Hidup Bersama Penderita Trauma

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T182B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Pengaruh dari orang yang menderita trauma terhadap anggota keluarga adalah ekspresi mereka yang umum atau kalau mereka tak biasa mengekspresikan kemarahan, mereka akan telan kemarahan itu. Nah ada sebagian orang yang menelan kemarahannya, akhirnya kalau tidak menjaga diri baik-baik mudah sekali masuk ke lembah depresi.

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Penderita trauma tidak menampakkan gejala itu dalam relasi yang biasa. Gejala-gejala masa lampau munculnya seringkali dalam relasi yang akrab, yang intim yaitu relasi suami istri atau relasi keluarga. Mereka mudah sekali tegang namun di pihak lain, takut sekali tegang. Karena mudah tegang maka emosi mereka mudah meluap. Bisa dimunculkan dalam bentuk kemarahan, inilah ekspresi mereka yang umum atau kalau kemarahannya tidak diekspresikan, akan ditelan. Sebagian orang yang menelan kemarahan jika tidak menjaga diri baik-baik, mudah sekali masuk ke lembah depresi. Kemarahan yang dikeluarkan terlindungi dari gangguan depresi.

Karena takut tegang maka selalu menghindar dari situasi yang mengancam, akibatnya mereka cenderung menebarkan ketakutan itu pada anggota keluarga lainnya. Segala yang diluar kendalinya, menegangkan. Pada waktu ia berhasil menguasai semua emosi itu, dia tidak usah meluapkan emosinya kepada anak-anak. Pola orang tua mendisiplin anak, akhirnya diadopsi, karena itulah yang dialami tiap hari, tiap bulan dari tahun ke tahun.

Pengalaman trauma merupakan sesuatu yang tidak enak dan cerita-cerita yang diulang-ulang itu adalah obatnya, dia sedang mencoba untuk menyembuhkan dirinya. Dalam pengalaman menempuh perjalanan yang sangat panjang, untuk menempuh perjalanan itu dia membutuhkan telinga untuk mendengarkannya. Pengalaman buruk itu seringkali menjadi rahasia mereka dan tidak bisa dibicarakan atau diceritakan. Gejolak yang begitu besar dan harus dikekang, disimpan tidak boleh dibocorkan akhirnya pada waktu menikah dan mendapat pasangan hidup yang sabar dan mau mendengarkannya, maka ia akan mulai cerita yang seolah-olah sulit untuk dihentikan. Ini merupakan salah satu sarana untuk pulih dari gangguan trauma itu. Pada waktu diceritakan maka ketegangannya akan berkurang. Yang penting, perasaannya keluar. Perasaan yang berkecamuk dalam jiwanya yang dicoba digali keluar.

Kehadiran penderita trauma jika tidak bisa menguasai emosinya akan menghasilkan korban baru. Kemungkinan mereka juga dibesarkan oleh orang tua yang dibesarkan seperti itu juga oleh kakek dan nenek mereka. Bagaimana cara memutuskan hal itu ? Orang tersebut harus mengakui "saya mempunyai masalah" karena ada kecenderungan mereka sulit melihat akan masalahnya. Diperlukan kerendahan hati untuk mengakui "saya mempunyai masalah". Yang keluar adalah endapan kebencian di masa lampau. Hal ini yang sulit karena banyak di antara mereka tidak mau memikul tanggungjawab ini, seolah-olah menginginkan dunia di sekelilingnya yang berubah.

Suami yang menyadari bahwa istrinya adalah penderita trauma, maka sebaiknya anak tatkala beranjak remaja atau dewasa diberitahukan tentang hal itu. Pada saat istri atau ibunya sedang emosi, tidak usah ditanggapi.

Matius 18:21-22, "Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus :’Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ Yesus berkata kepadanya :’Bukan ! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."

Ada beberapa langkah untuk mengampuni:
  1. Kita harus melihat jelas apa yang telah terjadi, jangan menutupi atau membebaskan orang dari peristiwa-peristiwa tertentu.
  2. Merasakan dengan tepat, akui perasaan yang dahulu itu apa saja.
  3. Bereaksilah dengan tepat, sadari kita marah kepada siapa.
  4. Ampunilah dengan tepat dan jadikan ini proyek doa kita.