Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Dalam Rumah Tangga". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Sekalipun ada undang-undang yang melarang orang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tapi kenyataannya dari hari ke sehari banyak kita jumpai korban-korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Sekarang kita mau memperbincangkan KDRT dari beberapa aspek agar lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga ini.
PG : Betul, Pak Gunawan. Memang dalam rumah tangga dapat diduga akan ada konflik tapi konflik tertentu dalam rumah tangga berkembang sehingga menjadi sebuah kekerasan, pemukulan dan misalnya sapai menimbulkan luka-luka dan sebagainya.
Dan inilah yang kita mau teliti kenapa bisa sampai terjadi dan kita juga mau melihat tipe-tipe perilaku dari pelakunya, juga tipe-tipe dari korbannya. Dengan pemahaman ini mudah-mudahan kita semua dapat belajar untuk mencegah masalah ini terjadi dalam rumah tangga kita.
GS : Biasanya alasan-alasan apa yang dimanfaatkan oleh pelaku dari KDRT itu ?
PG: Ada beberapa, Pak Gunawan. Misalnya ada yang menggunakan kekerasan untuk mengekpresikan kemarahannya, orang yang seperti ini mengalami masa kecil yang sarat dengan ketegangan dan kekerasan ari orang tuanya yang bertengkar atau orang tuanya menggunakan kekerasan antara satu sama lain ataupun terhadap mereka sendiri.
Sebagai akibatnya dia bukan hanya mencontoh cara pengekspresian kemarahannya yang keliru itu tapi juga menyimpan kemarahan yang besar karena hidup di dalam keluarga yang penuh kemarahan. Alhasil sewaktu dia marah, kemarahan itu keluar dalam kadar yang besar, ditambah dengan pembelajaran cara pengungkapan yang keliru, dia menjadi rentan untuk melakukan tindak kekerasan kepada pasangannya. Biasanya orang dengan tipe ini menyadari bahwa tindakannya salah, namun dia sendiri tidak bisa menguasai dirinya tatkala marah.
GS : Kemarahan itu sebenarnya diakibatkan oleh korban itu atau oleh hal-hal yang lain, Pak Paul ?
PG : Jadi sudah tentu dalam pertengkaran ada hal-hal yang membuatnya marah, tapi mengapakah kemarahannya itu bisa begitu besar sehingga berubah menjadi suatu kekerasan adalah karena di dalam diinya sendiri dia sudah menyimpan kemarahan yang besar, kemarahan-kemarahan yang berasal dari pengalaman-pengalaman masa kecilnya, melihat orang tua bertengkar menggunakan kekerasan atau dia menjadi korban kekerasan dari orang tua atau lingkungannya.
Singkat kata masa kecilnya itu penuh kekerasan dan ketegangan, sehingga akhirnya kekerasan dan ketegangan itu membuat dia menjadi seseorang yang pemarah dan menyimpan amarah yang besar itu sehingga waktu bertengkar dengan pasangannya meskipun penyebabnya dianggap normal, masalah-masalah yang sering dialami oleh banyak orang, tapi untuk dia kemarahan itu benar-benar keluar dalam bentuk ledakan sehingga dia tidak menguasai dirinya lagi dan akhirnya menggunakan kekerasan.
GS : Jadi sebenarnya pelaku ini juga menjadi korban dari masa lalunya dimana dia tidak pernah diajar atau tidak bisa belajar bagaimana mengungkapkan kemarahan yang benar.
PG : Betul. Jadi untuk tipe yang seperti ini, kita dapat katakan bahwa dia sendiri adalah korban sehingga dia sendiri tidak tahu cara yang sehat mengeluarkan kemarahan dan menggunakan cara yangtidak sehat itu.
GS : Mungkin ada tipe yang lain, Pak Paul ?
PG : Yang lain adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk mengumbar kekuasaannya. Jadi orang yang seperti ini cenderung memandang pasangannya sebagai objek yang perlu dikuasai dan dihajar. Jdi dia cepat menafsir bantahan pasangan sebagai upaya untuk menghina atau melawannya.
Jadi kalau pasangannya tidak setuju atau pasangannya berkata, "Saya tidak mau" dan sebagainya, bagi dia bantahan seperti itu merupakan tindakan menghinanya atau melawannya. Bagi dia tindakan seperti ini dari pasangan membuat dia harus menghajar pasangannya, dengan kata lain, dia mau agar pasangannya belajar jangan sampai berbuat lagi dan cara dia membuat pasangannya belajar adalah dengan menggunakan kekerasan. Orang seperti ini biasanya tidak merasa bersalah. Waktu ditanya, "Kenapa kamu berbuat begitu keras dan kasar kepada pasanganmu ?" dia tidak akan merasa bersalah, sebab dia menganggap tindakannya dapat dibenarkan sebab menurut dia orang yang berbuat seperti itu adalah orang yang kurangajar kepadanya, menghina dia maka sepatutnya diberikan pukulan-pukulan oleh dia.
GS : Biasanya orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang rendah diri ?
PG : Betul, jadi orang-orang yang tidak aman sehingga dia merasa orang cepat sekali menghina dia dan dia mudah sekali marah, menganggap orang itu sengaja menghina dia. Bisa juga yang kedua, diaini adalah orang yang dibesarkan dalam lingkup keluarga yang penuh dengan kekerasan pula, sehingga dia tidak belajar bagaimana cara mengungkapkan perasaan dengan tepat dan caranya adalah selalu menggunakan pukulan.
GS : Dan kekuasaan yang dia peroleh, biasanya diperoleh dengan susah payah dengan cara kekerasan juga, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi dia sangat tidak aman dan merasa kekuasaannya itu tidak boleh dipertentangkan dan menganggap semua bentuk-bentuk bantahan atau sanggahan sebagai tindakan untuk mengambil kekuasan dari dirinya.
Itu adalah salah satu tipe yang membuat terjadinya pemukulan dalam rumah tangga.
GS : Tapi biasanya orang seperti itu, bukan saja melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tapi di tempat kerja atau di masyarakat pun dia akan berbuat seperti itu.
PG : Bisa. Jadi memang ada orang yang karena dalam rumah seperti itu maka dia membawa kebiasaan itu keluar. Tapi ada juga tipe, meskipun di rumah keras memukuli pasangannya, tapi di luar kebaliannya, dia tampaknya baik, lemah lembut, paling sabar dengan orang lain.
Jadi kadang-kadang kita tertipu oleh orang-orang yang seperti ini, karena tidak nampak. Jadi waktu pasangannya bercerita, maka orang tidak percaya karena terlihat orangnya begitu baik penuh perhatian, sabar, tapi yang tinggal di rumahlah yang paling tahu.
GS : Tipe yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Ada orang yang menggunakan kekerasan untuk menyeimbangkan posisi dalam pernikahan. Pada umumnya orang ini merasa dirinya 'inferior' (rendah diri) dari pasangan sehingga cepat menuduh pasanan, jadi seolah-olah sengaja merendahkannya, itu sebabnya dia menggunakan kekerasan untuk merebut kembali kekuasaan dalam rumah tangganya.
Jadi orang ini merasa bahwa relasinya itu tidak seimbang, dia merasa dari awal pernikahan dia selalu di bawah terus. Memang berbeda dengan tipe sebelumnya, kalau tipe sebelumnya dia selalu di atas dan tiba-tiba waktu pasangannya berani melawan dia, kemudian dia pukul dan marah. Kalau tipe ini dari awal memang selalu di bawah dan dia menganggap bahwa sepatutnyalah dia di bawah, "Saya dari dulu seperti ini saja" akhirnya dalam satu ketika dia tidak mau terima kenapa dia dari dulu selalu berada di bawah terus. Caranya merebut kembali posisi itu atau menyeimbangkan posisinya dengan menggunakan kekerasan.
GS : Jadi ini untuk menutupi kekurangannya atau kelemahannya.
PG : Betul. Jadi mungkin sekali orang ini untuk satu kurun menerima dan dia merasa kalau dia itu tidak punya apa-apa, dan dia di bawah pasangannya. Tapi bisa jadi pada suatu ketika ada yang memuat dia merasa, "Saya tidak terima" sehingga sewaktu pasangannya berbicara dengan ketus kepada dia tiba-tiba dia berani melawan dan marah dan bukan hanya marah, tapi juga berani memukul.
GS : Tapi hal itu sebenarnya adalah hal yang sudah lama dipendam sehingga terjadi suatu ledakan yang kuat sekali, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi dia sudah menyimpan rasa tidak suka seperti itu, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa sebab dia menyadari kalau dia memang di posisi yang lemah. Entah kenapa ada peristiwa ang terjadi kemudian dia merasa bahwa dia harus kuat dan berani sehingga dia marah dan marahnya itu berubah menjadi suatu kekerasan.
GS : Tipe yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Tipe yang lain adalah orang yang menggunakan kekerasan sebagai jalan keluar terakhir untuk menyelesaikan konflik dan ini adalah tipe yang paling banyak. Jadi orang-orang yang memang tidak erbiasa menggunakan kekerasan namun dalam keadaan frustrasi, dia pun merasa terdesak sehingga secara spontan menggunakan kekerasan.
Jadi orang ini sebetulnya dia tidak menyetujui cara kekerasan ini dan dia tahu ini cara yang salah, dan biasanya cepat merasa bersalah bahwa dia telah melakukannya. Ini memang yang lebih umum, Pak Gunawan, tipe-tipe yang tadi, puji Tuhan lebih jarang, tapi yang lebih umum adalah yang seperti ini yang sebetulnya tidak memiliki maksud memukul tapi karena suasana terus memanas dan dia tidak bisa lagi mengendalikan diri, maka akhirnya masuk ke perilaku yang keras itu.
GS : Apakah bukan karena terjadi gabungan dari tipe-tipe yang lain ataukah tidak, Pak Paul ?
PG : Kalau memang sudah memunyai tipe-tipe yang lain, maka sudah pasti konflik sekecil apa pun cukup untuk bisa memicu kemarahan yang besar itu. Dan orang-orang yang bertipe terakhir ini sebetunya bukanlah orang yang pemarah, tidak ada niat untuk memertahankan kekuasaannya, mungkin dia juga tidak ada niat untuk menyeimbangkan posisi namun untuk suatu ketika saat sedang bertengkar, dan pertengkaran itu tidak berhenti dan malahan terus berlanjut, di titik terakhir dia tidak tahan lagi dan dia ingin membuat pasangannya berhenti bicara atau marah-marah, maka yang tiba-tiba terjadi adalah tangannya memukul.
GS : Banyak orang korban PHK juga melakukan kekerasan rumah tangga karena alasan seperti itu, Pak Paul ?
PG : Betul sekali. Bisa jadi orang-orang seperti ini tidak ada sejarahnya, tidak pernah menggunakan kekerasan kepada pasangannya namun dalam kondisi stres berat, kehilangan pekerjaan dan kemudin merasa disudutkan dan dia mencoba untuk memberitahu pasangannya, "Jangan lagi bicara seperti ini, tolong berhenti" dan sebagainya, tapi mungkin karena pasangan juga stres kemudian berbicara menyudutkannya, akhirnya terjadilah pertengkaran besar dan dia merasa ditantang maka akhirnya terjadilah semacam ledakan dan terjadi kekerasan.
GS : Ada sebagian orang yang memunyai penyimpangan seksual, merasa puas kalau dia melakukan penyiksaan kepada pasangannya, Pak Paul ?
PG : Itu memang masuk ke dalam kategori penyimpangan seksual, dalam istilah psikologis "Sadomasochistic", jadi memang orang-orang yang menggabungkan kenikmatan dengan kesakitan. Itu memang sebuh penyimpangan, sebuah masalah yang harus diselesaikan, tapi itu berbeda dengan yang telah kita bicarakan sebab orang-orang itu bisa jadi dalam pertengkaran tidak menggunakan kekerasan.
Jadi memang ada dua hal yang berbeda, tapi betul ada penyimpangan seperti itu.
GS : Kita sudah berbicara tentang tipe-tipe orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan sekarang bagaimana dengan korbannya, Pak Paul ?
PG : Korbannya pun juga memiliki tipe-tipe, yang pertama adalah orang yang berjenis penantang. Jadi orang ini hanya mengenal bahasa menaklukkan atau ditaklukkan oleh karena masa kecil yang jugasarat dengan kekerasan.
Jadi karena orang tuanya keras, bertengkar, berkelahi dan mungkin dia juga menjadi korban kekerasan akhirnya dia hanya mengenal bahasa kekerasan, bahasa kekerasan adalah bahasa ditaklukkan dan menaklukkan. Jadi waktu dia bertengkar dengan pasangannya, seolah-olah dia tidak bisa terima dan dia harus menaklukkan pasangan, kalau pasangannya diam saja maka dia terus ingin menaklukkan dan menguasai, akhirnya tindakan seperti itu yang terus menerus menantang dia, kalau tidak kuat-kuat akhirnya pasangannya lari kepada kekerasan dan malahan memukul dia untuk mendiamkan dia, tapi seakan-akan ini adalah bahasa yang dimengertinya yaitu waktu dia dipukul, dia baru diam. Jadi akhirnya pola itu terbentuk, kalau nanti terjadi keributan dan dia seolah-olah menantang dan menantang karena mau menaklukkan dan dia hanya akan berhenti kalau pasangannya menggunakan kekerasan untuk menaklukkannya, seolah-olah bagi dia perselisihan merupakan ajang adu kekuatan alias perkelahian. Jadi orang-orang seperti ini sangat mudah memancing kemarahan pasangan dan dengan cepat mengomporinya sehingga terjadilah pemukulan dan tidak jarang korban dengan tipe penantang justru adalah pihak pertama yang menggunakan kekerasan, jadi hal seperti ini sering ditemukan. Jadi misalkan dia adalah seorang istri, maka dia adalah yang pertama-tama memukul suaminya karena itulah yang dilihatnya dan dia mungkin juga korban kekerasan sewaktu kecil, jadi waktu suaminya hanya diam, maka dia malah marah-marah dan dia tampar pipi suaminya dan akhirnya suaminya marah dan memukul balik si istri dan barulah si istri diam. Kalau lain kali marah, juga akan terulang seperti itu, dia memukul suaminya dan suaminya marah kemudian memukuli istri dan barulah istri diam. Lama kelamaan pola itu terbentuk, dia tidak perlu memulai dengan memukul, si suami langsung memukuli dia. Jadi akhirnya dimulailah roda kekerasan dalam keluarga tersebut.
GS : Seringkali kalau ditanya alasannya untuk membela diri, dari pada dia dikuasai oleh pasangannya maka lebih baik dia menguasai pasangannya.
PG : Orang ini karena belajar dari pengalaman yang memang buruk, jadi susah sekali untuk berdialog dengan baik-baik, untuk berselisih dengan baik-baik. Jadi orang-orang yang dibesarkan dengan kluarga yang penuh dengan kekerasan akhirnya tidak mengenal bahasa dialog dalam menyelesaikan pertengkaran, biasanya adalah bahasa berteriak, marah atau menantang.
Tipe seperti ini akhirnya mudah sekali memancing tindakan kekerasan dari pasangan.
GS : Tipe yang lain dari korban ini apa, Pak Paul ?
PG : Tipe yang lain adalah orang yang bergantung. Jadi orang ini tidak dapat hidup sendirian, butuh pasangan untuk memberinya makna untuk menghidupinya. Orang yang tipe bergantung ini akhirnya embuat pasangan kehilangan respek sehingga dalam kemarahan si pasangan itu mudah terjebak dalam penggunaan kekerasan karena tidak ada respek, tidak memandang dia.
Jadi akhirnya itulah yang terjadi dan salah satu penyebabnya juga adalah kekerasan akhirnya menjadi wujud keinginan pasangan untuk melepaskan diri dari kebergantungan orang ini. Jadi karena terus digelayuti bergantung terus, ditanyai, dikendalikan, dibatasi perilakunya sehingga waktu dia sedang marah, dia menggunakan kekerasan karena seolah-olah ingin agar orang ini lepas dari punggungnya atau tangannya dan tidak lagi bergelayutan terus, maunya dekat dengan dia, maunya menguasai dia, dan maunya dia selalu menolongnya. Akhirnya dengan bahasa kekerasan itu seolah-olah dia menghalau orang ini untuk jauh darinya.
GS : Berarti orang ini atau korban ini menjadi beban bagi orang yang melakukan KDRT itu tadi ?
PG : Betul. Jadi yang dilihat adalah sebagai beban, makanya dia ingin melepaskannya dan cara melepaskannya karena dia tidak menghormati maka cara yang digunakan justru adalah cara kekerasan itu.
GS : Tipe yang lain apa, Pak Paul ?
PG : Tipe yang lain adalah orang yang berperan sebagai pelindung. Jadi ada korban yang selalu berusaha keras menutupi masalah keluarganya demi menjaga nama baik, selalu menekankan penampilan suaya orang melihat bahwa keluarganya baik-baik saja.
Orang seperti ini cenderung menoleransi kekerasan alias membiarkannya sehingga masalah kekerasan terus berulang. Orang ini memang selalu berusaha mengerti pasangannya, "Kamu memukul saya karena kamu sedang letih, kamu memukul saya karena kamu frustrasi karena saya seperti ini." Jadi terus mengerti pasangannya yang bermasalah. Namun tindakan ini justru berakibat buruk pada pasangan yang menggunakan kekerasan, dia makin leluasa menggunakan kekerasan karena tidak ada konsekuensi yang menantinya, dia tahu kalau istrinya akan menutupi perbuatannya dan dia akan selalu bebas dari konsekuensi.
GS : Ada kebutuhan dari pihak pasangan itu, daripada dia diceraikan maka lebih baik dia menderita seperti itu.
PG : Betul. Memang ada orang-orang yang takut hidup sendirian dan mungkin bagi dia kalau sampai dia bercerai maka nama baiknya rusak dan bagaimana nanti orang menilainya. Jadi harganya bagi diaterlalu besar, maka lebih baik ditoleransi saja kekerasan seperti ini.
GS : Biasanya dalam kasus-kasus KDRT, yang menjadi korban adalah anak-anak kalau keluarga itu sudah dikaruniai anak. Ini dampaknya sejauh mana, Pak Paul?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Salah satu korban yang diam dan sunyi adalah si anak yang tidak bisa berbicara, karena dampak pertama adalah ketegangan dan anak akhirnya hidup di dalam bayang-byang kekerasan yang dapat terjadi kapan saja dan ini menimbulkan efek antisipasi.
Apa yang saya maksud efek antisipasi adalah anak selalu mengantisipasi jauh sebelumnya bahwa kekerasan akan terjadi sehingga hari-harinya terisi oleh ketegangan, sewaktu di sekolah maka dia berpikir, "Nanti sore waktu pulang, papa dan mama berkelahi dan terjadi pemukulan" karena mereka terus membayangkan, maka saat dia berangkat ke sekolah dia sudah tegang, dan besoknya terulang lagi karena kemarin malam papa dan mama berkelahi dan terjadi pemukulan, besoknya dia ke sekolah dia pikirkan lagi, "Nanti malam akan terjadi lagi perkelahian." Jadi hari-harinya terus diisi oleh ketegangan sehingga dia tidak lagi menjadi orang yang bebas, yang santai yang penuh damai. Justru hari-harinya diisi dengan ketakutan.
GS : Itu biasanya nampak dari prestasi anak di sekolah, biasanya sangat rendah ?
PG : Biasanya seperti itu. Tidak bisa tidak konsentrasinya terganggu, dia tidak bisa belajar dan nanti juga akan terganggu pada perilaku sosialnya. Bisa juga satu ekstrem dia akan menutup diri arena ketakutan, tapi juga bisa kebalikannya yaitu dia mengembangkan perilaku yang bermasalah karena dia tidak mau lagi dikuasai oleh ketakutan atau ketegangan itu.
Jadi mulailah dia melawan guru, mencuri, berontak supaya dia bisa bebas dari ketegangan itu.
GS : Padahal akar sesungguhnya adalah karena dia sering melihat kekerasan ini.
GS : Dampak yang lain dari kekerasan ini terhadap anak apa, Pak Paul ?
PG : Ada anak yang akhirnya mengunci pintu perasaannya, ia berupaya melindungi dirinya agar tidak tegang dan takut dengan cara tidak mengizinkan dirinya merasakan apa pun. Singkat kata, ia membat perasaannya mati supaya ia tidak harus merasakan kekacauan dan ketegangan.
GS : Didalam dia mengunci perasaannya, dia mematikan perasaan takutnya, perasaan kasihannya, itu yang dilakukan, Pak Paul ?
PG : Masalahnya adalah bukan saja perasaan takutnya yang terkunci, tapi semua perasaannya terkunci sehingga dia menjadi seorang anak yang seolah-olah tidak ada perasaan, datar atau hanya mengguakan satu perasaan untuk mewakili semua perasaannya.
Misalnya satu perasaan itu adalah perasaan murung. Apa pun kondisi hidupnya, suasana hanya satu yaitu murung atau kebalikannya yaitu marah. Jadi kalau ada apa-apa marah, waktu sedih marah, waktu terluka marah, waktu kehilangan marah dan semua diekspresikan dengan marah. Kenapa ? Sebab dia sudah mengunci perasaan yang lain dan hanya memunculkan satu jenis perasaan.
GS : Tapi bisa juga terjadi yang sebaliknya, Pak Paul ?
PG : Bisa. Jadi yang kebalikannya adalah ada anak-anak yang justru membuka pintu perasaannya lebar-lebar dalam pengertian dia tidak memegang kendali atas perasaannya, dia sangat mudah marah, di sangat mudah takut, sangat mudah sedih, sangat mudah tegang dan perasaan ini mengayunkannya setiap waktu.
Jadi benar-benar hidupnya itu diombang-ambingkan oleh perasaan.
GS : Pak Paul, hal-hal seperti itu apakah tidak akan menghambat pertumbuhan anak-anak, baik secara fisik atau secara mental ?
PG : Sangat menghambat, Pak Gunawan. Jadi akhirnya anak-anak ini tidak bisa lagi bertumbuh dengan alamiah dan sehat karena untuk dia bisa bertumbuh dia memerlukan suasana kehidupan yang tentram Ketakutan dan ketegangan melumpuhkan seorang anak dan menghambat pertumbuhan dirinya.
Misalnya dalam hal kepercayaan, ia akan sukar sekali memercayai siapa pun dan masalah ini akan memengaruhi relasinya kelak, sebab ia akan kesulitan membangun sebuah relasi yang intim karena relasi yang intim menuntut adanya kepercayaan.
GS : Kalau anak ini tidak sendirian artinya memunyai saudara kandung yang lain, pengaruhnya bagaimana Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kalau memiliki saudara, itu masih mendingan karena dia bisa berbicara dan bermain dengan saudara-saudaranya, namun tetap pertumbuhannya akan terganggu misalnya anaknya hidup daam ketakutan, bukan saja dia sukar percaya pada orang, tapi dia nanti akan mengembangkan sikap yang terlalu cepat mundur, tidak berani menghadapi tantangan dan itu yang nanti akan menghambat pertumbuhannya.
GS : Tapi kalau dia sebagai anak sulung, dia seringkali menjadi pelindung bagi adik-adiknya ?
PG : Betul. Jadi kalau nanti kita bahas lagi biasanya tiap anak akan mengemban peran-peran tertentu. Jadi anak yang sulung itu akan menjadi pelindung bagi adik-adiknya. Atau nanti ada anak yangberbakat, paling pintar nanti dia akan menjadi pendongkrak harkat orang tuanya sehingga tidak ada satu orang lain pun yang boleh sedikit pun mengatakan hal-hal yang jelek tentang keluarganya.
Maka dia mau marah dan dia mau berkelahi dengan orang. Jadi tiap anak mengembangkan persoalannya masing-masing.
GS : Apakah itu juga memengaruhi hubungan anak dengan orang lain, jadi dalam hal dia berelasi, Pak Paul ?
PG : Seringkali itu terjadi. Jadi anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menggunakan kekerasan akan memunyai pola relasi yang terdistorsi, yang terselewengkan misalnya seperti manipulati atau menjadi anak yang pemangsa yang suka menjahati orang atau pemanfaat yang mau mengambil kesempatan dari orang.
Atau ada juga yang memainkan peran korban yang selalu tampak lemah, takut dan minta dikasihani.
GS : Dalam hal ini, kalau kita melihat anak-anak menjadi korban, kita tahu sebenarnya akarnya bukan pada diri anak ini tapi pada kedua orang tuanya. Bagaimana kita mau memberitahu anak-anak ini ?
PG : Sudah tentu nanti kita harus berkata bahwa kenapa kamu begini, itu ada penyebabnya. Dan penyebabnya adalah pada orang tuanya itu, karena kalau tidak anak-anak ini nantinya akan bingung kenpa saya menjadi orang yang mudah marah, mudah tegang, kenapa saya tidak bisa menghadapi tantangan dalam hidup.
Kita mesti menjelaskan bahwa ada yang telah terjadi dalam hidupmu, yang telah melumpuhkan dirimu sehingga tidak bertumbuh dengan semestinya.
GS : Jadi masih ada beberapa bagian yang perlu kita perbincangkan dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga ini, tapi karena waktu yang membatasi kita maka kita akan lanjutkan perbincangan kita ini pada kesempatan yang akan datang. Pak Paul, sebelum kita mengakhiri perbincangan kita kali ini, mungkin ada ayat Firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Maleakhi 2:16, "Sebab Tuhan membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel, juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman Tuhan semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganah berkhianat!" Tuhan bukan saja membenci perceraian, karena Tuhan tahu dampaknya buruk bagi keluarga dan anak-anak, Tuhan juga membenci orang yang menggunakan kekerasan dan kebenciannya.
Maka Tuhan meminta dan memerintahkan, "Jagalah dirimu dan jangan berkhianat". Memang berkhianat itu berarti mengkhianati janji kita untuk memerlakukan dan mencintai pasangan dengan penuh kasih. Jaga diri, kita memang harus menahan emosi kita dan kalau kita tahu kalau kita punya masalah, jangan ragu untuk meminta bantuan.
GS : Terima kasih, Pak Paul untuk perbincangan kali. Dan para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kekerasan Dalam Rumah Tangga" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.