Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kami terdahulu tentang "Kekerasan Dalam Rumah Tangga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, perbincangan ini merupakan kelanjutan dari perbincangan kita yang lalu tentang kekerasan dalam rumah tangga. Pada waktu yang lalu Pak Paul sudah menguraikan tipe-tipe pelaku maupun korban dan juga dampaknya kepada anak. Supaya para pendengar kita atau mungkin ada pendengar yang masih baru kali ini bergabung dengan kita bisa mengingat kembali apa yang sudah kita perbincangkan dan supaya memunyai suatu gambaran yang utuh tentang kekerasan dalam rumah tangga ini, silakan Pak Paul menguraikan perbincangan kita secara singkat.
PG : Dalam pernikahan kadang harus ada pertengkaran, tapi pada keluarga tertentu pertengkaran itu berubah menjadi ajang dari perkelahian atau ajang pemukulan. Biasanya orang yang seringkali terebak dalam pola yang keras itu berasal dari keluarga yang memang menggunakan kekerasan pula, mungkin dia sering melihat orang tuanya berkelahi dan saling pukul memukul, atau dia sendiri yang menjadi korban pemukulan pada masa kecil dari orang tuanya.
Bibit kekerasan itu dan terutama bibit kemarahan dalam dirinya tertanam sehingga sewaktu dia sudah besar atau dewasa dan menikah, kemudian ketika pasangannya membantah dia atau tidak setuju dengan dia atau seolah-olah tidak menghormati dia maka reaksi yang akan muncul adalah reaksi marah yang sangat besar, karena kemarahan dengan kekerasan jaraknya terlalu dekat. Sehingga waktu dia marah, dengan cepat sekali kemarahan itu berubah menjadi tindakan kekerasan. Kita juga mau belajar bahwa adakalanya ada tipe-tipe korban tertentu yang dapat memancing reaksi kekerasan dari pasangannya. Misalnya ada orang yang dibesarkan di dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan, anggap saja dia seorang wanita sewaktu dia sudah menikah dia sudah terbiasa menggunakan pola yang sama yaitu dia ingin menaklukkan pasangannya. Kalau sedang bertengkar dan tidak bisa mengalah, dan dia hanya bisa berhenti kalau ditaklukkan oleh pasangannya dan yang terjadi biasanya adalah pasangan akan menaklukkannya lewat tindak kekerasan, dengan memukulnya dan sebagainya dan barulah dia diam. Dan itulah bahasa yang dikenalnya, kalau bertengkar lagi kemudian dia akan mendesak pasangannya, menyudutkannya dan baru berhenti kalau dipukul oleh pasangannya lagi. Kalau itu terjadi sekali atau dua kali maka mulailah dibentuk suatu relasi yang buruk dalam keluarga itu. Dan kita belajar bahwa relasi yang seperti ini berdampak buruk pada anak-anak. Tadi di awal saya sudah singgung bahwa kebanyakan pelaku-pelaku ini dulunya dibesarkan dalam keluarga yang seperti itu, yaitu penuh dengan kekerasan dan sekarang mereka memutar roda yang sama dalam keluarga mereka. Dan besar kemungkinannya anak-anak akan mengulang perbuatan tersebut namun salah satu dampak yang besar yang dialami anak adalah kehilangan rasa damai atau tentram dan dia harus hidup dalam ketegangan dan ketakutan, dan untuk mengatasi ketegangan dan ketakutannya adalah dengan mengunci perasaannya tapi ada juga yang akan diombang-ambingkan oleh perasaan, emosinya tidak stabil naik turun, itu karena dampak dari ketegangan yang harus dialaminya dan untuk bisa menguasai dirinya dia harus bisa membiarkan perasaannya lepas begitu saja tak bisa terkendali. Jadi kesimpulannya adalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah suasana rumah yang sangat buruk, baik untuk suami istri yang tinggal di dalamnya dan terutama bagi anak-anak yang dibesarkan oleh mereka.
GS : Pada waktu itu, Pak Paul juga mengutip ayat Firman Tuhan dari Maleakhi yang mengatakan bahwa Tuhan membenci kekerasan ?
PG : Betul sekali dan Firman Tuhan yang kita baca dari Maleakhi 2:16 itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak suka dengan perceraian tapi sama dengan itu Tuhan pun tidak suka dengan pernikahan yang menggunakan kekerasan.
GS : Kekerasan-kekerasan ini muncul pasti ada yang menyebabkan, jadi ada pemicunya yang menyebabkan dia melakukan kekerasan. Dan pemicunya apa saja, Pak Paul ?
PG : Yang pertama adalah dalam situasi yang relatif normal, kekerasan dapat terjadi akibat situasi panas yang menjadi tak terkendali. Jadi bertengkar dan bertengkar, memanas dan memanas tak terkendali, pada akhirnya di titik ini akal sehat dan penguasaan diri tunduk pada kemarahan yang memuncak sehingga terjadilah kekerasan dan ini yang sebetulnya lebih umum terjadi.
GS : Ini sebuah kemarahan yang diekspresikan dalam bentuk tindakan, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi rasa frustrasi tidak bisa menyampaikan sesuatu, rasa frustrasi tidak dimengerti, rasa frustrasi karena tidak berhenti-berhenti. Jadi kemarahan itu seperti di "pressure cooker" yang akhirnya meledak.
GS : Padahal Firman Tuhan sudah mengingatkan kalau kita marah jangan berbuat dosa dan jangan menahan kemarahan kita sampai matahari terbenam. Dan ini bagaimana ?
PG : Itu sebenarnya seperti kita menjaga agar kemarahan kita tidak berkembang sejauh itu, sebab kalau kemarahan sudah berkembang sejauh itu maka sistim kendali kita melemah. Jadi sekuat-kuatnya orang, kalau saat kemarahannya memuncak terlalu besar atau tinggi maka sistim kendalinya mulai rontok dan akhirnya bisa saja muncul tindakan-tindakan yang tak terkendali. Maka jauh lebih baik kita menjaga, kalau kita sudah mulai bertengkar dengan pasangan maka kita harus menjaga, dan kalau tahu bahwa ini sudah mulai menjauh, maka seseorang harus berkata, "Stop, jangan dulu dan coba kita tenangkan atau dinginkan hati dan kita besok bicara lagi, mungkin masalah ini tidak bisa selesai dibicarakan malam ini, namun jangan dipaksakan." Seseorang harus berkata seperti itu supaya nanti dua-duanya bisa menenangkan diri.
GS : Pemicu yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ada juga yang seperti ini. Ada juga yang merasa dipermalukan, dampak dari dipermalukan adalah merasa dihina maka muncullah kekerasan untuk membalas rasa dihina itu. Maka dalam pertengkaran sedapatnya jaga mulut kita jangan menggunakan kata-kata yang kedengaran menghina atau memermalukan pasangan. Seringkali orang sewaktu merasa dirinya diekspose atau dipermalukan seperti itu, bisa-bisa gelap mata karena dia tidak tahan dilihat seperti itu, jadi seolah-olah tidak ada harganya. Maka tindakannya langsung memukul karena dia ingin membalas karena telah disakiti seperti itu. Jadi sekali lagi penting sekali bagi orang yang masih dalam suasana bertengkar untuk menjaga mulutnya menggunakan kata-kata yang tidak menghina atau memermalukan pasangan.
GS : Apalagi kalau orang itu dipermalukan di hadapan orang lain, Pak Paul. Itu dampaknya lebih kuat lagi, tapi biasanya tidak langsung dipukul saat orang-orang banyak, dan setelah sampai di rumah barulah dilakukan kekerasan dalam rumah tangga.
PG : Betul. Jadi yang lebih sering terjadi seperti itu, tapi saya juga pernah melihat kasus-kasus dimana saat penghinaan itu terjadi, walaupun di muka umum pasangannya tidak peduli, yang penting kalau dia merasa dipermalukan, kapan pun dan dimana pun maka dia akan langsung memukul pasangannya. Jadi kalau sudah memburuk seperti itu maka itu akan terjadi di mana saja.
GS : Alasan yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ada juga yang akhirnya menggunakan kekerasan sewaktu dia merasa terancam, Pak Gunawan. Dia merasa bahaya makin mendekatinya dan untuk menghalaunya dia menggunakan kekerasan. Misalnya pasangan mengancam untuk menceraikannya, misalnya ini si suami dan dia mendengar istrinya berkata, "Saya mau ceraikan kamu" atau si istri berkata, "Aku mau melaporkan kamu ke pihak tertentu," dalam kondisi terancam itu seseorang rentan untuk menggunakan kekerasan untuk menghentikan datangnya bahaya.
GS : Terancam ini bisa secara fisik tapi juga bisa secara mental juga, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang dalam hal ini sepertinya lebih secara mental dan justru kalau kita terancam secara fisik, mungkin kita akan melakukan kekerasan hanya untuk membela diri. Jadi kita adalah pihak yang memberi respons atau reaksi karena diancam atau dipukuli sehingga kita membalas. Tapi yang lebih sering, yang saya maksud dengan terancam di sini ialah terancam kehilangan sesuatu yang besar, entah itu nama baiknya, keluarganya, anak-anaknya. Jadi dari pada kehilangan semua itu maka orang menggunakan kekerasan. Ini kisah yang cukup sering kita dengar yaitu ada orang yang menghabisi keluarganya karena dia merasa terancam dia akan kehilangan keluarganya, istrinya mau menceraikan dia, membawa anak-anaknya dan dia tahu dia pasti kalah, karena dia yang bermasalah dalam keluarga ini. Tapi dia tidak mau terima hal itu, dari pada dia hidup dengan kehilangan yang begitu besar yaitu dia merasa sangat terancam maka dia akhirnya menggunakan kekerasan.
GS : Tapi ancaman itu juga bisa datang dari luar rumah tangga itu sendiri,Pak Paul ?
PG : Kalau pun ada saya kira dia tidak langsung atau serta-merta membalikkan kekerasan itu pada pasangannya sendiri.
GS : Misalnya saja orang yang terancam kehilangan pekerjaan, seringkali dia menggunakan kekerasan kepada pasangannya atau bahkan kepada anak-anaknya, Pak Paul.
PG : Dalam kondisi itu sebetulnya dia terancam dari luar dan mungkin sekali pada waktu dia di rumah, dia stres berat sehingga tidak mudah mengendalikan perasaannya dengan baik dan kemudian pasangannya mengatakan sesuatu yang dianggapnya keliru atau menghina dia, maka dia melampiaskan kemarahan-kemarahannya itu kepada pasangannya atau anak-anaknya.
GS : Apakah masih ada pemicu yang lain, Pak Paul ?
PG : Pemicu yang lain adalah ada pula yang memang menikmati dan memeroleh kesenangan dari kekerasan dan sudah tentu orang-orang ini digolongkan dengan orang-orang yang memunyai gangguan kepribadian yang serius dan dia merasa puas dan di atas angin tatkala membuat orang lain menderita atau setidaknya membuat takut kepadanya dan memang ada orang yang berkepribadian yang sakit seperti itu, Pak Gunawan. Jadi selalu menakut-nakuti pasangannya, kalau pasangannya kurang takut maka dia menggunakan kekerasan dan dia pukuli supaya dia merasa senang. Jadi ada orang-orang yang memang sakit seperti itu dan baru merasakan kepuasan kalau sudah menyakiti orang lain.
GS : Setelah kita membicarakan tentang pemicu kekerasan yang cukup banyak itu dan ini penting karena kita perlu tahu apakah yang bisa membuat kita mudah untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Tapi kalau kita di pihak orang yang disakiti itu, apa reaksi kita terhadap apa yang kita alami ?
PG : Yang umum adalah biasanya di pihak korban, korban akan merasakan ketakutan yang besar, pada akhirnya hidupnya menjadi lumpuh karena sering dibayang-bayangi konsekuensi buruk yang menantinya, kalau mau pulang selalu terburu-buru karena takut terlambat karena kalau terlambat maka pasangannya akan marah, kalau dia belanja dia harus beli apa yang persis disukai oleh pasangannya, atau kalau masak harus memasak masakan yang disukai pasangannya dan kalau bicara juga harus berhati-hati dan jangan sampai membuat pasangannya marah. Akhirnya hidupnya dirundung oleh rasa takut, entah itu takut bersalah atau takut kalau nanti terkena konsekuensinya, benar-benar kehidupannya runtuh dan lumpuh.
GS : Apakah itu tidak malah memicu pasangannya untuk tidak membuat pasangannya marah atau untuk melakukan kekerasan lagi karena dia merasa di atas angin ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Jadi tindakan-tindakan seperti itu memang dimaksudkan untuk meredakan kemarahan orang tersebut. Tapi sudah tentu kita tahu, kita tidak sempurna yaitu selalu sesuai dengan keinginan pasangan. Jadi akhirnya akan ada lagi masalah yang timbul dan akan ada alasan yang digunakan oleh pasangan untuk memukul kita. Jadi dalam kasus seperti itu, sesempurna apa pun kita berusaha, tidak akan memuaskan hati seseorang yang memang sudah bermasalah itu.
GS : Reaksi yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ada juga korban yang menyimpan marah dan benci kendati tidak selalu memerlihatkannya karena ia takut, tapi akhirnya di dalam hatinya penuh dengan kemarahan dan kebencian kepada pasangannya yang berlaku buruk padanya, seringkali dalam kasus seperti ini si anak yang menjadi korban lagi. Jadi dalam hal ini anak-anak yang lebih kasihan sebab anak-anak menjadi korban. Misalkan si ayah menggunakan kekerasan, si ibu karena hidup dalam ketakutan dan juga menyimpan marah dan benci karena si suami yang kasar itu, nantinya akan melampiaskan kemarahannya kepada si anak. Walaupun anak berbuat salah hanya sedikit, tapi si ibu marahnya begitu besar. Jadi si anak, sudah dipukuli papa sekarang mama juga memukuli, anak yang menjadi korban paling besar. Dan takutnya yang terjadi adalah setelah anak ini menikah mengulang lagi roda yang sama.
GS : Yang menyimpan kemarahan tentu punya batas-batas tertentu sampai akhirnya dia tidak tahan dan akhirnya dia juga marah.
PG : Memang akhirnya kalau dia terus didesak dan didesak seperti itu, maka dia akan marah tapi nantinya tergantung apakah dia bisa melampiaskan kemarahannya secara terbuka. Biasanya kalau pasangan kita itu adalah orang yang menggunakan kekerasan dan kita di pihak yang lebih lemah, kita tahu kita tidak bisa melawannya dengan kekerasan, berarti kita harus diam dan kita harus terima meskipun kita marah karena kita tahu kalau kita melawannya maka kita akan lebih dihajar lagi, dan akhirnya kita terus menyimpan kemarahan itu dan kadang-kadang luber kepada anak-anak kita. Atau yang lebih sering adalah kemarahan itu seperti onggokan dalam hidup kita yang menindih perasaan kita dan membuat kita depresi.
GS : Reaksi yang lain dalam menghadapi kekerasan ini apa, Pak Paul ?
PG : Banyak korban kekerasan yang merasa malu, mungkin malu dilihat orang berhubung ada bekas pemukulan. Tapi kalau pun tidak ada bekasnya, ia merasa malu karena perbuatan kekerasan merupakan aib dalam keluarga. Julukan dipukuli suami, tetap bukanlah julukan yang terhormat. Jadi karena rasa malu maka itu akan sangat memengaruhi penghargaan dirinya, membuat dia minder kalau keluar atau bergaul dengan orang, dia tahu kalau dirinya tidak benar, keluarganya tidak benar dan dia adalah korban yang dipukuli dan malu maka pergaulan sosialnya akhirnya terpengaruh pula.
GS : Seringkali dia juga merasa orang-orang di sekitarnya tidak memahami persoalannya dan seringkali dinasehati, "Kenapa tidak dilawan saja," padahal dia tidak memunyai kemampuan untuk melawan. Jadi dia berusaha untuk menutupi itu, Pak Paul.
PG : Dan kalau pun dia melapor kepada mertuanya, seringkali si istri berpikir harus bicara dengan mertua saya supaya mertua saya bisa menekan anaknya untuk tidak memukuli dia. Tapi ini kenyataan, sebagian orang tua akan tanggap mengakui masalah ini ada dan mencoba menekan anaknya supaya tidak lagi mengulang perbuatan yang salah itu, tapi cukup banyak orang tua yang berbuat kebalikannya yaitu justru menyalahkan si menantu perempuan itu, "Kamu tidak bisa menyenangkan suami, anak saya dari dulu baik." Pertanyaannya adalah kenapa mertua seperti itu ? Jawabannya sangat sederhana yaitu kalau anaknya bermasalah seperti ini, bukankah kebanyakan ini muncul dari orang tuanya yang bermasalah. Jadi dengan kata lain, orang tuanya sendiri sibuk menutupi aibnya dan si anak ini akhirnya membongkar aibnya, sehingga dia berusaha menutupi dan menyangkal masalah itu.
GS : Apakah masih ada reaksi yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah hilangnya respek pada pasangan, dan biasanya hilangnya respek diikuti oleh hilangnya kasih sehingga akhirnya orang yang menjadi korban pemukulan itu bukan saja tidak respek, tapi tidak lagi mengasihi pasangannya yang telah berbuat jahat. Tapi yang juga cukup sering terjadi, korban pun akhirnya kehilangan respek terhadap diri sendiri dan cenderung melihat diri sebagai sampah. Jadi banyak korban pemukulan yang nanti tidak lagi memerhatikan penampilannya lagi dan malu bergaul keluar, kehilangan kepercayaan diri karena dia sendiri melihat dirinya sebagai sampah karena diperlakukan seperti sampah oleh pasangannya.
GS : Pak Paul, kalau melihat masalah yang sedemikian serius dan kita melihat yang dirugikan pasti korbannya maka bagaimana mengatasi kekerasan ini dari pihak yang menjadi korban itu.
PG : Yang pertama korban perlu berupaya menghilangkan faktor pemicunya yaitu situasi memanas yang tak terkendali, coba dihindari jangan sampai memanas dan tak terkendali, atau waktu kita merasa dipermalukan maka kita jangan langsung bereaksi atau merasa terancam dan jangan menciptakan itu atau jangan langsung mengatakan, "Saya akan meninggalkan kamu dan sebagainya," itu jangan dilakukan karena itu adalah tindakan yang akan memancing kekerasan. Atau yang juga penting adalah si korban harus mengundang keterlibatan pihak luar, sebab kalau tidak si pelaku kekerasan akan makin menjadi-jadi. Sesungguhnya yang ingin dilakukan oleh si pelaku kekerasan adalah agar masalahnya tidak diketahui pihak luar, supaya dia bisa tetap bebas berulah. Itu sebabnya ia kerap mengancam korban untuk menutup mulut, kadang karena korban takut maka dia ikut-ikutan tutup mulut berarti ini rahasia keluarga, tapi yang bermasalah tetap mengulang perbuatannya.
GS : Jadi selain bersikap berjaga-jaga supaya tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, kalau pun itu terjadi kita tidak perlu ragu untuk melibatkan orang lain, Pak Paul ?
PG : Betul, dan bahkan yang diperlukan adalah memberanikan diri menghadap ke pihak yang berwajib yaitu polisi dan ajukan masalah itu, supaya nanti polisi datang dan bisa melakukan tugas mereka menangkap si pelaku ini. Saya tahu kebanyakan orang akan merasa malu kalau suaminya ditangkap polisi, tapi ini adalah pembelajaran yang diperlukan, karena kalau tidak maka akan susah sekali menghentikan perbuatan ini.
GS : Tapi seringkali pelaku itu menyesali perbuatannya, Pak Paul ? Artinya dia tahu kalau perbuatannya itu salah dan bagaimana dia bisa menolong dirinya sendiri?
PG : Pertama, pelaku harus belajar memfokuskan pada proses internal yaitu menanyakan pada dirinya, sesungguhnya apa yang dibutuhkan dan diinginkannya, sebab pada dasarnya tindak kekerasan merupakan sebuah usaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, namun dengan cara yang salah dan berbahaya. Misalkan dia ingin dihormati dan dia ingin lebih disayangi, yang diperlukan yaitu agar dia berani mengatakannya kepada pasangannya, dengan kata lain pelaku perlu lebih peka dengan gejolak hatinya dan keinginan pribadinya, dengan dia lebih peka maka dia sampaikan dengan baik-baik.
GS : Tapi seringkali pelaku melakukan tindakannya karena dipicu oleh pihak korban tadi.
PG : Betul sekali. Jadi untuk itu si pelaku perlu belajar agar tidak terbelenggu oleh respons atau sikap orang lain atau sikap pasangannya. Jangan sampai dia selalu terikat atau dibelenggu oleh aksi-aksi dan memberikan reaksi-reaksi kekerasan. Itu sebab pada dasarnya si pelaku kekerasan adalah seseorang yang tidak merdeka dan dia terlalu mudah memberikan reaksi, sehingga gagal memikirkan dan mencegahnya. Jadi dia mesti berkata, "Meskipun pasanganku berkata seperti ini tapi aku tidak mau bereaksi seperti itu, aku tidak mau membalasnya dan aku mau menjadi orang yang merdeka, tidak diikat oleh aksi-aksi atau provokasi-provokasi dari pasangannya."
GS : Jadi sebenarnya masalah komunikasi suami istri ini sangat penting sekali, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Jadi kedua-duanya harus membiasakan diri untuk terbuka kepada satu dengan yang lain.
GS : Dan salah satu bentuk komunikasi ini adalah bagaimana menyampaikan keinginan kita kepada pasangan, Pak Paul ?
PG : Jadi dia harus belajar meminta dan bukan menuntut, saya tahu ini susah untuk dilakukan sebab perbuatan ini menuntut dia untuk rendah hati dan ini pun susah untuk dilakukan sebab kebanyakan pelaku bukanlah orang yang verbal dan ekspresif dengan kata-kata. Namun untuk mencegah terjadinya kekerasan, ia harus belajar mengungkapkan isi hatinya secara verbal yaitu belajar meminta dan tidak dengan kata-kata yang menuntut.
GS : Banyak orang mengatakan lebih baik mencegah dari pada memadamkan kemarahan itu sendiri dan ini bagaimana Pak Paul kaitannya ?
PG : Salah satunya adalah si pelaku dapat belajar mendeteksi reaksi dalam tubuhnya, sehingga ia tahu kapan dia harus keluar dari ruangan pertentangan. Jadi kalau dia tahu badannya mulai panas dan nafasnya mulai memburu, keluar keringat dan sebagainya maka dia harus menyadari perubahan-perubahan pada fisiknya itu dan keluarlah dari ruangan supaya dia dapat berpikir dengan jernih dan meredakan kemarahannya. Juga tatkala marah besar sebaiknya dia tidak mengeluarkan kata-kata sebab ini dapat memancing keluarnya tindak kekerasan, dan pada akhirnya kalau sudah keluar kata-kata dan tidak bisa lagi tertahankan maka kata-kata itu juga diikuti dengan tindakan-tindakan fisik. Maka sewaktu marah sebaiknya keluar ruangan dan diamkan, kemudian menarik nafas yang panjang dan setelah tenang baru kembali lagi ke dalam ruangan.
GS : Itu membutuhkan latihan tersendiri agar bisa mendisiplin diri dan menguasai dirinya sendiri, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Memang dia harus sangat mengenali reaksi-reaksi tubuhnya sehingga dia bisa mencegah peristiwa ini terulang.
GS : Pak Paul, sebenarnya masalah utamanya apa sehingga terjadi kekerasan dalam rumah tangga ini, Pak Paul ?
PG : Memang tidak bisa disangkal ada masalah rumah tangga dan jangan mengatakan bahwa kekerasan rumah tangga adalah satu-satunya masalah dalam rumah tangga. Banyak orang yang berkata, "Masalah kami hanya ini saja," itu salah, sebab kalau sampai ada kekerasan, itu berarti ada masalah lainnya yaitu masalah rumah tangga yang tidak terselesaikan atau masalah dalam dirinya yang nantinya perlu dibereskan. Jadi seringkali kekerasan hanyalah puncak gunung es dan merupakan akibat panjang dari relasi yang bermasalah.
GS : Untuk mengetahui akar permasalahan ini, sebenarnya pasangan ini juga memerlukan bantuan orang lain, Pak Paul ?
PG : Betul. Dia perlu bantuan orang lain dan dia harus memikul tanggung jawab, jangan sampai dia terus terlibat dalam perilaku menyalahkan orang lain atau menyalahkan situasi. Apa pun yang dilakukan pasangan, ia tetap bertanggung jawab atas reaksi kekerasan yang dilakukannya. Jadi dia mesti berhenti berkata, "Kamu yang membuat saya marah, kamu pasti tahu kalau saya akan marah kalau seperti ini," tidak! Pasangan bisa saja melakukan perbuatan yang tidak berkenan tapi reaksi marah kita yang menggunakan kekerasan adalah tanggung jawab kita. Jadi ini adalah langkah yang penting untuk diambil oleh si pelaku kekerasan, memikul tanggung jawab dan berhentilah menyalahkan situasi atau orang lain.
GS : Tapi justru korban itu yang memikul tanggung jawab dan mengatakan dia berlaku seperti ini memang karena salah saya dan itu bagaimana ?
PG : Karena si korban itu berusaha meredakan kemarahan si pasangan dan berusaha meyakinkan si pasangan bahwa kamu itu sebetulnya baik-baik saja dan sayalah yang bermasalah, kalau saya berubah, kamu pun juga tidak akan memukul saya. Jadi ada dambaan-dambaan atau harapan-harapan yang sebetulnya kosong dan tidak akan ada hasilnya sebab memang apa pun yang dilakukannya, sesempurna apa pun perbuatannya tetap akan ada kesalahan di mata orang itu dan waktu salah maka pasangannya akan memukulnya.
GS : Dan seringkali kekerasan dalam rumah tangga ini tidak diketahui oleh orang luar, Pak Paul ?
PG : Benar. Karena si korban juga akan malu untuk bercerita kepada yang lainnya dan dia akan terus mengulangnya, karena tadi Pak Gunawan sudah singgung bahwa si korban yang bersalah, dan akhirnya si pelaku malah berkata, "Kamu sudah mengaku kalau kamu yang salah makanya saya marah karena kamu telah membuat saya marah." Jadi pola itu diteruskan dan tidak akan berhenti.
GS : Tapi walaupun dia bisa menutupi dari mata orang, tapi di mata Tuhan itu bisa terlihat. Dan sebagai kesimpulannya Pak Paul mungkin mau menyampaikan Firman Tuhan.
PG : Intinya adalah kita harus dekat dan takut akan Tuhan. Si pelaku kekerasan harus takut Tuhan dan jangan sampai merasa tidak ada Tuhan yang melihatnya. Firman Tuhan di Amsal 29:7 berkata, "Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak mengertinya." Orang yang menggunakan kekerasan harus mengerti hak pasangannya yang lebih lemah dan orang yang tidak mau mengerti adalah orang fasik. Jadi orang yang telah menggunakan kekerasan, berhentilah dan takutlah akan Tuhan dan sadarilah bahwa pasangannya berhak hidup dengan layak dan jangan kita menghancurkannya.
GS : Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan kali ini. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kekerasan Dalam Rumah Tangga" bagian yang kedua. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat
telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di
www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.