Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang ekses atau dampak keluarga yang untuk masa tertentu harus terpisah, dan pembicaraan ini memang merupakan lanjutan dari pembicaraan kami beberapa waktu yang lalu, tentang keluarga jarak jauh. Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita sekalian. Dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
GS : Pak Paul, beberapa waktu yang lalu kita pernah membicarakan tentang keluarga jarak jauh. Suami-istri yang harus berpisah untuk jangka waktu tertentu karena alasan- alasan tertentu pula. Untuk mengingatkan pendengar tentang pembicaraan kita waktu itu mungkin Pak Paul bisa menyampaikan sebab-sebabnya atau faktor-faktor penyebab apa saja yang biasanya membuat suami-istri itu harus berpisah.
PG : Sekali lagi saya mau menggarisbawahi kata terpaksa berpisah Pak Gunawan, sebab yang sedang kami bicarakan di sini bukanlah keterpisahan karena tidak cocok atau disengaja supaya bisa menjau dari pasangannya.
Tapi suatu keadaan yang sangat memaksa sehingga mereka harus berpisah baik itu suami pisah dengan istri, istri pisah dengan suami atau anak pisah dengan orang tua hal itu pun bisa terjadi. Yang biasanya menjadi penyebab adalah pekerjaan Pak Gunawan, jadi sering kali orang mendapatkan pekerjaan di luar kota. Apalagi seperti masa sekarang ini, pilihan-pilihan untuk bekerja lebih menyempit. Sehingga akhirnya harus diambil yang tersedia, bahkan kalau itu di luar kota. Contoh yang jelas adalah cukup banyak TKW yang harus pergi ke luar negeri untuk bekerja, meninggalkan suami, istri atau anak mereka. Yang lain adalah masalah anak. Jadi adakalanya tidak bisa memindahkan anak karena faktor sekolah atau misalkan dia harus masuk ke pedalaman, tidak bisa membawa anak-anak untuk sekolah di pedalaman. Akhirnya diputuskan anak-anak, istrinya tetap tinggal di kota dan si suami itu yang harus pergi masuk ke pedalaman. Yang berikutnya lagi tentang penyesuaian, penyesuaian ini bisa menjadi faktor penyebab. Maksudnya adalah salah satu dari anggota keluarga baik itu anak, suami, atau istri mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dalam keadaan tersebut. Dan daripada dipertahankan untuk bertahan dan berdampak buruk untuk keluarga. Akhirnya diputuskan yang mengalami kesulitan itu dipisahkan dulu, kembali ke lingkup semula yang lebih cocok untuknya, hal seperti itu bisa terjadi. Dan yang biasanya juga menjadi penyebab adalah kebutuhan khusus misalnya ada yang harus merawat orang tua sehingga suaminya harus pindah ke kota yang lain dan dia juga mau pindah tapi orang tuanya sudah sakit-sakitan dan tua, dan harus dirawat, sehingga terpaksa dikorbankan dan si istri itu tinggal di rumah untuk merawat orang tua. Atau yang lain adalah keputusan medis. Misalkan si suami mendapat pekerjaan di kota lain, dia harus pindah dan semuanya mau pindah. Tapi masalahnya adalah si istri mempunyai penyakit tertentu dan hanya ada pengobatan di kota yang tertentu pula. Atau si anak itu tidak cocok dengan udara yang lembab sebab dia misalnya asma, harus di udara yang kering tapi si suami tidak bekerja di tempat ini dan harus pindah ke tempat lain. Kebutuhan khusus seperti itu juga akhirnya menyebabkan harus berpisah. Dan yang lain juga adalah misalnya ancaman ketidakamanan dan ini yang sebetulnya kita saksikan pula sejak mungkin 2 tahun terakhir ini. Banyak anak-anak yang disekolahkan di luar negeri misalkan di Malaysia, atau di Singapura karena adanya rasa tidak aman kalau-kalau terjadi lagi kerusuhan dan anak-anak menjadi korban, sehingga akhirnya orang tua merelakan mengirimkan anak-anak pergi ke negara-negara lain. Dan sekali lagi, ini juga adalah suatu keterpaksaan. Saya pernah berbicara dengan sepasang suami-istri yang harus berpisah dari anak-anak mereka karena anak-anak mereka di sekolahkan di negara lain. Dan sewaktu kami berbicara si istri menangis terus-menerus, inilah yang harus mereka lakukan demi keselamatan anak-anak mereka. Memang kita bisa perdebatkan ya masalah keselamatan, keamanan, namun bagi orang-orang yang di kotanya pernah menyaksikan kerusuhan yang begitu hebat. Mereka tidak begitu berani mengambil resiko, daripada mengalami seperti itu lagi lebih baik anak-anak dikirim keluar.
(1) GS : Ya mungkin kalau dengan faktor anak, cepat atau lambat anak-anak semakin dewasa mungkin harus pindah kota karena sekolah dan sebagainya. Tapi masalahnya kalau si suami-istri yang jauh lebih peka, mungkin perlu mendapatkan perhatian. Kalau harus terpisah Pak Paul, apa sebenarnya dampak bagi suami-istri ini?
PG : Yang pertama adalah akan menimbulkan ketidakseimbangan, ketidakseimbangan ini saya bagi dalam dua kategori Pak Gunawan. Yang pertama ketidakseimbangan inter-personal, yang kedua adalah inta-personal.
Yang saya maksud inter-personal adalah kita ini membutuhkan satu sama lain untuk bisa mengisi kebutuhan kita, otomatis kita menjadi seperti kita itu karena kehadiran pasangan kita. Waktu dia misalnya tidak ada tempat untuk bicara, menumpahkan perasaan hati, tidak ada tempat di mana kita bisa merilekskan diri, jadi kehilangan dia akan membuat ketidakseimbangan dalam kehidupan kita yang sudah terbiasa dengan hadirnya dia, itu yang pertama tentang inter-personal. Juga ketidakseimbangan intra-personal, maksudnya begini kita akhirnya terbiasa untuk hidup atau berfungsi dengan kehadiran pasangan kita. Dan ada hal-hal yang terpenuhi oleh karena kehadiran pasangan kita. Contoh kita akan merasa berharga waktu kita bisa masak untuk dia. Tiba-tiba sekarang tidak ada lagi yang bisa mencicipi masakan kita, misalnya seperti itu. Atau suami biasa pulang ada anak-anak dan ada istri yang menyambutnya. Dia merasa kalau dia pulang itu mengharapkan sesuatu yang bisa menyegarkan, sekarang dia pergi jauh tidak ada yang menantikan dia di rumah. Waktu dia pulang tiba-tiba tidak ada yang menyambut untuk menyegarkan dia, tanpa disadari terjadilah ketidakseimbangan intra personal. Yang lebih pribadi lagi misalkan ketidakseimbangan intra-personal itu adalah dalam hal seksualnya, kebutuhan seksualnya, tidak bisa tidak akan ada gangguan di situ. Dia dulu tidak terlalu dikuasai oleh pikiran-pikiran seksual, tapi karena ketidakhadiran si istri itu mengganggu dia sekali, terjadilah ketidakseimbangan dalam dirinya secara intra-personal.
GS : Kalau ketidakseimbangan-ketidakseimbangan yang tadi Pak paul katakan itu menguasai seseorang apa yang terjadi?
PG : Sudah jelas dia menjadi orang yang mempunyai kebutuhan yang besar, jadi ketidakseimbangan itu sebetulnya menciptakan lubang-lubang kebutuhan. Misalnya dia biasa bicara ada teman bicara, medengarkan dia dengan simpatik, memberikan telinga untuknya, sekarang tidak ada.
Ini menciptakan kebutuhan inter-personal akan seseorang yang bisa mendengarkan dia. Dan kebutuhan intra-personal pula, dalam pengertian dia merasa dirinya itu penuh dengan tekanan yang harus dia keluarkan. Sehingga dengan dia tidak mengeluarkan tekanan itu dia merasa hidupnya terhimpit sekali. Keseimbangan intra-personal akhirnya menimbulkan kebutuhan yang besar. Jadi ketidakseimbangan itu seolah-olah menyaring, memperkuat kebutuhan yang dia rasakan bahwa dia perlu sekali seseorang yang bisa bersama dia, mendengarkan dia, menemani dia, dan membagi bebannya dengan dia.
IR : Bukankah akan membuat orang itu mendapat peluang dari luar Pak Paul?
PG : Tepat sekali Bu Ida, jadi kebutuhan yang besar itu sebetulnya diibaratkan dengan pintu yang terbuka lebar-lebar. Dengan kata lain mereka membuka peluang, membuka diri untuk dimasukkan unsu-unsur luar atau orang-orang lain.
Itu intinya, jadi rawan sekali itu.
GS : Kalau kondisi itu disadari mungkin dia bisa lebih mengatasi masalah itu Pak Paul, tetapi kalau tidak disadari bahwa dirinya sedang terbuka itu bahaya, apa yang bisa dialami Pak Paul?
PG : Sudah tentu yang pertama dan sering terjadi adalah perselingkuhan, jadi itu sering terjadi. Waktu suami dan istri terpisah akhirnya terjadi perselingkuhan dan kita akhirnya harus mengakui ukan saja pihak pria yang berselingkuh, bisa juga pihak wanita yang berselingkuh karena dua-duanya pada keadaan yang sangat butuh dan sangat rawan.
GS : Tapi itu ada jangka waktu tertentu Pak Paul, kalau cuma seminggu dua minggu, apa memungkinkan hal itu terjadi?
PG : Kalau seminggu, dua minggu, kalau dasarnya orang itu memang baik dan setia kemungkinannya sangat kecil.
GS : Jadi makin lama mereka itu berpisah, makin besar pula peluangnya.
PG : Jadi peluang ini muncul karena memang adanya kebutuhan yang besar yang harus dipenuhi itu Pak Gunawan. Yang lainnya lagi adalah sewaktu kita berpisah tidak bisa tidak kita harus mulai menaa hidup kita kembali supaya kita bisa terus hidup.
Sebab kalau hidup terus-menerus dirundung oleh kesedihan, kehilangan pasangan kita, kita bisa-bisa tidak berfungsi dengan optimal, tidak bisa bekerja dengan penuh konsentrasi dan sebagainya. Akhirnya apa yang kita lakukan, kita mulai beradaptasi, itu adalah kodrat manusiawi kita. Kita mulai beradaptasi dengan kesendirian kita, masalahnya adalah waktu dua-dua mulai beradaptasi yang terjadi sebetulnya adalah dua-dua makin tidak membutuhkan pasangannya. Nah, itu bisa juga terjadi.
GS : Karena dia menganggap sendiri bisa hidup Pak Paul?
PG : Betul, dan itu adalah konsekuensi natural. Sewaktu kita bisa beradaptasi hidup sendiri, kebutuhan kita untuk adanya pasangan disamping kita makin berkurang. Kita mencoba menyesuaikan diri ntuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Misalkan si ibu ini harus bertanya kepada suaminya tentang anaknya, sekarang tidak ada suami tidak bisa tanya langsung, tanyanya misalkan satu bulan kemudian atau tiga minggu kemudian. Jadi terpaksa harus dipecahkan sendiri. Lama-lama dia bisa, dia dulu tidak bisa makanya harus tanya suami dan sekarang bisa. Nah, sekarang di manakah fungsi suami yang tadi itu? Ya tiba-tiba terhilang. Jadi dengan kata lain hubungan yang dipisahkan akan membawa dampak pada kita dan sering disebut konstelasi hubungan. Konstelasi hubungan yaitu keterikatan atau pemasangan hubungan itu sendiri, sehingga peranan yang dulu diemban oleh masing-masing, tiba-tiba sekarang berubah. Karena kebutuhan-kebutuhan yang dulu dipenuhi oleh pasangannya sekarang terpenuhi sendiri dengan caranya dia. Maka kalau tidak hati-hati setelah berpisah untuk jangka waktu yang lama kalau kembali bukannya mesra, mesranya cuma hari pertama. Setelah itu apa yang terjadi berkeinginan pisah lagi dan cekcok, bertengkar, karena memang kehilangan peran yang dulu itu telah dimainkan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, sekarang peranan itu tidak ada lagi. Dan harus memulai peranan yang baru, tapi tidak tahu peranan apa yang harus diemban karena memang tidak ada kontak interaksi langsung. Jadi seolah-olah mereka bertemu di dalam kefakuman, mau melakukan apa, suami masih mengatur si istri, si istri marah misalnya. Atau si istri mau bertanya kepada si suami, si suami marah karena terbiasa hidup tanpa ada yang mengatur, tanpa ada yang bertanya-tanya kepada dia.
GS : Itu juga bisa terjadi antara orang tua dan anak kalau lama berpisah ya?
PG : Itu yang sering terjadi. Begitu anak-anak pulang, ibu atau ayah menyuruh-nyuruh, bertanya-tanya karena anaknya tidak mau cerita sama sekali.
GS : Dan mungkin orang tuanya juga merasa di rumah itu menjadi hiruk-pikuk, yang tadi tenang tidak ada anak-anak, jadi bisa terganggu.
PG : Betul, mula-mula anak-anak tidak ada, mereka pasti kesepian. Tapi begitu anak-anak pulang satu hari senang luar biasa, hari kedua mulai tidak senang, hari ketiga sangat tidak senang.
IR : Jadi yang pasti kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya ya Pak Paul?
PG : Kalau saya melihat kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya. Meskipun seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, kita ini berbicara bukannya tanpa kepekaan dengan orang-orang yang tepaksa melakukannya.
Dan saya pribadi mau sekali lagi menekankan pada para pendengar bahwa kami simpatik dengan orang yang harus melakukannya karena keterpaksaan tapi memang kerugiannya besar sekali.
(2) GS : Jadi kalau kita sudah menyadari bahwa keterpisahan atau keluarga jarak jauh ini kerugiannya besar, banyak tentunya yang harus dipertimbangkan masak-masak sebelum diputuskan apa memang sangat perlu untuk berpisah. Di dalam hal untuk mempertimbangkan ini, faktor-faktor apa yang perlu dipertimbangkan Pak Paul?
PG : Yang pertama yang tadi sudah disinggung oleh Ibu Ida, faktor manfaat dan kerugiannya. Benar-benar suami-istri harus dengan pikiran jernih mendaftarkan kerugian dan manfaatnya mana yang lebh besar.
Kadang kala meskipun disadari kerugiannya besar namun karena keterpaksaan harus dilakukan. Kalaupun harus dilakukan saya kira kriteria kedua yang harus dipikirkan adalah apakah ini permanen atau sementara. Jadi sebisanya jadikanlah itu sesuatu yang sementara.
GS : Tapi mungkin orang berbicara ini sementara, tapi biasanya keterusan Pak Paul.
IR : Mereka sudah mengadaptasi situasi yang baru dan sudah menikmatinya, kemudian ingin meneruskannya, biasanya seperti itu Pak Paul.
PG : Betul, atau ada yang berpikir kalau saya pulang ke sana kedudukan saya kalaupun bisa dapat kerja akan berkurang. Akhirnya masing-masing berpikir biarkan saja karena dengan penghasilan sepeti ini hidup lebih layak.
Kalau engkau pulang lebih susah, sudah teruskan saja. Itu bisa juga terjadi, maka kalau bisa saya tekankan tetap bersama. Jadi hanya lakukan kalau sudah sangat terpaksa, kalau tidak jangan dilakukan.
GS : Lalu faktor yang lain Pak Paul yang harus dipertimbangkan selain mempertimbangkan kerugian dan manfaatnya tadi?
PG : Kita harus perhatikan juga kuat lemahnya kita, jadi meskipun harus dilakukan tetap pertanyaan yang berikutnya adalah kuat atau tidak, mampu atau tidak kita melaluinya. Kalau kita sadari kia tidak kuat meskipun harus, meskipun kita rasa kita harus pergi ke luar, jangan.
Sebab daripada kita lakukan, kita lemah, berantakan dan jatuh ke dalam pencobaan lebih baik jangan. Orang bertanya bagaimana tahu kuat atau lemah, coba saja dalam waktu yang tertentu coba berpisah, bisa atau tidak bertahan, berapa tidak seimbangnya kita dibuatnya. Sebab kalau misalkan kita menjadi orang yang sangat tidak seimbang, misalnya karena tidak ada suami kita terus stres, marah- marah, memaki-maki anak dan sebagainya. Itu pertanda kita tidak kuat atau suami juga di tempat pekerjaannya uring-uringan, marah-marah dengan rekannya, bawahannya, itu pertanda tidak kuat. Jadi kuat atau tidak kuat tidak selalu berarti menghadapi godaan seksual, kuat atau tidak kuat dalam pengertian bisa atau tidak membuat hidupnya itu relatif seimbang kembali.
GS : Apakah anak itu juga dijadikan faktor pertimbangan Pak Paul?
PG : Tepat sekali Pak Gunawan, jadi kita harus melihat pertama-tama usia anak. Jangan meninggalkan anak yang masih kecil, itu prinsip yang pertama. Kalau tidak sangat-sangat harus jangan tinggakan anak yang masih kecil.
Anak semakin remaja, belasan tahun memang semakin lebih bisa ditinggalkan. Tapi kita juga harus melihat faktor yang kedua tentang anak, faktor kebutuhan si anak yang banyak macamnya. Sebab anak tidak sama, ada anak yang sangat tergantung pada salah satu orang tua misalkan karena dia anak perempuan satu-satunya, kakak-kakak, adik-adiknya semua laki-laki. Dia sangat dekat dengan ibunya, karena ibunya adalah satu-satunya teman wanita dia. Misalkan mereka sekarang harus berpisah, si anak disekolahkan di luar. Mungkin sekali berdampak tidak baik pada si anak, karena dia kehilangan pegangan hidup itu yakni mamanya atau kebalikannya anak laki satu-satunya, kakak adiknya semua wanita, dia dekat pada ayahnya, sebab ayahnya menjadi modelnya, pegangan hidupnya, tempat dia berbicara. Sekarang tidak ada lagi mereka terpisah, itu bisa sangat menggoncangkan si anak.
GS : Tadi Pak Paul katakan sebaiknya waktu anak kecil tidak ditinggalkan, tapi kebutuhan keluarga dari segi finansial itu justru pada waktu permulaan yaitu pada waktu anaknya itu relatif masih kecil Pak Paul.
PG : Ya itu salah satu fakta kehidupan Pak Gunawan, jadi kalau itu yang harus terjadi karena tidak ada pekerjaan dan dia harus bekerja di luar kota, mungkin harus dilakukan juga.
IR : Itu faktor keterpaksaan ya Pak Paul?
PG : Jadi dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan akan ada tindakan-tindakan terbaik yang harus kita lakukan. Tapi tetap sebetulnya itu tidak ideal, tapi sebagai manusia kita harus sadariitu adalah bagian dari kehidupan kita.
GS : Nah Pak Paul, di dalam hal keterpisahan orang tua dan anak, ada orang tua dalam hal ini biasanya ayah sering tugas di luar kota atau bekerja di luar kota, waktu pulang dia selalu ingin memanjakan anaknya secara berlebihan seperti mau menebus "dosanya". Ketika ayahnya tidak ada dia sendirian, tapi begitu ayahnya datang dia dilimpahi dengan banyak oleh-oleh, apa dampaknya?
PG : Ya saya harus akui faktor penebusan itu ada, maksud saya sekurang-kurangnya si ayah itu menebus rasa bersalahnya, jadi pasti ada dampaknya. Mengurangi rasa bersalahnya untuk si anak, apaka ada dampak penebusannya, ya ada sebab si anak bahagia, sebab semua anak senang diberikan hadiah.
Jadi figur papa itu menjadi yang menyenangkan karena datang membawa hadiah. Jadi ada unsur penebusannya bukannya tidak ada sama sekali. Tapi kalau Pak Gunawan tanya apakah penebusan seperti itu membayar balik kehilangan atau kerugian yang ditimbulkan, tetap tidak sebab tidak sebanding. Penebusan itu misalnya hanya membayar balik 10 % tetap terhilang yang 90 % itu.
(3) GS : Pak Paul kalaupun terjadi ya, akibat dari keluarga jarak jauh ini, salah satu pasangan itu berselingkuh. Lalu anak mulai bisa merasakan, ayahnya ini makin lama jarang pulang dan ibu tahu bahwa suaminya itu mulai tidak betul, mulai berselingkuh. Bagaimana sikap ibu terhadap anaknya yang seringkali menanyakan ayahnya?
PG : Kalau anaknya sudah cukup besar, misalkan berusia sekitar 10 tahun ke atas dan dia mulai menanyakan ayahnya. Saya kira kalau saya jadi ibu itu saya akan ceritakan keadaan yang sebenarnya bhwa ayahmu itu sudah ada orang lain di sana, dia akan pulang karena dia mau ketemu kamu.
Jadi saya tidak akan menutup-nutupi hal itu, biarkan si anak itu berhubungan dengan ayahnya dan menanyakan kenapa ayah seperti itu. Sebab si ayah itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan saja kepada istrinya, juga kepada anaknya. Jadi saya kira jangan ditutupi biarkan dia ceritakan tapi kalau anaknya sudah bisa mengerti kira-kira usia 10 tahun ke atas, kalau sebelumnya sebaiknya jangan.
GS : Tapi masalahnya adalah ayah ini atau si suami ini baik terhadap anaknya, jadi sering telepon. Sebenarnya itu seperti memberikan pengharapan yang palsu, dia tidak bakal pulang.
PG : Betul, saya sebenarnya tidak akan mengambil bagian dalam penipuan ini atau tipu daya ini. Jadi sebagai seorang ibu dia harus ceritakan bahwa inilah kenyataannya. Kalau si anak bilang saya idak percaya, silakan tanyakan papamu.
Dan anaknya akan terpukul, shock dan sebagainya tapi tetap prinsip saya adalah realitas itu sehat daripada hidup dalam ilusi.
GS : Pak Paul seringkali juga masalah yang sering timbul itu adalah ketika si suami harus pindah ke luar kota karena pekerjaannya, istrinya diajak tidak mau dengan alasan kamu belum menetap di sana, belum tentu kita tinggalnya di mana dan sebagainya itu bagaimana Pak Paul?
PG : Sebisanya sebelum dia itu pindah, dia membawa istrinya dulu untuk meninjau keadaannya kemudian dua-dua pulang, saling mendoakan, mendiskusikannya lagi dan melihat cocok atau tidak cocok tepat seperti itu.
GS : Jadi keterbukaan untuk saling membicarakan itu penting sekali, sebelum mereka memutuskan harus berpisah atau bersama-sama.
PG : Betul, keterbukaan dari awalnya.
GS : Sebelum kita mengakhiri pembicaraan ini mungkin Pak Paul akan menyampaikan sebagian dari firman Tuhan.
PG : Saya akan bacakan dari Kolose 3:17 "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan lakukanlah semua itu dalam nama Tuhan Yesus." Nah, saya kia semua orang yang harus berpisah dengan keluarganya, istri atau suaminya, patut mengingat ayat ini apa pun yang kita lakukan, lakukanlah dalam nama Tuhan Yesus.
Jadi meskipun tidak diawasi tidak dilihat oleh pasangan kita, kita harus selalu bertanya dapatkah saya berkata, saya melakukan hal ini dalam nama Tuhan Yesus? Sebab itu yang Tuhan minta, kalau kita tidak bisa mengatakan ya saya melakukannya dalam nama Tuhan Yesus berarti itu hal yang tidak bisa kita lakukan.
GS : Ya, tidak bisa di pertanggungjawabkan yang pasti.
PG : Betul, meskipun tidak dilihat oleh pasangan kita.
GS : Tapi Tuhan itu yang melihat semuanya.
IR : Juga terhadap anak-anak yang di luar kota, Pak Paul?
PG : Tepat sekali jadi anak-anak yang berpisah dari orang tuanya, yang tidak diawasi oleh orang tua harus bertanya dapatkah saya berkata yang saya lakukan ini dalam nama Tuhan Yesus.
GS : Saya rasa itu perlu diajarkan kepada anak-anaknya, harus studi di luar kita dan sebagainya. Kita harus bersyukur bahwa kita punya Tuhan yang terus mengawasi, membimbing hidup kita ke jalan yang benar.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan tentang ekses kalau keluarga suami istri itu harus berpisah secara terpaksa, berpisah walaupun untuk sementara waktu. Dan pembicaraan ini telah kami lakukan bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 41 B
- Apakah dampak yang ditimbulkan akibat terpisahnya suami dan istri?
- Faktor-faktor apa yang perlu dipertimbangkan dalam menghadapi kerugian yang besar akibat dari keterpisahan ini?
- Bagaimana sikap seorang ibu ketika menghadapi pertanyaan anak mengenai ayahnya yang jarang pulang ke rumah?