Kata kunci: Ketahui apa yang penting dalam hidup ini, hidup terbuka apa adanya, berhati-hati dengan tuntutan dan pengharapan bukan hanya kepada anak tapi juga kepada pasangan, harus realistik, tempatkan masalah di porsi yang tepat, kesalehan dan kerukunan berdiri atas pandangan dan respons yang tepat terhadap masalah, mulai dengan diri sendiri.
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Hadiah Terbaik Untuk Anak" bagian yang kedua. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, di kesempatan yang lalu kita telah berbicara tentang bagaimana orang tua bisa memberikan hadiah yang terbaik untuk anak dan itu bukan sesuatu yang material yang kita bisa berikan, tapi dengan menunjukkan kesalehan dan kerukunan di antara kedua orang tua. Kita tentu bertanya-tanya bagaimana kita bisa mengembangkan kedua hal ini dalam keluarga kita?
PG: Memang ini tidak mudah ya, Pak Necholas, kita mesti realistik memahami bahwa untuk dapat menjaga kesalehan dan kerukunan dalam pernikahan ini memerlukan kerja keras, tapi tetap ada yang dapat kita lakukan. Saya akan mencoba mengangkat beberapa saran, mudah-mudahan dapat diterima. Yang pertama adalah kita harus tahu dengan jelas apakah yang penting dalam hidup ini, banyak ketidakrukunan bersumber dari ketidaksamaan nilai kehidupan. Apa yang penting bagi kita ternyata tidak penting bagi pasangan, sudah tentu didalam hidup ada 1001 hal yang kita anggap penting, jadi menyelaraskan semuanya tentu tidak mudah, namun pada akhirnya kita mesti mengerti apa yang penting di mata Tuhan dan menjadikannya tolok ukur bersama. Jadi mungkin untuk kita penting, tapi bila di mata Tuhan tidak penting, maka kita mesti bersedia menjadikannya tidak penting. Nah, itu sebab penting kita mengerti isi hati Tuhan apabila kita berdua dapat memahami isi hati Tuhan dan bersedia menjadikan kehendak-Nya sebagai otoritas tertinggi maka kita akan lebih dapat mencocokkan perbedaan nilai kehidupan kita dan nilai-nilai inilah yang nantinya akan kita teruskan kepada anak baik secara terencana ataupun tidak. Ingat bahwa anak belajar paling banyak bukan dari perkataan melainkan dari perbuatan kita, orang tuanya. Jadi jangan sampai kita mengatakan satu hal namun melakukan yang lain sebab yang akan diserap anak bukanlah perkataan melainkan perbuatan kita.
ND: Boleh Pak Paul berikan contoh apa yang seharusnya dianggap penting bagi kita, yang juga sesuai dengan kehendak Tuhan, yang Tuhan juga anggap penting.
PG: Sebagai contoh bila kita mementingkan materi maka anak pun akan menyerap nilai hidup ini dan menekankan materi dalam hidupnya. Atau jika kita menekankan kenikmatan maka anak akan menyerap nilai hidup ini dan mengejar kenikmatan. Sebaliknya bila kita mementingkan kasih kepada Tuhan dan sesama, maka anak akan menyerapnya pula. Apabila kita menekankan pentingnya hidup dalam kasih dan ketaatan kepada Tuhan, bukan saja anak akan menyerap pentingnya kasih dan ketaatan, kehidupan kita pun akan lebih rukun dan damai. Saya sering melihat hal ini, Pak Necholas, anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga Kristen dan mereka mendapatkan petuah-petuah tentang hidup kristiani oleh orang tuanya ataupun juga mungkin dari gereja dan sekolah, namun setelah mereka besar, mereka misalkan sangat mengejar materi, mengejar kenikmatan meskipun mereka juga menjadi anak-anak yang fasih dalam hal pengetahuan Alkitab, bisa memberikan nasihat, mengerti banyak, namun saya bisa membaca bahwa terpenting dalam hidup mereka adalah kenikmatan atau kepuasan materi. Nah, lama-lama akhirnya barulah saya lihat mengapa, melalui kesempatan-kesempatan yang dibukakan saya mengerti. Ternyata sebetulnya orang tuanyalah yang telah mengajarkan anak-anak tentang pentingnya dan baiknya kepuasan materi dan kenikmatan meskipun selalu dibungkus, selalu ditambahkan dengan hal-hal yang bersifat rohani, namun nilai asli itu ternyata sudah ditangkap oleh anak, maka setelah mereka besar itulah yang mereka tekankan dan utamakan dalam hidup mereka. Kalau kita sebagai orang tua terkejut, mungkin kita harus melihat ke dalam dan bertanya sesungguhnya apakah yang penting untuk kita dan apakah yang telah kita ajarkan kepada anak, meskipun mungkin sekali dan tidak terlalu langsung atau kentara (nyata), jadi mesti kita sadari apakah yang penting untuk Tuhan dan itu yang kita utamakan dalam hidup kita.
ND: Kalau mendengar tadi Pak Paul katakan bahwa pandangan orang tua tentang materi dan kenikmatan hidup dibungkus dalam hal yang rohani, saya terbayang mungkin waktu kecil, anaknya disuruh ke gereja tapi diberitahu oleh orangtuanya, "Kamu harus ke gereja, nanti kamu dihukum oleh Tuhan" atau "Nanti kamu tidak berhasil dalam sekolahmu", mungkin seperti itu, Pak Paul?
PG: Jadi memang tidak selalu jelas tampak, Pak Necholas, saya berikan contoh yang lain. Kadang tanpa kita sadari, kita sudah menunjukkan apa yang penting bagi kita lewat cara bagaimana kita membicarakannya. Misalnya, kita sangat mementingkan pendidikan tinggi, sudah tentu tidak apa mementingkan pendidikan, tapi yang saya ingin tekankan adalah jangan jadikan ini sebagai hal yang terpenting di atas hal-hal yang bersifat rohaniah. Tiap kali kita bicara dengan anak tentang pendidikan, kita bersemangat sekali, atau sewaktu kita berbicara tentang orang lain, anaknya yang dapat masuk ke sekolah yang tinggi, yang lulus dari Perguruan Tinggi yang ternama dan sebagainya, kita membicarakannya dengan penuh kekaguman, tapi kalau kita membicarakan tentang kerohanian biasa-biasa saja, kita tidak pernah menunjukkan kita benar-benar senang, menunjukkan ini hal yang baik waktu kita membicarakan hal-hal yang rohaniah. Tidak, biasa saja. Nah, apa yang ditangkap oleh anak? Bahwa ini yang penting untuk kita, yaitu pendidikan yang tinggi, diakui apa yang bisa kita lakukan, dipandang, dihormati oleh orang. Ini yang ternyata penting dan anak menangkapnya. Kita tidak pernah mengajarkan kepada anak bahwa, "Anakku, ini yang paling penting, dihormati orang, menjadi orang yang pintar, sekolah di sekolah yang baik". Kita tidak pernah berkata demikian tapi waktu kita bicara, anak menangkap, ini yang penting untuk ayah dan untuk ibu. Ternyata yang rohani tidak terlalu, boleh ada boleh tidak ada, tidak terlalu penting, maka kita harus menjaga, mengerti sungguh-sungguh apa yang penting untuk kita dan sedapatnya jadikanlah apa yang penting untuk Tuhan, penting untuk kita.
ND: Jadi, kita perlu boleh dikatakan mawas diri terhadap apa yang kita suka lakukan atau kita katakan karena itu yang bisa ditangkap oleh anak bahwa itu yang terpenting bagi orang tua saya.
PG: Betul sekali, betul sekali.
ND: Pak Paul, saran apa lagi yang boleh disampaikan kepada pendengar agar kita bisa menjaga kesalehan dan kerukunan di dalam keluarga kita?
PG: Kita harus hidup terbuka apa adanya, sehingga tidak hidup terbelah dan tidak konsisten. Walau kita berusaha hidup kudus tapi kadang kita gagal sebab kita adalah manusia berdosa. Kehidupan yang transparan adalah kehidupan yang riil, tidak ditutupi dan tidak dipoles agar tampak lebih indah dari aslinya. Ketika anak melihat kehidupan kita yang terbuka, apa adanya, maka anak akan lebih terbuka menerima kenyataan bahwa hidup berkenan kepada Tuhan adalah suatu pergumulan dan proses yang berjalan seumur hidup. Konsepnya akan hidup saleh akan mendarat dan ia pun akan lebih berani membuka diri kepada kita. Nah, didalam alam keterbukaan kita pun akan lebih dapat hidup rukun, kita tidak menutupi apalagi berbohong karena tidak perlu, kita saling menerima dan mendoakan. Alhasil kita hidup jauh lebih ringan dan merdeka. Sebaliknya bila kita tidak dapat hidup terbuka dan mendarat, kita akan saling menuntut untuk sempurna dan tidak memberi ruangan bagi kegagalan. Ini akan membuat hidup sarat dengan tekanan dan keharusan. Kondisi yang subur lahirnya konflik. Saya perhatikan tidak jarang anak dibesarkan dalam suasana tuntutan, merasa tidak diterima apa adanya dan takut menceritakan pergumulan hidupnya, akhirnya anak akan belajar memilah hidup. Akan ada lembaran hidup yang diperlihatkannya kepada orang tua dan akan ada yang disembunyikannya. Di luar rumah pun ia akan berbuat sama, ada yang diperlihatkannya, ada yang disembunyikannya. Akhirnya hidupnya terbelah dan tidak konsisten.
ND: Bisa dikatakan bahwa dengan tuntutan yang tidak realistik seperti itu, orang tua ini sepertinya tidak mau mengerti kondisi anak sehingga anak ini akhirnya dia sembunyi-sembunyi, apa yang dia bisa lakukan, dia lakukan didepan orang tuanya, tapi secara karakter atau di dalam dirinya, dia sebut sebetulnya tidak seperti itu.
PG: Betul sekali, Pak Necholas. Ada anak-anak yang menjadi seperti itu dan cukup banyak di dalam keluarga kita, keluarga orang-orang beriman, akan ada anak-anak yang seperti itu karena kita memang tidak memberi ruang kepada anak untuk menjadi diri apa adanya, untuk tidak sempurna, untuk bisa gagal. Nah, kadang kita ini karena maunya anak kita ini menjadi anak yang baik, maka kita memberikan tuntutan-tuntutan rohani yang tinggi itu. Akhirnya anak tahu dia tidak diterima apa adanya. Dia belajar menyembunyikan hal-hal yang dia tahu orang tuanya tidak akan setuju, dia sembunyikan. Yang dia tahu orang tuanya akan senang barulah itu yang ia akan tampakkan. Ini tidak sehat karena akhirnya membuat hidup anak terbelah dua. Takutnya saya adalah bukan saja di rumah, diluar pun ia akan begitu. Ia akan menampilkan sisi baik, sisi kudus, sisi manis pada lingkungan yang memang mengharapkan ia menjadi anak seperti itu, tapi di luar itu ia akan berbuat hal-hal yang kebalikan dari apa yang dia tampilkan.
ND: Jadi disini peran orang tua yang penting karena orang tua harus berani juga menunjukkan dirinya yang lemah dan bisa jadi kadang-kadang bilang kepada anak, "Aduh, papa atau mama, lelah, kesal atau kecewa", kita bisa sharingkan kelemahan kita juga dengan anak.
PG: Betul, jadi kita mesti berani terbuka, bercerita tentang masa lalu kita. Kadang kita orang tua takut sekali cerita kegagalan kita. Nomor satu, kita merasa malu sebetulnya kalau sampai anak-anak kita tahu kita seperti ini, tapi menurut saya jauh lebih baik kita apa adanya, supaya anak mengerti bahwa inilah orang tuanya, tidak sempurna. Ada kegagalan dalam hidupnya tapi bisa bangkit, bisa menjalankan hidup seperti saat ini, jadi anak perlu melihat inilah kenyataan hidup dan kita tidak menyembunyikannya. Kadang orang tua tidak mau cerita juga karena takut nanti anak mengikuti mencontoh kita. Sebetulnya tidak, anak tidak mencontoh kejatuhan atau kegagalan orang tua, tidak, tapi memang dia jatuh sendiri, gagal sendiri karena memang dia bukanlah orang yang sempurna. Tapi waktu dia bisa cerita apa adanya, dan dia tahu dia diterima oleh orang tua, ini akan memerdekakannya. Ada satu lagi yang kadang membuat orang tua secara tidak sadar menempatkan anak di atas terlalu tinggi, di awan-awan yaitu orang tua yang memang terlalu berharap pada anak. Jadi anak ini memang mungkin sekali cerdas, prestasinya baik, nah sejak kecil didewakan sekali. Diangkat-angkat selalu, dipuji-puji selalu. Anak perlu pujian tapi tidak sehat, selalu mengenyangkan anak dengan pujian apalagi tanpa batas, tidak sehat, karena nantinya anak akan merasa, "Saya ini seindah itu dan saya harus menjaga diri seindah itu, saya tidak boleh sedikit pun kurang dari standard yang tinggi itu". Nah, saya sudah melihat ini juga dalam pelayanan saya, Pak Necholas, anak yang terlalu dipuja, diharapkan tinggi oleh orang tuanya, nantinya tidak tahan lagi, tidak bisa lagi terima tekanan itu, jatuh hancur, benar-benar berantakan, menjadi kebalikan dari apa yang orang tuanya harapkan.
ND: Jadi justru, pengharapan, impian atau tuntutan dari orang tua yang sedemikian tinggi ini bisa menjatuhkan anak?
PG: Bisa sekali, karena anak tidak merasa kuat menanggung beban pengharapan atau tuntutan yang tinggi itu, capek karena dia juga manusia biasa, dia juga mau lebih santai, mau menjadi diri apa adanya dan bahwa sesungguhnya dia tidak seperti yang orang tuanya pikir, namun dia selalu berusaha memenuhi tuntutan orang tuanya. Ada suatu titik dia tidak tahan lagi, dia ambruk, memang sebelum-sebelumnya anak-anak ini sudah mulai terlihat bocor. Saya gunakan istilah "bocor", mulai melakukan hal-hal yang terlarang oleh orang tuanya, diam-diam, lama-lama akhirnya kebocorannya besar sekali, robek. Dirinya akhirnya jatuh berantakan, dia menjadi kebalikan dari apa yang orang lihat sebelumnya.
ND: Kalau bisa dikatakan ini semacam peringatan juga bagi kita sebagai orang tua agar jangan memberikan tuntutan yang terlalu berlebihan bagi anak.
PG: Betul sekali. Kita mesti melihat kemampuan anak, berikanlah tuntutan sesuai dengan kemampuan itu dan berilah ruang untuk anak menjadi diri apa adanya, tidak selalu dia harus sempurna seperti yang kita harapkan dan jangan ragu untuk menegur anak, waktu anak salah perlu dikoreksi, koreksilah, jangan sampai kita mendewakan anak. Anak yang kita dewakan nantinya pasti akan jatuh, tidak lagi menjadi dewa dalam hidup.
ND: Untuk mencapai kesalehan dan kerukunan dalam keluarga kita, selain tuntutan yang berlebihan itu tidak boleh pada anak, tentunya ini juga tidak boleh kita lakukan kepada pasangan kita.
PG: Betul, jadi kita mesti berhati-hati dengan tuntutan dan pengharapan, bukan saja terhadap anak, tapi juga pasangan kita. Ini yang saya ingin tekankan, jangan sampai kita menuntut dan mengharapkan sesuatu yang kita sendiri tidak sanggup lakukan, jangan kita menuntut berlebihan sedang kita sendiri gagal dan tidak sanggup melakukannya. Ini tidak baik karena pada akhirnya anak memberontak atau pasangan memberontak dan marah karena kita dianggapnya munafik. Juga kita mesti berhati-hati dengan tuntutan dan pengharapan yang kita embankan pada pasangan sebab makin tinggi dan tidak realistik, makin menimbulkan pertengkaran, sebaliknya makin kita menerima, mengerti pasangan apa adanya, makin rukun hidup kita berdua. Pada akhirnya kita mesti menerima kenyataan bahwa perubahan adalah suatu kemewahan alias jarang terjadi dan tidak mudah. Jadi daripada berusaha mengubah pasangan sesuai kriteria kita, lebih baik terima apa adanya dan kompensasikan kekurangannya. Saya sudah menikah cukup lama, sudah melihat banyak pernikahan cukup sering, jadi akhirnya saya sampai pada kesimpulan itu, Pak Necholas, tidak mudah berubah. Daripada memaksakan pasangan berubah sesuai dengan kriteria kita, lebih baik kita terima. Didalam penerimaan, pasangan juga akan lebih termotivasi dan lebih merdeka, bebas untuk belajar, untuk berubah.
ND: Saya jadi terbayang ini, maafkan, mungkin seperti kita bermain layang-layang, kita harus fleksibel bersama pasangan, kadang ada saatnya kita harus tarik-tarik, tapi ada saatnya kita harus ulur juga. Jadi hal itu kefleksibelan itu perlu karena kalau tidak, terjadi pertengkaran.
PG: Betul, betul, kita mesti memang mengakui bahwa kita tidak sama dan bukan saja tidak sama dalam pengertian yang kamu bisa, saya tidak bisa, yang saya bisa, kamu tidak bisa, belum tentu begitu. Belum tentu satu satu, tidak, kita harus akui dalam pernikahan ada kalanya ada istri yang bisa 10, suaminya hanya bisa lima atau kebalikannya, suaminya bisa 10, istrinya hanya bisa lima, tidak selalu sama. Jangan kita mengharapkan pasangan kita untuk bisa mengimbangi kita, belum tentu bisa. Lebih baik kita terima, makin banyak kita terima, makin rukun hubungan kita dengan pasangan kita.
ND: Kalau saya boleh simpulkan dari saran yang ketiga ini dalam kita menjaga kerukunan juga kesalehan dalam keluarga, kita perlu bersikap fleksibel, kita berhati-hati dengan tuntutan dan pengharapan kita kepada pasangan. Apa yang harus kita ubah, kita ubah, apa yang perlu kita terima, kita terima.
PG: Betul sekali.
ND: Bagaimana Pak Paul, apakah ada saran lain yang bisa dibagikan agar keluarga ini dapat saleh juga rukun?
PG: Akhirnya adalah mungkin kita tidak dapat menyelesaikan masalah besar, tapi setidaknya kita dapat menempatkan masalah kecil di porsi yang tepat, yaitu kecil. Dengan kata lain, belajarlah untuk tidak memersoalkan hal kecil. Kesalehan dan kerukunan berdiri diatas pandangan dan respons yang tepat terhadap masalah. Pada umumnya kebanyakan masalah dalam pernikahan adalah dikarenakan hal-hal sepele, memang hal kecil yang terjadi berulangkali tetap mengganggu, tapi selalu ingatkan bahwa itu adalah hal kecil, apabila kita dapat tidak menghiraukan hal kecil, maka kita akan dapat menghilangkan mungkin 80% pertengkaran, sebab benar-benar kalau kita pikir-pikir kebanyakan pertengkaran itu muncul oleh karena hal-hal kecil. Jadi tempatkanlah hal kecil di porsi kecil, kadang ya sudah biarkan, kadang kalau kita mau angkat, angkatlah, jangan perbesar. Begitu pula tanggapan yang kita dengar dari pasangan kita, kalau tanggapan itu kecil, jangan kita bereaksi besar. Jadi belajar melihat dan bereaksi tepat sasaran.
ND: Dan tentunya juga disampaikan pada waktu yang tepat, Pak Paul, ‘timing’nya harus tepat untuk menyampaikannya.
PG: Betul, itu sudah tentu penting sekali jangan sampai dia sedang dalam kondisi yang tidak begitu enak, kita bicara seenaknya, ya pasti terjadi pertengkaran.
ND: Karena yang diributkan ini hal-hal kecil, kadang di rumah apalagi kita baru lewati masa-masa pandemi, terus bersama, bisa jadi posisi meja atau barang yang diletakkan di rumah, hal itu saja bisa membuat pertengkaran.
PG: Betul, betul, kalau kita memang sudah melewatinya kita ingat, kita akan tersenyum sebab kita berkata sebetulnya hal kecil. Hal kecil harus kita jadikan kecil, berdua bukan hanya satu. Kalau yang satu kecil, ya sudah terimalah ini sebagai hal yang kecil.
ND: Baik, terima kasih Pak Paul untuk keempat saran ini. Boleh Pak Paul bagikan ayat firman Tuhan untuk kita renungkan?
PG: Amsal 14:8 mengingatkan, "Mengerti jalannya sendiri adalah hikmat orang cerdik, tetapi orang bebal ditipu kebodohannya". Mengerti jalan sendiri berarti dapat melihat diri dan mengakui kesalahan dan kekurangan serta bersedia untuk belajar mengubahnya. Kita hanya dapat hidup rukun bila kita mengerti jalan sendiri, dapat melihat diri. Dapat mengakui kesalahan dan kekurangan dan bersedia belajar untuk mengubahnya, sebaliknya kita tidak akan dapat hidup rukun jika kita hanya "mengerti jalan pasangan saja" artinya hanya bisa melihat kekurangan pasangan. Nah, marilah kita mulai dengan melihat diri sendiri dulu.
ND: Jadi intinya, bukan orang lain, bukan pasangan, tapi dari diri kita sendiri.
PG: Betul, Pak Necholas.
ND: Baik, Pak Paul, terima kasih atas sharing yang sudah disampaikan pada hari ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Hadiah Terbaik Untuk Anak" bagian yang kedua. Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.