Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang "Hilangnya Cinta setelah Pernikahan". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Lengkap
(1) GS : Pak Paul, semua orang berharap sebenarnya cinta yang mereka rasakan atau nikmati pada saat berpacaran itu akan tumbuh berkembang dengan lebih membara lagi. Tapi faktanya yang ada kita sering kali mendengar atau melihat bahkan juga mengalami suatu kenyataan bahwa cinta yang mula-mula itu seolah-olah hilang Pak Paul, kita mengutip dalam kitab Wahyu itu kehilangan kasih yang mula-mula. Itu juga sering kali dirasakan dalam hidup pernikahan. Nah mungkin kami akan menanyakan bagaimana prosesnya kenapa sampai bisa seperti itu?
PG : Sebelum saya menjawab Pak Gunawan, saya ingin memberikan pengamatan saya, adakalanya misalnya saya makan di rumah makan, saya melihat atau memperhatikan pasangan nikah, suami-istri makan brsama.
Nah sering kali yang saya lihat jarang sekali suami dan istri itu saling berbicara, misalkan ada anak-anak kebanyakan yang saya perhatikan adalah si suami akan berbicara dengan anak-anak, si istri akan berbicara dengan anak-anak, tapi suami dan istri jarang sekali berbicara. Bahkan adakalanya saya amati si suami menatap yang lain-lain tapi tidak kepada istrinya, sebaliknya si istri juga menatap yang lain-lain tapi tidak menatap suaminya. Nah tadi yang Pak Gunawan munculkan adalah pertanyaan yang sangat-sangat absah yaitu apa yang terjadi setelah menikah. Kenapa bara cinta itu tiba-tiba menjadi dingin seolah-olah tidak ada lagi api yang dapat kita lihat di antara kedua orang yang tadinya sangat mencintai itu. Saya kira sekurang-kurangnya ada 3 penyebab kenapa sampai cinta itu sampai menghilang atau hambar atau tidak dirasakan lagi setelah menikah. Yang pertama adalah secara manusiawi memang sesuatu yang menjadi biasa akan kehilangan daya tarik yang tadinya ada. Jadi sesuatu itu cenderung mempunyai daya tarik yang sangat kuat sewaktu masih baru, setelah bersama dengan kita untuk waktu yang agak lama biasanya tidak peduli seberapa indahnya dan menariknya hal itu lama-kelamaan tidak mempunyai daya tarik yang sama pada kita. Dan cinta kita memang cinta yang sangat dipengaruhi oleh ketertarikan fisik, oleh kekaguman yang kita saksikan atau kita lihat. Sehingga akibatnya setelah menikah, yang tadinya kita sangat kagumi menjadi biasa, yang tadinya sangat menarik hati kita menjadi biasa. Nah dua unsur tadi kekaguman dan ketertarikan sering kali memang menjadi pengisi cinta kasih pada pasangan kita. Otomatis waktu dua hal itu mulai memudar, perasaan cintapun seolah-olah turut menjadi dingin, nah itu saya kira yang pertama yang dialami oleh banyak pasangan. Jadi mendinginnya rasa ketertarikan atau kekaguman terhadap pasangannya sehingga menjadi biasa dan yang biasa itu tidak lagi begitu menggairahkan untuk dicintai.
GS : Memang harus diakui bahwa kita mempunyai sifat pembosan, bosan dengan sesuatu, kalau sudah agak lama kita mencari. Berarti di dalam hubungan pernikahan baik suami atau istri harus mencoba menemukan sesuatu di dalam pasangan kita itu?
PG : Menemukan yang baru dalam pengertian kita melihatnya dengan penghargaan yang baru atau dengan mata yang baru. Sebab memang kita bisa pungkiri bahwa yang bersama dengan kita itu secara fisi akan menjadi lama, akan menjadi biasa dampaknya buat kita.
Jadi landasan cinta kasih kita memang tidak boleh terlalu berat pada yang bersifat fisik. Namun harus lebih berat pada yang bersifat rohani atau emosional, sehingga akhirnya bantuan, karakteristik yang indah kita saksikan, merasa sangat dibantu oleh kehadiran pasangan itu kita menjadi terus-menerus menghargai dan mengagumi.
GS : Tetapi kadang-kadang memang situasinya seperti tadi Pak Paul amati dalam rumah makan, situasinya memang juga tidak mendukung. Biasanya rumah makan itu ada TV yang dilihat atau musiknya terlalu keras sehingga pasangan ini sulit mau berbicara. Bisa berbicara di rumah 'kan tidak harus di rumah makan?
PG : Yang saya khawatirkan Pak Gunawan, di rumahpun mereka jarang bicara kalau lagi makan, jadi saya kira yang terjadi di rumah makan cukup merefleksikan yang terjadi di rumah sendiri. Kadang kla memang ada televisi, kadang kala ada destruksi-destruksi yang tadi Pak Gunawan sebut.
Tetapi bukankah cukup banyak rumah makan yang tidak ada televisi, yang tidak ada hal-hal lainnya selain dari makanan itu. Namun toh tetap mata mereka tidak memandang pasangan mereka.
GS : Atau memang tidak terbiasa melakukan itu Pak Paul, jadi artinya mereka sejak berpacaran tidak melakukan hal-hal seperti itu.
PG : Nah kalau itu yang terjadi lain perkara memang, jadi adakalanya dua orang itu memang tidak terbiasa. Sejak masa berpacaran tidak terbiasa untuk saling melihat, saling menyentuh, nah itu meeka bawa sampai ke pernikahan, nah saya kira itu biasa, itu tidak apa-apa.
Nah, tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya pada masa berpacaran si suami dan si istri bisa saling menatap, saling menyentuh, bicara dengan begitu asyik, bisa ngobrol berjam-jam, kok tiba-tiba sekarang tidak bisa lagi.
GS : Nah, Pak Paul tadi kalau Pak Paul katakan baik secara rohani maupun emosional bisa ditemukan itu contoh konkretnya seperti apa, Pak Paul?
PG : Kita setelah menikah makin menyadari bahwa dia pasangan yang paling tepat untuk kita, kita makin melihat sifat-sifatnya yang baik, kita makin melihat pengorbanannya, kita makin mengagumi krakteristik kepahlawanannya dan kekagumannya.
Nah semua itu makin menyadarkan kita bahwa kita menikah dengan orang yang baik, dengan orang yang tepat, orang yang bisa mengerti kita. Dan terutama kebutuhan-kebutuhan kita dipenuhi olehnya, nah ini makin mengkonfirmasikan dan menguatkan kita bahwa kita telah menikah dengan orang yang sangat berharga, nah itu penting sekali.
GS : Jadi kalau kebutuhan kita dipenuhi Pak Paul, itu 'kan berarti harus ada semacam ungkapan terima kasih kepadanya, kepada pasangan kita.
PG : Betul, jadi seolah-olah kita makin berhutang kepada dia, kita makin melihat betapa bernilainya dia dalam hidup kita. Karena dialah yang telah mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita, nah ini akn menyegarkan cinta di dalam pernikahan.
IR : Jadi selalu Pak Paul diungkapkan rasa penghargaannya pada pasangannya.
PG : Tepat sekali, jadi hal-hal itu meskipun kecil kita utarakan dan itu akan menyemarakkan cinta di kedua orang ini.
GS : Kadang-kadang kami memang berpikir itu, bahwa pasangan kita tahu kita itu menghargai apa yang dia kerjakan walaupun tidak terucapkan. Nah masalahnya di situ kita tidak terbiasa untuk mengucapkan terima kasih atau rasa kasih kita itu dengan kata-kata atau dengan sentuhan dan sebagainya, Pak Paul.
PG : Betul, apalagi budaya kita budaya Asia, cenderung memang tidak begitu ekspresif sehingga kita jarang mengatakan hal-hal yang seperti itu, menghargai, berterima kasih atas kehadirannya karea itulah kita mesti belajar mengutarakannya.
Dan kita harus mengakui bahwa kita sendiri sebetulnya menyenangi kata-kata atau komentar yang menghargai kita. Jadi kalau kita menyenanginya, pasangan kita pun pasti akan menyenanginya pula. Masalah mungkin akan menjadi lebih rumit Pak Gunawan, kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi. Nah tadi saya berkata kira-kira ada 3 penyebab yang membuat cinta itu bisa menguap dari pernikahan. Selain dari menjadi biasanya hubungan cinta itu, yang kedua adalah pertengkaran. Nah pertengkaran yang tidak diselesaikan akan membunuh cinta kasih. Pertengkaran itu perasaan negatif sedangkan cinta perasaan positif. Nah dua-duanya tidak bisa hadir bersamaan, maksud saya begini, kalau yang satu banyak, yang satu akan sedikit. Kalau cinta banyak pertengkaran akan cenderung lebih positif, kalau pertengkaran banyak cinta akan cenderung makin berkurang. Nah ada banyak hal yang membuat kita bertengkar misalnya gaya hidup kita yang tidak sama, itu akan membuat kita bertengkar, gaya komunikasi kita yang tidak sama bisa menimbulkan kesalahpahaman dan kita bisa bertengkar. Dan yang ketiga, yang penting adalah sewaktu kebutuhan kita tidak terpenuhi, atau sewaktu yang kita harapkan dari pasangan kita tidak kita lihat, nah itu yang cenderung menimbulkan api pertengkaran adalah perbedaan gaya hidup, perbedaan gaya komunikasi dan tidak terpenuhinya kebutuhan dan harapan kita. Nah biasanya yang ketiga ini kalau tidak terpenuhi dampaknya jauh lebih serius daripada perbedaan gaya komunikasi, gaya hidup, yang ketiga ini atau runtuhnya harapan kita itu biasanya berdampak sangat fatal. Itu yang cenderung membuat kita sangat pahit dan melibatkan kita dalam pertengkaran yang tidak terselesaikan.
IR : Perbedaan karakter apakah juga bisa, Pak Paul?
PG : Bisa, jadi karakter yang berbeda itu akan membuat kita berinteraksi dengan cara yang berbeda, berelasi dengan cara yang berbeda, berkomunikasi dengan cara yang berbeda. Misalnya orang yangcenderung pendiam, menyimpan semuanya ke dalam, tidak ekspresif, menikah dengan orang yang semuanya dilontarkan ke luar, kurang bisa misalnya menahan emosi.
Nah kedua karakter yang akhirnya disatukan dalam rumah tangga ini tidak bisa tidak, pada awal-awalnya akan bentrok, akan mengalami benturan. Karena apa, gaya hidupnya akan berbeda; yang blak-blakan misalnya cenderung akan menganggap orang yang tidak blak-blakan itu tidak jujur misalnya. Jadi dia cenderung menuntut orang itu untuk terbuka, sebab orang yang tidak terbuka dikategorikan menyimpan rahasia, tidak percaya padanya, akhirnya juga dia merasa dia itu tidak dihargai oleh pasangannya. Atau juga akhirnya membuat cara komunikasi berbeda yang satu akan merasa kenapa engkau terlalu menyerang saya, kenapa engkau berbicara tanpa tedeng aling-aling, kenapa engkau tidak memperhatikan saya. Yang satu berkata itulah namanya terbuka dan jujur saya tidak mau menyimpan, nah gaya-gaya komunikasi dan gaya hidup yang berbeda ini pasti akan menimbulkan benturan.
GS : Hal-hal seperti itu tidak dirasakan atau dialami pada saat mereka pacaran, Pak Paul?
PG : Biasanya sudah mulai terasakan namun dalam kadar yang jauh lebih kecil, karena tidak tinggal bersama dan kita tidak harus mengambil keputusan secara bersama-sama. Jadi prinsipnya adalah orng bisa mengambil keputusan dengan baik sendirian, belum tentu bisa mengambil keputusan bersama, itu dua hal berbeda.
Nah waktu dia serumah dengan pasangannya terpaksa harus mengambil keputusan bersama, harus berdiskusi dan akan banyak melihat hal-hal yang menjengkelkannya, yang tidak disetujuinya. Nah akhirnya ini bisa membuat kemarahan lebih muncul sehingga kedua orang ini bertengkar.
GS : Ya kalau terjadi pertengkaran atau kebosanan seperti tadi apakah langsung kita bisa mengatakan cinta itu hilang dalam pasangan itu, 'kan belum tentu Pak Paul?
PG : Nah sekarang kita memang mau jelas dengan apa itu definisi cinta di sini, bagi saya cinta itu mengandung aspek perasaan, jadi cinta harus ada perasaan cintanya yang dirasakan secara emosioal.
Cinta juga memang harus mengandung unsur biologisnya, artinya kita tertarik secara fisik dengan pasangan kita. Jadi kita waktu melihat pasangan kita, bukan saja memandang dia sebagai seorang perempuan atau seorang pria tapi kita merasakan ketertarikan terhadap dia. Jadi cinta bagi saya mengandung unsur biologisnya pula, cinta juga harus mengandung unsur kognitif unsur rasionalnya. Artinya kita memilih untuk setia, untuk terus bersama dengan pasangan kita, kita memang tidak bisa diombang-ambingkan oleh aspek emosionalnya, tapi memang aspek emosional tetap penting namun di samping itu harus ada aspek kognitif yaitu kita memilih bersama dengan dia. Selain itu harus ada aspek rohani, itu benar-benar keinginan untuk mengosongkan diri demi pasangan kita, mengorbankan diri demi pasangan kita, jadi cinta seperti itu memang cinta yang lengkap. Jadi kalau ada seorang berkata saya mencintai dia, tapi sebetulnya tidak terjadi perasaan apa-apa, saya kira cinta itu tidak lagi utuh, mungkin saja mesti ada aspek kognitifnya dan sebagainya, tapi kekurangan suatu aspek yang penting dan ketertarikan biologisnya.
GS : Berarti selama unsur-unsur yang lain masih ada itu masih bisa diharapkan cinta itu kembali dalam pasangan itu.
PG : Betul jadi selama yang lain masih ada, cinta itu bisa dikobarkan dan kadang kala pada waktu tertentu dikobarkan kembali aspek emosionalnya. Namun kalau faktor kedua tadi ada yakni pertengkran-pertengkaran yang tak terselesaikan, nah saya khawatirkan kesempatan muncul itu makin mengecil, makin berkurang sehingga akhirnya perasaan aspek emosional tadi dan ketertarikan bisa terganggu sekali.
Saya takut yang ada hanya aspek kognitif, saya sudah menikah dengan dia, saya memilih dengan dia atau aspek rohani saya anak Tuhan, saya mau hidup dengan pasangan saya apapun yang terjadi akhirnya yang ketinggalan hanya dua itu. Sebab kenapa sudah diisi perasaan-perasaan yang negatif yaitu pertengkaran itu, sehingga perasaan yang positif, perasaan cinta itu akhirnya menghilang.
IR : Kalau sudah menjurus ke situ akhirnya apa, apakah hubungan itu tambah menjauh Pak Paul?
PG : Biasanya demikian Ibu Ida, jadi kalau cinta mulai kehilangan aspek emosional dan biologisnya meskipun aspek kognitifnya kuat, dan aspek rohaninya tetap ada saya kira akan terasa sekali kehmbaran dalam hubungan suami-istri itu.
Akan terasa sekali bahwa hubungan ini hubungan yang rutin, yang tidak ada bedanya dengan kemitraan yang ada dalam hidup ini. Sehingga biasanya ada gap, ada jarak antara 2 orang itu, meskipun mungkin sekali gap itu bisa diperkecil dengan adanya anak misalnya. Adanya kesibukan bersama sehingga diperkecil lagi, namun yang penting adalah yang tadi yang kedua itu. Selama pertengkaran-pertengkaran itu bisa diselesaikan dengan baik, biasanya cinta itu masih bisa dipertahankan karena akan tetap muncul api-api cinta itu. Namun kalau terlalu banyak diisi pertengkaran yang tidak terselesaikan sulit, sebab bagi saya pertengkaran itu tadi sudah singgung biasanya muncul dari perbedaan gaya hidup, dari perbedaan gaya komunikasi. Nah kalau yang munculnya karena kebutuhan kita tidak terpenuhi atau harapan kita tak jadi kenyataan, dia menjadi suami yang seperti ini, dia menjadi istri yang seperti ini, kenapa orangnya begini nah ini menimbulkan kekecewaan. Nah kekecewaan seperti itu berbahaya, itu yang akan benar-benar membasmi cinta kasih dalam hubungan rumah tangga.
GS : Ya memang kadang-kadang tuntutan setelah menikah itu lebih besar daripada pada waktu berpacaran Pak Paul, karena ada unsur pekerjaan, ada anak dan sebagainya itu yang membuat kita kadang-kadang kurang menaruh perhatian pada pasangan kita, jadi bukan sengaja tidak mencintai dia tetapi memang karena hal-hal yang tadi itu terjadi.
PG : Yang akhirnya memang menyita perhatian kita Pak Gunawan, nah ini membawa kita ke point yang ketiga, Pak Gunawan. Ya tadi saya sudah singgung bahwa sekurang-kurangnya ada 3 faktor penyebab ang saya lihat menguap dari pernikahan.
Nah yang ketiga adalah faktor konsep pemikiran kita, sering kali memang kita ini beranggapan secara tak sadar bahwa cinta itu memang miliknya orang yang berpacaran. Setelah menikah cinta itu boleh ada, boleh tidak ada, karena ya setelah menikah yang penting adalah memikirkan pekerjaan, memikirkan masa depan anak, memikirkan tugas merawat anak, memikirkan tentang bagaimana kita harus mengembangkan karier kita 4 tahun di depan dan sebagainya. Sehingga akhirnya memang cinta tidak lagi mendapatkan tempat dalam pernikahan. Bukankah kita pernah mendengar ungkapan seperti ini, kalau seseorang katanya mau mesra, pasangannya bisa berkata malu ah....sudah menikah masih begitu atau kamu sudah berumur berapa. Jadi seolah-olah orang berumur 45 tahun tidak layak lagi meminta kemesraan dan untuk menjadi mesra atau misalnya orang umur 50 tahun, tidak boleh lagi mendambakan cinta, kita katakan kekanak-kanakanlah, bukan waktunya lagilah atau kita harus pikirkan hal-hal yang serius, bukan begitu pikirannya sekarang. Jadi akhirnya kita dikondisi untuk merasa malu, tatkala merindukan cinta, nah saya kira konsep ini tanpa disadari telah menggerogoti cinta dan menolak keberadaan cinta dalam pernikahan. Sudah masuk ke pernikahan, ya persiapan atau pemanasan itu tidak diperlukan lagi.
(2) GS : Kalau sampai terjadi Pak Paul, pasangan yang kehilangan cinta itu, bagaimana mereka mengupayakan atau bisa ditemukan kembali?
PG : Pertama-tama dua orang suami maupun istri itu harus menyadari bahwa memang sudah kehilangan cinta itu. Nah kenapa saya katakan dua-duanya harus mengakui, karena sering kali kita menyangkal itu, sering kali kita berargumen o.....saya
mencintai dia dengan cara yang lain, saya mengurus anaknya itu berarti cinta, saya masak untuk dia itu namanya cinta, saya melayani dia itu namanya cinta. Atau suami berkata ya saya bekerja, saya tidak mau bermain perempuan lain, tidak berjudi itu semua cinta artinya. Itu yang dibicarakan adalah kewajiban rumah tangga, sebagai suami atau istri memang sudah sewajarnyalah suami itu bekerja mencukupi kebutuhan keluarganya, istri menyediakan kebutuhan misalnya menyediakan makanan di rumah, menjaga rumahnya. Memang kewajiban, pembagian tugas yang telah disepakati bersama, nah itu tidak boleh digunakan sebagai alasan itu cinta, saya kira itu 2 hal berbeda. Nah jadi pertama-tama memang kita harus memeriksa apakah cinta kita telah kehilangan aspek emosional dan biologisnya. Apakah yang tertinggal sekarang adalah aspek kognitif, aspek pikiran semata dan aspek rohani semata. Nah kalau memang kita akui itulah yang terhilang, sekarang bagaimana saya dan dia bisa memperbaikinya. Jadi langkah kedua adalah kita memang melihat duduk masalahnya di mana, adakalanya duduk masalahnya atau penyebab yang pertama yaitu memang kita kehilangan cinta karena terbiasa. Atau yang kedua ini yang lebih serius karena adanya pertengkaran-pertengkaran; kalau memang itu duduk masalahnya pertengkarannya memang harus dibahas, harus diselesaikan. Yang ketiga kalau misalnya hanya konsep pemahaman yang keliru yaitu kita masih bisa perbaikilah. Cinta memiliki tempatnya yang khusus dan spesial dalam pernikahan, harus ada, nah kita harus mengadakannya sekarang. Jadi langkah kedua, kita harus mencari tahu penyebabnya, kenapa cinta dalam rumah tangga ini sudah menguap, baru langkah-langkah lainnya.
IR : Yang saya tanyakan juga itu Pak, contoh konkretnya bagaimana untuk menyemarakkan cinta itu bisa kembali?
PG : Sekarang kita masuk point yang ketiga, jadi langkah apakah yang harus kita perbuat, nah saya kira waktu kita tidak cukup untuk membahas sampai selesai, saya akan ambil yang pertama dulu yani kita harus sering-sering mengungkapkan betapa berterima kasihnya kita atas kehadiran pasangan kita.
Bahwa dia pemberian Tuhan untuk kita, kita harus pintar-pintar melihat yang positif dalam dirinya meskipun mengakui yang tidak kita terima dalam dirinya atau sulit diterima dalam dirinya. Mungkin kita panggil itu kelemahannya, tapi kita benar-benar menyoroti yang baik dan sering-seringlah kita mengutarakan betapa berterima kasihnya kita atas kehadirannya dalam hidup kita. Prinsipnya adalah yang saya gunakan kalau kita memulai dengan berterima kasih kita akan menerima kasih. Sebaliknya kalau kita memulai dengan tidak tahu berterima kasih kita akan mengakhirinya dengan tanpa kasih. Jadi kata-kata terima kasih, kata-kata pengucapan syukur engkau adalah suamiku, engkau adalah istriku, kalau sering-sering kita lontarkan akan menyemarakkan cinta. Sebab pada intinya menurut saya cinta itu diwujudkan dalam penghargaan, nah ini bentuk penghargaan yang riil dan mengutarakan rasa terima kasih kita. Kadang-kadang kalau kita menengok ke belakang justru kita kesulitan untuk mengingat kapan terakhir kali berkata terima kasih pada suami atau istri kita, nah itu saja langkah yang sederhana, tapi kalau kita lakukan dengan konsisten, saya yakin akan membawa perubahan dalam hubungan suami-istri.
GS : Tapi yang memberikan petunjuk yang paling jelas pasti kita temukan di dalam Alkitab Pak Paul ya, nah dalam hal ini apa yang Alkitab itu katakan.
PG : Saya akan mengutip dari Matius 22:39, ayat yang kita kenal dengan baik yaitu, Tuhan meminta kita untuk mengasihi atau mencintai sesama kita seperti diri kita. Jadi prinsipnya dalah suami dan istri harus mengasihi satu sama lain seperti dia mengasihi diri sendiri.
Nah perintah ini sering kali getol kita laksanakan dengan orang lain, lupa di rumah ada istri, ada suami. Yang kita juga harus cintai sebesar-besarnya sama dengan mencintai diri kita. Jadi memang Tuhan sudah menetapkan aturan main dengan jelas di sini.
GS : Dan kitapun percaya tentunya Tuhan pun menghendaki agar cinta yang sudah tumbuh dalam rumah tangga akan tetap terpelihara Pak Paul.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah persembahkan kehadapan Anda sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Cinta yang Hilang setelah Pernikahan". Dan bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang, saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami harapkan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 60 A
- Apa yang terjadi dengan cinta setelah pernikahan…?
- Bagaimana menemukan kembali, cinta yang hilang dalam pernikahan…?