Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Gaya Hidup yang Menambah Stres". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Setiap orang punya gaya hidup dan setiap orang sebenarnya dari hari ke hari hidupnya dihantui oleh stres atau tekanan kehidupan. Tapi gaya hidup yang seperti apa yang bisa membebani lebih berat lagi sehingga stresnya tambah berat lagi, Pak Paul ?
PG : Saat ini memang kita mau mengangkat topik ini, Pak Gunawan, yaitu ‘Gaya Hidup yang Menambah Stres’. Hidup kita memang tidak bisa lepas dari stres ya. Tapi sebaiknya kita juga tidak menambah-nambahkan stres. Ada beberapa gaya hidup yang memang bukannya mengurangi tapi malah menambah stres. Ini penting dibahas karena gaya hidup menentukan kualitas kehidupan. Jika gaya hidup kita sehat, kita pun akan menikmati kualitas kehidupan yang sehat. Demikian pula sebaliknya. Jadi, kita mau coba fokuskan dan belajar tentang gaya hidup yang menambah stres. Mudah-mudahan kita bisa menguranginya agar kualitas hidup kita bertambah baik.
GS : Tetapi ada stres yang sebenarnya berguna buat kita, bisa memicu kita untuk lebih maju lagi. Tapi ada pula stres yang membuat kita jatuh dalam depresi.
PG : Betul. Yang mau kita bahas saat ini adalah stres yang buruk, stres yang berakibat tidak sehat, yang membuat kita tertekan, yang bukannya memacu dan menyemangati kita malahan lebih menindih kita. Stres seperti inilah yang coba kita kurangi.
GS : Gaya hidup seperti apa itu, Pak ?
PG : Yang pertama adalah gaya hidup menyelesaikan tugas di detik akhir. Ada orang-orang yang seperti itu. Tunda, tunda, tunda, tunda, sampai detik akhir baru mengerjakan tugas atau kewajiban. Saya panggil gaya hidup ini sebagai gaya hidup tidak berdisiplin sebab dia terus menerus menunda karena kurangnya disiplin itu. Tidak bisa tidak stres akan menumpuk. Sewaktu kita dibayang-bayangi oleh tenggat waktu. Bukankah sewaktu kita menunda, setiap hari kita menunda, sebetulnya kita sedang hidup dalam stres. Tambah dekat ke hari tenggat waktu, stres kita juga makin membesar. Saya mengerti ada orang yang berkata, "Ah, saya baru benar-benar bisa bekerja dengan baik dan produktif kalau sudah tidak ada waktu lagi, kalau besok sudah harus serahkan tugas." Baiklah, mungkin saja mereka akan lebih produktif. Namun bukankah harga yang dibayar lumayan mahal ? Mereka menjadi orang-orang yang rentan terhadap stres. Misalnya orang itu berkeluarga, bisa kita bayangkan sebelum tugasnya selesai – karena dia tunda, tunda, tunda – pada hari penundaan tingkat stresnya meningkat, orang-orang disekitarnya mudah sekali menjadi target kemarahannya atau kekesalannya. Jadi, sebaiknya kita tidak menunda menyelesaikan tugas bukan saja sampai hari akhir tapi juga hari esok. Jika kita dapat menyelesaikannya hari ini, selesaikan. Atau jika tidak, mulai kerjakan sedapatnya, artinya cicillah tugas setiap hari.
GS : Biasanya hal seperti itu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu. Yang lalu dalam waktu singkat saya bisa menyelesaikannya. Pasti sekarang bisa seperti itu juga.
PG : Betul. Kadang kita berkata karena di waktu lampau kita bisa maka ya kenapa tidak ? Masalahnya sewaktu kita menunda sampai hari akhir baru menyelesaikannya, kita sedang menambahkan stres itu pada diri kita dan itu yang tidak sehat. Meskipun kita mencoba untuk tidak mengingatnya, tetap saja pikiran itu ada dalam benak kita. "Aduh, ini belum selasai. Aduh, ini belum selesai." Kita jadi cepat tegang. Orang di sekitar kita juga jadi korban kemarahan kita.
GS : Tapi kadang-kadang tugas-tugas itu datangnya begitu mendadak dan harus diselesaikan. Mestinya ini bukan gaya hidup ya karena insidentil saja.
PG : Betul. Kadang-kadang itu tidak bisa kita cegah, Pak Gunawan. Apalagi kalau kita bekerja, kadang atasan meminta kita sehari sebelumnya dan kita harus selesaikan besok, sampai harus begadang (berjaga tidak tidur sampai larut malam) juga. Ya kita harus kerjakan juga.
GS : Iya. Tapi kadang-kadang seseorang menunda-menunda karena alasan tertentu, Pak Paul. Memang sebelumnya ada banyak pekerjaan lain, apalagi kalau sudah berkeluarga, sudah mau mengerjakan misalnya anak minta diantar ke suatu tempat, istri minta sesuatu, sehingga mau tidak mau dia harus menundanya. Akhirnya dia berpikir, "Ya sudah, besok sajalah tidak apa-apa. Masih ada waktu."
PG : Betul. Ada kalanya kita tidak punya banyak pilihan. Ada yang muncul, ada yang mendesak dan kita harus selesaikan dulu. Tapi yang saya minta adalah sebisanya ya. Jangan sampai tidak ada apa-apa juga kita berkata, "Ya nanti. Masih lama. Nanti sajalah kalau sudah mendekati baru saya kerjakan." Sebaiknya tidak begitu. Kalau memang di hari-hari kita mesti kerjakan kemudian ada hal-hal yang mendesak harus dikerjakan kalau kita sudah mulai menyicil, bukankah kita jadi lebih bisa menolong atau memenuhi permintaan yang gawat darurat itu ? Sebaliknya, kalau kita tunggu sampai detik terakhir kemudian ada keadaan gawat darurat, ada yang minta ini itu, kita akan kewalahan. Kita akan marah, tidak senang dan sebagainya. Jadi, biasakanlah untuk menyicil sehingga kalaupun ada emergency/hal darurat, kita tidak terlalu cepat marah.
GS : Iya. Kuncinya sebenarnya pada disiplin diri sendiri, Pak Paul. Kalau orang ini mampu mendisiplin diri sendiri dia pasti menjadwalkan supaya pekerjaan itu bisa dikerjakan dengan lebih rileks. Dia sudah punya jadwalnya, dia tahu kapan harus dikerjakan dan dia betul-betul mengerjakan itu.
PG : Betul, Pak Gunawan. Gaya hidup yang lebih baik adalah gaya hidup mencicil daripada menumpukkannya pada hari akhir.
GS : Iya. Lainnya apa, Pak Paul ?
PG : Yang kedua adalah mengerjakan banyak tugas sekaligus. Gaya hidup ini tidak berprioritas, semua dianggap penting. Mungkin kita sungkan menolak atau kita merasa sanggup melakukannya, jadi kita terima semuanya bahwa kita bisa melakukan semuanya. Masalahnya adalah, kalaupun kita sanggup melakukannya, mengerjakan banyak tugas sekaligus itu rentan menimbulkan stres. Kita kewalahan dan seringkali ada yang tertinggal, ada yang terlupakan, hasilnya pun tidak terlalu baik. Jadi, sebaiknya jadwalkanlah diri untuk mengerjakan satu hal sampai tuntas sebelum mengerjakan hal lainnya. Saya kira ini gaya hidup yang lebih baik.
GS : Memang ada orang yang sulit menolak permintaan orang lain atau ada orang yang memang senang mengerjakan banyak pekerjaan supaya dipuji orang lain, Pak Paul.
PG : Betul. Memang ada orang yang haus akan penghargaan sehingga dia menerima apapun yang diminta oleh orang dan tidak lagi bisa menjadwalkan atau memprioritaskan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak. Kita mesti bisa membedakan apakah ini hal yang perlu kita terima atau perlu kita lakukan atau tidak. Kemudian bedakan mana yang lebih penting dan mana yang tidak penting. Itu mesti bisa kita pilah dan bedakan. Dengan cara itu barulah kita bisa menyusun prioritas sehingga tidak menumpukkan semuanya sekaligus.
GS : Iya. Memang mau tidak mau prioritas harus dikerjakan. Mana yang mendesak harus diprioritaskan untuk dikerjakan lebih dulu. Atau kita bisa mendelegasikannya kepada orang lain untuk dikerjakan.
PG : Betul. Kalaupun kita sungkan dengan orang lain sehingga mau menerima permintaan tolongnya tapi akhirnya kita molor atau malah gagal mengerjakannya, bukankah itu justru menjengkelkan dan mengecewakan ? Bukankah nantinya orang itu berkata kepada kita, "Kalau memang tidak bisa ya tolong beritahu dari awal. Daripada sudah kamu iyakan, kami sudah bergantung dan mengharapkanmu, eh tiba-tiba kamu tidak bisa mengerjakannya." Nah, kita ‘kan merepotkan orang lain. Daripada sungkan, mengiyakan, akhirnya merepotkan orang ya lebih baik bicara terus terang, misalnya "Tidak bisa sekarang. Tunggu nanti saya akan beritahu lagi."
GS : Perkataan orang itu bisa membuatnya stres. Orang lain menjadi banyak masalah karena kita selalu mengiyakan apa yang orang lain minta. Nah, kalau dikatakan seperti itu dia ‘kan tambah stres, "Saya kok tidak berani menolak ya ?"
PG : Ya. Saya kita menolak memang sedikit banyak kita mengecewakan orang, itu betul. Tapi lebih baik mengecewakan orang daripada menyusahkan orang pada akhirnya. Orang jadi kalang kabut kalau sudah bergantung pada kita tapi akhirnya kita tidak bisa memberikan apa yang mereka minta.
GS : Adakah gaya hidup lain yang menambah stres kita, Pak Paul ?
PG : Yang ketiga adalah gaya hidup menuntut diri di luar kemampuan. Ini gaya hidup perfeksionis. Semua yang dikerjakan mesti lebih baik lagi. Memang kita harus mengerjakan tugas sebaik-baiknya sehingga mencapai standard terbaik. Sudah tentu standart terbaik disini adalah terbaik buat kita, sikap ini tidak salah malah sudah semestinya. Jangan membiasakan diri untuk menghasilkan karya yang sembarangan. Namun jangan sampai kita terjebak ke dalam pola hidup menghasilkan karya lebih baik lagi. Pola hidup ini berbeda dengan pola hidup menghasilkan karya terbaik. Pola hidup lebih baik lagi membuat kita terus merasa tidak puas dan memaksa kita untuk terus memperbaiki diri tidak habis-habisnya. Belum lagi bila kita merumuskan lebih baik lagi dalam perbandingan dengan orang lain, artinya mesti lebih baik daripada orang lain. Jadi, sebaiknya adopsilah pola hidup menghasilkan yang terbaik dan bukan pola hidup yang lebih baik lagi. Kita mesti bisa berhenti dan berkata "Sudah Cukup". Jika tidak, kita terus menuntut diri di luar batas kemampuan. Ini adalah gaya hidup yang menambah stres.
GS : Ya. Memang gaya hidup perfeksionis ini sering menambah stres kita, Pak Paul. Padahal kita tahu bahwa tidak mungkin kita melakukan sesuatu dengan sempurna.
PG : Betul. Kita mesti berusaha sebaik-baiknya namun sampai di satu titik kita mesti bisa berkata, "Cukup. Untuk saat ini inilah yang terbaik. Mungkin kalau masih ada waktu kita masih bisa utak-atik ini-itu, mungkin kita masih bisa meningkatkan kualitas. Tapi ya sudah, cukup untuk hari ini." Gaya hidup yang menambah stres adalah gaya hidup yang tidak bisa bilang cukup, "Tidak. Harus lebih baik lagi, harus lebih baik lagi." Tidak ada habisnya. Ini bisa menyusahkan orang juga, Pak Gunawan. Orang bisa stres karena kalau melibatkan orang, kita bisa meminta mereka mengikuti permintaan kita untuk terus lebih baik lagi dan tidak ada habis-habisnya dan orang terlalu capek dekat dengan kita.
GS : Iya. Pola hidup seperti ini memang sering menyusahkan orang-orang di sekeliling kita ya. Kita selalu tidak puas dengan apa yang sudah kita kerjakan .
PG : Betul. Tuntutan untuk menjadi diri yang terbaik dan memberikan yang terbaik itu tidak apa-apa ya. Yang tidak sehat adalah menuntut diri lebih baik, lebih baik, lebih baik, karena kita tidak bisa berhenti di satu titik dan berkata, "Cukup. Sudah. Memang masih bisa lebih baik lagi tapi untuk hari ini cukup." Nah, kalau kita tidak bisa "cukup" itulah yang menambahkan stres dalam hidup kita, Pak Gunawan.
GS : Atau kadang ada kritikan dari orang lain, Pak. "Sebenarnya kamu bisa kerja lebih baik lagi." Sehingga kita terpancing untuk menyesali apa yang sudah kita lakukan itu.
PG : Bisa. Kadang-kadang kita harus terima komentar atau masukan orang bahwa apa yang kita lakukan kurang baik dan mesti kita perbaiki. Itu tidak apa-apa. Sekali lagi kalau memang inilah batas kita dan atasan kita meminta ya kita tidak bisa lagi ya kita harus berkata, "Saya sudah berusaha, saya sudah perbaiki tapi tetap tidak bisa." Jadi, ya sudah kita mesti katakan apa adanya kepada atasan kita.
GS : Iya. Mungkin ada orang yang salah mengartikan ayat di firman Tuhan yang mengatakan "hendaklah kamu sempurna karena Bapamu sempurna". Bagaimana ini, Pak Paul ?
PG : Itu memang firman Tuhan dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam "Khotbah di Bukit", lebih mengacu bukan kepada hasil-hasil, karya-karya, tetapi merupakan karakter dan sifat-sifat kita. Sebetulnya yang Tuhan maksudkan secara spesifik tentang sifat mengasihi. Artinya biarlah hati kita penuh dengan kasih sepenuh-penuhnya sebab seperti itulah yang Tuhan inginkan.
GS : Iya. Apakah masih ada gaya hidup lain yang membuat kita bertambah stres ?
PG : Berikutnya adalah gaya hidup tidak puas, Pak Gunawan. Gaya hidup ini adalah gaya hidup yang tidak mensyukuri apa yang dimiliki atau apa yang telah dihasilkan. Kita terus menyoroti apa yang belum kita miliki dan luput melihat apalagi mensyukuri apa yang telah kita miliki. Tidak jarang kita merasa tidak puas karena membandingakan diri dengan sesama dan melihat apa yang mereka miliki. Akhirnya kita cenderung tidak bahagia dan tertekan. Jadi, kita mesti mensyukuri apa yang kita miliki. Percayalah bahwa Tuhan memberi kita apa yang terbaik buat kita. Gaya hidup tidak puas rentan merusak relasi dengan orang yang terdekat dengan kita. Pada akhirnya kita terus mengeluh dan menuntut mereka untuk menjadi seperti yang kita kehendaki atau menyediakan apa yang kita rindukan. Akhirnya orang pun tertekan karena merasa tidak dihargai. Apapun yang mereka kerjakan kita nilai kurang.
GS : Tetapi rasa tidak puas memang menjadi seperti sifat dasar orang, Pak Paul. Kalau mau maju mesti merasa tidak puas terus. Kalau dia cepat merasa puas dia akan sulit berkembang ?
PG : Kita mesti ada keseimbangan antara mau meningkatkan diri kita, memperbaiki, memajukan apa yang telah kita miliki sekaligus mensyukuri apa yang sudah kita punyai atau yang sudah kita lakukan. Yang tidak sehat adalah kita tidak bisa melihat apa yang telah dikerjakan, tidak bisa mensyukuri apa yang Tuhan telah berikan, tidak bisa berkata, "Terima kasih, saya sudah punya ini. Saya sudah punya itu". Tidak bisa. Hanya melihat apa yang tidak dimiliki, apa yang orang lain miliki, "Mengapa saya tidak bisa seperti dia ? Mengapa saya tidak bisa punya seperti yang dia punya ?" dan sebagainya. Jadi, yang mau kita tekankan adalah kita bisa mensyukuri apa yang kita miliki. Kalau kita bisa mensyukuri, berterima kasih, ya tidak apa-apa kita berpikir, "Saya masih bisa perbaiki dan optimalkan apa yang saya miliki." Itu tidak apa-apa.
GS : Kadang-kadang sikap itu juga dipicu oleh pasangan kita atau anak-anak kita yang mendesak kita untuk lebih maju lagi, jangan puas hanya sampai disitu. Banyak orang korupsi karena didesak oleh pasangannya atau teman-temannya. Jadi, desakan itu datang dari luar.
PG : Betul. Kita mesti bisa melawan ya. Memang ada kecenderungan orang di sekitar kita menuntut kita untuk berbuat lebih lagi, ini tidak cukup, seharusnya kamu tidak bahagia, kamu seharusnya tidak begitu puas diri dan sebagainya. Saya tidak mau kita menutup telinga terhadap masukan orang. Tidak apa-apa, dengarkan. Tapi kita juga lihat, apakah memang yang sudah kita lakukan ini sudah baik ? Kalau memang sudah baik ya sudah. Orang tidak puas ini tapi kalau kita tidak bisa ya tidak bisa. Kalau tidak akhirnya kita hidup dikemudikan oleh tuntutan orang. Ini akan menambah stres.
GS : Ya. Biasanya seberapa besar tingkat stres akibat gaya hidup yang keliru itu, Pak Paul ?
PG : Besar sekali, Pak Gunawan. Orang yang sudah terbiasa dengan gaya hidup tertentu akan terus begitu. Misalkan tadi kita sudah bicara tentang gaya hidup yang terus menunda sampai akhir baru mengerjakan tugas. Orang seperti itu ya dalam segala hal dia begitu. Dalam mengerjakan tugas ya dia akan begitu. Sudah tentu tugas dalam hidup tidak hanya satu, bertubi-tubi datangnya. Berarti itu berputar-putar terus dan dia makin hari makin tenggelam di dalam stres. Masalahnya nanti itu luber. Begitu stres luber, siapa yang akan kena ? Orang yang dekat dengan kita.
GS : Gaya hidup apa lagi yang menambah stres kita, Pak Paul ?
PG : Masih ada dua lagi. Yang berikut adalah gaya hidup mengendalikan segalanya. Gaya hidup ini tidak mengenal batas. Semua mesti berada di bawah pengawasan kita, sebagai akibatnya bila sesuatu berjalan tidak sesuai harapan, kita pun merasa tertekan. Masalahnya adalah di kolong langit ada begitu banyak hal yang tidak dapat kita kendalikan. Akhirnya kita rentan terhadap stres. Nah, gaya hidup ini juga mudah menimbulkan tekanan pada orang lain. Kita sukar memercayai orang dan tidak mudah mendelegasikan pekerjaan sepenuhnya kepada orang. Kita terus mau terlibat untuk memastikan bahwa semua dilakukan sesuai kehendak kita, tidak bisa tidak sikap seperti ini membuat orang tertekan. Akhirnya kita stres, orang lain pun stres. Relasi dengan sesama pun terganggu.
GS : Dalam kehidupan rumah tangga juga bisa begini, Pak Paul ?
PG : Bisa, Pak Gunawan. Kita mau terus pantau dan pastikan urusan pasangan apakah benar atau salah, sesuai atau tidak dan sebagainya. Jadi, kita masuk ke wilayah pasangan kita, anak-anak kita, sehingga semua jadi stres.
GS : Yang terakhir apa, Pak Paul ?
PG : Yang terakhir adalah gaya hidup memastikan hari depan. Gaya hidup ini adalah gaya hidup yang tidak beriman, Pak Gunawan. Semua mesti direncanakan dan dipastikan. Kita baca firman Tuhan di Yakobus 4:15, memberikan pedoman hidup yang baik, "Jadi sekarang hai kamu yang berkata: Hari ini atau besok kami berangkat ke Kota Anu dan disana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung." Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu ? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." Kita ini tidak tahu hari esok, jadi kita tidak dapat memastikan hari esok. Tapi Tuhan tahu dan Dia memunyai kuasa atas hari esok. Namun bukan hanya itu. Tuhan pun memunyai rencana atas hidup kita di hari esok. Jadi, belajarlah berserah kepada-Nya. Bila kita tidak dapat berserah, maka hati akan terus dipenuhi kekuatiran. Kita terus memikirkan apa yang akan terjadi walaupun kita tidak tahu dengan pasti apa yang akan terjadi. Percayalah bahwa Tuhan itu baik dan kasih setia-Nya kekal bukan hanya untuk hari ini tetapi untuk selama-lamanya. Dia akan terus mengasihi dan memelihara hidup kita, besok dan selamanya. Singkat kata kita aman dalam tangan-Nya.
GS : Mungkin disini masalahnya adalah merencanakan dan memastikan, Pak Paul. Tuhan juga menghendaki kita merencanakan masa depan. Tuhan bilang orang yang mau membangun menara, harus duduk dulu dan menghitung.
PG : Betul. Memang yang menambah stres tentang gaya hidup ini bukannya merencanakannya tapi memastikannya. Tuhan meminta kita beriman. Ini untuk kebaikan kita, sebab Tuhan tahu kalau kita terus memikirkan hari esok padahal kita tidak ada kemampuan untuk masuk ke hari esok, hidup kita akhirnya lumpuh, tertekan. Belum memulai hari esok sudah lumpuh dulu. Maka Tuhan berkata ya sudah, hari esokmu serahkan kepada-Ku. Aku punya rencana yang baik untukmu bukan saja di hari ini tapi juga di hari esok.
GS : Memang yang sulit adalah mensinkronkan antara rencana kita dengan rencana Tuhan, Pak Paul. Kita tidak boleh terlalu kaku dengan rencana-rencana kita itu karena harus ada ruang bagi Tuhan untuk mengubah rencana kita dan kita harus menerima. Kalau tidak memang stres.
PG : Betul. Betul. Justru kita belajar satu hal yang penting dalam hidup bersama Tuhan yaitu iman memimpin kita kepada kejelasan, sebaliknya, kejelasan tidak memimpin kita kepada iman. Maksud saya, kalau kita beriman, justru setahap demi setahap kita akan melihat dengan lebih jelas, lebih jelas, apa yang Tuhan sediakan buat kita. Sebaliknya, kalau kita mau memastikan semuanya supaya tahu, supaya jelas hari ini, ya sudah kita tidak akan bertumbuh dalam iman. Karena kejelasan adalah lawan dari iman. Tapi tadi saya juga singgung, justru kalau kita beriman, kita perlahan-lahan akan dipimpin Tuhan melihat kejelasan itu.
GS : Tentu gaya hidup yang menambah stres bukan hanya beberapa poin ini ya, Pak Paul. Terlalu banyak kalau kita bicarakan satu demi satu. Tapi kalau kita mau rangkumkan, sebenarnya gaya hidup yang menambah stres ini yang seperti apa, Pak Paul ?
PG : Yaitu gaya hidup yang tidak dapat hidup di hari ini, Pak Gunawan. Itulah intinya. Kalau orang tidak bisa hidup di hari ini, mikir besok, mikir ini dan itu, benar-benar menambahkan stres. Tapi kalau bisa hidup hari ini, Tuhan katakan tiap hari punya kesusahannya sendiri-sendiri. Burung pipit di udara Tuhan pelihara, rumput di ladang Tuhan juga hiasi, ya sudah, percayalah. Percaya, jalani saja hari ini, hari esok nanti ada bagiannya, Tuhan pasti juga akan bisa menolong kita.
GS : Yang menarik disitu Tuhan katakan tiap hari itu ada kesusahannya sendiri, bukan kesenangannya sendiri ya, Pak Paul. Berarti setiap hari sudah ada stres yang kita tanggung. Kalau gaya hidup kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan seperti yang Pak Paul bahas ini, maka itu akan menambah stres kita.
PG : Betul.
GS : Terima kasih untuk perbincangan kali ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Gaya Hidup yang Menambah Stres". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.