oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Kata kunci: Anak memerlukan disiplin bukan saja dalam hal sekolah tapi juga dalam hal kerohanian, kehidupan rohani tidak sama dengan aktivitas rohani, kenali anak dalam kekuatan dan kelemahannya, pentingkan perubahan dan perbuatan di dalam bukan di luar, beri kebebasan yang cukup untuk menyatakan dirinya, anak harus menyenangkan Tuhan, bukan hanya orang tua.
TELAGA 2023
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Disiplin dan Anak Baik". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, dalam perbincangan kita kali ini, kita akan berbicara tentang "Disiplin dan Anak Baik", tentunya kita bertanya-tanya, anak sudah baik apa masih perlu sebuah disiplin lagi, bagaimana Pak Paul tentang hal ini?
PG: Pada umumnya kita mengaitkan kata disiplin dengan anak nakal, ya, Pak Necholas. Seolah-olah hanya anak nakal saja yang memerlukan disiplin, ternyata anak yang penurut dan baik pun memerlukan disiplin sebab tujuan disiplin bukan hanya untuk menghukum anak melainkan juga untuk membentuk anak. Sebaik apapun bila anak bertumbuh tanpa disiplin, ia akan menuai masalah dalam hidup. Jadi ini saya mau garis bawahi ya, Pak Necholas, disiplin itu bukan hanya untuk menghukum, mungkin yang lebih penting justru adalah membentuk anak. Nah, ini yang kadang memang luput kita perhatikan, kita hanya mengaitkan disiplin dengan hukuman. Mari kita akan bahas dengan lebih saksama. Anak memerlukan disiplin sama seperti mobil memerlukan rem. Lewat disiplin anak belajar untuk mengendalikan hasrat atau keinginannya. Banyak orang tua membatasi disiplin pada hal-hal seputar sekolah saja. Selama anak mengerjakan tugas sekolah dengan baik maka anak diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja. Disinilah letak kesalahannya, Pak Necholas. Banyak anak yang bertumbuh besar membawa bekal akademik yang baik tapi tidak memunyai rem atas hasrat atau kemauannya yang lain. Alhasil diluar bekerja, kalau mereka sudah besar dan bekerja, mereka tidak memunyai rem. Sebagai contoh, ada anak yang setelah besar berkedudukan baik dalam pekerjaannya, tapi memunyai kebiasaan buruk seperti berjudi, atau berfoya-foya atau sekarang yang lagi trend dan sering terjadi adalah main game. Cukup banyak anak-anak yang sudah dewasa, yang sudah ada keluarga kadang-kadang malah bisa menghabiskan waktu berjam-jam main game atau misalnya suka dengan hal-hal yang bersifat media sosial. Masuk ke media sosial berjam-jam, nah ini menandakan memang tidak ada disiplin. Atau contoh lain, ada anak yang berprofesi baik, manajer atau apa, namun tidak peduli dengan orang, hanya pikirkan diri, tidak pusing dengan orang sama sekali. Dari beberapa contoh ini dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya anak-anak ini tidak memunyai rem atas hasrat mereka, keinginan mereka sebab mereka tidak menerima disiplin yang menyeluruh. Orang tua hanya memfokuskan pada tugas sekolah, seakan-akan tugas sekolah adalah satu-satunya tugas yang penting dalam hidup. Itu sebab kita mesti memerhatikan hal-hal lain dalam hidup anak, bukan hanya tugas sekolah agar dia dapat bertumbuh secara utuh.
ND: Yang Pak Paul maksudkan orang tua tidak boleh misalnya yang penting kamu nilainya diatas 90, PR sudah selesai, kamu boleh main game sepuasnya. Jadi tetap dalam hidupnya harus kita atur, begitu ya Pak Paul?
PG: Betul, jadi mereka misalkan mau main game, tugas-tugas mereka sudah selesai, kita izinkan tapi bukan tanpa batas. Misalkan kepada mereka sudah dijanjikan kita belikan mainan, kalau misalkan mereka bisa menyelesaikan sekolah dengan baik semester ini, itu tidak berarti bahwa waktu kita bawa dia ke toko, dia boleh pilih semua yang dia inginkan. Tidak juga, akan ada batasnya. Jadi sekali lagi kita harus mengawasi anak secara keseluruhan, bukan hanya sekolah. Ketakutan saya sekarang ini adalah karena kita hidup dalam dunia yang kompetitif, kita selalu jadi berpikir dalam hal ini, kompetisi. Dalam hal kerja, dalam hal produktif, dalam hal mesti pintar, mesti nanti menjadi anak yang cerdas, berpendidikan tinggi atau apa, itu menjadi seolah-olah satu-satunya hal yang penting, tujuan hidup, padahal kita tahu banyak hal lain yang juga penting dan seringkali anak-anak seperti inilah setelah besar, kalau tidak punya disiplin dalam hal-hal yang lain, nanti akan menghancurkan hidupnya sendiri.
ND: Jadi tidak boleh hanya sebatas pada hal akademis atau sekolah dia sudah mencapai prestasi, kita anggap cukup.
PG: Betul sekali, Pak Necholas. Jadi ini yang pertama yang kita mesti perhatikan. Ada yang kedua yaitu selain sekolah, hal lain yang kerap menjadi perhatian kita adalah kerohanian. Masalahnya adalah ini, kita menyamakan kehidupan rohani dengan aktifitas rohani atau sebaliknya, aktifitas rohani dengan kehidupan rohani. Kita mengharuskan anak untuk pergi ke gereja dan terlibat dalam kegiatan rohani. Selama anak memenuhi harapan, kita diam dan tenang. Kita lupa bahwa kegiatan rohani adalah kegiatan yang dikaitkan dengan kerohanian, bukan kehidupan rohani itu sendiri. Bila ini yang kita tekankan maka pada akhirnya anak bisa bergiat dalam aktifitas gerejawi, tapi sebenarnya dia tidak memunyai kehidupan atau disiplin rohani yaitu mengerem diri untuk menjauh dari dosa dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Bahkan setelah besar walaupun masih bergereja kebanyakan hanya melakukannya sebagai kebiasaan belaka, sebagian lagi bahkan tidak lagi bergereja dan hidup di luar Tuhan. Mereka hidup sesuai dengan interes/minat dan keinginan pribadi. Bila ingin ke gereja, mereka akan pergi, apabila sedang tidak ingin ke gereja, mereka pun tidak pergi. Singkat kata, karena bertumbuh besar tanpa disiplin rohani dan tanpa hubungan rohani dengan Tuhan, maka mereka pun tidak pernah mengembangkan rem atas hasrat dan keinginan sendiri. Mereka berbuat sekehendak hati, kalau pun masih percaya Tuhan, mereka hidup seolah-olah di atas Tuhan, artinya merekalah yang menjadi tuhan. Kapan mau berbuat sesuatu untuk Tuhan, dilakukan. Kapan tidak mau berbuat sesuatu untuk Tuhan, tidak akan dilakukan. Sama sekali tidak ada disiplin rohani, jadi kita mesti memerhatikan hal ini, Pak Necholas.
ND: Tentunya orang tua tidak boleh cepat puas, kalau sekadar melihat anaknya rajin ke gereja, ikut pelayanan ini itu. Ini yang ingin ditekan oleh Pak Paul?
PG: Betul sekali, Pak Necholas. Kita senang anak-anak kita terlibat dalam pelayanan, namun ingat ini hanyalah kegiatan, ini sama sekali tidak menandakan kedekatannya dengan Tuhan. Seberapa besar cintanya pada Tuhan, nah kita sebetulnya lebih dapat mengukur kedekatannya dan kehidupannya dengan Tuhan lewat disiplin rohaninya, apakah misalkan dia membaca firman Tuhan? Apakah dia memelihara hidup doa dengan Tuhan, apakah dia terbuka dengan Tuhan waktu kita bicara dengan dia, apakah dia bisa melihat kasih karunia Tuhan, dapat mengakui kesalahan atau kekurangannya di hadapan Tuhan. Semua hal itu sebetulnya ukuran yang lebih tepat untuk bisa melihat hubungannya dengan Tuhan, ketimbang kegiatan-kegiatan gerejawi.
ND: Meskipun kalau kita punya anak masih kecil, kita tentu juga perlu, ya Pak Paul, untuk memaksa mereka untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rohani?
PG: Nah, memang kita mau membiasakan sehingga itu menjadi bagian dari kerutinan hidup mereka, misalkan pergi ke gereja setiap minggu, kita mau biasakan namun bukan hanya itu yang kita perlu perhatikan adalah di luar itu, di luar kegiatan, bagaimanakah ia hidup dengan Tuhan, seberapa pentingnya Tuhan. Dalam percakapan apakah dia misalnya memasukkan Tuhan dalam keputusannya, pertimbangannya ataukah kalau bicara dengan dia tentang apapun, tidak ada Tuhannya sama sekali. Nah, kalau kita memerhatikan mengapa ya, dalam hal apa pun, dalam keputusan apa pun, dia tidak memasukkan Tuhan sama sekali, tidak pernah singgung-singgung Tuhan. Kita akhirnya baru sadar bahwa sebetulnya memang Tuhan tidak ada dalam hidupnya, makanya tidak pernah memasukkan Tuhan didalam pertimbangannya atau dalam keputusan yang diambilnya.
ND: Ini adalah hal yang tadi Pak Paul sampaikan, ada dua yang Pak Paul sudah singgung yaitu orang tua terlalu fokus pada disiplin di sekolah dan disiplin dalam aktifitas rohani, apa ada hal lain yang menjadi kesalahan dari orang tua ?
PG: Ada, yang ketiga yaitu menjadikan anak-anak baik, menjadikan mereka anak baik, membuat kita luput mendisiplin mereka dalam hal peran penolong di dalam kemelut rumah tangga. Ini adalah anak yang berjasa dalam mendamaikan konflik orang tua, atau menjadi anak teladan yang menghibur hati orang tua yang kecewa, baik kepada pasangan atau kepada anak yang lain atau pada hidup secara umum. Oleh karena jasa besar ini, orang tua membiarkan anak bertumbuh kembang sesukanya. Alhasil anak tidak pernah mengembangkan rem terhadap hasratnya atau disiplin diri yang kuat, sebab orang tua sudah merasa sungkan, sudah merasa bersyukur, sudah merasa senang anak ini menjadi penolong, pendamping, penghibur, penguat, pemberi motivasi. Jadi sudah yang lain-lainnya tidak lagi diperhatikan. Anak ini tidak pernah ditegur sehingga pembentukan itu tidak terjadi. Iya anak ini baik kepada kita, penolong kita, memerhatikan kita, tapi sebetulnya anak ini tidak memunyai disiplin dalam hal-hal yang lainnya. Yang saya sudah melihat contohnya anak-anak yang seperti ini, Pak Necholas, dimana di usia dewasa akhirnya memang tetap menjadi anak yang baik, sayang pada mama atau papanya, namun hidup di luar berantakan luar biasa. Kawin cerai beberapa kali, ada yang berjudi habis-habisan, ada yang bisnisnya hancur karena tidak bijaksana dalam mengelola keuangannya. Jadi kita melihat dalam hal hidup secara umum, anak ini tidak memunyai disiplin sama sekali, tapi karena orang tua sudah mendapatkan kebaikan si anak yang menolongnya, akhirnya memang seolah-olah tidak melihat hal-hal yang lain dalam hidup si anak itu.
ND: Jadi dalam poin ini Pak Paul ingin mengingatkan bahwa ada keluarga yang kadang keharmonisannya itu ditunjang oleh kehadiran si anak dan karena si anak ini sudah sangat berjasa, akhirnya orang tuanya kalau mau beli apa, terserah, mau main game terserah, jadi tidak ada batasan sama sekali.
PG: Tepat sekali, tepat sekali. Jadi anak ini tumbuh besar tanpa disiplin, berarti tanpa bentukan. Begitu, Pak Necholas.
ND: Nah, kalau melihat dari bahaya-bahaya atau kesalahan yang dilakukan oleh pasangan dalam mendisiplin anak yang mereka anggap baik, bagaimana sekarang kita bisa memerbaiki kesalahan ini dan kita bisa mendisiplin anak secara menyeluruh?
PG: Pertama kita harus mengenal anak, Pak Necholas, dalam pengertian mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Jangan lupa bahwa anak kita, sebaik apa pun, tetap adalah manusia berdosa. Mazmur 51:7 mengingatkan kita akan kebenaran ini, "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku". Jadi sebagai manusia berdosa yang memunyai kelemahan dan kecenderungan untuk berdosa, sebagai orang tua kita mesti tahu kelemahannya dan mengarahkan atau mendisiplinnya sejak kecil. Jangan biarkan bibit dosa bertumbuh besar. Saya teringat suatu peristiwa sewaktu anak-anak kami masih kecil, Pak Necholas. Suatu hari saya mengajak mereka ke taman dekat rumah dengan mengendarai sepeda roda tiga, mereka masing-masing. Biasanya saya membiarkan mereka berjalan di depan dan saya mengikuti dari belakang. Hari itu saya berjalan di depan, tidak sengaja sebetulnya. Setelah melangkah maju saya tiba-tiba menyadari bahwa salah seorang anak kami, berhenti, tidak menggenjot sepedanya, sewaktu saya mengajaknya untuk jalan, "Ayo jalan", dia menolak. Saya tanya, "Mengapa?" Dia berkata bahwa dia harus berjalan di depan dan saya harus berjalan di belakangnya, mengekornya. Dia baru berusia sekitar empat lima tahun sudah bisa bicara seperti begitu. Nah, itulah kelemahannya, dia berkeinginan kuat dan tidak suka menjadi nomor dua. Anak ini prestasi akademiknya selalu cemerlang dan di rumah dia selalu baik, tidak berulah, tidak nakal namun dia keras kepala dan ingin menjadi nomor satu. Karena dia selalu menolak maju walau saya menyuruhnya, saya lalu memegang sepedanya dan menariknya untuk jalan mengikuti saya. Sudah tentu dia meronta dan menangis tapi saya tidak berhenti, saya terus tarik sampai di taman, baru saya lepaskan. Saya teringat saya harus mengulangi disiplin ini satu atau dua kali lagi, sebelum akhirnya dia langsung mengikut saya. Nah, kita mesti mengenal kekuatan dan kelemahan anak dan mendisiplinnya di wilayah kelemahannya. Ini memang sebagai catatan saja, saya mau ingatkan betapa pentingnya kita menghabiskan waktu dengan anak. Tidak mungkin kita mengenal kekuatan dan kelemahannya bila tidak menghabiskan waktu dengan mereka. Kita tahu karena kita melihat atau berinteraksi dengan anak, jadi sekali lagi kita sudah membahas pentingnya kita ini menghabiskan waktu bersama anak untuk dapat mengenal kekuatan dan kelemahannya sehingga bisa mendisiplinnya dengan lebih terarah.
ND: Dan kita juga tidak boleh mendewakan anak, merasa bahwa anak selalu benar.
PG: Betul sekali, betul sekali. Kita tidak bisa berkata, "Ya sudahlah, ia ‘kan anak baik, prestasi akademiknya baik, di rumah juga baik, tidak pernah nakal". Kita tutup mata terhadap hal-hal yang lainnya, tidak ! Kita mesti melihat dimana ia lemah dan kita mesti mulai membentuknya sejak ia kecil.
ND: Selain kita mengenal anak supaya kita bisa mendisiplinkannya lagi, apa ada hal lain yang perlu kita lakukan, Pak Paul?
PG: Kita mesti mementingkan hal yang penting, Pak Necholas, yaitu perubahan dan perbuatan di dalam, bukan di luar. Tuntutan kepada anak untuk melakukan sesuatu supaya terlihat baik di luar, biasanya berakibat buruk di kemudian hari. Sewaktu kecil, anak menurut karena takut, tapi begitu besar dan tidak lagi takut, anak memunculkan diri apa adanya, yang ternyata sangat berbeda dari apa yang tampak selama ini. Jadi kita mesti menyeimbangkan antara tuntutan dan memberi kebebasan kepada anak. Kita hanya dapat melihat diri anak yang sebenarnya bila kita memberikannya kebebasan yang cukup untuk menjadi dirinya. Di saat itu barulah kita dapat mengenal anak apa adanya dan mengarahkan serta mendisiplinnya secara tepat. Kadang saya mendengar keluhan seperti ini dari orang tua yang anaknya sudah remaja atau sudah pemuda, sudah kuliah, "Mengapa anak saya menjadi begini sekarang? Mengapa bisa menjadi lain?" Kadang-kadang saya mendengar istilah yang digunakan, saya merasa seperti "kecolongan". Saya seringkali harus berkata, "Bukan kecolongan", anak ini memang baru menampakkan siapa dirinya sekarang ini, karena sekarang ini dia memunyai kebebasan itu. Kalau kita mau merunut ke belakang dan berkata mungkin saya berbuat kesalahan, mungkin sekali tatkala kecil kita memang kurang memberinya kebebasan sehingga kita tidak melihat siapa dirinya yang sebenarnya. Tetapi sudah tentu juga benar kalau orang tua berkata, "Saya memberikan kebebasan, saya tidak mengekang anak berlebihan". Bisa tidak, mengapa dia berubah sekarang karena pengaruh lingkungan? Itu juga bisa, saya harus akui itu. Karena anak sekarang sudah kuliah misalkan di luar kota, bertemu dengan teman-teman yang tidak selalu seperti yang kita harapkan, bisa jadi mereka terpengaruh dan akhirnya mengadopsi perilaku, atau sikap atau nilai yang dianut oleh teman-temannya itu, akhirnya mereka mau menjadi diri yang seperti itu, yang berbeda dari apa yang kita harapkan. Itu juga bisa terjadi. Ini yang mau saya tekankan, pentingkanlah hal yang penting dan yang penting adalah perubahan dan perbuatan di dalam, bukan di luar.
ND: Apa yang saya pahami dari penjelasan Pak Paul ini, orang tua tidak boleh ‘over-protective’ sehingga anak itu terus melakukan sesuatu hanya karena takut atau karena dia ingin menyenangkan orang tua, tapi dengan kita memberinya kebebasan ada waktu-waktu kita bisa seperti menguji apakah dia melakukan hal yang baik itu karena takut atau karena memang lahir dari dirinya sendiri.
PG: Betul, betul, jadi sedapat-dapatnya kita seimbangkan antara mengekang dan memberi kebebasan kepada anak. Jangan sampai akhirnya kebablasan terlalu mengekang dia, mengharuskan dia karena hanya bisa berlaku untuk satu kurun. Lewat usia tertentu, anak menginjak dewasa, kita tidak lagi bisa mengekangnya. Takutnya disanalah, di saat itulah diri yang asli itu keluar. Jadi kita sedapatnya sejak kecil mencoba menyeimbangkan kedua hal ini.
ND: Baik, dari dua hal yang tadi Pak Paul sampaikan, yaitu orang tua perlu mengenal anak sehingga bisa mengetahui kelemahannya dan kita mendisiplin dia di area tersebut dan yang kedua yaitu kita mementingkan perubahan yang di dalam, bukan di luar dengan cara menyeimbangkan antara tuntutan dan memberikan kebebasan pada anak. Pak Paul, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin disampaikan?
PG :Amsal 22 ayat 6 mengingatkan "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun dia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu". Jalan yang patut bukan hanya jalan yang baik dan benar, tapi juga pas atau cocok dengan siapa dirinya. Saya garis bawahi lagi, jalan yang patut bagi anak bukan hanya jalan yang baik dan benar, tapi juga pas atau cocok dengan siapa dirinya, itu sebab kita harus memberi perhatian yang lebih besar pada perbuatan dan perubahan di dalam daripada di luar. Untuk itu kita mesti memberikannya kebebasan yang cukup untuk menyatakan dirinya dan tidak menindihnya dengan tuntutan kita. Dengan kata lain, jangan cepat puas dengan apa yang kita lihat dari luar bahwa dia anak yang baik, sebaliknya perhatikanlah yang di dalam. Pada akhirnya anak mesti hidup menyenangkan Tuhan, bukan menyenangkan orang tua saja. Saya juga dan istri saya bergumul, ada satu masa sewaktu anak-anak kami memberontak, di usia dewasa mengambil jalan yang tidak kami inginkan atau harapkan dalam hal kerohanian. Mereka menjauh dari Tuhan, menjalani hidup tidak dalam Tuhan. Saya kadang pada saat itu berpikir, "Mengapa bisa sampai terjadi?" Saya berusaha tidak menindih mereka dengan tekanan, keharusan, tuntutan. Saya tidak pernah memaksa mereka harus ikut dalam pelayanan dan sebagainya, hanya seminggu sekali pergi ke gereja, tapi di rumah kami mencoba berbicara, mengobrol secara lebih bebas, tapi tetap di usia dewasa akhirnya beberapa di antara mereka goncang dan akhirnya mengalami krisis. Nah, akhirnya saya simpulkan satu hal, bahwa meskipun saya berusaha tidak memberikan tekanan itu, mereka sudah merasa tertekan, karena mereka tahu siapa Santy, siapa saya. Apa yang kami ini lakukan dalam hidup, apa yang kami utamakan, perjuangkan dalam hidup yaitu kerohanian, Kristus, keselamatan Tuhan. Akhirnya itu tanpa kami paksakan kepada mereka, sudah menjadi tekanan dan akhirnya itulah yang mereka seolah-olah rasakan membelenggu mereka dan mereka harus lepaskan, tapi puji Tuhan akhirnya mereka kembali. Ada yang beberapa tahun, ada yang cukup lama sampai tujuh tahun baru kembali. Saya mau ingatkan kita mesti hati-hati karena jangan sampai anak akhirnya merasa dituntut seperti itu, sebab makin dia merasa dituntut, diharuskan, berlaku, bersikap seperti yang orang tuanya inginkan, makin besar dorongan untuk dia nanti melepaskan diri dari belenggu itu.
ND: Saya rasa dari sharing Pak Paul kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa sebaik-baiknya orang tua berusaha, kita sudah semaksimal mungkin melakukan apa yang kita rasa baik bagi perkembangan anak, pada akhirnya kita harus bergantung kepada Tuhan karena Tuhanlah yang lebih mengenal mereka, Tuhan yang lebih menyertai mereka. Orang tua suatu saat bisa tidak ada, tapi Tuhan itu kekal adanya.
PG: Betul sekali, Pak Necholas, dalam kasus anak-anak saya, mereka kembali sama sekali bukan karena saya atau Santy, sama sekali, tapi karena Tuhan. Kami tidak mengaturnya, tidak membuatnya, tidak ! Kami sudah berusaha "mentok", tapi akhirnya Tuhan panggil mereka kembali. Semua karena kasih karunia Tuhan.
ND: Baik, terima kasih banyak Pak Paul atas sharing dan perbincangan kita yang begitu indah pada perbincangan kita kali ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Disiplin dan Anak Baik". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.