Saudara–saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso dari Lembaga Bina Keluarga Kristen akan berbincang-bincang dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini akan membahas tentang "Dampak Kekudusan dan Kerukunan pada Anak". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, suatu keluarga yang dikaruniai anak memang akan ada masalah lain yaitu bagaimana mengakrabkan dan merukunkan anggota keluarga. Jadi bukan hanya suami istri tetapi juga orang tua dan anak. Tetapi banyak juga keluarga Kristen yang gagal mewujudkan suatu keluarga yang harmonis, rukun, akrab dan sebagainya. Sebenarnya apa masalahnya, Pak Paul ?
PG : Tidak bisa tidak dalam pernikahan akan banyak rintangan dan konflik yang mesti diselesaikan. Kadang ada yang berhasil melewati fase-fase itu dan akhirnya bertumbuh dalam relasi tapi juga ada yang mandeg di dalam menghadapi konflik. Akhirnya konflik-konflik yang tak terselesaikan itu makin bertimbun menjadi sebuah masalah besar sehingga akhirnya relasi suami istri menjadi renggang sekali. Nah, tidak bisa tidak, nanti itu akan menimbulkan dampak pada anak. Dan juga tadi Pak Gunawan sudah singgung, bahwa penting juga kita memerhatikan aspek kekudusan karena kekudusan orang tua juga berdampak pada anak-anaknya.
GS : Yang Pak Paul maksudkan dengan kekudusan itu seperti apa ?
PG : Dalam pengertian kita memang berusaha untuk hidup menjauh dari dosa, hidup taat kepada firman Tuhan. Memang dalam kasus-kasus yang ekstrem, kalau kita melabelkan tidak kudus itu seperti apa, misalnya adalah orang-orang yang mempunyai pasangan lain di luar pernikahan, terlibat dalam hubungan perzinahan atau mungkin memunyai perilaku atau kehidupan yang bergelimpangan dosa, menipu orang dan sebagainya. Itu semua juga nantinya berdampak pada anak-anak.
GS : Jadi kekudusan dan kerukunan itu begitu penting untuk diwujudkan dalam satu keluarga, termasuk keluarga Kristen ?
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi boleh dikatakan, kekudusan dan kerukunan adalah tiang yang menyangga keluarga supaya anak-anak bisa bertumbuh besar dan sehat.
GS : Untuk lebih jelasnya, apakah Pak Paul punya contoh kasus yang nyata ?
PG : Ada, Pak Gunawan. Beberapa tahun yang lalu saya membaca cerita tentang seorang anak yang bernama Larry, ini di Amerika Serikat. Larry sebetulnya baru berusia 15 tahun namun telah banyak yang dia alami. Ibunya adalah pecandu narkoba dan ayahnya tidak pernah hadir dalam kehidupannya. Pada usia 2 tahun, akhirnya dia diadopsi oleh sebuah keluarga, namun masalahnya berlanjut. Dia harus mengulang kelas 1 oleh karena masalah membaca dan bicara. Di rumah dia sering menusuk-nusuk dinding di kamarnya dengan obeng dan tidak jarang sewaktu diajak berbelanja di toko, dia mencuri ! Pada usia 10 tahun, Larry memberitahu teman-temannya bahwa ia seorang homoseksual. Informasi ini membuatnya menjadi sasaran cemoohan di sekolahnya. Namun Larry bergeming dan malah makin agresif. Dia mulai ke sekolah dengan memakai lipstick dan eyeliner, bahkan kadang dia berpakaian wanita dan meminta orang memanggilnya Leticia - nama perempuan. Nah, bukannya takut terhadap ejekan teman, dia malah makin berani mengeluarkan kata-kata menyudutkan teman prianya. Akhirnya Larry mulai menyukai teman prianya yang bernama Brandon, berusia 14 tahun. Dia lalu menyebarkan cerita bahwa sesungguhnya Brandon dan dirinya pernah terlibat relasi asmara namun sekarang sudah putus. Ia juga pernah mengancam Brandon untuk bersikap lebih manis kepadanya sebab bila tidak, ia tidak akan segan-segan membeberkan relasi asmaranya – cerita yang sebetulnya tidak pernah terbukti. Nah, 2 hari sebelum Hari Kasih Valentine, Larry meminta Brandon untuk menjadi teman kencannya. Dia melakukan hal itu ketika Brandon tengah bermain bola basket dengan teman-temannya di sekolah. Sudah tentu perbuatannya itu memancing ejekan teman terhadap Brandon. Sesuatu yang sudah tentu sangat memalukan dia. Pada Hari Valentine, Larry masuk ke kelas, mulai mengetik makalahnya di depan meja komputer. Brandon pun masuk dan memilih duduk di belakangnya. Untuk sejenak Brandon tampak bingung. Sebentar ia menunduk membaca bukunya, kemudian menatap Larry dari belakang, ia terus melakukan itu sampai kira-kira pukul 08.30 pagi. Nah, tiba-tiba Brandon bangkit, mengeluarkan pistol dan menembakkannya 2 kali ke kepala Larry! Dia melemparkan pistol itu ke lantai kemudian dengan tenang dia berjalan keluar pintu kelas. Larry meninggal dunia 2 hari kemudian. Pak Gunawan, peristiwa tragis itu terjadi pada tanggal 12 Februari 2008, di sebuah SMP bernama E.O. Green Junior High School di kota Oxnard di pinggir Los Angeles. Sudah tentu pertanyaan yang muncul adalah apakah gerangan yang membuat Brandon begitu tega melakukan pembunuhan hanya oleh karena merasa dipermalukan oleh teman sekelasnya ? Nah, untuk memahami perbuatannya, kita mesti mengetahui latar belakangnya. Brandon ini dibesarkan oleh orang tua yang bercerai. Jauh sebelum ia lahir, orang tuanya sering berkelahi. Dalam suatu perkelahian, ayahnya bahkan sempat menembak lengan ibunya setelah sebelumnya menodongkan pistol itu ke kepala ibunya. Dalam perkelahian yang lain, ayahnya menjambak rambut ibunya, mencekik lehernya dan membuatnya hampir pingsan. Akhirnya mereka berpisah, Brandon ikut dengan ibunya. Namun tidak lama karena berikutnya dia pindah tinggal dengan ayahnya berhubung ibunya menjalani program rehabilitasi kecanduan narkoba. Jadi ibunya pecandu narkoba. Ayah Brandon bekerja jauh dari rumah sehingga hampir setiap hari Brandon ditinggal di rumah seorang diri. Brandon pun mulai bergaul dengan teman-teman yang bermasalah. Nah, itulah potret Brandon yang kelam, Pak Gunawan. Sama kelamnya dengan potret Larry. Ini adalah contoh dimana, 2 keluarga ini kehilangan 2 tiang yang tadi kita sebut, tidak ada lagi kekudusan dan tidak ada lagi kerukunan.
GS : Tapi kalau kita melihat atau mendengarkan kisah yang Pak Paul sampaikan ini, bahwa Larry sejak kecil sudah diadopsi oleh keluarga lain. Apakah keluarga yang mengadopsi dia itu memang bermasalah atau tidak, kita tidak tahu ?
PG : Memang tidak diceritakan tentang keluarga yang mengadopsinya. Tapi rupanya memang anak ini karena dikandung di dalam kondisi orang tua yang bermasalah, dilahirkan dalam kondisi bermasalah, jadi memang pada masa bayinya pun anak ini tidak mendapatkan perawatan dan kasih sayang yang semestinya. Makanya setelah diadopsi pun rupanya gejolak hidupnya itu terus berlanjut. Makanya sebelum dia menyatakan dirinya sebagai seorang homoseksual dan berdandan seperti wanita dan sebagainya, dia sudah terlibat dengan masalah-masalah perilaku lainnya.
GS : Tapi sebenarnya Brandon juga berasal dari keluarga yang bermasalah. Ini artinya mereka berdua ini, Larry dan Brandon, punya masalah latar belakang yang kurang bagus. Begitu, Pak Paul ?
PG : Betul. Memang keduanya dari keluarga yang sarat dengan masalah. Jadi akhirnya keduanya mengembangkan jiwa yang bermasalah juga. Kita bisa simpulkan, Larry dan Brandon hanyalah serpihan ledakan yang ditimbulkan oleh orang tuanya. Mungkin kita bertanya, ‘kan seharusnya mereka melihat orang tuanya begitu bermasalah, maka mulailah hidup baru yang lebih baik. Tapi kita harus mengakui bahwa kendati mereka memunyai pilihan untuk menjadi manusia yang berbeda, namun kekuatan untuk memilih jalan hidup yang berbeda itu sangatlah lemah. Kenapa ? Sebab masalah orang tuanya telah menguras hampir semua kekuatan mereka untuk memilih jalan yang berbeda.
GS : Tentu kita sebagai keluarga kristiani tidak mengharapkan memunyai anak-anak atau keluarga kita mengalami masalah yang seberat itu, Pak Paul. Namun apa yang bisa dilakukan oleh keluarga-keluarga kristiani, termasuk kita sendiri, agar hal seperti itu bisa dihindari ?
PG : Saya akan bacakan dari 1 Petrus 1:14-16, Pak Gunawan. "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu. Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus yang telah memanggil kamu. Sebab ada tertulis: ‘Kuduslah kamu sebab Aku kudus.’ " Nah, dalam ayat ini kita dapat melihat dengan sangat jelas, Tuhan memerintahkan kita untuk hidup kudus. Tidak lagi menuruti hawa nafsu tapi justru hidup kudus seperti yang Tuhan kehendaki. Yang menarik adalah di dalam pasal yang sama, yaitu di 1 Petrus 1:22 Rasul Petrus melanjutkan, "Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas. Hendaklah kamu saling bersungguh-sungguh, saling mengasihi dengan segenap hatimu." Jadi, pertama Petrus menasehati kita orang percaya untuk hidup kudus, tidak menuruti hawa nafsu. Berikutnya dia menasehati kita untuk hidup saling mengasihi, dengan kata lain, hidup rukun. Jadi kita bisa melihat 2 hal ini begitu penting sehingga Petrus harus memunculkannya, hidup kudus dan hidup rukun dalam kasih, di dalam Pasal yang sama ini. Jadi kita juga mesti menerapkan firman Tuhan ini di dalam kehidupan keluarga kita.
GS : Pengertian hidup kudus disini apakah hanya sekadar berbeda dengan orang-orang yang belum mengenal Tuhan Yesus atau ada pengertian yang lain, Pak Paul ?
PG : Sudah tentu berbeda dalam pengertian kita tidak lagi melakukan dosa yang mungkin dulu kita lakukan sewaktu kita belum mengenal Tuhan atau yang mungkin dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita, kita tidak lagi melakukannya. Namun tidak cukup hanya kita tidak melakukan dosa, tapi kita juga harus melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Yang menjadi kehendak Tuhan adalah, yang tadi kita telah baca, kita harus mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas. Hendaklah kamu saling sungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu. Jadi ada yang harus kita tanggalkan, ada yang harus kita kenakan. Yang kita tanggalkan adalah hidup yang lama dalam hawa nafsu, dan kita akan kenakan hidup dalam kasih persaudaraan yang tulus ikhlas. Dua hal ini yang mesti lebih kita perhatikan dan tegakkan di dalam hubungan kita sebagai suami dan istri.
GS : Rupanya perintah ini secara keseluruhan ya, bukan hanya sebagian-sebagian, karena disini ditekankan menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu ?
PG : Betul sekali, Pak Gunawan. Memang tidak hanya sepotong-sepotong tapi dalam segala aspek kehidupan kita.
GS : Dan yang menjadi panutannya justru Allah sendiri, dikatakan, "Kuduslah kamu sebab Aku kudus." Begitu ya, Pak Paul ? Seringkali kita membandingkan dengan orang lain. "Saya masih lebih baik daripada keluarga itu. Saya tidak melakukan ini itu". Tetapi kalau panutannya Allah sendiri, berarti kekudusan ini harus sempurna.
PG : Betul, Pak Gunawan. Memang dalam pernikahan, kita tidak membandingkan diri dengan pasangan kita. "Saya ini lebih baik dari kamu. Saya tidak begini tapi kamu begini." Tidak! Jadi acuan kita selalu Tuhan Yesus sendiri karena panggilan kita adalah menjadi serupa dengan Kristus. Bukannya kita bertepuk dada, kita tidak seperti pasangan kita, tetapi kita harus menjadikan Yesus Tuhan kita sebagai patron/pola. Kita harus tambah hari tambah serupa dengan Dia.
GS : Demikian juga dengan mengasihi. Dikatakan di sini "Saling mengasihi dengan segenap hatimu" begitu Pak Paul. Ini memang suatu perintah yang mutlak.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi benar-benar bukan kasih yang setengah-setengah dan bukannya kasih yang dicampur dengan hal-hal lain. Misalnya kebencian, iri hati. Tidak ya. Benar-benar sepenuh hati kita diisi oleh kasih terhadap pasangan kita.
GS : Sekarang, apa dampaknya kalau kita hanya menekankan satu sisi saja dari dua itu, antara kekudusan dan kerukunan ?
PG : Kadang-kadang kita harus mengakui inilah yang kita lakukan, Pak Gunawan. Kita hanya menekankan salah satu dari dua hal itu. Coba kita lihat apa dampaknya kalau kita sebagai orang tua hanya menekankan kekudusan tetapi gagal membina kerukunan dalam keluarga. Nah, inilah dampaknya yaitu kekudusan tanpa kerukunan berpotensi besar menciptakan kemunafikan yang pada akhirnya membuat anak menjauh dari iman yang melahirkan kekudusan. Sewaktu anak melihat kita hidup tidak rukun, bukan saja dia akan sukar menerima nasehat kita, tetapi juga dia akan cenderung menolaknya. Nah, dengan kata lain ia tidak bisa terima. Sebanyak apapun kita mencoba memberikan wejangan-wejangan rohani kepadanya, biasanya dia tidak mau lagi mendengarkan. Kecenderungannya adalah dia akan mudah sekali melabelkan kita sebagai orang yang munafik dan ini yang lebih parah, akhirnya bisa-bisa dia nanti menjauh dari iman yang sebetulnya kita rindukan dia bisa miliki.
GS : Tapi ‘kan kehidupan anak itu bukan hanya dibentuk oleh satu sisi yaitu keluarga, Pak Paul? ‘kan ada banyak hal yang membentuk anak ini ?
PG : Betul. Memang kita tidak bisa pastikan kalau sampai anak itu hidupnya menjauh dari iman itu dikarenakan anak melihat orang tuanya munafik. Memang tidak bisa. Jadi ada pengaruh-pengaruh luar dan kita juga harus mengakui anak memunyai kehendak dan pilihannya. Namun kalau kita memang hidup tidak konsisten, menekankan kekudusan – hidup harus benar, jauh dari dosa, harus menyenangkan hati Tuhan – tapi kita bertengkar terus-menerus dengan pasangan kita, akhirnya anak susah sekali mendengarkan nasehat-nasehat kita dan tidak jarang dia justru meninggalkan iman yang kita ingin tanamkan kepadanya.
GS : Yang anak lihat justru tidak adanya integritas di dalam diri orang tua itu, Pak Paul. Baik ayah maupun ibunya. Jadi antara perkataan dan sikap yang mereka tunjukkan terhadap anak ini sangat berbeda, dan ini membuat anak bingung dan menganggapnya munafik.
PG : Betul. Memang anak akan dengan mudah melabelkan orang tuanya itu munafik. Kok bisa ngomong tentang apa yang Tuhan kehendaki lah, tapi kok kehidupannya tidak pernah bisa rukun. Jadi kalau saya bisa soroti, sekurang-kurangnya ada 2 faktor atau 2 alasan kenapa anak akhirnya bisa mencap kita munafik dan dia bisa menjauh dari iman yang ingin kita wariskan kepadanya, Pak Gunawan. Yang pertama adalah anak menolak karena anak ingin melihat hidup kita rukun terlebih dahulu sebelum kita memberikan wejangan-wejangan rohani. Singkat kata, penolakan anak merupakan ungkapan isi hatinya yang ingin melihat kita orang tuanya membereskan masalah kita dan hidup rukun terlebih dahulu. Jadi seolah-olah mereka mau berkata kepada kita, "Tolonglah bereskan dulu masalahmu baru perhatikan masalah saya. Sebelum kamu membereskan masalahmu, mohon jangan perhatikan masalah saya." Kira-kira itu poin pertamanya. Poin keduanya adalah anak menolak karena anak menyimpulkan bahwa iman kristiani ternyata kok tidak berdaya mendamaikan orang tuanya. Orang tuanya rajin ke gereja, rajin pelayanan, memunyai kehidupan yang sangat baik di mata orang tapi di rumah tidak pernah cocok, pasangan suami istri ini terus menerus bertengkar. Jadi di mata anak, menjadi orang Kristen ternyata kok tidak mengubah apa-apa. Marah tetap ada, cekcok tetap sering. Tidak bisa tidak akhirnya dia bertanya, "Buat apa menjadi orang Kristen ?" Mama papanya bicara apa tentang Tuhan kepadanya ya dia tidak mau mendengarkan lagi. Sebab dia melihat tidak ada efeknya, tidak ada perubahan kok.
GS : Bahkan kalau anak ini misalnya rajin berdoa, ‘kan antara lain dia mendoakan supaya orang tuanya rukun. Tapi ternyata masih seperti itu. Kesannya seolah-olah Allah tidak mampu menolong keluarganya.
PG : Betul sekali. Akhirnya dia melihat percumalah. Kalau orang tua hanya menekankan kekudusan tapi kehidupannya tidak rukun, akhirnya cenderung membuat anak-anaknya makin menjauh. Bukannya malah makin melihat orang tuanya hidup kudus sehingga mereka mau hidup kudus juga sesuai dengan kehendak Tuhan, malah kebalikannya, justru anak-anaknya tidak mau.
GS : Kalau pertengkaran itu terus terjadi, ujung-ujungnya ‘kan pada perceraian. Apakah perceraian itu menyelesaikan masalah buat anak ini ?
PG : Sudah tentu dalam hal tidak lagi melihat orang tuanya bertengkar, itu selesai, karena tidak lagi tinggal bersama. Tapi perceraian itu juga akan membuka pintu terhadap masalah yang lain, Pak Gunawan. Itu yang harus diperhatikan juga.
GS : Sekarang sebaliknya, orang yang menekankan kerukunan tetapi tidak ada kekudusan, bagaimana ?
PG : Dampaknya begini. Kerukunan tanpa kekudusan memang hampir mustahil, menurut saya. Namun kalaupun ada, ini berpotensi membangkitkan generasi anak yang bermoralitas relatif, artinya tanpa standart dan tanpa batas. Saya menyimpulkan hampir mustahil sebab saya tidak dapat membayangkan bagaimana kita dapat hidup rukun bila kita hidup menuruti hawa nafsu ? Bagaimana kita bisa hidup rukun jika kita tidak setia kepada janji nikah dan hidup semaunya ? Jadi saya kira hampir mustahil. Tapi kalaupun itu dimungkinkan, saya kuatir dampaknya pada anak adalah anak bertumbuh besar tanpa panduan moral sama sekali. Akhirnya semua boleh dilakukan bila dianggap baik. Ini kadang-kadang terjadi, cukup umum sekarang ini. Ada orang tua yang sudah bercerai, misalnya, akhirnya si anak tinggal dengan ibunya. Kemudian ibunya bertemu dengan pria lain. Pria ini akhirnya tinggal bersama dengan ibunya padahal bukan suami ibunya. Ibunya berkata, "Saya cocok dengan dia. Dia cocok dengan saya. Kami tidak pernah ribut." Anaknya memang mengakui memang tidak pernah ribut lagi seperti dengan ayahnya dulu. Tapi sekarang sudah tinggal bersama padahal tidak diikat oleh pernikahan. Nah, ini contoh dimana kekudusan tidak ada, kerukunan ada. Apa dampaknya pada anak ? Dampaknya adalah nanti anak akan berkata, "Oh kalau begitu pokoknya kalau menurut saya baik ya saya lakukan. Tidak ada lagi standart moral. Sebab semuanya diukur dari pendapat kita pribadi."
GS : Seringkali terjadi anak diajar untuk membaca Alkitab, rajin ke gereja, tetapi mereka juga melihat keluarganya sendiri tidak konsisten dengan apa yang diajarkan atau yang dianjurkan pada anak. Ini pun membuat anak itu, walaupun keluarga itu rukun, tetapi bisa tidak mempunyai standard yang kuat.
PG : Betul sekali. Memang kerukunan tentu saja penting tapi juga mesti ada kekudusan. Karena kekudusan itu memberikan pesan yang jelas pada anak bahwa ada standard, kita mengacu pada firman Tuhan, kita mau melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan bukan yang dikehendaki oleh kita atau apa yang kita anggap baik. Nah, standard inilah yang harus dimiliki anak.
GS : Ya. Dan disitu unsur disiplin orang tua terhadap anak juga penting untuk menekankan kekudusan dan juga kerukunan dalam keluarga.
PG : Betul, Pak Gunawan. Jadi intinya pasangan ini mesti menegakkan kekudusan dan kerukunan dalam keluarga. Kenapa ? Sebab lewat kekudusan, anak akan melihat kekudusan Allah. Sewaktu anak melihat papa mama berdoa, jauh dari dosa, setia dan hidup takut akan Tuhan, anak juga akan melihat kekudusan Allah dan sewaktu anak melihat kita hidup rukun, anak melihat kasih Allah. Bukan berarti orang tua atau kita tidak ribut. Pernah ribut dan mungkin akan tetap ribut, tetapi kita bisa menyelesaikan, kita bisa mengampuni dan anak akan belajar ini yang namanya kasih persaudaraan yang tulus. Pertengkaran mungkin terjadi, tapi yang penting setelah itu saling memaafkan. Betapa bermanfaatnya semua ini kalau kita bisa berikan kepada anak.
GS : Iya. Tapi seringkali anak juga bingung dengan standard moral atau standard kehidupan yang harus dia jalani. Karena di rumah, katakan itu sudah ditata dan disiplin apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak. Tapi di luar, misalnya di sekolah atau di pergaulan, itu malah diperbolehkan atau serba diijinkan.
PG : Tidak bisa tidak memang setiap anak terutama pada masa-masa remaja dan pemuda, mereka akan mengalami konflik ini, Pak Gunawan. Dan kita harus berbicara fakta apa adanya. Ada kalanya anak berhasil berdiri teguh di dalam iman kepercayaan, memegang standard moral yang Tuhan tetapkan. Tetapi ada kalanya anak terseret akhirnya ikut dan ini sering terjadi juga. Karena anak tidak selalu kuat dan anak juga memunyai kehendak, ada kalanya yang dia pilih adalah justru yang salah dan berdosa.
GS : Tapi sebenarnya pengaruh keluarga itu tetap besar terhadap anak-anak itu ya ?
PG : Sangat besar, Pak Gunawan. Dengan kata lain, dengan memberi mereka kekudusan dan kerukunan, mereka diberikan tambatan. Sehingga sewaktu arus itu datang, ada yang masih tetap menahan mereka, ada yang bisa mengikat mereka. Meskipun tadi kita sudah bahas, tetap saja pengaruh luar dan pilihan pribadinya bisa saja membuat dia ingin melepaskan tambatan itu. Tapi dengan kita menegakkan kerukunan dan kekudusan dalam keluarga, setidaknya kita memang memberikan tempat bagi anak untuk berlabuh, ada tambatan.
GS : Sebelum kita mengakhiri perbincangan ini, mungkin Pak Paul bisa membantu kami dengan memberikan kesimpulan dari perbincangan kita ini ?
PG : Pada intinya, kita harus secara terencana memikirkan bagaimana dapat membesarkan anak. Ada 2 tiang yang mesti kita tegakkan, yaitu kekudusan dan kerukunan. Sebab sekali lagi, lewat kekudusan kita, anak akan melihat kekudusan Allah; dan lewat kerukunan kita, anak akan melihat kasih Allah. Inilah bekal yang dapat kita berikan kepada anak kita.
GS : Terima kasih untuk perbincangan ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dampak Kekudusan dan Kerukunan pada Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda untuk mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.