Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi,
di mana pun anda berada. Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur
Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen
dan kali ini saya bersama Ibu Dientje Laluyan, kami akan berbincang-bincang
dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling
serta dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali
ini tentang “Dampak Kudus Pada Anak”. Kami percaya acara ini pasti
bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat
mengikuti.
DL : Pak Paul, saya ingin bertanya,
bagaimana dampak kudus pada anak dalam keluarga kristiani sebab banyak orang
tua berdoa untuk kekudusan bagi anaknya bahkan bertahun-tahun tapi seakan-akan
belum dijawab bahkan ada juga permusuhan antar saudara dalam keluarga Kristen ini.
Padahal itu keluarga hamba Tuhan.
PG : Begini, Ibu Dientje, kekudusan itu
memang merupakan ciri utama dari kehidupan Kristiani. Kita tidak bisa berkata,
“Saya orang Kristen dan saya ini adalah anak Allah, pengikut Kristus” kemudian
hidup kita penuh dengan dosa, itu tidak bisa! Memang tidak bisa disatukan dosa
dan Tuhan karena Tuhan itu kudus. Jadi anak-anak perlu sekali melihat hal ini
pada kehidupan kita, sebab kalau tidak, maka nantinya anak-anak itu hampir
dapat dipastikan akan kehilangan kesempatan untuk sungguh-sungguh mengenal
Tuhan, apa yang dilihatnya dalam diri kita yang hidup tidak benar, itu
benar-benar akan memadamkan keinginannya untuk mengenal Tuhan dan seringkali
akhirnya mereka malahan meninggalkan Tuhan.
GS : Yang seringkali kita tidak tahu
apakah yang kita lakukan, hidup kudus yang kita sudah peragakan itu berdampak
atau tidak pada anak kita, Pak Paul ? Kita sulit mengukurnya apalagi kalau
anak-anak ini masih kecil, kita sudah berupaya tapi apakah itu terserap oleh
mereka atau tidak, kita tidak mengetahuinya ?
PG : Saya berikan sebuah kasus nyata dan
ini memang saya dapati di Amerika. Jadi seorang ibu bercerita tentang anaknya,
dari tiga anaknya, dua sudah meninggalkan Tuhan. Jadi ibu itu bercerita dengan
sedih sebab dia berkata, “Kami sudah mencoba sekuat tenaga mengarahkan anak
untuk hidup benar dalam Tuhan, anak-anaknya akhirnya rajin ke gereja dan
terlibat dalam remaja dan sebagainya, tapi setelah dewasa meninggalkan Tuhan”.
Waktu saya mendengar itu sudah tentu merasa iba dan kasihan, “Kasihan sekali si
ibu ini” tapi belakangan saya itu berkesempatan bertemu dengan si suami dan suaminya
bercerita tentang istrinya, intinya adalah si suami menceritakan problem yang
memang dimiliki oleh si istri dan waktu si suami bercerita seperti itu maka
saya kira-kira baru mengerti kenapa anak-anak akhirnya sampai meninggalkan
Tuhan. Sebab apa yang terjadi memang mungkin sekali si ibu benar bahwa mereka
mencoba menanamkan nilai-nilai rohani, tapi hubungannya dengan suami tidak
baik. Jadi banyak masalah di antara mereka, akhirnya buat anak-anak, buat apa
bicara tentang Tuhan, tapi hidup papa dan mama tidak karuan. Jadi akhirnya
mereka benar-benar melepaskan semua yang namanya dengan kerohanian, iman
Kristiani karena orang tua hidupnya tidak karuan, bertengkar dan sebagainya.
Jadi kita seringkali baru tahu efeknya itu setelah anak-anak mulai besar. Pada
masa kecil anak tidak punya pilihan, yang penting dibawa ke gereja dan
anak-anak mengikuti saja, tapi setelah besar barulah nanti anak-anak itu
berkesempatan untuk berkata, “Tidak mau” dan kita tidak bisa berbuat apa-apa,
baru saat itu kita sadar bahwa ada dampaknya.
GS : Pak Paul, apa dampak kekudusan suatu
keluarga khususnya orang tua terhadap anak atau anak-anak mereka ?
PG : Yang pertama adalah kalau sewaktu
kita hidup kudus, anak jadinya berkesempatan untuk belajar bagaimana hidup
kudus. Kita sering berkata pada anak-anak, “Hidup yang benar, jangan sampai
berdosa dan sebagainya” tapi kita juga tidak mencontohkan secara langsung
bagaimana caranya hidup seperti itu. Kalau kita hidup kudus maka anak akan
belajar dari kita. Masalahnya adalah anak-anak itu nanti biasanya berpikir,
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, semuanya juga tidak benar” akhirnya
mereka berkata, “Buat apa hidup kudus, lebih baik kita hidup sembarangan karena
semua orang di dunia juga seperti itu”. Anak-anak perlu tahu bahwa masih ada
orang yang hidup kudus yaitu orang tuanya, tapi dia juga perlu belajar bagaimana
untuk hidup kudus dan dia pelajari dari kita. Contohnya sudah tentu haruslah
datang dari kita sendiri, sewaktu anak melihat kesetiaan kita kepada Kristus
dan keluarga, dia melihat hidup yang kudus, sewaktu mereka melihat kesungguhan
kita melayani Tuhan dia melihat yang kudus, waktu dia melihat kejujuran kita ia
pun melihat kekudusan. Jadi anak-anak itu perlu melihat langsung sehingga bisa
nantinya belajar dari kita bagaimana untuk hidup kudus.
GS : Kadang-kadang ada yang salah
mengerti tentang kekudusan, seolah-olah orang yang kudus itu tidak boleh
berdosa lagi dan hidupnya seperti malaikat. Hal seperti ini juga menyesatkan
anak, “Bagaimana mungkin saya seperti malaikat” daripada seperti itu maka
langsung saja melakukan dosa.
PG : Maka anak-anak perlu melihat kita
terbuka kepada anak dengan kelemahan kita juga. Misalkan ada hal-hal yang
pernah kita gumuli, biarkan anak-anak juga mendengar dan terutama bagaimana
kita mengatasinya. Jadi saya misalnya bicara dengan anak-anak saya tentang saya
dulu terlibat pornografi, dengan cara itulah anak-anak tahu bahwa saya bukanlah
orang yang sempurna tapi dengan anugerah Tuhan saya bisa mengatasinya, sehingga
waktu anak saya mengalami pergumulan yang sama, maka mereka bisa mencari saya
dan bicara dengan saya. Sekali lagi jadinya lewat hal-hal seperti itu anak
belajar bagaimana hidup kudus karena kita mengalaminya, sekali lagi saya tidak
mengatakan biarlah anak-anak melihat betapa sempurnanya kita, tidak seperti itu.
Karena kita juga manusia biasa yang kadang-kadang juga dicobai dan bisa jatuh
juga. Dalam hal inilah kita perlu terbuka mengakui keterbatasan kita.
GS : Bukan hanya diri kita, tapi
lingkungan kita pun juga orang-orang yang berdosa yang penuh dengan kecemaran,
Pak Paul.
PG : Betul. Jadi bagikanlah hal-hal yang
praktis yang dilakukan oleh orang-orang dan kita memang bisa mengomentari tapi
kita juga harus berhati-hati dan jangan sampai kita terlalu memberikan
penghakiman dan kita juga harus mengerti bahwa orang itu juga punya kelemahan.
Tapi sekali lagi dengan cara itu kita mau mengatakan pada anak-anak kita bahwa
inilah dunia, memang penuh dengan orang-orang yang tidak kudus, tapi kita mau
mencoba belajar hidup kudus dan anak-anak melihat bahwa kita mencoba untuk
hidup benar dan kudus di hadapan Tuhan.
GS : Jadi sebenarnya yang dituntut atau
yang dibutuhkan oleh anak-anak itu bukan tuntutan untuk hidup kudus, tapi
tuntunan bagaimana mereka bisa hidup kudus sesuai dengan kebenaran firman
Tuhan.
DL : Teladan juga.
PG : Tepat sekali. Lewat teladan kita
memberikan tuntunan kepada anak-anak. Ini bagus sekali, Pak Gunawan mengangkat
hal itu, seringkali di rumah kita melakukan hal itu, kita memberikan tuntutan
harus seperti ini dan begitu, tapi kita sendiri tidak menyediakan tuntunan itu.
Jadi waktu anak-anak mengerti kalau inilah caranya, akhirnya anak-anak belajar
bagaimana dia belajar hidup benar di hadapan Tuhan.
GS : Jadi sebenarnya kekudusan itu
dilatihkan di dalam diri anak itu, begitu Pak Paul ?
PG : Bisa dilatihkan atau dengan kata
lain bisa diajarkan lewat apa yang kita katakan dan sudah tentu lewat kehidupan
kita sendiri.
DL : Tapi ada juga saya melihat ada keluarga
hamba Tuhan, anaknya saling bermusuhan dan juga ada yang tidak ke gereja karena
sudah memunyai akar pahit, sudah disatukan, sudah ditolong supaya mereka
mengerti bahwa itu tidak baik, tapi kelihatannya sulit terhadap keluarga ini.
Itu kenapa, Pak Paul ?
PG : Mungkin sekali akarnya bukan masalah
rohani, tapi akarnya besar kemungkinan itu masalah keluarga.
DL : Akumulasi dari yang lama.
PG : Betul. Mungkin sekali terlalu banyak
kemarahan dan kepahitan kepada keluarga sendiri sehingga akhirnya anak-anak itu
memutuskan untuk terlepas sejauh-jauhnya dan tidak mau lagi tahu tentang kakak
dan adiknya karena mungkin sekali sudah terlalu banyak kepahitan.
DL : Dan mungkin itu bisa diatasi hanya
dengan doa ?
PG : Sudah tentu harus berdoa, tapi kalau
orang itu menyadari hal ini maka orang tua memang bisa memulai dengan
keterbukaan, kenyataan bahwa mereka tidak sempurna dan harus diakui dan mencoba
memerbaikinya. Anak-anak maunya melihat perubahan dan anak tidak perlu lagi
mendengar orang tua mengaku salah tapi tidak berbuat apa-apa, mereka maunya
mereka mengaku tapi tunjukkanlah perubahan dan benar-benar berbeda. Saya yakin
anak-anak kalau melihat orang tua berubah maka mereka akan cepat mengampuni.
DL : Tapi ada juga anak hamba Tuhan,
hamba Tuhan itu dipakai Tuhan luar biasa tapi anaknya itu seakan-akan minder,
tidak bisa percaya diri sehingga dia tidak bisa maju, itu kenapa, Pak Paul ?
PG : Akhirnya banyak penyebabnya,
seringkali karena banyak keluarga dimana orang tua sibuk dan tidak bisa tidak
kadang-kadang anaknya agak terlantar sehingga kurang mendapat perhatian, kasih
sayang dan dibangunkan serta diarahkan sehingga akhirnya anak-anak itu tercecer
di belakang. Ini memang bukan saja saya kira masalah dalam keluarga hamba Tuhan,
tapi dalam semua keluarga yang memang kesibukannya sangat tinggi dan biasanya
anak-anak akhirnya tercecer.
GS : Tidak banyak saya rasa orang tua
yang berani mengungkapkan masa lalunya yang kelam, kelemahan dan dosa-dosanya
dengan alasan anak saya belum siap untuk mendengar itu, nanti kalau saya
ceritakan malah pandangan dia terhadap saya menjadi jelek. Bagaimana
mengatasinya, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu anak-anak itu pada
masa-masa kecil sekali tidak harus mendengar kelemahan kita, tapi waktu kita
mulai melihat bahwa mereka sudah di usia dimana kita juga bergumul dengan hal-hal
tersebut, maka ada baiknya orang tua mengakui apa adanya. Jadi dalam pengertian
menyadari kesalahan dan mencoba memerbaikinya dan jangan menyesali pernikahan
kita atau pasangan kita. Kadang-kadang orang tua seperti itu, yaitu salah
memilih pasangan misalnya anggapannya saya keliru memilih suami saya, kemudian
itu yang terus dikomunikasikan kepada anak-anak, “Salah saya memilih papa,
seharusnya saya tidak memilih papamu”. Jadi menyesali menikah dengan si papa. Anak-anak
menjadi bukannya tambah terbangunkan tapi malah terpuruk, jadi kalau bisa
janganlah menyesal-nyesalkan pilihan kita tentang pasangan kita tapi biarlah
kalau kita mau cerita tentang hal-hal lain yang memang kita perbuat dulu yang
kita tahu itu salah dan sekarang kita sadari dan sekarang kita sudah berubah.
Lewat hal-hal itu anak-anak akhirnya bisa lebih mengerti.
GS : Bagaimana supaya tidak ada kekuatiran
bahwa anaknya akan mengulang dosa yang dilakukan oleh si ayah, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu kita tidak bisa
memastikan bahwa anak tidak akan mengulang, tapi kita dengan hidup kudus,
dengan hidup benar itu menjadi sebuah daya tarik, Pak Gunawan. Sebab anak-anak
mengerti bahwa dunia ini kotor banyak sekali orang-orang yang berdosa dalam
hidup ini, waktu kita hidup benar, waktu kita hidup kudus, maka anak akan nanti
diingatkan bahwa di tengah-tengah dunia yang kotor ini masih ada orang yang
hidupnya bersih. Dulu saya pernah memunyai teman, dia itu cerita bahwa papanya
adalah orang yang sangat jujur, begitu jujurnya waktu dia bekerja sebagai
salesman disuruh untuk membohongi pelanggan tentang produknya, dia menolak. Karena
dia menolak maka diberhentikan dan disuruh pulang langsung. Dia cerita kepada
saya bahwa papanya itu sejujur itu hidupnya dan memang pada masa pertumbuhannya
hidup mereka sangat pas-pasan namun setelah anak-anak dewasa Tuhan berkati
dengan berlimpah. Namun ini yang selalu anaknya katakan, “Papa saya adalah
orang yang paling jujur di dunia” jadi ini teladan yang bagus, karena si anak
setelah dewasa dia pasti melihat di dunia itu banyak orang yang tidak jujur
tapi dia masih bisa berkata, “masih ada yang jujur” berarti kalau orang berkata,
“Hiduplah jujur” dan bisa hidup jujur, maka dia akan berkata, “Masih
dimungkinkan”. Kalau orang berkata, “Mana mungkin hidup jujur” dia masih bisa
berkata, “Papa saya hidup jujur meskipun kami dulu hidup pas-pasan tapi kami
masih hidup dan sekarang hidup kami sangat baik sekali” jadi sekali lagi waktu
dia melihat adanya yang jujur di rumahnya itu menjadi sebuah pilar, sebuah kekuatan
bagi dia untuk hidup jujur karena ternyata bisa hidup jujur dan dia melihat
Tuhan memberkati orang yang hidupnya jujur.
GS : Tapi ada anak yang justru menyesali
kenapa orang tuanya begitu jujur sampai mereka tidak bisa hidup yang layak,
begitu Pak Paul.
PG : Memang kadang-kadang anak-anak itu
karena tidak mengerti merasa begitu terutama pada masa kecil, mau beli mainan
tidak bisa, mau beli ini tidak bisa. Maka orang tua juga mesti bisa
mengutarakan kondisi dan jangan misalnya anak mau membeli barang kemudian
dikatakan, “papa orang miskin karena papa ini orang yang mau mengikut Tuhan”
jadi jangan terlalu berbicara seperti itu, tapi biarkan perbuatan kita yang
berbicara, sehingga anak-anak melihat bahwa inilah papa saya dan inilah mama
saya. Hidupnya jujur dan saleh. Meskipun dia berontak karena dia tidak bisa
membeli barang ini dan itu, tapi setelah dia mulai besar umumnya mereka akan
menghargai. Saya sudah melihat ini dari orang yang saya juga kenal, masih
kecilnya memang mengeluh tapi setelah besar selalu membicarakan tentang ayahnya
dengan hormat meskipun pada waktu masih kecil menderita, tapi setelah besar
selalu membicarakan tentang ayahnya yang jujur itu dengan rasa hormat.
GS : Memang seseorang akan melakukan apa
yang diminta oleh orang tuanya ketika mereka bisa melihat hasil positif dari
apa yang dilakukan oleh orang tuanya.
PG : Jadi dia melihat bahwa benar ya
Tuhan menyertai dan Tuhan memberkati. Memang untuk sementara hidupnya agak
susah, tapi akhirnya dia melihat betapa mulianya kehidupan yang seperti itu.
Namun yang terutama adalah waktu kita hidup jujur, kita itu benar-benar
mengkomunikasikan kepada anak-anak kita bahwa di dunia masih ada orang yang jujur
dan hidupnya kudus dan kitalah orangnya. Jadi mereka berkesempatan bukan saja
mengenal tapi hidup bersama dengan orang yang hidup kudus, ini menjadi sebuah
pelajaran dan kekuatan bagi anak untuk nantinya hidup kudus.
DL : Apa perbedaan antara jujur dan polos
? Karena ada anak yang karena jujurnya dia terlalu polos berkata kepada tempat
yang mau melamar, “Baik, saya akan terima tapi tunggu dulu karena saya masih
melamar di dua tempat” akhirnya dia tidak jadi diterima karena terlalu polos,
kemudian dia bilang, “Saya ‘kan harus jujur” kemudian saya katakan “Itu salah”.
PG : Jadi dengan kata lain kita jujur,
tapi juga harus bijaksana.
GS : Hal apa, Pak Paul, yang diperoleh
seorang anak ketika kita itu hidup kudus ?
PG : Saya tadi sudah singgung tentang
memberikan mereka kekuatan untuk hidup kudus, satu hal lagi yang juga penting
adalah waktu mereka itu mengalami pencobaan dan pergumulan, mereka itu lebih
dimotivasi untuk kudus, sebagai contoh kalau saya tidak menyalahkan semua orang
yang bercerai karena setiap kasus lain-lain, banyak kasus justru orang itu
tidak mau bercerai tapi menjadi korban dari perceraian itu. Tapi ini yang saya
mau katakan, kalau orang tua kita tidak bercerai, misalkan dalam pernikahan
kita mengalami problem maka sudah tentu godaan angkat tangan itu besar, namun
kalau orang tua kita itu tidak bercerai maka kita mau angkat tangan pun, mau
menyerah, mau bercerai masih berpikir dua kali; tapi kalau orang tua bercerai
maka kita tidak akan berpikir dua kali, sebab orang tua kita pun tidak akan
bisa bicara apa-apa, tidak bisa melarang kita kalau pun mereka mau menegur kita,
kita sudah bisa berkata, “papa mama sendiri bercerai”. Jadi dengan kata lain,
orang yang bisa hidup kudus akan memberikan amunisi atau kekuatan kepada
anaknya untuk lebih bertahan di dalam pencobaan sehingga tidak cepat menyerah
dan angkat tangan.
DL : Tapi ada anak karena dia melihat
orang tuanya, kehidupan rumah tangganya sering bertengkar, dia mengatakan
bagini, “Besok jika saya sudah dewasa, saya tidak mau menikah”.
PG : Betul, banyak yang begitu karena
menjadi pengalaman yang pahit buat dia, buat apa saya menikah kalau nanti
akhirnya harus hidup seperti papa mama saya, terus bertengkar.
GS : Tapi ada sebaliknya yang ketika
melihat orang tuanya tidak bercerai tapi hidupnya susah karena mereka mencoba
menjalankan kebenaran firman Tuhan dengan kekudusan dan sebagainya, anak ini
pun berkata, “Saya pun tidak akan menikah kalau hidupnya akhirnya seperti itu”.
Sebenarnya orang tuanya memberikan contoh, tapi dia melihat pernikahan ini
tidak cocok buat saya.
DL : Berarti dia mengambil sisi
negatifnya.
PG : Kalau kita mau hidup kudus, kita
juga mesti hidup dengan sukacita, Pak Gunawan. Memang sulit, tapi penting
jangan sampai anak berkata, “Buat apa hidup kudus, buat apa hidup berkenan pada
Tuhan tapi seperti itu tidak ada sukacita, menderita terus”. Hal itu juga
membuat anak berpikir, “Buat apa ?” Sebagai contoh yang saya akan bagikan
adalah contoh dari Penginjil John Sung yang kita tahu dipakai Tuhan di Asia
Tenggara dan juga di Tiongkok pada tahun 1930-an. Waktu dia mau menjadi hamba
Tuhan, dia menolak mati-matian karena dia memunyai ambisi ingin menjadi apa,
tapi Tuhan panggil dia. Salah satu alasan sebetulnya adalah karena memang
papanya pendeta dan hidupnya susah. Rupanya mereka menaruh harapan yang besar
pada John Sung, nanti setelah selesai studi di Amerika pulang ke Tiongkok, dia
bisa mengangkat bukan saja harkat keluarga tapi juga perekonomian keluarga.
Pada waktu dia pulang dan mengatakan ingin menjadi hamba Tuhan, orang tuanya
kecewa luar biasa. Tapi bisa dimengerti karena orang tua itu hidup susah,
sebagai seorang hamba Tuhan, jadi anak mengembangkan pikiran tidak mau menjadi
hamba Tuhan. Mungkin juga orang tuanya kadang-kadang menyesali nasibnya, maka
kalau kita mau hidup kudus, benarlah hidupnya, dengan sukacita jangan sampai
terus mengeluh. “Karena saya ikut Tuhan, hidup saya seperti ini dan sebagainya”,
akhirnya anak-anak berkata, “Tidak mau hidup kudus, karena papa mama hidupnya
bertambah susah”. Jadi justru harus ada sukacita meskipun hidup kita pas-pasan,
ada sukacita karena kita melihat Tuhan tetap memelihara, tetap bersyukur,
sehingga anak-anak akan menangkap itu yang penting, hidup benar di hadapan
Tuhan dan bisa tetap hidup sukacita untuk Tuhan.
GS : Memang seringkali yang kita jumpai,
banyak anak tidak mau melanjutkan profesi dari orang tuanya karena dia melihat
kehidupan yang seperti itu susah, bukan hanya dalam segi menjadi pendeta atau
penginjil, tapi dalam pekerjaan-pekerjaan yang lain seperti misalnya menjadi
polisi, misalnya menjadi pegawai. Orang tuanya ada yang menganjurkan, kamu
kalau besar jangan seperti papa. Dia memunyai gambaran bahwa kehidupan itu bila
dijalani dengan jujur, dengan tulus akan menimbulkan kesukaran dalam hidupnya.
PG : Nah ini ajaran yang sudah tentu
tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, sebab Tuhan menghendaki kita hidup berkenan
kepada-Nya dan terima konsekwensinya, mungkin kita tidak bisa naik pangkat,
tidak bisa mengumpulkan kekayaan, ya tidak apa-apa. Tapi waktu anak melihat
orang tuanya hidup dengan sukacita, melayani Tuhan, hidup buat Tuhan. Itu
menjadi kekuatan yang besar buat anak-anak ini. Contoh kehidupan dari Dr. James
Dobson, seorang psikolog Kristen di Amerika Serikat. Dia bercerita papa mamanya
hidupnya pas-pasan, karena di tahun-tahun itu papa mamanya bergantung pada
pemberian jemaat, pemberian gereja pada waktu papa menjadi seorang penginjil
keliling berkhotbah, kadang-kadang ya kurang, tapi yang dilihat oleh Dr. James
Dobson sebagai anak, papa mamanya selalu bersyukur ! Dalam salah satu
autobiografinya ditulis, dia kadang-kadang melihat papanya pulang dari
pelayanan, mengobrol dengan mamanya tentang apa yang Tuhan kerjakan lewat dia
waktu mengunjungi suatu tempat. Di akhir pembicaraannya dia berkata, “Uangnya
saya berikan pada keluarga hamba Tuhan itu karena mereka susah sekali” dan
mamanya berkata, “Ya tidak apa-apa kalau memang Tuhan menggerakkan kamu
begitu”. Dr. James Dobson melihat papa mamanya hidup dengan penuh sukacita,
penuh syukur dan rukun, itu menjadi bekal rohani yang luar biasa buat dia,
sehingga waktu dia besar dia menjadi tokoh yang Tuhan pakai.
DL : Berarti seorang anak, dia bisa
melihat bagaimana kehidupan rohani orang tuanya, kudus, sukacita. Kadang-kadang
saya melihat anak ini dari kecil ikut ibadah, tapi setelah besar dia jauh dari
itu semua, karena mungkin ia melihat perbuatan orang tuanya.
PG : Mungkin, mungkin mereka berkata,
“Percumalah, papa mama suruh renungan bersama tapi kehidupannya seperti itu,
tidak harmonis, buat apa ?” Jadi mereka menjadi tawar hati, Bu Dientje. Maka
sekali lagi penting sekali itu kekudusan, kita tidak bisa menjadi saksi Kristus
di rumah kalau kekudusan sudah tidak ada lagi.
GS : Memang Tuhan selalu memerintahkan
kepada umat-Nya untuk mendidik anak-anak mereka hidup kudus di hadapan Tuhan,
tapi yang paling sulit adalah memberikan teladan kepada mereka bagaimana hidup
kudus itu sendiri, Pak Paul. Untuk menyimpulkan perbincangan kita pada saat
ini, mungkin ada firman Tuhan yang ingin Pak Paul sampaikan ?
PG : Di Mazmur 84:12, firman Tuhan
berkata, “Sebab Tuhan adalah matahari dan perisai, kasih dan kemuliaan Ia
berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela“.
Inilah janji Tuhan kepada kita yang hidup kudus, hidup tidak bercela, Ia akan
melimpahkan kita dengan kebaikan, kasih dan kemuliaan.
GS : Jadi kita memang hidup berdasarkan
kebenaran firman Tuhan itu. Terima kasih Pak Paul untuk perbincangan ini. Dan
para pendengar sekalian kami mengucapkan banyak terima kasih Anda telah
mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, dalam acara Telaga
(Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang “Dampak
Kudus pada Anak”. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai acara ini silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda
ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat
menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org
kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org.
Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya
dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa
pada acara TELAGA yang akan datang.