Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen dan kali ini bersama Ibu Wulan, S.Th. akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini tentang "Kecemasan", kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, akhir-akhir ini kita mendengar dan melihat sendiri banyak orang yang mengatakan dia merasa sangat cemas melihat situasi, melihat masa depan yang tidak pasti. Tapi dia sendiri kalau ditanya alasannya sebenarnya apa atau yang kamu cemaskan itu apa dia sangat sulit untuk mengungkapkan kecemasan. Dia hanya berkata saya itu khawatir, saya itu takut dan sebagainya, sebenarnya kecemasan itu apa Pak Paul?
PG : Ilmu Psikologi membagi atau membedakan kecemasan dan ketakutan. Ketakutan itu didefinisikan atau dibedakan dari kecemasan dalam hal objeknya. Ketakutan memiliki objek yang jelas sedangkn kecemasan mempunyai objek yang umum sehingga tidak bisa dilihat dengan jelas, ditunjuk apa sumbernya.
Misalkan kita berkata saya takut, takut apa? Takut gagal, gagal apa? Ya ulangan saya. Kenapa kamu takut? Karena kemarin saya tidak belajar sehingga hari ini saya ulangan, saya tidak bisa. Dengan kata lain itulah ketakutan, ketakutan mempunyai sumbernya, sangat jelas sekali. Atau kita terkena penyakit ganas, terminal seperti kanker, kita takut, takut apa? Takut mati. Nah itu takut karena memang mempunyai sumbernya yang jelas, tapi kebalikannya kita baru saja ujian, dan dalam ujian itu sebetulnya kita bisa, jawaban-jawabannya bisa kita pikirkan dengan baik. Namun setelah ujian kita cemas sekali, takut sekali, nah kita tanyakan apa yang kamu takuti? Ya tidak tahu, tadi bisa atau tidak? Bisa, jadi apa yang kamu takuti? Ya tidak tahu, cuma rasanya takut saja. Nah kita katakan itu cemas, sebab tidak ada lagi objeknya, tidak ada lagi sumber kenapa kita takut. Kita tidak sakit berat hanya pilek saja, tiba-tiba kita ketakutan nanti sakit berat, sakit ini, sakit itu. Ditanya kamu sakit apa? Tidak ada, dokter bilang apa? Sehat, tapi tetap takut. Nah itu kita katakan cemas, cemas artinya perasaan takut yang umum yang menyeluruh, tapi tidak mempunyai objek yang tertentu.
GS : Kitab Suci sering kali berbicara tentang kekhawatiran, misalnya saja yang mengatakan serahkanlah khawatirmu kepada Tuhan, nah kekhawatiran di sini sebenarnya ketakutan atau kecemasan?
PG : Kecemasan, jadi begini Pak Gunawan, kita itu boleh takut karena kita manusia. Kalau kita menghadapi peristiwa yang begitu menakutkan dan mengerikan, dan kita berkata saya tidak takut jutru saya kira kita ini tidak realistik, tidak manusiawi.
Orang yang masih manusiawi akan berkata takut mengalami peristiwa-peristiwa yang terlalu mengerikan. Misalkan kita berada di bawah gunung berapi yang sedang menyemburkan apinya dan memuntahkan lavanya, apakah kita tidak takut? Takut dan itu manusiawi. Kita terkena kanker yang ganas sekali, stadium 4, dan kita takut sekali, itu manusiawi jadi Tuhan menerima ketakutan kita. Namun Tuhan juga ingin mengingatkan kita bahwa Dia akan bersama kita jadi jangan sampai ketakutan itu mengalahkan kita, karena kita harus yakin bahwa Tuhan selalu bersama dengan kita. Tapi yang Tuhan selalu tekankan juga adalah kita jangan sampai cemas, sebab cemas tidak mempunyai objeknya atau sumbernya, jadi terus ketakutan. Hidup yang penuh kecemasan adalah hidup yang memang seolah-olah tidak ada Tuhan, seolah-olah tidak ada Tuhan yang bisa membantu, menolong kita sehingga semua hal dianggap oleh kita hal yang bisa membahayakan kita terus-menerus, kita tidak bisa lagi hidup optimal. Nah kalau itu kualitas hidup kita, Tuhan pun tidak akan suka.
GS : Tetapi kecemasan itu pasti ada penyebabnya walaupun itu tidak real, nah faktor-faktor apa yang menyebabkan seseoang itu bisa dikuasai oleh rasa cemas, Pak Paul?
PG : Biasanya ada dua Pak Gunawan, yang pertama adalah kita ini cemas kalau kita tidak mempunyai informasi yang lengkap, jadi kita hanya tahu sedikit tapi tidak tahu dengan cukup. Nah biasana kalau kita tidak mengetahui dengan cukup kita takut, misalkan dokter berkata kepada kita ada yang salah, ada yang tidak benar dengan tubuhmu ini, apa ya, tidak tahu, tapi ada yang tidak benar ini, wah itu bisa membuat kita tiga hari tiga malam tidam tidur memikirkan apa yang terjadi dengan tubuh saya ini.
Kenapa, sebab kita tidak memiliki informasi yang lengkap. Anak kita pergi dan kita katakan jangan lupa menghubungi kita, telepon, anak kita sudah remaja. Kemudian dia pergi ke gunung hiking, tapi sudah dua hari anak kita pergi dan tidak menelepon kita tidak bisa tahu dia berada di mana karena bilangnya hanya ke gunung apa, nah kita tidak mempunyai informasi yang lengkap. Suami kita berkata jam 8 saya pulang, jam 08.30 belum pulang tidak ada kabar darinya, kita tidak tahu lengkap apa yang terjadi dengan suami kita, kita cemas, jadi itu sumber pertama yaitu tidak memiliki informasi yang cukup. Yang kedua yang membuat kita cemas adalah kekurangpercayaan diri kita. Misalkan kita pernah gagal waktu kita mencoba untuk ujian misalkan ujian kedokteran kita gagal sekali, kedua kali kita juga mau mengambil ujian itu kita rasanya cemas, meskipun kita sudah belajar dengan baik tapi rasanya tidak enak, cemas, karena pengalaman yang lampau. Jadi kalau kita merasa kurang yakin dengan diri kita, dengan kemampuan kita, kita memang akan lebih mudah dilanda oleh kecemasan pula.
WL : Pak Paul, selain dari dua sumber tadi apakah ada pengaruh lain misalnya dari masa kanak-kanak. Saya teringat dua tokoh Psikologi yang terkenal Sigmund Freud dan Karen Horney, dalam teorinya mengatakan kalau anak-anak pernah mengalami entah diabaikan oleh orang tuanya atau keterpisahan, itu anak menjadi cemas. Itu ada pengaruhnya atau tidak Pak Paul?
PG : Betul sekali, itu memang faktor-faktor yang lebih bersifat internal, itu yang lebih spesifik sekali. Kalau dua tadi itu bersifat umum, dan ini memang secara spesifik yaitu ada orang-orag tertentu yang memang membawa modal kecemasan, karena apa, masa kecilnya dipenuhi dengan ketegangan.
Ketegangan karena berbagai sebab misalkan orang tua yang terlalu sering bertengkar, ribut keras-keras banting pintu dan sebagainya. Atau dia sering dicela, dimarahi, dikritik oleh orang tuanya tidak pernah ada yang baik tentang dirinya. Jadi dia tidak merasakan keamanan itu, hidup penuh dengan ketegangan, dia selalu was-was. Nah anak-anak yang dibesarkan dalam rumah tangga seperti ini, tatkala besar cenderung membawa modal kecemasan sehingga sedikit-sedikit dia sudah tegang sekali. Tidak bisa berpikir lagi, kacau sekali karena seolah-olah bahaya mengancam, bahaya yang besar sedang mau menerkamnya.
GS : Pak Paul tadi mengatakan bahwa minimnya informasi itu membuat seseorang bisa cemas, tetapi ada orang yang kalau diberitahu lebih banyak dia malah cemas, Pak Paul?
PG : Bisa, betul, jadi ada orang-orang tertentu yang memang membawa modal kecemasan bukan karena peristiwa spesifik yang tadi baru saja saya kemukakan tapi ada orang-orang tertentu yang memag daya tahan menampung stresnya lemah.
Nah ini memang lebih bersifat organik, organik artinya sesuatu yang lebih berkaitan dengan fungsi kerja otak kita, syaraf-syaraf di otak kita. Nah kita tahu otak kita itu ada syaraf-syaraf yang mengontrol misalkan agresifitas kita dan salah satunya mengontrol ketakutan-ketakutan, kecemasan-kecemasan, ketegangan-ketegangan. Nah ada orang-orang tertentu memang yang secara organik, secara biologis, kemampuannya, daya tahannya untuk menahan stres itu lemah sehingga waktu dia tahu justru dia ambruk. Karena apa, dia tidak bisa menahan stres itu sendiri jadi sebetulnya yang menjatuhkan dia itu bukannya informasi itu secara langsung, tapi informasi itu akhirnya menimbulkan ketegangan, ketegangan itu yang akhirnya membuat dia ambruk.
GS : Pasti ada akibat lain yang dialami oleh seseorang kalau dia cemas?
PG : Ada Pak Gunawan, sekurang-kurangnya ada 3 yang bisa kita bicarakan. Yang pertama adalah dampak kecemasan yaitu keresahan, ini tahap yang paling rendah, tahap terbawah. Apa itu keresahan keresahan itu kita dikuasai kecemasan, kita itu mengalami kesulitan untuk bisa berkonsentrasi, untuk bisa berpikir dengan jernih, kita mulai gugup.
Kenapa, kita resah, kita ini sedang bergolak, kita tidak bisa duduk dengan baik, dengan tenang memikirkan, tidak bisa. Kita jalan sini-sana, kita telepon sana-sini, kita mencoba bicara dengan siapa, keresahan ya. Nah keresahan itu menuntut adanya ketenangan, nah usaha kita untuk mencari ini-itu, bertanya pada ini-itu, bicara dengan ini-itu, itu sebetulnya upaya-upaya untuk mendatangkan ketenangan agar ketenangan ini akhirnya bisa mengurangi keresahan kita. Namun celakanya yang sering terjadi justru usaha-usaha kita itu tidak berhasil, malah bukannya tambah tenang tapi tambah resah.
GS : Yang lain lagi apa Pak Paul?
PG : Yang berikutnya lagi adalah kelumpuhan, kalau kita sudah resah-resah, mencari bantuan ke sana, ke sini, bicara dengan siapa, siapa kok tidak mendapatkan jawaban yang kita butuhkan, keteangan tidak kunjung datang, keresahan makin bertambah, nah level kedua kita mengalami kelumpuhan secara emosional, secara Psikologis.
Yaitu energi kita benar-benar terkuras habis, kenapa terkuras habis karena kita berusaha untuk menenangkan diri melawan kecemasan. Nah reaksi untuk melawan kecemasan itulah lama-lama akhirnya membuat kita sangat letih. Sangat letih sekali sehingga kita tidak lagi dapat berbuat apa-apa, pada titik itulah kita merasakan diri kita seperti lumpuh. Kita hanya bisa diam, tidak bisa apa-apa tapi dalam diri kita sebetulnya bergolak cemas tapi di luarnya kita hanya bisa diam, tidak bisa berbuat apa-apa benar-benar secara Psikologis kita ini lumpuh.
WL : Orang yang mengalami dampak seperti ini, tidak mudah Pak Paul kalau kita misalnya berbicara baik-baik. "Sudah kamu jangan khawatir, jangan gelisah ya ini belum tentu terjadi," itu ya tidak mudah menenangkan tetap saja gelisah.
PG : Betul dan bahkan menurut orang-orang yang sering dilanda kecemasan, nasihat seperti itu yang sering mengganggu mereka sebab mereka berkata sesungguhnya saya juga tidak ingin begini, say inginnya tenang tapi tidak bisa tenang, terus dilanda kecemasan.
Maka sebetulnya reaksi yang paling baik dari orang lain yang hidup dengan orang yang mudah cemas ini adalah mendengarkan, nah kalau kita bisa memunculkan bukti konkret kita munculkan. Kita berikan sesuatu, kita beri tanggal sehingga kita bisa menenangkan hati dia dengan konkret. Tapi biasanya memang mereka ini tidak bisa ditenangkan dengan pembicaraan atau dengan mencoba meyakinkan dia. Mungkin Pak Gunawan dan Ibu Wulan pernah megunjungi rumah sakit jiwa, melihat pasien yang duduk diam, tidak berbuat apa-apa, bengong tapi wajahnya tegang sekali. Nah ini contoh dari kelumpuhan emosional atau Psikologis. Sebenarnya di dalam dirinya dia menyimpan begitu banyak ketegangan, tapi dia tidak bisa lagi berbuat apa-apa, sehingga semua energinya difokuskan untuk menekan, menghilangkan, ketegangannya itu, ketakutannya, kecemasannya nah akhirnya wajahnya menjadi sangat kaku tapi tubuhnya pun juga ikut-ikutan diam, tidak berbuat apa-apa, benar-benar lumpuh secara psikologis.
GS : Ada orang itu yang karena kecemasan itu sampai nekat mau bunuh diri itu bagaimana Pak?
PG : Biasanya kalau orang sampai mau bunuh diri itu adalah akibat dari gangguan yang lain Pak Gunawan bukan gangguan kecemasan tapi gangguan depresi. Gangguan depresi yang terlalu berat membat orang akhirnya memasuki tahap berikutnya yaitu putus asa.
Jadi dalam perjalanannya kita mulainya dari cemas kemudian resah akhirnya kecemasan kita membuat kita lumpuh. Nah kita berusaha berbuat sesuatu, berbuat sesuatu tapi terus gagal, tidak bisa dan tidak bisa akhirnya kita memasuki depresi berat. Sebab semua usaha kita tidak membuahkan hasil, kita tetap ditimpa, dirundung, ditekan oleh ketegangan kita, oleh stres ini, kita mengalami depresi. Depresi adalah suatu kondisi terhimpit tertekan yang sangat berat, akhirnya kita putus asa dan berpikir untuk mengakhiri hidup.
GS : Ada orang yang bisa menguasai kecemasannya itu terhadap orang lain jadi tidak terlalu nampak kalau dia cemas, tapi ada pula orang yang langsung kelihatan Pak Paul misalnya berkeringat atau berbicaranya menjadi gagap, apakah bisa begitu Pak Paul?
PG : Bisa Pak Gunawan, memang masing-masing bisa lain-lain. Ada orang yang memang sangat transparan sekali, dalam dan luarnya sama, begitu dalamnya resah langsung tampah di luar. Ada orang yng lebih bisa menguasai dirinya tapi memang ukurannya bukan tampak yang di luar tapi yang bergejolak di dalamnya.
WL : Pak Paul, kalau dari tiga yang Pak Paul jelaskan itu dampak negatif kalau saya mengerti. Ada atau tidak kemungkinan cemas ini ada pengertian positifnya juga. Saya pernah membaca buku dari Freud itu bahwa cemas itu adalah sama dengan sirene akan datangnya bahaya, berarti itu membuat kita waspada dan sebagainya, Pak Paul?
PG : Saya kira dalam moment-moment tertentu kecemasan itu memang sehat, untuk ukuran atau takaran tertentu kecemasan itu diperlukan. Misalkan anak kita berkata dia pulang jam 09:00 malam sudh jam 10:00 belum pulang, nah seyogyanyalah kita cemas.
Kenapa, karena kita memikirkan apakah ada bahaya, apakah ada sesuatu yang terjadi sehingga kita itu akhirnya cemas. Jadi cemas itu bisa merupakan sirene untuk kita melindungi diri, mempersiapkan diri untuk kemungkinan yang buruk itu. Jadi dalam pengertian ini kecemasan memang bersifat positif.
GS : Ada orang yang cemas kemudian tidak bisa bekerja Pak Paul, jadi kalau dia sudah cemas dan itu sering kali terjadi. Orang ini merasa cemas sehingga otomatis prestasinya sangat rendah, tidak produktif dan sebagainya.
PG : Ini bisa jadi berpulang pada pertumbuhannya di rumah waktu dia masih berada pada tahap-tahap yang lebih muda atau lebih kecil. Kemungkinan dibesarkan dalam keluarga yang memang banyak ktegangan, sehingga ketegangan yang dialaminya pada masa-masa dulu itu membuat dia lumpuh secara psikologis.
Waktu orang tuanya bertengkar misalnya dia harus diam di kamar, dia mengurung diri, waktu mamanya atau papanya marah, dia tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menutupi dirinya dengan selimut di dalam kamar. Nah akhirnya pola-pola seperti itu dibawa sampai usia dewasa meskipun misalkan dia sudah dewasa dia tidak lagi mengurung diri atau menyelimuti tubuhnya dengan selimut tapi secara fisik dia langsung lemas, dia langsung diam tidak bisa berbuat apa-apa.
GS : Sering kali dia menyendiri di sudut atau ke ruangan tertutup lainnya, kemudian dia bilang tidak mau diganggu untuk waktu 1 atau 2 jam.
PG : Betul, nah kemungkinan besar itu memang sisa-sisa pengalaman masa kecilnya. Sebab itulah yang menjadi reaksi dia dulu dan sekarang setelah dewasa reaksi masa kecil tetap dipelihara dan ibawanya.
Meskipun dia sendiri sebetulnya berharap dia tidak lagi dikuasai oleh kecemasan seperti itu, namun daya tahannya sudah rontok. Karena anak-anak akan justru bisa mengembangkan ketahanannya yang kuat itu di dalam rumah tangga yang tenteram. Memang ada orang yang berkata bukankah anak-anak kalau terlalu sering mendengar orang tuanya bertengkar dia akan menjadi anak yang kuat sekali. Sebetulnya tidak, kalau kita melihat ada anak yang keluar dari rumah yang banyak konflik terus menjadi anak yang berandalan suka berkelahi dan sebagainya, itu tidak menandakan dalam jiwanya dia tenang justru kebalikannya. Jiwanya sangat rapuh, karena rapuh itulah dia harus melindungi kerapuhannya dengan kekerasan-kekerasan itu, dengan mengancam orang, dengan melukai orang, sebab dengan dia menundukkan orang dia tenang, dia mendapatkan kedamaian itu. Waktu dia merasa tidak bisa menundukkan orang dan dia di bawah itu justru menghidupkan ketegangan dan ketakutannya. Maka sebetulnya perilaku berandalannya itu sedikit banyak merupakan tameng untuk melindungi diri dari kecemasannya.
WL : Pak Paul, bisa atau tidak kalau ada orang yang mengalami moment seperti ini terutama sampai lumpuh secara psikologis tidak bisa bekerja dan sebagainya, kita anjurkan atau kita pasangkan lagu-lagu klasik, lagu-lagu tenang, itu ada pengaruhnya atau tidak bagi jiwanya supaya kecemasannya itu lebih reda?
PG : Ada, jadi suasana luar itu akan mempengaruhi suasana hati, itu sudah tentu. Jadi misalkan lagu, selain dari lagu adalah orang. Ada orang-orang yang memang bagi dia itu mencerminkan kedaaian sehingga waktu dia bersama dengan orang-orang ini meskipun situasinya belum berubah dia merasa lebih damai, jadi bisa lagu dan bisa juga orang.
Makanya kita sebagai penolong bagi sesama kita, ini penting untuk bisa hadir dalam kehidupan orang yang sedang mengalami kecemasan seperti ini.
GS : Tapi mungkin yang lebih baik adalah bagaimana orang ini dibekali dengan kemampuan untuk bisa mengantisipasi dia mengalami kecemasan. Apakah mungkin kecemasan itu bisa diantisipasi?
PG : Bisa Pak Gunawan, ada dua saran yang bisa saya berikan untuk mengantisipasi dan melindungi diri dalam kecemasan ini. Yang pertama adalah lawan dari kecemasan adalah tahu, semakin tahu sbetulnya kita semakin bisa mengurangi kecemasan.
Misalkan kita menderita penyakit yang memang berat, tapi kita tidak terlalu tahu banyak tentang penyakit ini dan kita cemas sekali. Saran saya adalah carilah informasi lebih banyak, bacalah buku-buku kedokteran, masuk ke internet apakah ada penyakit ini, cari komentar orang-orang yang mempunyai penyakit ini. Makin banyak masukan-masukan seperti itu meskipun bisa menakutkan kita tapi sebetulnya kita lebih jelas, kita lebih bisa menghadapinya. Karena kejelasan menolong kita menyusun strategi, mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Jadi informasi yang kita ketahui itu bisa menolong kita melawan kecemasan. Dan yang kedua adalah selalu sadari keterbatasan kita, keterbatasan dalam pengertian memang kita ini tidak selalu tahu, tidak selalu bisa menguasai keadaan, tidak selalu bisa mengubah sesuatu, tidak selalu bisa menangkal datangnya musibah, akui keterbatasan kita ada yang bisa kita lakukan dan ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan. Nah dalam pengakuan inilah kita datang kepada Tuhan sebab di sinilah iman barulah bekerja. "Tuhan, saya terbatas, saya bisa berhenti di sini, tidak bisa maju lagi, Tuhanlah yang maju setelah ini."
WL : Pak Paul, saya mau bertanya tentang penjelasan Pak Paul yang pertama yaitu mencari informasi selengkap-lengkapnya. Misalnya ada kasus seorang istri cemas dengan suaminya yang sering pulang malam, rapat dan sebagainya intinya dia mencurigai ada seseorang atau wanita yang lain. Tapi tetap suaminya tidak mau mengakui, nah kita sebagai orang luar sebenarnya mengetahui beberapa kali pernah ketemu suaminya pernah pergi dengan orang lain, dengan wanita. Apakah pengertian supaya dia tidak cemas (berkaitan dengan penjelasan tadi) ya diberikan informasi selengkap-lengkapnya sehingga meredakan kecemasan dia atau justru tambah membuat dia semakin panik, Pak Paul?
PG : Saya kira dalam kasus seperti itu kalau dia tahu, kecemasannya berkurang yang bertambah adalah kemarahannya. Kecemasannya berkurang karena dia tahu suaminya berselingkuh dengan orang lan, tapi dia akan marah.
Ini menjadi awal perubahan dalam rumah tangga ini, nah mudah-mudahan suaminya bersedia untuk bertobat meninggalkan pasangan selingkuhnya. Atau mungkin saja rumah tangganya pun ada masalah dan masalah itu perlu dilihat oleh mereka berdua. Jadi memang kecemasan langsung berkurang yang muncul memang kemarahan.
GS : Pak Paul, Rasul Petrus itu pernah mengatakan di dalam suratnya di 1 Petrus 5:7 bahwa: "Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kamu." Itu maksudnya apa Pak Paul?
PG : Yang pertama adalah kita secara rasional menyerahkan masalah ini kepada Tuhan, kita berkata kepada Tuhan: "Tuhan, saya mengakui keterbatasan diri kita, saya tidak bisa lagi Tuhan, ini yng bisa saya lakukan tapi selebihnya tidak bisa lagi."
Jadi kita datang mengakui keterbatasan kita dan kita secara harafiah benar-benar menyerahkannya kepada Tuhan: "Tuhan, kalau begitu saya tidak lagi bisa, Tuhan tolong saya hanya bisa sampai di sini." Nah kadang-kadang ini yang susah kita lakukan Pak Gunawan, ada orang-orang tertentu yang seolah-olah itu terus berkelahi, tidak mau menyerah, harus bisa ini dan harus bisa ini, ya sebanyak-banyaknya kita perbuat, itu betul. Tapi kalau sudah mencapai ujungnya kita harus berkata: "Sudah sampai ujungnya, Tuhan." Misalkan tentang kehidupan manusia, kita tahu ini rancangan Tuhan jadi sampai pada satu titik kita harus berkata: "Tuhan, tidak bisa lagi, ini memang dalam wewenang Tuhan."
GS : Tapi ada juga orang yang menggampangkan Pak Paul, terserah Tuhan apapun, tapi dia sendiri tidak bertindak banyak.
PG : Nah, itu juga memang keliru, maka tadi saya tekankan berbuatlah, sebisanya kita mencari tahu, kita menolong diri kita silakan, namun sampai titik tertentu kita harus akui kita terbatas ita tidak bisa lagi, maka kita serahkan kepada Tuhan.
Nah langkah berikutnya adalah ini maksudnya serahkan kekhawatiranmu kepada Tuhan, yaitu kita berkata secara harafiah saya tidak lagi mau memikirkan masalah itu, dia harus benar-benar berkata: "Tuhan, sekarang Tuhan yang pikul, saya tidak lagi bisa memikulnya, sebab saya pikirkan seperti apapun saya tidak lagi dapat menemukan jalan keluarnya." Nah kalau begitu buat apa dipikirkan lagi memang tidak bisa berbuat apa-apa, kalau memang sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa, benar-benar secara rendah hati kita berkata: "Tuhan, Engkau sekarang yang pikul."
WL : Pak Paul, di Matius 6, Tuhan Yesus juga pernah berbicara tentang kekhawatiran yaitu "Jangan engkau khawatir tentang hari esok, karena setiap hari ada kesusahannya sendiri." Kekhawatiran memang berkaitan dengan hari esok bukan yang lalu-lalu yang sudah terjadi. Justru yang belum terjadi itu yang kita khawatirkan, dan Tuhan Yesus juga katakan memang setiap hari memang ada kesusahannya bukan semua lancar. Berarti yang ditegaskan adalah tidak usah mengkhawatirkan yang di depan itu sehari-sehari dilewati.
PG : Betul, kata Tuhan kekhawatiran itu tidak menambahkan sehasta, artinya kekhawatiran itu tidak mengubah apa-apa. Yang mengubah apa-apa sebetulnya ada dua, pertama Tuhan yang kedua usaha mnusia juga.
Kita berbuat sesuatu, makanya di dalam cara Tuhan bekerja, Tuhan sering kali melibatkan manusia. Manusia juga berusaha, berbuatlah sebanyak-banyaknya namun kita juga tahu terakhir selalu kita harus katakan: "Tuhan, kehendakMulah yang jadi."
GS : Dalam situasi yang sulit seperti saat ini memang kita mesti belajar banyak untuk bagaimana hidup berserah kepada Tuhan Pak Paul. (PG : Betul). Terima kasih banyak Pak Paul dan Ibu Wulan untuk perbincangan kali ini. Para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kecemasan." Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 58 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@indo.net.id. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.