Disiplin dan Anak Baik

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T597B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Anak memerlukan disiplin bukan saja dalam hal sekolah tapi juga dalam hal kerohanian, kehidupan rohani tidak sama dengan aktivitas rohani, kenali anak dalam kekuatan dan kelemahannya, pentingkan perubahan dan perbuatan di dalam bukan di luar, beri kebebasan yang cukup untuk menyatakan dirinya, anak harus menyenangkan Tuhan, bukan hanya orang tua.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Pada umumnya kita mengaitkan kata disiplin dengan anak nakal, seolah-olah hanya anak nakal saja yang memerlukan disiplin. Ternyata anak yang penurut dan baik pun memerlukan disiplin sebab tujuan disiplin bukan hanya untuk menghukum anak melainkan juga untuk membentuk anak. Sebaik apa pun bila anak bertumbuh tanpa disiplin, ia akan menuai masalah dalam hidup.

Anak memerlukan disiplin sama seperti mobil memerlukan rem. Lewat disiplin anak belajar untuk mengendalikan hasrat atau keinginannya. Banyak orang tua membatasi disiplin pada hal-hal seputar SEKOLAH saja. Selama anak mengerjakan tugas sekolah dengan baik, maka anak diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja. Di sinilah letak kesalahannya. Banyak anak yang bertumbuh besar membawa bekal akademik yang baik, tetapi tidak memunyai rem atas hasrat atau kemauannya yang lain. Alhasil, di luar bekerja mereka tidak memunyai rem. Sebagai contoh, ada anak berkedudukan baik dalam pekerjaannya tetapi memunyai kebiasaan buruk seperti berjudi atau berfoya-foya. Atau, ada anak yang berprofesi baik namun tidak peduli dengan orang. Dari beberapa contoh ini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya anak-anak ini tidak memunyai rem atas hasrat mereka sebab mereka tidak menerima disiplin yang menyeluruh. Orang tua hanya memfokuskan pada tugas sekolah, seakan-akan tugas sekolah adalah satu-satunya tugas yang penting dalam hidup. Itu sebab kita mesti memerhatikan hal lain dalam hidup anak, bukan hanya tugas sekolah, agar ia dapat bertumbuh secara utuh.

Selain sekolah, hal lain yang kerap menjadi perhatian kita adalah KEROHANIAN. Masalahnya adalah kita menyamakan kehidupan rohani dengan aktivitas rohani. Kita mengharuskan anak untuk pergi ke gereja dan terlibat dalam kegiatan rohani. Selama anak memenuhi harapan, kita diam dan tenang. Kita lupa bahwa kegiatan rohani adalah kegiatan yang dikaitkan dengan kerohanian, bukan kehidupan rohani itu sendiri. Bila ini yang kita tekankan, pada akhirnya anak bisa bergiat dalam aktivitas gerejawi tetapi sebenarnya ia tidak memunyai disiplin rohani, yaitu mengerem diri untuk menjauh dari dosa dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Setelah besar, kalaupun masih bergereja, kebanyakan hanya melakukannya sebagai kebiasaan belaka. Sebagian lagi bahkan tidak lagi bergereja dan hidup di luar Tuhan. Mereka hidup sesuai dengan interes dan keinginan pribadi; bila ingin ke gereja, mereka akan pergi, tetapi bila sedang tidak ingin, mereka pun tidak pergi. Singkat kata, karena bertumbuh besar tanpa disiplin rohani, maka mereka pun tidak pernah mengembangkan rem atas hasrat dan keinginan sendiri. Mereka berbuat sekehendak hati; kalau pun masih percaya Tuhan, mereka hidup di atas Tuhan.

Hal ketiga yang menjadikan mereka anak baik dan membuat kita luput mendisiplin mereka adalah PERAN PENOLONG di dalam kemelut rumah tangga. Ini adalah anak yang berjasa dalam mendamaikan konflik orang tua atau menjadi anak teladan untuk menghibur hati orang tua yang kecewa—baik kepada pasangan atau anak yang lain, atau hidup pada umumnya. Oleh karena jasa besar ini, orang tua membiarkan anak bertumbuh-kembang sesukanya. Alhasil, anak tidak pernah mengembangkan rem terhadap hasratnya atau disiplin diri yang kuat.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah yang mesti kita perbuat agar kita tidak melakukan kesalahan ini dan dapat mengembangkan disiplin diri yang menyeluruh pada anak? Pertama, kita harus mengenal anak kita, dalam pengertian mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Jangan lupa bahwa anak kita, sebaik apa pun, tetap adalah manusia berdosa. Mazmur 51:7 mengingatkan kita akan kebenaran ini, "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku." Jadi, sebagai manusia berdosa, ia memunyai kelemahan dan kecenderungan untuk berdosa. Nah, sebagai orangtua kita mesti tahu kelemahannya dan mengarahkan atau mendisiplinnya sejak kecil. Jangan biarkan bibit dosa bertumbuh besar! Saya teringat suatu peristiwa sewaktu anak-anak kami masih kecil. Suatu hari saya mengajak mereka ke taman dekat rumah dengan mengendarai sepeda roda tiga mereka masing-masing. Biasanya saya membiarkan mereka berjalan di depan dan saya mengikuti dari belakang. Hari itu saya berjalan di depan. Setelah melangkah maju, saya tiba-tiba menyadari bahwa salah seorang anak kami malah berhenti, tidak mengikuti saya. Sewaktu saya mengajaknya untuk jalan, ia menolak. Ia berkata bahwa ia harus berjalan di depan dan saya mesti mengekornya dari belakang. Itulah kelemahannya; ia berkeinginan kuat dan tidak suka menjadi Nomor Dua. Prestasi akademiknya selalu cemerlang dan di rumah ia selalu "baik," tidak berulah atau nakal. Namun ia keras kepala dan ingin menjadi Nomor Satu. Karena ia terus menolak maju, walau saya suruh, saya lalu memegang sepedanya dan memaksanya jalan. Ia meronta dan menangis, tetapi saya tidak berhenti sampai tiba di tempat tujuan. Saya teringat saya harus mengulangi disiplin ini satu atau dua kali lagi sebelum akhirnya ia mengikut saya. Kita mesti mengenal kekuatan dan kelemahan anak, dan mendisiplinnya di wilayah kelemahannya.

Kedua, kita harus mementingkan hal yang penting, yaitu perubahan dan perbuatan di dalam, bukan di luar. Tuntutan kepada anak untuk melakukan sesuatu supaya terlihat baik di luar biasanya berakibat buruk di kemudian hari. Sewaktu kecil anak menurut karena takut, tetapi begitu besar dan tidak lagi takut, anak memunculkan diri apa adanya, yang ternyata sangat berbeda dari apa yang tampak selama ini. Jadi, kita mesti menyeimbangkan antara tuntutan dan memberi kebebasan kepada anak. Kita hanya dapat melihat diri anak yang sebenarnya bila kita memberikannya kebebasan yang cukup untuk menjadi dirinya. Di saat itu barulah kita dapat mengenal anak apa adanya, dan mengarahkan serta mendisiplinnya secara tepat. Amsal 22:6 mengingatkan, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu." Jalan yang patut bukan hanya jalan yang baik dan benar tetapi juga pas atau cocok dengan siapa dirinya. Itu sebab kita harus memberi perhatian yang lebih besar pada perbuatan dan perubahan di dalam daripada di luar. Untuk itu kita mesti memberikannya kebebasan yang cukup untuk menyatakan dirinya, dan tidak menindihnya dengan tuntutan kita. Dengan kata lain, jangan cepat puas dengan apa yang kita lihat dari luar—bahwa dia anak yang baik—sebaliknya, perhatikanlah yang di dalam. Pada akhirnya anak mesti hidup menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan orang tua.