Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen kali ini bersama dengan Ibu Wulan, S.Th kami akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kefanaan Hidup", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, kita menyadari bahwa hidup ini singkat saja, artinya kita tidak mungkin hidup selama-lamanya di dunia ini. Tetapi masalahnya kita kadang-kadang tidak mempunyai perhatian khusus untuk mempersiapkan diri menghadapi akhir dari hidup kita di dunia ini. Bagaimana menurut Pak Paul?
PG : Setuju sekali Pak Gunawan, ironis ya sebab untuk hal-hal yang lebih sederhana dan temporal, lebih sementara, kita itu rela mencurahkan cukup banyak waktu atau mempersiapkan diri. Kita mau enjadi seorang dokter, kita mempersiapkan diri dengan melewati jenjang pendidikan yang berliku-liku dan panjang.
Menjadi seorang teknisi, kita belajar dan akhirnya kita menjadi seorang teknisi dst. Tapi ada satu hal yang akan kita semua lewati yakni kematian. Namun sedikit waktu yang kita curahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi fakta dalam hidup ini.
GS : Karena mungkin banyak orang yang menganggap bahwa semua orang pasti mengalami dan berpendapat sudah meninggal ya sudah, sudah habis tidak ada ceritanya jadi tidak perlu ada sesuatu yang dipersiapkan.
PG : Nah, masalahnya adalah sebagian besar dari kita sebetulnya mencoba menghindar dari topik kematian. Ada orang yang sampai-sampai tidak berani hadir di dalam upacara kematian. Tidak berani mlihat jasad yang terbujur dalam peti, sama sekali tidak berani.
Meskipun tidak mempunyai trauma-trauma tertentu, tidak mempunyai pengalaman buruk, kita hanya tidak mau melihat kematian atau orang yang mati. Kenapa? Karena ada rasa takut kalau saya nanti kena getahnya, nanti keluarga saya yang mengalami musibah ini dan sebagainya. Dengan kata lain banyak di antara kita yang menjauhkan diri dari fakta yang begitu riil ini.
WL : Sebenarnya bertindak seperti itu karena memang takut, kematian merupakan suatu dunia yang sangat menakutkan atau asing, sungguh-sungguh asing. Kita bertanya kepada siapa, semua orang hidup; waktu orang itu mati dia tidak kembali lagi ke kita dan menceritakan pengalaman dia. Itu benar-benar area yang tidak pernah kita masuki, kalau misalnya menikah, kita masih bisa bertanya kepada orang tua kita walaupun ada yang gagal atau sukses; sekolah atau bisnis masih bisa ada yang ditanya. Kalau orang sudah meninggal tidak bisa Pak Paul, itu benar-benar suatu dunia yang menakutkan atau asing sekali, sehingga orang akhirnya menghindar, Pak?
PG : Saya kira pengamatan Ibu Wulan tepat, bahwa salah satu sumber ketakutan kita terhadap kematian adalah ketidaktahuan kita tentang dunia orang mati, sesuatu yang asing bagi kita. Dan segalana yang asing tidak kita ketahui, memberikan rasa takut dalam diri kita.
Namun menurut saya bukan hanya itu, itu salah satunya; yang lainnya mungkin ini sama kuat atau malah bisa lebih kuat, kita takut dengan kematian karena kita takut terputus dari kehidupan sekarang ini. Karena kita tahu, begitu kita melangkah masuk ke dunia kematian maka relasi kita dengan dunia yang ada dan yang kita kenal ini, dengan orang-orang, dengan rumah kita, dengan tempat kerja, dengan tempat di mana kita hidup dsb akan terputus. Dan kita takut kehilangan atau lepas dari orang-orang atau dunia yang kita kenal ini. Jadi saya kira ini juga salah satu faktor yang membuat kita takut untuk memasuki dunia yang asing ini yaitu dunia kematian.
GS : Katakan kita mau untuk mempersiapkan diri, apa yang bisa kita lakukan Pak Paul?
PG : Pertama adalah kita mesti menyadari bahwa kematian ialah bukti kefanaan hidup. Hidup ini fana jadi kita harus benar-benar menerimanya seperti apa adanya, jadi kita mesti berdamai dengan keerbatasan kita.
Nah memang secara alamiah kita sebetulnya ingin hidup tidak terbatas, kita tidak mau cepat tua, kita tidak mau tubuh kita renta, kita tidak mau pikiran kita atau memori kita atau otak kita kehilangan daya ingatnya dan sebagainya. Kita seolah-olah menolak untuk maju dalam hidup ini dan menuju pada titik di mana kita makin hari makin terbatas; kita ingin hidup tidak terbatas. Nah, ini yang kita harus singkirkan, kita harus terima bahwa kita ini tidak hidup selamanya. Firman Tuhan menegaskan di
Mazmur 90:5-6, "Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu." Itulah manusia, pagi hari bertumbuh berkembang, di waktu petang lisut dan layu, ini yang harus kita terima bahwa kita ini terbatas. Dan makin hari kita makin harus menghadapi dan menerima keterbatasan kita. Sampai makin tua-makin tua, makin besarlah keterbatasan yang harus kita terima, di mana puncaknya adalah kita benar-benar dibatasi, stop, berhenti, tidak lagi bernafas. Kita pindah dari dunia hidup ke dunia kematian.
WL : Benar ya, seperti tadi Pak Paul jelaskan, kita itu tidak suka menjadi tua. Jadi saya pikir kita cuma sekadar tahu di kepala ya kita memang fana, tetapi kenapa kecenderungan kita justru mau melawannya atau menolaknya. Misalnya kita berjalan-jalan ke suatu tempat, lalu melihat pemandangan yang indah sekali, gunungnya bagus dsb. Lalu kita otomatis ingin mengabadikan; istilah fotografi mengabadikan, jadi kesannya ingin abadi terus dan kita bisa membawa pulang ke kota kita, bisa kita lihat terus, begitu Pak. Beda sekali dengan faktanya bahwa kita memang fana.
PG : Saya kira pada kenyataannya kita mempunyai dorongan untuk menembus dan melawan keterbatasan merupakan bukti bahwa kita adalah makhluk spiritual, makhluk rohani. Dan pada dasarnya atau padaawalnya, Tuhan menciptakan kita dengan tujuan kita hidup selamanya.
Namun kita tahu dosa masuk ke dalam dunia ini mencemari kita dan seluruh isi dunia ini, sehingga pada akhirnya hidup manusia tanpa lagi adanya keterputusan. Hidup manusia akhirnya harus melewati keterputusan yakni kematian itu. Itu sebabnya karena kita ini ciptakan Tuhan sesuai dengan gambar Allah dan Allah adalah sempurna dan kekal. Karena kita diciptakan sesuai dengan gambar Allah, jadi kita sekarang mengerti bahwa pada mulanya Tuhan menciptakan kita untuk hidup kekal bersama dengan Dia, namun karena adanya dosa maka kekekalan itu diputus oleh kematian. Nah, kedatangan Kristus untuk menaklukkan kematian atau menyingkirkan kematian itu, sehingga nanti kita memang tetap harus melewati kematian, tapi itu hanya untuk sementara waktu. Setelah kematian nanti kita akan bersama dengan Tuhan kembali.
GS : Bahwa orang hidup pasti meninggal itu banyak orang bisa menerima Pak Paul, tetapi tadi yang Pak Paul singgung bahwa setelah meninggal itu ada kehidupan lagi, itu tidak semua orang bisa memahaminya.
PG : Betul, karena ini bergantung sekali pada nilai-nilai rohani atau agama yang diyakininya, sehingga akhirnya ada orang-orang yang berkata: "Ya, saya setelah mati ya sudah stop di situ, tidakakan ke mana-mana, tidak akan ada lagi kehidupan."
Kalau ada lagi kehidupan bagaimana? "Ya, terserah tidak mau peduli." Nah ada orang yang juga seperti itu. Namun saya kira dengan adanya pengetahuan kalau kita itu ingin menembus keterbatasan dan ingin hidup kekal, saya kira itu membuktikan bahwa memang kita diciptakan pada awalnya untuk hidup kekal. Maka kita harus mempunyai perspektif hidup yang meliputi kekekalan, bukan justru kita menyingkirkan aspek kekekalan.
GS : Lalu apakah ada hal yang lain yang bisa kita persiapkan atau mempersiapkan diri, Pak Paul?
PG : Ada pelbagai cara yang Tuhan gunakan untuk menghentikan hidup, dan kita tidak bisa memilihnya. Sama seperti kita tidak bisa memilih melalui siapakah kita datang ke dunia ini. Jadi kita tidk bisa memilih dengan cara apa kita datang (maksud saya melalui siapa) dan kita tidak bisa memilih dengan cara apakah kita akan keluar dari dunia ini.
Saya pernah mendengar kesaksian dari seorang pemuda yang terlibat narkoba (ini di negara lain). Dalam kehancuran hidupnya yang terlibat narkoba, dia menjatuhkan diri dari sebuah apartemen (dari lantai berapa saya lupa) tapi tinggi sekali, menghantam mobil tapi dianya hidup, tidak mati hanya duduk di kursi roda. Dengan kata lain, secara manusia kita sudah menganggap orang itu pasti mati lompat dari tingkat berapa di apartemen. Namun Tuhan tidak berkehendak dia mati, maka dia tetap hidup. Maka saya simpulkan kita tidak bisa memilih dengan cara apakah kita meninggalkan dunia ini. Jadi sebetulnya Pak Gunawan, tidak ada cara baik atau cara buruk, tidak ada kebetulan atau kesengajaan, semua hanyalah sarana untuk memindahkan kita dari dunia ini. Saya mau menekankan hal ini, bukannya berarti tidak ada cara yang buruk untuk mati, misalkan membunuh diri (sudah tentu ini cara yang tidak baik). Maksud saya adalah misalkan seseorang meninggal dunia karena penyakit, yaitu penyakit yang tidak merusakkan tubuhnya, hanya jantung yang tiba-tiba mendadak kemudian meninggal dunia. Justru ada orang yang meninggal dunia karena penyakit tetapi sebelum meninggal tubuhnya itu benar-benar dilumat oleh penyakit sehingga tubuhnya rusak sama sekali. Kita tidak bisa berkata: "O...yang penyakit jantung itu matinya kok bagus, yang kena penyakit yang satu itu matinya kasihan, matinya buruk." Tidak, jadi sebetulnya dalam pengertian ini tidak ada cara baik atau cara buruk, tidak ada kebetulan atau kesengajaan. Semua hanyalah sarana yang Tuhan pakai untuk memindahkan kita dari dunia ini. Nah, firman Tuhan menjelaskan seorang lain, yaitu salah seorang murid-Nya, berkata kepada-Nya: "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." Tetapi Yesus berkata kepadanya: "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka." Di ambil di
Matius 8:21-22. Apa yang bisa kita simpulkan dari perkataan Tuhan Yesus ini? Tuhan memang tidak mempersoalkan kematian itu, engkau hidup harus ikut Aku, yang sudah mati ya sudah mati. Jadi Tuhan memang tidak mempersoalkan, nah kalau tidak mempersoalkan sudah tentu caranya juga sebetulnya di mata Tuhan, Tuhan tidak mempersoalkan, jadi kita jangan mempersoalkannya. Kita terima bahwa caranya itu benar-benar hak eksklusif Tuhan dan tidak ada cara yang buruk atau cara yang baik, semua hanyalah sarana, di mata Tuhan semua sama sahnya.
WL : Pak Paul, ini berarti masuk ke wilayah kedaulatan Allah. Rasanya kalau bicara tentang "sovereignty of God" itu mudah-mudah sulit dicerna. Maksud saya mudah bagi orang-orang yang memang dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang cukup bahagia, cukup baik-baik. Tapi sulit bagi orang yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang amburadul setengah mati, sulit atau yang miskin sekali. Nah, di tengah-tengah kesusahannya, pada umumnya orang-orang seperti ini mempertanyakan kedaulatan Tuhan, demikian juga masalah meninggal.
PG : Saya kira yang Ibu Wulan katakan itu sangat benar, waktu kita mengalaminya sudah tentu sangatlah sulit. Untuk melewati masa-masa setelah ditinggal mati oleh seseorang yang kita anggap kemaiannya itu mengenaskan atau tidak enak.
Misalkan, waktu kita mendengar teman kita mati tenggelam, waduh kita terganggu sekali, bagaimana ya. Menjelang kematiannya apa yang dia pikirkan, itu akan sangat mengganggu sekali dan sudah tentu itu akan kita alami. Yang ingin saya angkat dan tekankan adalah pada akhirnya kita harus menerima, bahwa caranya itu memang hak eksklusif Tuhan dan semua cara di mata Tuhan itu cara yang sama-sama sah. Tidak ada cara yang lebih kudus, cara yang kurang kudus; kalau memang itu yang harus terjadi, itu sama kudusnya, sama baiknya dengan orang yang meninggal di tempat tidur. Saya ini ingin mengusir atau menepis mitos, kalau orang meninggal di tempat tidur dan sebelum meninggal pendetanya berkhotbah, berdoa, pas mengatakan 'amin' dia mengambil nafas panjang dan langsung mengakhiri hidupnya dan menutup usianya. Wah kita katakan dia benar-benar mati dengan indah sekali, nah ini yang ingin saya tepis. Yohanes Pembabtis mati dengan mengenaskan, kehilangan kepalanya, dipenggal oleh Herodes. Tuhan Yesus mati dengan mengenaskan, Dia dipaku di kayu salib. Nah apakah kematian Yesus dan Yohanes kematian yang buruk dan kematian orang tua yang lain di tempat tidur setelah mendengar khotbah dan berdoa langsung menarik nafas dan pergi, apakah itu kematian yang indah? Tidak. Semua kematian orang-orang kudus adalah baik, indah di mata Tuhan, tidak ada yang lebih mulia dan tidak ada yang lebih tercemar.
GS : Ayat yang tadi Pak Paul kutib dari Matius 8, itu sering kali menimbulkan kesan seolah-olah Tuhan Yesus itu mengajarkan bahwa kita sebagai anak tidak perlu perhatian lagi dengan orang tua kita yang meninggal, yang penting ikut Aku, yang mati biar mati.
PG : Memang kalau kita hanya melihat secara sepenggal, mudah sekali kita menyimpulkannya seperti itu. Tapi kalau kita melihatnya secara keseluruhan tentang Tuhan dan sikap-Nya terhadap orang tu, kita akan melihat bahwa tidak, Tuhan tidak seperti itu.
Contoh, waktu Tuhan disalib, di atas kayu salib Tuhan berkata kepada Yohanes, "Inilah ibumu." Dengan kata lain, Tuhan meminta Yohanes untuk memelihara ibunya di dunia ini, yakni Maria. Apa yang bisa kita simpulkan, Tuhan meminta seseorang yang lain untuk memelihara dan mengawasi ibunya, jadi Tuhan peduli dengan keluarganya, tetap sayang. Misalkan di Perjanjian Lama, waktu Tuhan memanggil umat Israel untuk pergi berperang. Tuhan memberikan kesempatan kepada yang baru menikah untuk tidak pergi berperang, silakan diam di rumah, "engkau baru menikah uruslah keluargamu dulu, jangan engkau memaksakan diri untuk pergi berperang." Jadi Tuhan di sini memikirkan, peduli dengan keluarga, maka ayat ini tidak bisa kita tafsir hanya sepenggal. Sebab secara keseluruhan kita melihat Tuhan adalah Tuhan yang memikirkan keluarga, maka ada perintah juga hormatilah ayah dan ibumu atau orang tuamu.
GS : Apakah ada hal lain yang bisa kita lakukan untuk menghadapi kefanaan hidup ini, Pak Paul?
PG : Sebagaimana yang dikatakan oleh Pdt. Rick Warren, kematian bukanlah terminasi melainkan transisi, peralihan. Jadi hal terpenting menghadapi kematian adalah kepastian kemanakah kita pergi, ita melangkah ke mana itu yang penting.
Kadang kita mengagungkan atau sebaliknya menghindar dari kematian. Wah orang ini mati sahid, orang ini mati mulia dan sebagainya atau kita lari dari kematian. Tuhan sendiri tidak membesar-besarkan kematian, kematian hanyalah sebuah transisi. Maka di
Roma 8:11 Tuhan berkata, "Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu." Jadi kita jelas tahu, setelah kematian kita akan mengalami kebangkitan dan kita akan hidup bersama Tuhan. Jadi kita tahu tujuan kita, ini adalah peralihan, kematian hanyalah menghantar kita masuk ke sebuah tempat di mana kita akan hidup bersama dengan Allah.
GS : Bagaimana seseorang bisa memperoleh kepastian bahwa setelah meninggal dia akan hidup bersama dengan Allah?
PG : Nah, kita di sini harus kembali pada janji Tuhan di Yohanes 3:16, firman Tuhan berkata: "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Na yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal."
Kematian dan kehidupan berhubungan erat Pak Gunawan, apa yang kita lakukan sekarang atau yang tidak kita lakukan sekarang berdampak pada apa yang akan terjadi kelak. Maka Tuhan berkata kalau kita percaya kepada Kristus, kita tidak akan binasa. Berarti ini berkaitan dengan yang nanti, yaitu kita tidak akan binasa selamanya melainkan kita akan beroleh hidup yang kekal, hidup yang selamanya bersama dengan Allah. Nah, yang nanti itu ditentukan oleh yang sekarang. Yang sekarang ini apa? Tuhan berkata percayalah kepadaKu, percayalah kepada Kristus Yesus maka kita akan memperoleh yang nanti itu yakni hidup yang kekal. Dan ini menjadi kepastian buat kita, waktu kita meninggal kita tahu ke manakah kita akan pergi, sebab sekarang kita mengerti kematian itu hanyalah transisi saja, peralihan memasuki sebuah tempat yang berbeda.
WL : Bagaimana dengan orang-orang yang memang sudah di dalam Tuhan, yang sudah memperoleh keselamatan, kaitannya dengan penjelasan Pak Paul tentang apa yang kita lakukan sekarang akan berdampak terhadap apa yang terjadi kelak. Berarti nanti, saya punya angan-angan, di sorga nanti bagaimana apakah ada perbedaan kelas-kelas karena perbuatan kita atau pelayanan kita yang berbeda. Atau saya pikir-pikir, tidak mungkinlah kita setara dengan rasul Paulus, rasul Petrus dan sebagainya. Bagaimana Pak Paul?
PG : Saya kira ini alamiah, yaitu kita semua ini anak Allah, kita telah mengaku percaya kepada Kristus, tapi kita harus menyadari dan menerima fakta bahwa tidak semua anak itu sama dekatnya denan orang tua.
Tidak semua anak itu sama-sama mematuhi orang tua dengan sepenuh hati, ada anak yang mematuhinya kadang-kadang, ada anak yang mematuhinya sering, ada anak yang konsisten mengutamakan orang tuanya, menyenangkan orang tuanya, ada anak-anak yang setengah-setengah menyenangkan orang tuanya, menyenangkan dirinya juga dan sebagainya. Jadi saya kira di sorga pun nanti ada banyak tipe anak-anak Tuhan. Ada anak yang memang sangat patuh, ada anak yang kurang patuh dan sebagainya, tapi semua anak-anak Tuhan. Otomatis nanti saya kira di dalam rumah Tuhan itu, kedekatan dengan Allah juga tidak akan sama karena di dunia pun semua anak Tuhan tidak mempunyai kedekatan yang sama dengan Allah Bapa, jadi di sorga pun saya percaya nanti ada perbedaan itu. Maka di firman Tuhan dikatakan perbuatan kita itu nanti diuji, ada yang terbuat dari emas, ada yang terbuat dari perak, tapi yang paling buruk adalah yang terbuat dari jerami karena akan terbakar habis. Namun dikatakan oleh Paulus, kita tetap akan lulus, kita tetap akan diterima Tuhan, namun kita itu tipe jerami. Tapi ada atau tidak yang tipe emas? Ada, sebab saya kira keadilan Tuhan tetap ditegakkan di sorga. Masa seseorang yang hidup sepenuhnya untuk Tuhan, benar-benar berkorban sepenuhnya untuk Tuhan disamakan dengan orang yang pokoknya ikut Tuhan, sembarangan, tetap percaya kepada Yesus tapi kedekatannya hanya seperti itu. Saya kira memang tidak akan disamakan oleh Tuhan.
GS : Sebelum mengakhiri perbincangan kita pada saat ini, mungkin Pak Paul ada sesuatu yang ingin Pak Paul sampaikan tentang bagaimana kita sebagai anak-anak Tuhan ini harus hidup. Supaya menjadi anak Tuhan yang baik.
PG : Saya kira intinya adalah kita ini hidup harus bisa menghargai hidup ini sepenuhnya, tapi pada akhirnya kita harus berani merangkul kematian, jangan sampai berat sebelah. Ada orang yang memeri penghargaan, memberikan penilaian yang tinggi pada kehidupan sehingga tidak mau menghadapi kematian.
Atau ada orang yang mau merangkul kematian karena sudah benar-benar tidak menghargai hidup ini, jangan, kita mesti seimbang. Berterima kasihlah kepada Tuhan yang memberikan hidup kepada kita, hargai hidup ini namun rangkullah kematian. Karena kematian juga nanti adalah wadah atau sarana yang Tuhan gunakan membawa kita masuk ke dalam rumah-Nya.
GS : Ya, terima kasih, saya percaya bahwa apa yang sudah kita perbincangkan akan banyak bermanfaat bagi para pendengar kita. Terima kasih Pak Paul dan juga Ibu Wulan terima kasih. Para pendengar sekalian kami juga mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kefanaan Hidup". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.