Keluarga Bahagia, Adakah?

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T513C
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Keluarga bahagia itu ADA! Memang tidak ada keluarga yang sempurna, tetapi ada banyak keluarga yang bahagia. Kabar baik, bukan? Berikut akan dipaparkan beberapa ciri atau tanda bahagia.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu penemuan yang mengejutkan adalah, tatkala kita memerhatikan kehidupan keluarga para hamba Tuhan yang dicatat di Alkitab, ternyata cukup banyak yang bermasalah. Sebagai contoh, Raja Daud harus menuai banyak masalah di hari tuanya gara-gara masalah anak. Imam Eli—dan juga Samuel—menghadapi banyak masalah yang ditimbulkan oleh anak-anak mereka. Gara-gara mereka, Israel menolak Tuhan dan meminta diperintah oleh raja. Yakub pun harus menuai banyak masalah, baik yang berasal dari istrinya, maupun dari anak-anaknya. Bahkan di dalam penderitaan, bukan saja Ayub tidak mendapat dukungan dari istrinya, ia pun disuruh mengutuk Tuhan dan mati. Jadi, sebenarnya adakah keluarga yang bahagia ? Berikut ini akan dibahas perihal keluarga bahagia, apakah ada dan kalau ada, apakah ciri-cirinya dan mengapa disebut bahagia.

Jawaban terhadap pertanyaan "Adakah keluarga bahagia" ialah ADA, namun kita mesti terlebih dahulu jelas dengan makna bahagia, dalam kaitannya dengan keluarga. Berikut akan dipaparkan beberapa ciri atau tanda bahagia.

  1. Keluarga bahagia TIDAK BERARTI SETIAP SAAT, SETIAP ANGGOTA KELUARGA MERASA BAHAGIA DENGAN KELUARGANYA.
    Tidak ! Di dalam hidup berkeluarga, pastilah ada konflik, dan konflik membuat hati susah, bukan bahagia. Juga, mustahil untuk selalu memenuhi keinginan masing-masing; tentulah ada saat di mana kita tidak bisa atau tidak bersedia memenuhi keinginan anggota keluarga yang lain dan sewaktu itu terjadi, ia tidak akan merasa bahagia. Itu sebab, mustahil untuk merasa bahagia senantiasa, termasuk di dalam keluarga. Jika demikian, apakah definisinya bahagia di sini ? Bahagia berarti bahwa secara keseluruhan kita merasa puas dengan keluarga kita. Kita tidak buta; kita tahu bahwa keluarga kita tidak sempurna, tetapi secara keseluruhan kita merasa bahwa di dalam keluarga, jauh lebih sering kita merasa puas dan senang, ketimbang kesal dan tidak puas. Kita tahu kelemahan masing-masing anggota keluarga namun sejauh ini kita masih dapat menoleransinya dan masih tetap dapat menjalin relasi yang baik antara satu sama lain.
  2. BILA KITA BISA BERSYUKUR KEPADA TUHAN ATAS KEHADIRAN MEREKA DI DALAM HIDUP KITA.
    Tatkala kita tidak bisa bersyukur atas kehadiran mereka, itu pertanda bahwa keluarga kita tidak bahagia. Kita bersyukur atas kehadiran mereka bukan karena mereka membuat hidup kita lebih menyenangkan atau lebih mudah. Bukan ! Kita bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran mereka karena melalui mereka kita bertumbuh menjadi manusia yang lebih menyerupai Kristus, Tuhan kita. Pertumbuhan yang saya maksudkan di sini bukanlah pertumbuhan yang diakibatkan oleh MASALAH yang ditimbulkan oleh anggota keluarga, tetapi pertumbuhan yang terjadi akibat PEMBELAJARAN dari satu sama lain. Suami belajar dari istri dan anak-anak, istri belajar dari suami dan anak-anak, anak-anak belajar dari orangtua dan dari satu sama lain. Dengan kata lain, kita belajar dari kehidupan yang layak dicontoh, bukan dari KEBURUKAN yang mesti dihindari dan ditanggung dari satu sama lain.

  3. BILA KITA DIKASIHI DAN DITERIMA APA ADANYA.
    Singkat kata, kita bisa menjadi diri kita apa adanya dan tidak mesti menjadi pribadi lain—yang bukan diri kita—supaya dapat diterima dan dikasihi. Bila kita tidak dapat menjadi diri apa adanya karena dituntut untuk menjadi diri yang berbeda, maka kita tidak akan merasa bahagia berada di dalam keluarga. Sudah tentu ada peraturan atau pengharapan yang mesti kita perhatikan di dalam keluarga; kita tidak dapat—dan tidak seharusnya—hidup sesuai kata hati tanpa menghiraukan orang lain. Kita harus menyadari bahwa tindakan kita dapat mengecewakan orang, tidak soal seberapa besar kasih dan penerimaannya terhadap kita. Sungguhpun demikian, seyogianyalah di dalam keluarga kekecewaan hanya disiapkan untuk hal yang sangat penting seperti karakter dan kerohanian, dan bukan hal sepele seperti prestasi dan penampilan. Dengan kata lain, bila kita bisa berkata bahwa kita dikasihi dan diterima walau kita tidak berprestasi tinggi dan berpenampilan bagus—karena yang terpenting bagi keluarga adalah siapakah kita dan apakah karakter dan kerohanian kita, bukan prestasi kita—maka kita dapat menyebut bahwa keluarga kita bahagia. Dan, jika kita pun bisa berkata bahwa kita juga menerima keluarga kita apa adanya walau tidak berprestasi tinggi dan berpenampilan bagus—karena kita mendasari penerimaan dan kasih atas siapakah mereka dan apa karakter serta kerohanian mereka—mereka pun dapat menyebut keluarganya bahagia.

  4. BAHAGIA JIKA ADA KETERBUKAAN UNTUK SALING MENGOREKSI DAN DIKOREKSI.
    Kita berani mengoreksi karena kita tahu, teguran kita diperhatikan. Dan, kita pun tidak berkeberatan dikoreksi karena kita tahu, mereka bermaksud baik. Sebaliknya, jika kita tidak dapat menyampaikan koreksi karena anggota keluarga lainnya cenderung bersikap defensif, kita tidak bisa berkata bahwa keluarga kita bahagia. Tidak ada keluarga yang berbahagia secara mendadak; semua harus melewati tahapan yang panjang di mana kita saling mengoreksi dan dikoreksi. Sewaktu kita mengoreksi, sesungguhnya kita tengah menyampaikan harapan agar mereka menjadi seperti yang kita dambakan. Nah, makin dekat mereka pada harapan, makin senang dan puas hati kita. Sebaliknya, makin jauh mereka dari pengharapan, makin tawar dan makin tidak puas hati kita. Jadi, makin terbuka kita terhadap koreksi, makin besar kemungkinan kita menikmati kebahagiaan di dalam keluarga.

  5. BILA KITA DAPAT MEMBAYANGKAN DAN MENANTI-NANTIKAN MENGHABISKAN MASA DEPAN BERSAMA DENGAN MEREKA.
    Ya, kita hanya dapat membayangkan dan menanti-nantikan menghabiskan masa depan bersama keluarga bila kita dapat menikmati keluarga kita SEKARANG. Sebaliknya, jika kita tidak bisa menikmati keluarga kita sekarang, kecil kemungkinan kita akan dapat membayangkan dan menanti-nantikan menghabiskan masa depan bersama mereka. Jika kita menikmati keluarga kita sekarang, kita akan berusaha memperpanjang menghabiskan waktu bersama mereka—makin panjang, makin baik. Secara spontan kita pun akan merancang masa depan dan hari tua; kita akan memikirkan di mana kita akan tinggal dan apa yang akan kita lakukan, baik kita dengan pasangan maupun kita dengan anak atau cucu. Secara alamiah rancangan ini muncul karena memang tidak ada orang yang dapat membuat kita bahagia dan puas hati seperti keluarga kita sendiri. Itu sebab bersama merekalah kita mau hidup bersama atau berdekatan supaya kita dapat menghabiskan waktu dengan mereka.

Kesimpulan

Memang tidak ada keluarga yang sempurna, tetapi ada banyak keluarga yang bahagia. Kita puas dengan keluarga kita dan ingin menghabiskan waktu bersama mereka. Sudah tentu tidak selalu kita sependapat dengan mereka dan tidak selalu kita bangga dengan satu sama lain. Kita tidak selalu berlaku benar dan kadang kita mengecewakan orang yang dekat dengan kita dan mengasihi kita. Jadi, adakalanya kita mempermalukan mereka, begitu pula sebaliknya. Namun pada akhirnya kita berhasil menerima satu sama lain dan melanjutkan relasi.

Amsal 14:11 mengingatkan kita, "Rumah orang fasik akan musnah, tetapi kemah orang jujur akan mekar." Ya, awal dari upaya memekarkan rumah atau keluarga adalah KEJUJURAN. Nama lain dari kejujuran adalah KETULUSAN dan KETERBUKAAN. Di mana ada ketulusan dan keterbukaan, di sanalah ada kebahagiaan.