, terus datang study (waktu itu saya masih di Amerika) dan saya menyaksikan, disuruh ke gereja saja susah setengah mati dan saya menjadi berpikir-pikir, anak-anak ini katanya rajin pelayanan di Indonesia tapi di sini ke gereja saja tidak mau. Yang hilang adalah kerutinan itu, kenapa? Sebab memang yang ada dalam hidup mereka dari dulu itu sebetulnya bukan kerohanian tapi kerutinan. Maka sewaktu kerutinan itu diubah, kerohaniannya seolah-olah runtuh, padahal dia bukan jauh dari Tuhan mulai sekarang, tapi memang dari dulu pun tidak dekat dengan Tuhan, tapi tertutupi, terkamuflase oleh kegiatan dan kehadiran.
GS : Kalau kita berbicara tentang kedekatan, ini kita berbicara tentang hubungan, jadi di sini adalah kepada siapa kita itu berhubungan, kepada Tuhannya atau kepada kegiatannya.
PG : Jadi penekanan kita benar-benar, jangan sampai kita terkecoh, jangan kita benar-benar menyuruh-nyuruh anggota keluarga kita terlibat dalam kegiatan-kegiatan. Yang penting adalah apakah isti, anak, suami kita mempunyai hubungan pribadi dengan Kristus.
Apakah dia sungguh-sungguh mencintai Tuhan Yesus, apakah dia sungguh-sungguh takut dalam hatinya kepada Kristus. Hubungan pribadi, Kristus bukanlah konsep, bukanlah nama tapi seseorang, Tuhan yang pribadi dalam hidupnya. Nah berikutnya adalah mesti kita tekankan juga pada penyerahan hidup untuk Kristus, benar-benar anak kita itu atau suami-istri kita memiliki penyerahan yang total kepada Kristus, memperhambakan diri kepadanya. Nah relasi seperti inilah yang seharusnya ada di dalam keluarga kita. Saya berikan satu contoh Pak Gunawan dan Ibu Ester, waktu salah satu anak kami masih kecil, dia berbohong. Saya masih ingat sekali, saat itu saya mencoba untuk mengkonfrontasinya. Dia menyangkal tidak, tidak, tidak, saya bilang; "Kamu melakukan ini 'kan ya?" "Tidak." Terus menyangkal, saat itu saya masih ingat sekali, saya mempunyai dua pilihan, pilihan pertama memarahi dia dan memaksanya untuk mengakui kesalahannya. Tapi saya mengambil pilihan yang kedua yaitu saya tidak marah, saya tidak memaksakan dia untuk mengakuinya, saya hanya diam kemudian setelah dia berkata tidak, tidak, saya berkata: "Ayo kita berdoa bersama." Ya dia ikut saja berdoa, dia lipat tangan, dia tutup mata, tiba-tiba saya berkata: "Kamu yang berdoa." Untuk sejenak hening Pak Gunawan, Ibu Ester, dia tidak bisa berdoa, dia diam kemudian saya mendengar dia menangis, dia menangis sedih sekali di hadapan Tuhan. Dan akhirnya saya berdoa untuk dia, dan di dalam doa saya tidak menghakimi dia atau memarahi dia, saya hanya berkata: "Tuhan, terima kasih, Tuhan telah menegur dan kami tahu Tuhan juga mengampuni orang yang datang dan bertobat kepadamu." Sudah selesai, setelah saya amin, saya tidak tanya lagi, saya tidak kutak kutik lagi masalahnya tadi. Kenapa? Sebab saya tahu dia memiliki hubungan pribadi dengan Kristus, sehingga waktu dia berhadapan dengan Kristus, dia langsung harus bercermin dan melihat dosanya, dan dia langsung menangis seperti itu. Saya kira ini bekal yang kita mesti titipkan kepada anggota keluarga kita, benar-benar memiliki relasi pribadi dengan Kristus, nanti di atas inilah baru ditambahkan kegiatan dan kehadiran. Di atas relasi dan penyerahan yang total kepada Kristus baru ditambahkan kegiatan.
GS : Mungkin orang sering kali kurang sabar sehingga yang terjadi adalah memaksakan kehendaknya itu dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci untuk mengancam, untuk menakut-nakuti, kalau tidak melakukan ini nanti kehilangan berkat atau Tuhan menimpakan musibah dan itu menjadi masalah dalam keluarga ini.
PG : Atau dibalik begini Pak Gunawan, nanti kalau kamu giat dalam pelayanan, nanti Tuhan akan melimpah-limpahkan berkat pada kamu. Akhirnya sejak kecil anak-anak diajarkan berdagang dengan Tuhn, investasi makin besar wah nanti Tuhan akan curahkan untungnya.
Ini suatu hal yang keliru dan sayang, bukannya tidak boleh melayani Tuhan dari sejak kecil tapi saya kira, yang penting yang harus kita utamakan yaitu supaya anak-anak, warga kita, memilihi relasi pribadi dengan Tuhan terlebih dahulu di atas segalanya.
GS : Jadi memang dengan berkeluarga, melakukan pelayanan menjadi lebih repot Pak Paul?
PG : Betul, jadi memang untuk bisa sebagai satu keluarga melayani Tuhan, kita harus meletakkan fondasinya dulu. Tanpa fondasi akan menjadi kacau hanya hingar-bingar, ramai-ramai tapi fondasiny tidak ada.
Bangunlah fondasi itu, sebab ini asumsinya, dari hati yang mencintai Tuhan akan keluar pengorbanan-pengorbanan untuk Tuhan, itu sudah pasti. Jadi hati yang mencintai Tuhan itulah yang mesti ada dulu dalam anggota keluarga kita.
GS : Sehubungan dengan itu apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan?
PG : Saya akan membacakan dari Matius 22, mula-mula saya akan bacakan dulu kritikan Tuhan Yesus kepada orang Saduki yang memang sudah mencobai Tuhan Yesus. Tuhan Yesus berkata: "Kamu sesat seba kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah."
Nah saya kira ini masalah kita, sering kali kita tidak mengerti Kitab Suci, kuasa Allah maupun kehendak Allah. Saya akan kutip dari
Matius 22:37, Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum taurat dan kitab para nabi." Jadi ini fondasinya Pak Gunawan, biarlah keluarga kita menjadi keluarga yang mencintai Tuhan, mencintai sesama, kalau fondasi itu sudah ada, akan banyak hal-hal yang akan terjadi dalam keluarga kita. Namun perspektifnya sudah benar.
GS : Pak Paul, ini suatu perbincangan yang menarik dan rasanya masih belum tuntas, jadi kita akan lanjutkan perbincangan ini pada kesempatan yang akan datang. Namun untuk kali ini terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini, juga Ibu Ester. Kepada para pendengar sekalian, kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp.Pdt.Dr.Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Keluarga dan Pelayanan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.